Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
December 31st, 2012

Belajar “Mengikuti” Tanpa Terlibat (MTT)

Kata “mengikuti” sering multitafsir.

“Apakah kalian mengikuti piala dunia? yang menang Spanyol atau Jerman?”

Oh ternyata yang dimaksud “menonton siaran piala dunia”.

Ini mah “Mengikuti Tanpa Terlibat” (MTT).

 

Hukum MTT apa ya?

belajar-mengikuti-tanpa-melihatTergantung objeknya apa, dan posisi kita di sana sebagai siapa, juga seberapa dekat MTTnya.

Kalau objeknya mubah (seperti pertandingan bola), maka MTT juga mubah kalau cuma via layar kaca, tetapi kalau kita ada di stadion, bisa menjadi makruh atau haram tergantung suasana yang menyelubungi kita, seberapa jauh ikhtilatnya, seberapa anarkis aktivitas supportingnya dsb.

Kalau objeknya haram (seperti pesta goyang dangdut yang menebar aurat), maka MTT juga ikut haram, kecuali kalau kita “terjebak”, maksudnya: gak tahu kalau acaranya sejauh itu, karena tadi katanya ini peringatan 1 Muharram, dibuka dengan bacaan Quran & doa oleh Pak Ustadz, gak tahunya ada dangdut segala, dan mau escape susah, maka hukumnya jatuh makruh (asal kita tidak justru “kebeneran” lalu bilang “Masya Allah – Alhamdulillah”) :-).

Bagi wartawan, peneliti atau investigator hukum, MTT untuk objek yang haram pun kadang-kadang diperlukan.  Tujuannya semata-mata untuk fact-finding.  Mereka tidak diberi kewenangan menindak.  Mereka masuk ke arena sekedar untuk mengumpulkan data.  Biar nanti otoritas pemilik kewenangan yang melakukan penindakan.  Pada kasus zina, syara’ mewajibkan untuk menghadirkan 4 orang saksi yang semua melihat dengan matanya sendiri.  Tentu saja, para saksi ini mustahil dihadirkan kalau mereka tidak MTT.  Dan kalau MTT itu dari awal dinyatakan haram, ya mereka juga tidak mau jadi saksi.

Wartawan atau peneliti kadang-kadang perlu MTT pada acara ritual agama lain.  Juga sekedar fact finding, apa yang dilakukan.  Karena meski Islam mentolerir umat agama lain menjalankan ritualnya, tetapi ritual itu sendiri tidak boleh melanggar hukum yang berlaku umum.  Misalnya, tidak boleh ada ritual agama dengan melakukan pengorbanan manusia.  Petugas dari Khalifah Umar bin Khattab yang dikirim ke Mesir mendapatkan bahwa orang-orang penganut agama Mesir kuno kala itu kalau kemarau panjang suka melakukan upacara ritual melarung (menghanyutkan) perawan cantik ke sungai Nil.  Bisa saja mereka dilapori orang lain, tapi bisa pula sebelumnya mereka telah mencari fakta melalui MTT, untuk meyakinkan bahwa itu bukan gossip murahan.  Setelah yakin ada faktanya, maka Umar kemudian memerintahkan menggantikan korban manusia itu dengan sehelai suratnya yang terkenal, yang bertuliskan: “Wahai Sungai Nil, kalau engkau mengalir karena kemauanmu sendiri, maka mengalirlah; dan kalau engkau mengalir karena menuruti perintah Rabb-mu, maka turuti perintahNya”.

Pada kasus kejahatan luar biasa (korupsi, narkotika, terorisme), MTT bisa berabe, karena sekedar tahu – tapi tidak berbuat pro justicia (melaporkan) – bisa dianggap terlibat.  Kecuali kalau sebelumnya ada ijin dari aparat (misalnya untuk petugas serse atau KPK yang akan disusupkan untuk menangkap basah).

Bagaimana MTT pada objek yang hukumnya wajib?  Misalnya ada seorang yang perlu pertolongan segera, dia digigit anjing, atau dia hampir hanyut diterjang banjir, maka MTT hukumnya haram kalau kita punya kemampuan untuk memberi pertolongan, minimal mencari pertolongan terdekat.  MTT baru dimaklumi kalau benar-benar force majeur, misalnya anjingnya sangat ganas sementara tidak ada senjata atau orang lain yang bisa dipanggil; atau dalam kasus banjir, kita sendiri sangat berresiko terseret arus karena banjir sangat deras dan kita tidak bisa berenang.

Yang pasti, untuk banyak aktivitas fardhu kifayah (termasuk dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam melalui penerapan syariah dan khilafah), kita tidak boleh MTT, karena sekecil apapun, pasti ada peran yang dapat kita lakukan.

Wallahu a’lam bis shawab.

Tags: , ,

.

Leave a Reply