Dr. Fahmi Amhar
Alumnus Vienna University
Peneliti Sejarah Islam.
Konferensi Khilafah Internasional (KKI) yang digagas oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus 2007 lalu mulai menuai bola salju. Di harian Media Indonesia 24 Agustus 2007 lalu muncul dua tulisan yang mempersoalkan ide-ide HTI.
M. Hasibullah Satrawi (alumnus al-Azhar Kairo) mempertanyakan prosedur pemerintahan seperti apa yang hendak diciptakan? Satrawi menganggap HTI mengalami kerancuan paradigma, yang di satu sisi ingin menegakkan pemerintahan khilafah (yang menurutnya pada masa awal Islam sarat dengan nilai-nilai demokrasi), tetapi di sisi lain HTI anti demokrasi. Bahkan dia pertanyakan apakah HTI sama atau memang Khawarij baru – suatu hal yang juga dilontarkan oleh kelompok Salafi.
Sedang Zuhairi Misrawi (Direktur Moderate Muslim Society) menggunakan pendekatan hermeneutik. Istilah khalifah dan khilafah dikatakan mengalami perkembangan dan partikularisasi, dari “mandat Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia apapun agamanya” menjadi “justifikasi dan legitimasi suatu klan politik”. Kedaulatan Tuhan atau sistem khilafah menurutnya adalah kalimat mulia tapi maknanya bisa menjadi batil.
Lepas dari soal setuju atau tidak dengan isinya, keberadaan dua tulisan itu dapat bernilai positif, dan justru diharapkan oleh HTI untuk membuka perdebatan ilmiah yang mengandalkan kekuatan logika. Sepanjang pergumulan saya dengan gerakan HT selama lebih kurang 17 tahun, saya melihat bahwa gerakan ini sangat concern dengan adu argumentasi ilmiah, dan bukan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengandalkan logika kekuatan. Justru logika kekuatan ini yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh penguasa negeri ini, yang mencekal dan mendeportasi dua pembicara KKI dari Luar Negeri, serta melarang dan menekan beberapa tokoh Dalam Negeri agar tidak berorasi di forum KKI.
Sebenarnya apa yang dipersoalkan oleh dua penulis di atas, sudah terjawab oleh buku-buku HT sendiri. Dalam buku Ajjihzah daulatih khilafah (Struktur Negara Khilafah) yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir (Internasional) tahun 2005, ditegaskan bahwa sistem khilafah adalah sistem manusia dan bersifat duniawi. Khalifah juga manusia, dan negara Khilafah bukan negara teokrasi.
Meskipun istilah Khalifah dipakai secara umum di dalam Qur’an Surat al-Baqarah ayat 30 (Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”), namun Rasul telah dengan jelas membatasi istilah itu untuk pemerintahan pasca Nabi. Nabi bersabda dalam hadits riwayat Muslim: “Dulu Bani Israel diurus dan dipelihara oleh para nabi. Setiap seorang nabi meninggal, nabi yang menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah, dan mereka banyak”. Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang kau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus”.
Di hadits yang lain Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara, sehingga melarang munculnya kepala negara tandingan. Dalam hadits riwayat Muslim tersebut Nabi secara eksplisit menggunakan istilah khalifah untuk kepala negara kaum muslimin: Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya”.
Tentang mekanisme pemilihan khalifah, apa yang terjadi pada masa khulafaur Rasyidin, dan diamnya mereka melihat mekanisme pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa keempatnya adalah sah sebagai model. Hal ini karena ada sabda Nabi: “Ummatku tidak akan sepakat dalam kemungkaran”. HT menyimpulkan bahwa kesepakatan (ijma’) para sahabat (dan hanya berlaku untuk para sahabat Nabi) adalah sebuah sumber hukum.
Karena itu bagi HT mekanisme itu sangat jelas. Khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar; atau dengan nominasi khalifah sebelumnya seperti Umar; atau dengan suatu komite pemilihan seperti Utsman atau dengan suatu pengambil alihan di saat terjadi vacuum of power seperti Ali. Keempat model ini semuanya absah pada saat yang tepat. Jadi keliru untuk mengatakan bahwa Islam atau sistem khilafah tidak memiliki model suksesi.
