Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
July 24th, 2011

Ketika dunia belajar pengobatan

Dr. Fahmi Amhar

Bangsa Franken adalah nenek moyang bangsa Perancis.  Meski Perancis sekarang adalah salah satu negara maju, seribu tahun yang lalu mereka masih amat biadab, terlebih dalam ilmu pengobatan.

Bangsa Franken adalah peserta terbanyak dalam tentara Salib yang menguasai Jerusalem dan sekitarnya kira-kira seabad lamanya.  Karena di wilayah sudah banyak penduduk muslim, maka ada interaksi antara tentara Salib dan kaum muslim. Namun para jurnalis muslim banyak menceritakan kisah mengerikan meski sekaligus aneh dan lucu di antara tentara Salib.

Misalnya kisah dokter bernama Tsabit bertugas di Libanon. Para pembesar pasukan salib tidak begitu yakin dengan cara penyembuhan dokter-dokter Franken sendiri. Di ‘Negeri Suci’ ini, mereka, yang menderita berbagai penyakit kulit, perut mulas dan diare, ternyata lebih senang berobat kepada dokter-dokter muslim.

Suatu hari Tsabit pulang terlalu cepat.  Tsabit bercerita, “Kepadaku didatangkan seorang prajurit dengan kaki bengkak bernanah, dan wanita yang demam tinggi.  Untuk si prajurit aku balutkan perban hingga bengkaknya kempes dan berangsur membaik. Kepada wanita itu aku sarankan untuk diet dan memperbaiki kondisi tubuhnya dengan ramuan dari bahan herbal. 

Tiba-tiba datanglah seorang dokter Franken dan berkata: ‘Ia tak tahu apa-apa untuk dapat menyembuhkan mereka.’ Maka ia hampiri si prajurit dengan pertanyaan: ‘Pilih, mana yang lebih kamu sukai, hidup dengan satu kaki, atau mati dengan dua kaki?’ Si prajurit menjawab: ‘Hidup dengan satu kaki.’ Maka berserulah sang dokter Franken: ,Datangkan kepadaku seorang prajurit yang kuat dengan sebuah kampak yang tajam!’ Seorang prajurit dengan sebuah kampak tajam pun muncul. Aku masih berdiri di situ. Sang dokter lalu meletakkan kaki bengkak itu di atas sebuah balok kayu dan memerintah si prajurit berkampak: ,Penggallah kaki itu dengan sekali ayunan kampakmu!’ Tanpa ragu si prajurit menebaskan kampaknya sekali, tapi ternyata kaki sakit itu belum juga terputus.  Ditebaslah kaki itu sekali lagi dengan kampak. Maka mengalirlah sungsum tulang di kaki terpenggal itu. Dan prajurit yang malang itu pun tewas sejam kemudian.

Sang dokter Franken beralih memeriksa wanita yang demam itu dan berkata: ‘Wanita ini kesurupan jin yang jatuh cinta kepadanya. Potonglah rambut di kepalanya.’ Seseorang lalu memotong rambut wanita itu. Seterusnya wanita itu kembali lagi makan hidangan ala negeri asalnya.  Panas di tubuhnya meninggi. Sang dokter berkata: ‘Jin di dalam tubuhnya telah naik di kepala.’ Bersamaan dengan ucapan ini ia raih sebuah pisau cukur, ia sayat kulit kepala wanita itu menyilang dan ia kelupas sebagian kulit kepala itu sedemikian rupa sampai tulang tengkoraknya tampak jelas terlihat. Lalu ia taburkan sejumput garam pada luka sayatan. Sejam kemudian wanita itupun tewas.

Aku bertanya pada mereka: ‘Masih adakah tugas-tugas dari anda untukku?’ ‘Tidak.’ Karena itu pergilah aku, setelah aku ‘belajar’ cara penyembuhan mereka yang aneh, yang sejauh ini belum pernah aku kenal.”

Itulah kisah Tsabit yang diceritakan Amir Usamah ibnu Munkhid (1095 – 1188), seperti dikutip Sigrid Hunke dalam bukunya “Allah Sonne ueber dem Abendland”.

