Tulisan ini pernah saya tulis untuk sebuah koran guna “menyambut” keluarnya novel serial “Harry Potter” jilid 7. Sayang koran yang bersangkutan tidak menanggapinya. Novel Rowling ini mengajari kita bahwa tidak ada yang “instan” di dunia ini, sekalipun di dunia sihir ….
Dr. Fahmi Amhar
(pecinta spiritualitas, sains dan sastra).
Bicara alam ghaib selalu menarik, karena ini menyangkut “pengalaman istimewa” seseorang. Beragam acara televisi dalam topik ini selalu ramai seperti “Dunia Lain”, “Misteri”, “Uji Nyali” sampai ke cerita anak-anak seperti sinetron “Bidadari”. Demikian juga seminar-seminar. Pengalaman menunjukkan bahwa seminar ilmiah, agama atau politik, tidak akan pernah seramai seminar tentang jin.
Konyolnya, orang mencoba menyelami dunia ghaib ini karena terdorong motivasi “instanisme”. Rakyat kita yang lemah, bodoh dan miskin, sudah lama ingin terlepas dari kesulitannya itu secara cepat. Dan mereka percaya, pertolongan ghaib adalah cara yang paling masuk akal untuk itu. Mereka percaya, bahwa dengan suatu ritual tertentu (yang tidak terlalu berat), suatu kekuatan yang tak kelihatan akan membantu mereka manakala kesulitan menghadang. Dan semua yang tak kelihatan, dan kemudian tak bisa dijelaskan itu mereka sebut alam ghaib.
Persoalan alam ghaib akan sangat dekat dengan ilmu sihir. Ilmu sihir sering didefinisikan dengan kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan yang tidak masuk akal. Ragam pekerjaan ini sangat luas, mulai dari melihat menembus ruang atau waktu, memindahkan benda-benda secara ghaib – termasuk mengirim benda-benda tertentu (misalnya paku) ke dalam atau keluar tubuh, menimbulkan perasaan tertentu pada seseorang (sedih, marah, benci, sayang, tergila-gila), sampai dengan membaca atau mengendalikan pikiran orang lain. Maka acara-acara sulap (David Copperfield, Valentino) maupun sihir cukup laris menjadi tontonan, baik life di circus maupun di TV (Dedy Cobuzier, Romi Rafael, …).
Di abad pertengahan, orang menganggap semua fenomena yang belum bisa dipahami adalah bernuansa ghaib atau karena pengaruh sihir. Maka yang dituduh sebagai penyihir tidak cuma praktisi sihir yang sesungguhnya, namun juga sebagian ahli kimia, fisika atau kedokteran.
Ahli kimia, dengan kemampuannya mengubah berbagai jenis zat yang memiliki sifat-sifat yang sama sekali berbeda, didaulat untuk mencari “batu bertuah” – yang akan menjadi semacam katalis untuk merubah besi menjadi emas. Dan sungguh ada masa ketika ribuan orang berburu batu bertuah ini – dan mereka semua gagal.
Demikian juga dengan ahli fisika. Penemuan-penemuan di bidang optika, magnet, dan listrik menimbulkan ketakjuban yang luar biasa pada sebagian orang, atau juga ketakutan dan kebencian pada sebagian yang lain. Pihak-pihak yang takut ini pernah menuduh Galileo Galilei mengerjakan sihir, karena menunjukkan lewat teleskopnya bulan-bulan planet Jupiter.
Para dokter juga pernah menghadapi kasus di mana orang sakit dikira karena pengaruh mahluk ghaib, sehingga bila dokter itu menyembuhkan (mungkin setelah memberi anti-biotik untuk membunuh jasad renik / bakteri), maka mereka dipandang sebagai penyihir (yang baik).
Hal yang sama terjadi pada para Nabi. Seorang Nabi yang membawa mukjizat yang jelas, hampir selalu dituduh melakukan sihir (yang buruk).
Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Rabb mereka”. Orang-orang kafir itu berkata: “Sesungguhnya orang ini (Muhammad s.a.w.) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata”. (Qs. 10:2)
Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus-menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata: “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang-orang yang kena sihir”. (Qs. 15:14-15)
Kini ketika ilmu pengetahuan semakin maju, semakin sedikit orang percaya pada alam ghaib atau sihir. Secara alamiah, kedua hal ini hanya tinggal dipercaya para penganut “instanisme” – atau oleh orang-orang yang memang sedang mencari hiburan – artinya cerita alam ghaib atau sihir hanya dicari untuk menghibur, bukan untuk menyelesaikan suatu masalah.
Pengertian ghaib yang syar’i
Dalam al-Qur’an, istilah ghaib selalu ditujukan kepada sesuatu yang tidak cuma tak kelihatan, namun juga tak mungkin didekati dengan cara apapun – kecuali sekedar informasi Ilahiyah.
Kalau sekedar tak kelihatan, maka gelombang radio atau virus juga tidak kelihatan. Apakah ini ghaib? Namun peristiwa penciptaan Adam, hari kiamat, surga – neraka atau malaikat, jelas merupakan hal-hal ghaib yang wajib diimani. Dengan cara apapun, mustahil manusia bisa menyelidiki mereka secara empiris.
Lalu bagaimana dengan jin? Sangat menarik bahwa Qur’an justru menyebut bahwa jin sendiri – yang tak kelihatan dan sering kita sebut mahluk ghaib – ternyata tak mengetahui yang ghaib.
Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan. (Qs. 34:14)
Dengan demikian, rupanya penyebutan kita kepada jin dengan “mahluk ghaib” harusnya direvisi.
Mungkin demikian juga dengan ilmu sihir. Tentang sebagian dunia ilmu kimia atau fisika yang pernah dianggap bagian dari sihir baiklah kita abaikan. Maka ternyata akan ditemukan beberapa hal yang menarik dari apa yang selama ini dianggap orang ilmu sihir.
Sebagian sihir itu sekedar fatamorgana.
Ahli-ahli sihir berkata: “Hai Musa, kamulah yang akan melempar lebih dahulu, ataukah kami yang akan melemparkan”. (Qs. 7:115)
Musa menjawab: “Lemparkanlah (lebih dahulu)!”. Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Qs. 7:116)
Sihir tipuan mata ini, meski tidak membuat atau merubah sesuatu yang sifatnya fisis, tapi bila disalahgunakan sudah bisa sangat berbahaya, karena seorang lelaki bisa mengelabuhi mata seorang wanita asing, seakan-akan dia suaminya, sehingga bisa tidur bersama wanita itu; atau menipu mata para karyawan suatu kantor, seakan-akan dia adalah atasan mereka, sehingga bisa leluasa berbuat sesuatu di kantor itu.
Sebagian sihir adalah pekerjaan jin
Fakta, sebagian praktisi sihir melakukan aktivitasnya dengan melakukan ritual (seperti membakar dupa, bersesaji atau meniup-niup guna memantrai sesuatu) untuk memanggil mahluk halus.
Aku berlindung kepada Tuhan Penguasa Shubuh … dari kejahatan-kejahatan tukang-tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, (Qs. 113:1, 4)
Setelah dimantrai, mahluk halus itulah yang kemudian diminta menjalankan suatu tugas, seperti memindah barang, masuk ke dalam suatu pusaka, atau bahkan masuk ke dalam tubuh seseorang, sehingga orang itu –misalnya– menjadi kebal terhadap senjata.
Allah mengingatkan praktek semacam ini akan sangat dekat kepada kemusyrikan, dalam ayatnya:
Dan bahwasannya ada beberapa laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Qs. 72:6)
Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara Jin. Dan sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka), (Qs. 37:158)
Malaikat-malaikat itu menjawab: “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (Qs. 34:41)
Ayat terakhir ini juga sekaligus menunjukkan bahwa jin –meski tak tampak– bukanlah hal ghaib sesungguhnya yang wajib diimani. Namun kita meyakini keberadaan mereka karena kita mengimani Qur’an yang telah mengabarkan eksistensi jin itu.
Dedy Cobuzier pernah mengatakan bahwa sedikitnya ada tiga jenis magician (“penyihir”).
Pertama adalah black-magician, yaitu penyihir yang memakai jasa mahluk halus. Inilah yang dilakukan tukang tenung atau praktisi Vodoo.