Sedang apa yang terjadi di masa dinasti Umayah, Abbasiyah atau Utsmaniyah adalah penyalahgunaan sistem nominasi. Namun bukan metode nominasinya sendiri yang salah. Dalam sistem demokrasi juga ada nominasi. Hampir semua penerus Perdana Menteri pada sistem demokrasi parlementer adalah dinominasikan oleh PM sebelumnya. Toh nominasi ini hanya akan berjalan dengan baik kalau diterima oleh Parlemen dan diperkuat lagi oleh pemilu berikutnya.
Dalam sistem khilafah, nominasi ini baru akan sah ketika ada baiat. Baiat adalah semacam kontrak antara umat (yang terwakili oleh tokoh-tokoh kunci kekuatan umat, yaitu di politik atau militer) yang siap taat dan membela seseorang agar menerapkan syariat Islam. Orang yang menerima baiat itulah yang kemudian menjadi khalifah, atau amirul mukminin, atau sultan atau sebutan lain yang sah.
Sebaiknya kalau kita meneropong suatu sistem pemerintahan, kita jangan hanya terpaku pada sistem suksesinya. Konstitusi negara manapun tidak hanya mengatur suksesi. Di UUD 45 hasil amandemen, soal suksesi hanya ada pada 3 pasal dari 37 pasal. Maka, ketika kita menilai kualitas sebuah negara, jangan pula hanya dilihat suksesinya. Kalau kita mau jujur, Indonesia ini meski sukses melakukan suksesi secara demokratis, tetapi kualitas kehidupan masyarakatnya justru semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita proklamasi.
Sementara, se-despot apapun para khalifah Islam di masa lalu, mereka masih melindungi rakyatnya, mencerdaskannya, menjadikannya sejahtera, dan menorehkan sejarah peradaban emas Islam. Umar bin Abdul Azis dari bani Umayyah berhasil mensejahterakan rakyatnya dalam 2,5 tahun, padahal waktu itu kekuasaanya membentang dari Spanyol hingga Iraq. Khalifah al Rasyid dan al Makmun dari bani Abbasiyah mensponsori aktivitas keilmuan yang luar biasa di masanya. Al Mu’tashim Billah dengan tegas menindak suatu negara boneka Romawi yang serdadunya melakukan pelecehan seksual atas wanita muslimah di negeri itu. Bayangkan dengan apa yang diperbuat Republik Indonesia yang sangat demokratis pemilunya ini pada ribuan perempuan buruh migran yang tidak cuma dilecehkan namun juga disiksa di luar negeri? Al Qanuni dari bani Utsmaniyah berhasil menahan – untuk beberapa abad kemudian – laju imperialisme kekaisaran-kekaisaran Eropa saat itu (Habsburg Austria, Tsar Russia, dll). Andaikata khilafah Utsmani ini tidak pernah ada, barangkali Islam belum berkembang di Indonesia seperti saat ini.
Menganggap sistem khilafah awal sarat dengan nilai-nilai demokrasi justru menunjukkan kebutaan kita terhadap demokrasi. Demokrasi direduksi hanya dalam proses pemilu (demokrasi prosedural). Orang-orang Islam liberal pun sangat paham akan hal ini, sehingga merekapun menentang kalau orang hanya menggunakan demokrasi sebatas prosedural. Padahal dalam demokrasi itu juga ada asas sekulerisme (penetralan kehidupan publik dari acuan agama apapun), asas liberalisme (kebebasan berpikir, berpendapat dan berperilaku sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain) serta asas kapitalisme (pasar bebas dengan modal sebagai panglima). Demokrasi boleh mempersoalkan apa saja (termasuk Islam), namun tidak boleh mempersoalkan ketiga asas pendampingnya. Sementara itu ide khilafah yang diusung HT sebenarnya tidak pernah mempersoalkan demokrasi sebagai prosedur, namun menentang keras tiga asas pendampingnya. Adakah demokrasi tanpa sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme? Negara mana contohnya? Kalau anda yakin jawabannya ada, mungkin anda masih bermimpi!