Cerita di atas bukan propaganda bermusuhan, juga bukan penghinaan dari lawan. Namun memang orang-orang Franken itulah yang justru bersikap memusuhi umat Islam.

Seratus tahun kemudian, seorang bangsawan Jerman yang pendek dan gemuk harus mati menyakitkan akibat ulah penganut Kitab Tawarikh. Sebagai pengiring Kaisar Heinrich IV dalam rombongan yang ke Italia, ia cemas, apakah tubuhnya yang berlemak itu dapat melewati sulitnya medan dan panasnya cuaca Italia. Karena itu ia berkonsultasi pada seorang dokter. Sang dokter ternyata langsung mengiris perut si bangsawan dan mengeluarkan lemak di dalamnya. Sebuah metode yang radikal sama halnya dengan yang dilakukan para dokter Franken.

Tidak ada sesuatupun cara pengobatan Pasukan Salib, yang dapat diambil pelajaran. Tidak ada yang pantas dipertahankan dari mereka di bidang kedokteran.

Di mana coba, di dunia saat itu terdapat dokter-dokter bermutu seperti di dunia Islam? Di mana terdapat perkembangan kedokteran yang begitu mekar seperti hasil pemikiran masyarakat muslim ini? Adakah di lain tempat sistem sanitasi dan apothek? Bisakah rumah-rumah sakit di mana pun di dunia saat itu menyamai canggihnya rumah-rumah sakit di kota-kota Khilafah? Kemajuan metode pengobatan mereka seiring dengan riset yang mereka lakukan. Masih adakah yang aneh, jika ternyata orang-orang Franken pun meminta bantuan pengobatan kepada mereka?

Para biarawan di gereja-geraja Eropa sering diminta umatnya memberi keajaiban penyembuhan, sebagaimana dulu al-Masih melakukannya.  Mereka menyembuhkan dengan usapan tangan, ritual pengusiran iblis, dan doa bersama.  Mereka menolak obat-obatan apapun, baik yang dari tumbuhan, hewan maupun kimia, karena itu dianggap tanda tipisnya iman kepada Tuhan.

“Ilmu obat-obatan dalam segala bentuknya berasal dari tipu-daya yang sama,” — tuduh Tatian, seorang penginjil, atas orang-orang yang percaya pada obat-obatan alami. “Bila seseorang menggunakan obat yang ia percayai, maka ia tidak akan lebih banyak disembuhkan, ketika ia sendiri melupakan Tuhan. Mengapa kamu tidak berserah diri saja kepada Tuhan? Relakah kamu disembuhkan seperti anjing dengan rumput, kijang dengan ular, babi dengan kepiting, singa dengan kera? Mengapa kau pertuhankan hal-hal duniawi?”

Pengkhotbah Salib Bernhard von Clairvaux (1090 – 1153), dengan tegas melarang para biarawan, yang sering sakit karena kondisi udara yang buruk, untuk berobat pada dokter muslim dan menggunakan obat, karena “tidak sepatutnya membiarkan kesucian jiwa berada dalam bahaya melalui penggunaan obat-obatan duniawi.”

Paus Innocentius III dalam Konsili Lentera pada 1215 menjadi kewajiban yang harus ditaati: Atas putusan dari sebuah komite gereja, seorang dokter dilarang menangani pasien, sebelum si pasien melakukan pengakuan dosa. Sebab penyakit itu berasal dari dosa.  Hal yang di abad-21 ini nyaris ditiru seorang Ustadz penyembuh di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia.

Bandingkan situasi suram di Eropa itu dengan sebuah surat dari seorang pengelana Eropa di dunia Islam.

