Menggagas Sistem Pertanahan Syariah
oleh: Fahmi Amhar
Situasi pertanahan di Indonesia belum pernah membuat orang bisa tidur nyenyak. Kepastian hukum masih sering dilanggar. Penyerobotan, penggusuran, dan penelantaran tanah produktif untuk tujuan spekulatif masih sering terjadi. Pada tataran makro, hukum yang berlaku masih memihak kepada para pemodal besar. Contohnya adalah sengketa tanah ulayat antara masyarakat adat dengan pemegang HPH atau konsesi pertambangan.
Dalam semangat berbagai kalangan untuk menerapkan kembali syariat Islam dalam kehidupan, perlu dielaborasi, sejauh mana pemahaman ummat — terutama para ulama — atas sistem pertanahan syariah. Klaim bahwa Islam telah sempurna sampai akhir zaman perlu dibuktikan dengan berbagai solusi praktis atas berbagai persoalan yang ada. Kesuksesan sistem perbankan syariah bisa dijadikan motivasi untuk mencari sistem pertanahan syariah sebagai alternatif sistem yang ada saat ini.
Masalah kepemilikan
Seperti masalah kepemilikan pada umumnya, dalam Islam masalah pertanahan mencakup aspek sebab-sebab kepemilikannya, pengelolaannya, dan pemanfaatannya (An-Nabhani: Nizamul Iqtishady fil Islam). Hanya berbeda dengan harta bergerak, tanah tidak bisa dikembangkan atau diperbanyak. Karena itu tanah adalah sumber daya yang terbatas.
Islam mengenal tiga jenis kepemilikan, yakni kepemilikan individu, negara dan publik. Kepemilikan individu adalah izin syar’i sehingga seseorang bisa menguasai tanah secara mutlak, termasuk menggunakan, menjual, menghadiahkan, mewakafkan serta mewariskannya berdasarkan syara’.
Hak perolehan tanah untuk individu dalam Islam ada lima macam, yaitu didapat dari: (1) menghidupkan tanah mati; yang disebut tanah mati adalah tanah tanpa pemilik (baik individu maupun negara) yang tidak menopang fungsi publik; (2)pemberian negara; negara berhak menghadiahkan tanah kepada orang-orang yang dipandang pantas dan memerlukannya, misalnya kepada petani yang lahannya longsor; (3) jual-beli; (4) warisan; (5) hibah.
Kepemilikan negara atas tanah hanya terbatas pada yang diperlukan untuk menjalankan roda pemerintahan, seperti lahan instalasi negara dan tanah yang diserahkan kepada negara untuk diurusi. Hak perolehan tanah negara ini dalam Islam didapatkan dari: (1) menghidupkan tanah mati — sebagaimana individu, negara juga berhak menghidupkan tanah mati, dan menjadikannya sumber pemasukan bagi kas negara; (2) pemberian warga atau negara lain; (3) warisan (dari orang tanpa ahli waris, atau sisa harta waris yang tidak habis dibagi); (4) jual-beli; (5) sitaan pelaku pidana yang dihukum dengan itu Umar bin Khattab menyita tanah pertanian milik individu yang ditelantarkan selama 3 tahun (lahan tidur).
Sementara itu dalam Islam ada pembatasan dalam masalah izin menyewakan lahan pertanian. Negara berwenang memberikan tanah yang dimilikinya kepada warganya, menjualnya atau mengalihkannya menjadi milik publik (wakaf) berdasarkan syara’. Pada tanah-tanah individu yang ingin dibebaskan untuk dijadikan milik publik, misalnya sarana jalan atau masjid, negara harus membelinya dulu dari pemiliknya, baru menjadikannya milik publik. Ketika masjid Nabawi diperluas dan harus menggusur tanah milik warga Yahudi, sementara orang tersebut menolak menjualnya, maka Umar pun tidak memaksa menggusurnya, tapi menunggu sampai akhirnya ahli warisnya berkenan menjualnya. Tentu saja di zaman modern ini, untuk hal-hal yang secara teknis sulit ditunda, semisal pembangunan sarana pencegah banjir, atau tiang transmisi tegangan tinggi, harus dicarikan solusi dan pendekatan yang arif.
Ada pun tanah publik adalah semua tanah yang bukan milik individu maupun negara. Ini adalah tanah ”milik Allah”, di mana pada prinsipnya semua warga negara memiliki hak atas fungsi yang dimilikinya. Misalnya tanah-tanah di mana terdapat jalan raya, pantai, taman, rawa, kuburan, masjid, serta fasilitas umum lainnya. Hutan perawan, gunung, lautan dan sebagainya adalah juga tanah publik. Setiap orang memiliki akses ke sana, kecuali diatur lain menurut syara’, misalnya demi mencegah kerusakan atau kecelakaan. Dan setiap orang boleh mengambil manfaatnya, selama tidak menghalangi orang lain juga mengambil manfaatnya.
Tanah milik publik hanya dikelola oleh negara, namun bukan milik negara, apalagi milik pejabat negara. Oleh karena itu, negara tidak boleh menjual atau melakukan ruislag (tukar guling) pada tanah publik, kecuali fungsinya terjaga.
Akibat rancunya pengertian tanah publik dengan tanah negara pada sistem kapitalis, sering terjadi sebuah taman atau lapangan bola tempat warga setempat berekreasi tiba-tiba ditukargulingkan menjadi mall, dan penggantinya ditaruh jauh dari akses warga. Akibatnya warga yang kehilangan arena rekreasi menjadi mudah terpancing untuk melakukan ”rekreasi kaki lima”, dengan ”nongkrong-nongkrong” di mall atau ”main bola di jalanan”, yang mengganggu ketertiban.