Kedua adalah ilusionist, yang mengandalkan suatu trick yang cukup cepat dan canggih sehingga menipu mata. Inilah yang dilakukan pesulap dunia David Copperfield. Tak heran setiap show di manapun, David selalu membawa perlengkapan hingga 30 ton. Namun pesulap lain seperti Valentino dalam suatu serial TV telah menunjukkan sebagian rahasia trick Copperfiled, entah itu membuat seekor gajah “hilang” atau tidak cedera sedikitpun meski tubuh “dipotong-potong”.
Ketiga adalah mentalist, yaitu kemahiran penggunaan kekuatan mental. Dengan suatu latihan konsentrasi, kekuatan mental manusia mampu melakukan berbagai hal yang luar biasa, seperti membaca pikiran orang, mempengaruhi pikiran orang (hipnotis), berkomunikasi dengan gelombang pikiran (telepati), bahkan sampai menggerakkan atau memindahkan benda tanpa menyentuhnya (telekinesis). Inilah antara lain yang dilakukan Dedy Cobuzier atau para ahli hipnotis. Juga barangkali para penyihir yang dikalahkan Nabi Musa.
Di sini kita tahu bahwa “sihir” type black-magic sudah pasti keharamannya karena mengandung kemusyrikan. “Sihir” ilusi hanya permainan untuk tujuan menghibur, yang barangkali hukumnya mubah. Sedang “sihir” mental tergantung kepada untuk apa itu digunakan. Hipnotis sebagai ganti obat bius dalam operasi medis, barangkali halal digunakan. Sedang telepati atau telekinesis kalau dipakai jihad barangkali juga mubah.
Kisah nabi Sulaiman barangkali adalah kisah paling menakjubkan yang didambakan oleh setiap pecinta instanisme. Bagaimana tidak, Sulaiman adalah Nabi yang diberi Allah kerajaan yang kaya raya, serta berbagai “kemampuan gaib” seperti bicara dengan binatang atau mengendarai angin.
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”. (Qs. 27:16)
Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan pula dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. … (Qs. 34:12)
Apakah kemampuan Nabi Sulaiman ini mukjizat – yang artinya hanya bukti kenabian beliau, ataukah itu sesuatu yang bisa dipelajari manusia lain? Bagaimana dengan kalimat “Allah telah alirkan carian tembaga baginya” – yang maknanya Nabi Sulaimanlah orang pertama yang menguasai teknik pengolahan tembaga. Sama seperti Daud dengan teknik baju besi.
Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untukmu, guna memeliharamu dalam peperangan; Maka hendaklah kamu bersyukur. (Qs. 21:80)
Dugaan bahwa ilmu bicara dengan binatang atau mengendarai angin (entah bagaimana caranya) ini adalah “sains yang telah hilang” – bukan mukjizat dan bukan sihir, dikuatkan ayat lain tentang kemampuan seorang manusia biasa di masa itu.
Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antaramu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”. (Qs. 27:38)
Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya aku benar-benar kuat membawanya lagi dapat dipercaya”. (Qs. 27:39)
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Rabb-ku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau ingkar (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (Qs. 27:40)
Ayat ini menunjukan dua hal: teknik pemindahan seketika menembus ruang (teleportasi) ini dikerjakan manusia biasa – berarti bukan mukjizat, dan juga tidak atas pertolongan jin. Jadi ilmu ajaib ini memang ada! Apakah dia pantas disebut sihir?
Allah membantah spekulasi itu:
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Qs. 2:102)
Dari ayat ini tampak bahwa asal muasalnya, ilmu-ilmu ajaib ini bersifat netral. Untuk melakukannya, baik manusia maupun jin harus mempelajarinya dengan susah payah. Diduga bahwa pada dasarnya, keduanya adalah olah mental untuk melatih konsentrasi. Dan jin, meski tak memiliki raga, jelas memiliki mental (ruh), dan dengan latihan itu akan mampu melakukan berbagai hal. Manusiapun juga, bahkan bisa lebih baik dari jin. Itulah mengapa seorang manusia di zaman Sulaiman mampu mengalahkan jin ifrit yang paling cerdik dan kuat. Dan itulah juga, mengapa seorang manusia yang terlatih mampu mengusir jin – lepas dari soal apakah dia menggunakan Qur’an atau tidak.