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Suatu hal yang di negeri ini kita merasa paling terpuruk adalah ketertinggalan teknologi. Kita punya banyak doktor lulusan universitas luar negeri, guru besar, peneliti utama dan juara olympiade sains tingkat dunia, namun teknologi kita hampir semuanya diimpor. Teknologi impor itu mahal dan sering harus dibiayai dengan utang luar negeri. Dan utang itulah yang kini membuat kita jadi makin terjajah.
Kita memang bangsa paling doyan membeli teknologi asing. Sebagai contoh, jenis handphone Nokia tercanggih saja di seluruh dunia selalu mulai dijual dari Indonesia. Sayangnya, teknologi ini tidak bisa dikuasai dengan jalan sekedar membeli atau memilikinya. Buktinya, ketika tak lama kemudian muncul model yang lebih baru lagi, kita mau tak mau harus membelinya lagi. Jarang sekali terdengar cerita kita berhasil membuat produk teknologi lokal yang mampu menandingi produk impor.
Realitasnya teknologi hanya dapat benar-benar dikuasai bila faktor-faktor endogen (dorongan dari dalam) suatu bangsa mencukupi. Upaya menyekolahkan anak bangsa ke luar negeri, atau mendatangkan pakar dari luar negeri dalam proyek-proyek di sini, realitasnya tak banyak menghasilkan.
Karena itulah, kemudian pemerintah mencoba sejumlah insentif untuk meningkatkan faktor-faktor endogen yang akan mendorong para peneliti melakukan riset teknologi. Insentif ini dapat berbentuk dana hibah riset yang diberikan dengan cara kompetitif. Cara inilah yang paling bergengsi dan ”dilelang” ke seluruh lembaga penelitian pemerintah, perguruan tinggi hingga sejumlah LSM yang terkait riset. Bentuk kedua dari insentif adalah dalam bentuk lomba-lomba ilmiah. Sedang cara yang ketiga adalah dalam bentuk pengurangan pajak (tax-deduction), misalnya dari unit R & D perusahaan-perusahaan besar.
Di masa lalu, insentif yang paling terkenal adalah Riset Unggulan Terpadu, di mana bidang risetnya berorientasi pada taksonomi ilmu. Karena itu dulu akan ada sejumlah proposal yang cukup spesifik dan canggih, yang orang perlu berpikir keras untuk membayangkan aplikasinya.
Kini, semua proposal insentif riset harus memilih satu dari enam bidang aplikasi real, yaitu (1) pangan; (2) energi; (3) kesehatan; (4) transportasi; (5) informasi & komunikasi; dan (6) hankam. Bidang aplikasi hankam mencakup juga aplikasi untuk penanggulangan bencana.
Ini berarti bidang ilmu apapun harus diarahkan untuk mendukung enam bidang aplikasi tadi, termasuk ilmu-ilmu sosial atau bahkan ilmu-ilmu agama. Artinya, seorang fisikawan nuklir boleh saja mengusulkan riset, tetapi harus diarahkan menurut aplikasinya misalnya (1) nuklir untuk memuliakan varitas tanaman padi; (2) aspek-aspek dalam pembangkitan energi nuklir; (3) nuklir untuk terapi kanker; (4) masalah pengangkutan bahan bakar nuklir; (5) sistem informasi keselamatan reaktor; dan (6) masalah-masalah nuklir dalam pertahanan.
Sedang ahli geografi dapat meneliti misalnya (1) analisis kesesuaian lahan tanaman pangan; (2) GIS untuk optimasi lokasi pengembangan energi nabati (biofuel) skala besar; (3) mempelajari pola penyebaran flu burung secara spasial; (4) sistem informasi posisi bagi optimasi armada angkutan; (5) analisis spasial untuk optimasi posisi stasiun transceiver; (6) model spasial untuk evakuasi tanggap darurat.