Pengalihan ini bisa berakibat fatal. Awalnya, rawa-rawa penyerap air di Jakarta dialihfungsikan menjadi real estate. Sepintas lalu itu baik-baik saja karena dibutuhkan masyarakat juga. Namun pada saat banjir, semua orang jadi menderita, baik penghuni real estate itu maupun yang tinggal di luarnya.
Namun demikian tanah publik boleh saja dialihkan menjadi tanah individu bila fungsinya tidak terganggu dan kehidupan publik secara keseluruhan akan lebih baik. Sebagai contoh adalah pembukaan sebagian hutan untuk lahan permukiman baru. Transmigrasi atau permukiman perambah hutan bisa sejalan dengan alih fungsi tanah publik ke tanah individu sepanjang hak-hak publik di lokasi itu tetap terjaga. Kalau ini diperhatikan, kasus-kasus transmigran dengan penduduk asli tak perlu ada.
Namun, tanah publik tidak bisa ”dikontrakkan” kepada individu (swasta) untuk dikuras isinya. Hal ini karena sumber daya alam berjumlah besar seperti hutan atau tambang adalah milik publik. Karena sistem HPH atau konsesi tambang perlu ditinjau ulang. Mestinya investor hanya dibayar sesuai biaya yang telah dikeluarkannya. Atau negara sendiri yang melakukan investasi. Ada pun hasil alam itu selanjutnya dikelola oleh negara untuk dikembalikan kepada rakyat secara langsung atau dalam bentuk fasilitas umum yang murah atau bahkan gratis, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, keamanan, dan keadilan.
Tidak hanya warga di sekitar lokasi sumber alam saja yang diuntungkan. Ini berbeda dengan konsep federalisme atau otonomi daerah yang menuai kritik kebablasan. Dalam banyak hal Islam mengajarkan administrasi pemerintahan yang terdesentralisasi, namun kebijakannya tetap harus terintegrasi (bukan sektoral). Bila sumber alam di suatu daerah lebih besar dari yang dibutuhkannya, maka pertama-tama kebutuhan asasi seluruh penduduk per individu di lokasi sumber alam itu harus dipenuhi dulu.
Bila masih lebih, maka harus dicari penduduk di wilayah lain yang belum tercukupi kebutuhan asasinya. Baru setelah setelah tak ada lagi penduduk negara kesatuan ini yang telantar atau kelaparan, sisa hasil sumber alam itu dipakai untuk memenuhi kebutuhan pelengkap, dan ini bisa saja dimulai dari penduduk terdekat dengan lokasi sumber alam.
Sistem kepemilikan seperti ini bisa mencegah eksploitasi sumber alam secara besar-besaran, sehingga kelestarian lingkungan akan lebih terjaga.
Teknologi
Kepemilikan tanah bisa dipertegas dengan teknis perbatasan. Karena ini menyangkut teknologi, maka manusia diberi kebebasan menentukan teknologi yang paling optimal, sampai penggunaan peta, citra satelit, GPS, GIS beserta ilmu-ilmu terkaitnya, seperti toponimi atau geostatistik. Di sini yang penting sebenarnya persoalan kesepakatan batas.
Namun untuk perbatasan luar negeri, Islam tidak mengenal batas abadi. Batas luar negara Islam adalah batas jihad karena Allah memerintahkan menjadikan Islam rahmat seluruh alam, yaitu dengan diterapkannya syariat Islam. Rezim-rezim tiran yang menghalangi cahaya Islam ini bila perlu dihilangkan dengan jihad.
Khalifah Umar bin Khattab pernah memerintahkan untuk mendata penduduk di seluruh wilayahnya. Termasuk yang didata adalah tanah-tanah mereka, Muslim maupun ahlul dhimmah. Untuk pekerjaan ini diperlukan sejumlah teknologi. Aljabar, astronomi, dan trigonometri dalam Islam berkembang antara lain demi kebutuhan praktis ini. Bahkan pemetaan selalu digunakan untuk optimasi aktivitas dakwah dan jihad.
Sistem administrasi pertanahan terpadu akan memudahkan negara memperhitungkan pemasukan zakat untuk komoditas pertanian tertentu, kharaj (semisal pajak bumi bangunan) dari tanah-tanah kharajiyah dan juga lahan tidur atau tanah mati yang bisa diberdayakan. Pemerintah juga bisa membuat perencanaan ruang yang lebih rapi. Kota-kota tua peninggalan masa khilafah (seperti Cordoba) dikenal rapi. Kota dari abad 8 M ini bahkan sudah memiliki drainase yang baik. Dan ini hanya bisa dilakukan bila ada sistem pertanahan yang baik beserta teknologi pendukungnya.
Sosialisasi
Sosialisasi pertanahan syariah bisa dimulai pada level yang sangat sederhana seperti permainan ”monopoli” untuk anak-anak. Pada permainan tradisional, anak-anak belajar untuk ”menjadi kaya” dengan membeli tanah, membangun hotel, atau memborong perusahaan listrik. Nah, Islamisasi permainan itu ke sistem syariah — boleh saja kita namakan ”Muamalah Game” — bisa memperkenalkan ide-ide seperti pemberian tanah oleh negara, penyitaan lahan tidur yang tidak digarap lebih dari tiga tahun, wakaf, sampai kompensasi atas ditemukannya sumber daya alam yang besar pada tanah milik seseorang.
Insya Allah dengan demikian sistem pertanahan syari’ah bisa segera menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Peneliti Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
Publikasi Republika Online, 26 juli 2002
Tags: pertanahan sesuai syariah, Sistem Pertanahan, sistem Pertanahan indonesia
Leave a Reply