Hanya, manusia yang malas, akan mengambil jalan pintas. Daripada susah-susah latihan konsentrasi, dia minta tolong saja sama jin yang sudah ahli, tentunya dengan syarat-syarat yang diminta jin. Dan inilah salah satu pangkal kekufuran.
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (Qs. 6:112)
Jin itu sendiri
Jin diciptakan sebelum manusia. Karakteristik fisik dan dimensi alam mereka berbeda dengan manusia. Karena itu, syari’at mereka juga berbeda. Maka tak heran meski ajaran tauhid juga tertuju kepada jin, namun Nabi tidak pernah mengajak jin untuk membantu jihadnya.
Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. (Qs. 15:27)
Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya: sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur’an), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan, (Qs. 72:1)
Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”. (Qs. 55:33)
Karena itu sulit juga diterima mu’amalah dengan jin, apakah itu transaksi yang melibatkan jin (jual beli jin) ataukah pernikahan dengan jin. Sebagian ulama secara teoretis hanya menganggap mubah pernikahan lelaki manusia dengan wanita jin, dan anaknya pasti manusia. Namun mereka menganggap haram bila sebaliknya, atau menganggap bila lelakinya jin, maka anaknya pasti jin – dan tidak tampak. Hal ini karena, kalau anaknya bisa manusia, maka akan muncul pengakuan seorang wanita yang punya anak, meski diketahui tidak bersuami, bahwa dia bersuamikan jin. Dan ini harus dicegah secara syar’i. Adapun kalau lelakinya manusia, maka anak jin yang manusia itu toh harus lahir dari ibu manusia. Artinya, laki-laki yang seperti ini harus sudah punya istri yang manusia. Dan istri jinnya, ketika akan bersetubuh dengan suami manusianya itu, harus merasuk dulu ke tubuh istrinya yang manusia. Rumit ya … Apakah teori ini ditemui dalam kenyataannya, wallahu a’lam.
Namun fenomena jin merasuk ke tubuh manusia bisa ditemui di banyak tempat. Orang yang kerasukan akan berbicara dengan suara atau bahkan bahasa yang sangat asing, yang mustahil dia pernah menyadarinya. Atau bisa juga dia menjadi sangat kuat, kebal, mampu melompat sangat jauh atau sejenisnya. Namun tanpa badan kasar begini, jin hanya mampu mengerahkan kekuatan mentalnya – inipun kalau terlatih.
Penelitian Parapsikologi
Di dunia ilmiah, yang mengandalkan observasi atas suatu fenomena yang bisa diukur dan karena itu harus bisa diulangi, memasukkan masalah alam gaib dan ilmu sihir ini ke dalam bahasan Parapsikologi. Para artinya “di atas”, artinya di atas batas capaian ilmu itu. Karena fenomena ini lebih banyak berkaitan dengan mental atau jiwa manusia, maka jadilah dia masuk para-psikologi.
Di Austria dan negara maju lainnya, riset parapsikologi tak cuma dilakukan psikolog. Organisasi parapsikologi juga bukan kumpulan para dukun. Justru anggotanya yang terbanyak datang dari para saintis dan fisikawan.
Mereka mengumpulkan fenomena-fenomena ajaib dari berbagai penjuru, dan mencoba mengulangi fenomena itu di laboratorium yang diawasi ketat. Faktanya fenomena seperti telepati (komunikasi pikiran), telekinesis (memindahkan benda tanpa menyentuh), clairvoyance (melihat menembus ruang), hipnotis (mengendalikan pikiran), levitasi (terbang melayang), teleportasi (memindahkan benda menembus ruang), transfigurasi (merubah bentuk) dll, itu memang ada.