“Ayahku! Kau bertanya, apakah kau harus membawa uang untukku. Bila aku sudah sembuh dan keluar nanti, rumah sakit akan memberiku pakaian baru dan lima potong emas, sehingga aku tak harus langsung bekerja. Kau pun tak perlu menjual ternak kepada tetangga. Tapi hendaknya kau segera datang, jika kau masih ingin menemuiku di sini. Aku terbaring di bagian ortopedik, bersebelahan dengan saal operasi. Bila kau datang melalui pintu masuk utama, berjalanlah lurus melalui aula bagian selatan. Di situ ada poliklinik, tempat aku diperiksa pertama kali setelah aku terjatuh. Di sana setiap pasien baru akan diperiksa oleh para asisten dokter dan mahasiswa, dan jika seseorang dianggap tidak perlu dirawat-nginap, maka ia akan segera diberi resep obat, yang dapat ditukarkan di apotek rumah sakit. Setelah diperiksa di sana aku lalu didaftar, lalu diantar menemui dokter kepala rumah sakit. Seorang perawat memapahku masuk ke bangsal pria, memandikan tubuhku dan mengenakan pakain pasien yang bersih. Di sebelah kiri kau dapat melihat perpustakaan, dan ruang kuliah besar berada di belakangmu. Di situlah biasanya dokter kepala memberikan kuliah kepada mahasiswa. Gang di sebelah kiri beranda adalah jalan menuju bangsal wanita. Kau harus tetap mengambil jalan sebelah kanan, terus melewati bagian internis dan bagian bedah. Bila kebetulan terdengar alunan musik dan lagu-lagu dari salah satu kamar, cobalah tengok di dalamnya. Boleh jadi aku sudah berada di sana, di sebuah ruang khusus untuk para pasien yang sudah sembuh. Di situ kita dapat membaca buku-buku sambil menikmati alunan musik sebagai hiburan. Pagi tadi, ketika dokter kepala bersama para asisten dan perawat dalam kunjungan kelilingnya menjenguk dan memeriksaku, kepada dokter yang merawatku ia mengatakan sesuatu, yang tak aku pahami. Maka ia lalu menjelaskan kepadaku, bahwa besok pagi aku sudah boleh bangun dan meninggalkan rumah sakit. Keputusan yang sebenarnya belum aku inginkan.  Rasanya aku masih ingin tinggal di sini lebih lama lagi. Di sini semuanya begitu bersih dan terang. Tempat-tempat tidurnya empuk, sepreinya terbuat dari kain damas putih dan selimutnya lembut seperti beludru. Dalam setiap kamar tersedia aliran air, yang akan dihangatkan bila malam yang dingin tiba. Hampir tiap hari disuguhkan masakan daging unggas atau domba panggang, yang sangat cocok bagi kondisi perut para pasien. Pasien di sebelahku telah dengan sengaja selama seminggu pura-pura masih sakit, hanya agar ia masih bisa menikmati kelezatan gorengan ayam dalam beberapa hari lagi. Tapi dokter kepala mengetahui hal itu. Karena itu ia pun disuruh segera pulang. Namun untuk menunjukkan bahwa pasien itu sudah benar-benar pulih kesehatannya, ia masih dibolehkan sekali lagi menyantap hidangan roti keju dan ayam panggang.  Nah, ayah, datanglah, sebelum daging ayam terakhir untukku dipanggang!”

Situasi sebagaimana yang digambarkan dalam surat di atas tentu tak perlu diragukan, andai itu ditulis pada abad ke-21 ini. Namun surat itu menggambarkan fasilitas dan pelayanan salah satu rumah sakit 1000 tahun yang lalu, yang ada di kota-kota besar Khilafah, yang membentang antara Himalaya di India dan Pyrenia di Perancis. Cordoba sendiri pada pertengahan abad ke-10 sudah mempunyai 50 rumah sakit. Pada jaman Harun Al-Rasyid, Baghdad sudah memiliki banyak rumah sakit terkenal.  Di situlah diterapkan ilmu kedokteran yang tidak lagi dari berasal dari takhayul, tetapi yang telah melalui percobaan ilmiah (kedokteran experimental).

Ibnu Sina, pioner kedokteran experimental

 

Copy halaman kitab Qanun fit Thib karya Ibnu Sina

Tags: ,

.

2 Responses to “Ketika dunia belajar pengobatan”

  1. […] [2] Fahmi Amhar. Ketika dunia belajar pengobatan. http://www.fahmiamhar.com/2011/07/ketika-dunia-belajar-pengobatan.html […]

  2. Assalamu’alaikum….yg kata” ibnu sina tentang kanker…”pisahkan dari jaringan yg sehat,potong,Angkat” ada di bab berapa ya pak? Makasih..

Leave a Reply