Tentu saja, sains tidak puas dengan bukti adanya fenomena. Sains juga ingin mencoba membentuk teori untuk menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi berdasarkan apa yang telah diketahui sebelumnya dengan pasti. Saat ini teori yang berkembang selalu berkaitan dengan dua asumsi: adanya gelombang mental (dengan partikel hipotetis “psychotron”) serta adanya ruang dimensi ke-empat, tempat segala masalah lompatan ruang dan waktu bisa dijelaskan. Tentang gelombang mental: sebagian bisa diukur dengan alat Electro-Ensephalograph (EEG). Sedang keberadaan dimensi di atas dimensi-3, dalam fisika quantum yang membahas partikel nuklir sudah bisa diukur keberadaannya, namun untuk ukuran makro belum bisa dideteksi. Jadi riset parapsikologi belum mendapatkan seluruh penjelasan yang memuaskan, selain bahwa ada orang-orang yang memang berbakat dalam parapsikologi. Artinya, meski nantinya teori itu terbangun, belum tentu semua orang akan mampu menerapkannya, kecuali dia berbakat. Jadinya, tampaknya ilmu ini lebih bersifat seni …
Memproporsionalkan Dunia Fiksi Gaib.
Dunia fiksi masa lalu melukiskan sihir sebagai ilmu serba bisa. Kisah 1001 malam penuh “Sim Sala Bim” atau “Abrakadabra”, dan seketika kesulitan berubah menjadi kesenangan. Mungkin inilah yang membuat orang menjadi penganut instanisme.
Namun di zaman modern ini, penulis-penulis fiksi mulai lebih proporsional. Novel bestseller “Harry Potter” menggambarkan dunia penyihir sebagai komunitas tersendiri yang menutupi eksistensinya dari pandangan “muggle” (non penyihir). Di “Kementrian Sihir” sampai perlu ada departemen “pembalikkan sihir tak sengaja pada muggle”. Dan tentu saja, untuk bisa menyihir, tak cukup sekedar membaca mantra dan mengayunkan tongkat sihir, namun harus belajar bertahun-tahun yang penuh lika-liku, dan inilah daya tarik novel ini.
Demikian juga di salah satu komik Doraemon, ketika Nobita yang pemalas ingin bisa menyelesaikan PR-nya dengan sihir, lalu menelepon Kotak Andaikan, sehingga seluruh dunia berubah jadi dunia sihir. Tetapi Nobita tetap saja murid terbodoh – karena dia belum belajar sihir sejak kelas 1 SD! Dan lucunya lagi, di dunia sihir juga banyak masalah, misalnya dengan gempa bumi yang makin sering – karena mendekatnya planet setan.
Kesimpulannya, baik alam gaib, ilmu sihir ataupun parapsikologi memang harus didudukkan dan dihadapi secara proporsional. Dan yang jelas, jangan berharap semua masalah bisa diselesaikan dengan instan!
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Bahwa beras kini mahal, tidak ada orang yang membantah. Apalagi kini menjelang lebaran. Tahun 1997, seorang PNS gol III-A berpenghasilan 350.000 Rupiah. Kecil, tapi ini cukup untuk membeli 233 kg beras kelas sedang yang hanya Rp. 1500/kg. Kini, beras yang sama Rp. 4800/kg, sehingga meski gaji PNS III-A sudah Rp. 1 juta, yang didapat hanya 208 kg. Pemerintah mengklaim bahwa stock beras nasional di Bulog merosot, sehingga perlu impor. Namun harga beras di pasaran hanya turun sebentar.
Bicara masalah beras adalah bicara teknologi pertanian pangan. Di sini dikenal tiga fase pekerjaan, yaitu (1) produksi, (2) pascapanen dan (3) distribusi.
Berapa produksi beras kita? Mungkin hanya Allah yang tahu pastinya. Di Indonesia sedikitnya ada tiga angka yang berbeda karena berasal dari metode yang berbeda.
Badan Pusat Statistik menggunakan data citra satelit untuk menghitung luasan sawah yang aktual. Tentu saja tidak mudah karena ada sawah yang baru tanam (masih berair), sawah yang sedang menghijau, sawah yang sudah menguning, dan sawah yang sudah dipanen. Selain itu di citra juga ada awan yang mengganggu. BPS juga melakukan survei di berbagai daerah untuk mencari indeks panen (kg gabah kering per hektar). Dari luas dan indeks panen dapat dihitung produksi gabah kering nasional. Dari angka itu menjadi beras tinggal diasumsikan rendemen (rugi-rugi pada pasca panen) sekitar 20% maka didapatkan angka produksi beras nasional 2006 sekitar 54,7 juta ton per tahun dari sekitar 11,8 juta hektar sawah.
Sementara itu Pusat Studi Ekonomi Pertanian Badan Litbang Departemen Pertanian mengandalkan laporan dari bawah tentang luasan dan indeks panen. Mereka memberi angka sekitar 67 juta ton beras per tahun.
Sedang angka Bulog jelas jauh lebih kecil, karena tidak semua hasil panen beras dibeli Bulog.
Kalau diambil angka BPS saja, kemudian dihitung dengan jumlah penduduk 2007 (sekitar 225 juta orang), maka didapatkan beras per kapita 243 kg/orang/tahun, suatu jumlah yang mencukupi – karena 1 kg beras dapat untuk makan enam kali atau 2 hari, alias kebutuhan per orang per tahun hanya sekitar 185 kg.
Secara internasional, produktivitas beras kita ada pada nomor 3 (sekitar 4,6 ton/ha) setelah Jepang (6,5 ton/ha) dan China (6,1 ton/ha). Tanah kita memang subur, air melimpah (kecuali di beberapa tempat di musim kemarau), jadi meski masih “biasa-biasa saja”, produktivitas beras kita sudah lebih tinggi dari Vietnam (4,2 ton/ha) atau Thailand (2,5 ton/ha). Kalau pertanian kita secanggih Jepang, misal dengan “precission farming” (pertanian presisi) sehingga jarak tanam, takaran air, pupuk, anti hama – semuanya optimal, mungkin hasilnya lebih besar dari Jepang.
Jadi di produksi sebenarnya tidak masalah. Pada pasca panen terdapat rugi-rugi, misalnya saat pemanenan (9,5%), perontokan (4,8%), pengangkutan (0,2%), pengeringan (2,2%), penyimpanan (1,5%) atau rata-rata 20%. Masih bisa diterima. Namun bagaimana harga beras tetap tinggi?
Kuncinya ternyata di mekanisme distribusi. Selama ini terdapat perbedaan harga di level petani dengan di pasar hingga mencapai Rp. 2500 per kg. Ini artinya keuntungan di level distributor antara 200% – 300%. Petani ditekan harganya karena mereka tidak punya gudang atau teknologi pascapanen untuk menjaga agar beras tahan lama. Kadang-kadang petani bahkan terpaksa menjual padinya sebelum panen (ijon), demi menutup utang-utang mereka untuk benih, pupuk, anti hama atau kebutuhan keluarga mereka.
Sementara itu para pedagang bermodal besar mampu menyediakan gudang, jaringan angkutan beras dan jaringan informasi harga di seluruh Indonesia – bahkan dunia.
Beras adalah komoditas yang relatif inelastis. Di satu sisi tingginya permintaan tidak bisa segera diantisipasi dengan produksi (karena menanam padi perlu minimal tiga bulan!). Di sisi lain, selama pola makan bangsa ini masih didominasi beras, maka bisnis beras hampir tak mungkin rugi. Dengan gudang modern yang memiliki pengatur udara, beras dapat disimpan hingga bertahun-tahun, dan dilepas hanya ketika harga tinggi. Celakanya adalah ketika hal seperti ini justru dilakukan dengan semata-mata pertimbangan bisnis.
Sejak Bulog berubah dari lembaga pelayanan masyarakat (perusahaan umum penyangga tata niaga bahan pokok) menjadi mirip BUMN yang mencari untung, maka distribusi beras benar-benar diatur dengan prinsip kapitalisme.
Jadi jelas bahwa kuncinya sebenarnya bukan pada teknologi pertanian sich, tetapi lebih pada sistem distribusinya.
Walaupun demikian teknologi pertanian tetap penting untuk dikuasai. Pada komoditas selain beras seperti terigu, kedelai dan susu, produksi kita memang sangat rendah. Adalah ironis bahwa “makanan orang miskin” seperti tahu-tempe, bahan baku kedelainya ternyata banyak diimpor!
Indonesia sebenarnya memiliki keanekaragaman hayati yang jauh lebih tinggi dari negara manapun di dunia. Namun anehnya, kita lebih mengenal keunggulan jambu Bangkok atau semangka Bangkok daripada produk lokal. Di Indonesia ada banyak fakultas pertanian dan balai litbang pertanian, namun produknya juga jarang terdengar. Alumni suatu institut pertanian konon bahkan lebih banyak yang bekerja di bank atau jadi wartawan.
Kebutuhan alat-alat mekanisasi pertanian (seperti traktor) juga besar, namun jarang terdengar investor lokal masuk ke bisnis ini. Apalagi untuk teknologi pasca panen.
Agar produk pangan kita dapat diekspor, diperlukan sistem pengolahan yang rapi, hampir mendekati steril, sehingga produk seperti tahu atau tempe lebih tahan berhari-hari. Di sinilah inovasi berperan. Di sinilah dunia pertanian mesti bekerjasama dengan pakar mesin, elektronika atau kimia, bukan sebaliknya melecehkan mereka yang menggeluti teknologi canggih itu seakan lepas dari akar Indonesia.
Dr. Ir. Adhi Sudadi Soembagyo, MSME, seorang pakar robotik lulusan Belgia mengisahkan bahwa ketika dia belajar robotik, banyak orang melecehkan bahwa ilmunya tak akan terpakai di Indonesia karena yang dibutuhkan adalah teknologi tepat guna dan padat karya. Belakangan, justru robot yang pertama kali dibangun sepulangnya dari Belgia adalah mesin pembuat tahu. Dengan robot ini, pekerja manusia cukup memasukkan kedelai, sedang selebihnya dikerjakan secara otomatis dan hygienis. Hasilnya, tahu dalam kemasan yang tahan lama, siap untuk ekspor.
Sayangnya, saat ini para pionir teknologi pertanian sering merasa kurang didengar – baik oleh kolega sendiri apalagi oleh para pengguna umum. Sebenarnya kuncinya kembali lagi kepada (1) motivasi individual – baik di level produsen maupun konsumen; (2) kultur pangan yang ada di masyarakat; (3) peran negara yang seharusnya pro-aktif menghilangkan kelaparan di negeri yang dilindunginya.
(dimuat di Suara Islam, minggu I-II Oktober 2007)
Makalah untuk Roundtable Discussion tentang Konsep Hilal
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Yogyakarta 23-24 September 2007
oleh
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional
Secara konseptual, baik ru’yatul hilal (praktis) mapun hisab (teoretis) adalah dua sisi mata uang yang sama – keduanya tidak akan bertentangan bila sama-sama dilakukan dengan benar. Oleh karena itu saya melihat perdebatan hisab vs ru’yat itu tidak perlu.
Konsep ru’yatul hilal memiliki sandaran syar’i yang kokoh. Perintahnya adalah ”telah terlihat hilal”, bukan ”telah masuk waktunya”. Inilah perbedaan pokok perintah yang terkait dengan puasa, dan perintah yang terkait dengan sholat.
Namun perbedaan yang terjadi selama ini sebenarnya bukan hanya hisab vs ru’yat, tetapi juga hisab vs hisab (buktinya untuk 1 Syawal nanti Muhammadiyah berbeda dengan Persis), ru’yat vs ru’yat (buktinya di Kab. Kuningan ada yang memulai puasa hari Rabu 12 September 2007, konon karena ru’yat mereka berhasil melihat hilal), dan bahkan ru’yat matla terbatas vs ru’yat global (Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab lainnya).
Pada tulisan ini saya tidak ingin fokus ke soal fiqihnya an sich, meskipun bahan-bahan pada saya cukup banyak. Saya akan membahas sisi fakta saja. Biasanya para fuqoha dalam memutus perkara fikih harus paham betul faktanya dulu, baru mencarikan dalil syar’i yang tepat untuk fakta itu.
Faktor Kunci Keberhasilan Ru’yatul Hilal
Ru’yatul Hilal, agar sukses, harus memenuhi tiga kriteria – saya menyebutnya kriteria ABC:
A – Astronomi, yakni bulan telah (1) ijtima’; (2) wujud / di atas ufuk; dan (3) tingginya telah mencapai minimal yang terbukti seara ilmiah. Syarat A ini semua bisa dihitung oleh hisab falakiyah (astronomi). Dalam kritera bulan telah ijtima’ (A-1) dan wujud (A-2), hitungan para astronom pada umumnya tidak berbeda. Namun untuk tinggi minimal (A-3), yang ada selama ini (misal 2 derajat) adalah angka hisab pada saat ada kesaksian yang diterima, atau kadang-kadang hanya taksiran kasar, bukan diukur dengan teodolit. Kesaksian ini secara hukum (syar’i) sah, tetapi secara ilmiah belum memenuhi obyektivitas. Fakta hilal yang terrekam foto setahu saya belum pernah terjadi pada ketinggian 2 derajat apalagi kurang atau umur bulan kurang dari 20 jam (www.icoproject.org). Kalau syarat A-3 ini dipenuhi, kemungkinan perbedaan hisab (teoretis) dengan ru’yat (praktis) akan sangat minimum.
B – Baiknya pengamat dan lingkungan pengamatan. Pengamat harus sehat, tidak memiliki gangguan penglihatan, serta terlatih melihat hilal; sedang lingkungan pengamatan (ke ufuk Barat)) tidak boleh terganggu oleh pepohonan, gedung-gedung, gunung ataupun sumber cahaya lain. Syarat B ini tidak dapat dihitung tetapi dapat dipersiapkan. Termasuk persiapan yang bagus adalah pengamatan pada pos observasi bulan yang didesain khusus seperti di Pelabuhan Ratu (di atas bukit dan menghadap ke laut lepas) dan penggunaan alat-alat optis-elektronis, misalnya teropong yang dilengkapi kamera digital berresolusi tinggi. Foto digital yang didapat bisa diolah dengan pengolah citra untuk memisahkan cahaya bulan dari cahaya latar yang pada umumnya jauh lebih cerah dan panas (dari matahari). Namun saya kira ada juga orang yang menolak penggunaan alat seperti ini dengan alasan ru’yatul hilal adalah ibadah yang tauqifi (harus dilaksanakan persis seperti di zaman Nabi). Orang seperti ini juga mungkin akan menolak penggunaan loud speaker pada saat khutbah Jum’at.
C – Cuaca. Seberapapun tinggi dan umur hilal, kalau cuaca mendung, maka hilal tidak terlihat. Cuaca ini tidak dapat diperhitungkan maupun dipersiapkan. Kalau ini terjadi ya sesuai hadits nabi: ”Genapkan 30 hari!” – kecuali kalau kemudian ternyata di daerah lain hilal berhasil diru’yat.
Adanya syarat ABC ini membuat kapan 1 Ramadhan / 1 Syawal / 9 Zulhijjah tidak bisa dipastikan jauh-jauh hari seperti halnya hari peribadatan agama lain. Namun kita harus yakini bahwa tentu ada wisdom di balik itu dari Allah swt.
Kalender Hisab bisa berbeda-beda
Sementara itu Hisab memang diperlukan untuk, bahkan oleh mereka yang memegang pendapat bahwa Ru’yat wajib dan tak tergantikan oleh Hisab. Kenapa? Ru’yat hanya akan dilakukan pada tanggal 29 bulan sebelumnya!
Ru’yat Ramadhan hanya akan dilakukan tanggal 29 Sya’ban. Kita tak perlu berkilah bahwa seharusnya awal Sya’bannyapun harus diru’yat …. Nanti tidak akan ada habisnya … Yang jelas, kapan tanggal 29 ini, sudah tertera di kalender. Dan ini hasil hisab!
Namun rupanya, kalender hasil hisab ini bisa berbeda-beda oleh 3 faktor:
Usulan untuk mempersatukan
Oleh karena itu menurut saya, untuk mempersatukan masalah perbedaan awal dan akhir Ramadhan, yang harus dilakukan adalah
Demikianlah, semoga sumbang saran ini dapat membawa ke arah persatuan dan kesatuan ummat, sehingga ummat dapat menikmati indahnya kebersamaan memulai dan mengakhiri Ramadhan.
Penulis menyelesaikan studi geodesi dan remote sensing pada Vienna University of Technology Austria (PhD tahun 1997). Menekuni masalah hilal sejak 1989, ikut berkontribusi dalam pembuatan software kalkulasi bulan MAWAAQIT (bersama Dr. Khafid).