Demikian juga, peneliti ilmu-ilmu sosial (termasuk agama) dapat meneliti misalnya (1) Masalah-masalah kultural dalam diversifikasi pola makanan; (2) Respon masyarakat dan dunia industri atas inisiatif energi pemerintah; (3) Korelasi pelayanan kesehatan dengan indeks kesehatan masyarakat; (4) Dampak makro kehadiran busway pada mobilitas warga Jakarta; (5) Hubungan densitas ponsel pada kualitas SDM; (6) Mengukur kepedulian masyarakat pada bencana.
Pada tahun 2007, dari sekitar 8000-an pejabat fungsional peneliti dan puluhan ribu dosen dan peneliti di perguruan tinggi di seluruh Indonesia, masuk sekitar 5000-an proposal. Dari jumlah yang lumayan ini kemudian akan diseleksi dan nantinya mungkin hanya sekitar 10% yang akan dikabulkan untuk didanai. Secara nominal insentif riset ini memang tak terlalu besar, yakni hanya berkisar 100 – 500 juta Rupiah per judul per tahun. Ini termasuk untuk honor, keperluan pengadaan alat dan bahan, perjalanan dan lain-lain.
Anggaran riset di negeri ini memang masih teramat kecil dibandingkan APBN, apalagi dibandingkan Produk Domestik Bruto yang hanya 0,05 %. Bandingkan dengan Malaysia (0,69%), Singapura (1,89%), atau Jepang (3,12%).
Secara umum perbandingan para peneliti dengan pekerja juga menunjukkan Indonesia sangat rendah. Kita hanya memiliki 5 peneliti per 10.000 pekerja. Bandingkan dengan Malaysia (8), Korea (64) dan Jepang (99). Ini baru dari segi kuantitas. Kualitasnya pun masih payah.
Output
Selama ini program-program insentif riset masih belum menunjukkan output yang maksimal. Output riset baru sebatas publikasi ilmiah saja – ini saja sering hanya publikasi lokal yang hanya diketahui kalangan terbatas. Para peneliti hanya hidup di dunia mereka sendiri. Jarang yang berusaha untuk juga membawa hasil-hasil temuannya agar dipakai masyarakat. Atau mungkin mereka menganggap itu sudah tugas orang atau lembaga lain? Repotnya bila orang atau lembaga yang dimaksud juga merasa tidak percaya diri untuk melakukan fungsi sosialisasi atau diseminasi produk hasil penelitian itu. Atau jangan-jangan hasil penelitian itu sendiri memang belum ”layak”?
Sebagai contoh Balai Besar Teknologi Tepat Guna milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan dari 60 penemuan TTG baru 5 yang dipakai luas di masyarakat (Kompas 19/6). Ada dugaan kuat bahwa ini semua karena ”mental inlander” yang masih menjamur di kalangan pengusaha ditambah hobby para penguasa yang hanya berburu rente (komisi proyek).
Di Indonesia ada ratusan Pusat, Balai Besar, Balai maupun Loka Penelitian berbagai ukuran dan tersebar di seluruh penjuru. Namun gaung mereka kurang terdengar. Meski pemerintah sudah membuat berbagai insentif riset, namun bila visi ilmiah ini tidak merata baik di pelaku penelitian, mahasiswa, pengusaha maupun para pejabat publik, maka sulit diharapkan teknologi kita akan berkembang.
Faktanya yang hidup di masyarakat justru budaya-budaya instan. Orang lebih tergiur menjadi kaya mendadak dengan ikut ajang-ajang untuk menjadi selebriti. Budaya mistik, tahayul dan gaya hidup hedonis justru disebarkan media massa. Dan para pejabat publik yang ”gaptek” tidak malu untuk bicara yang tidak didasari fakta ilmiah.
Walhasil meski ada insentif riset, banyak peneliti yang semi frustrasi, dan lalu lebih sering ”melacurkan diri” sebagai pengamat dan ”pengamen”, bukan sebagai pelaku riset yang menghasilkan karya-karya bermanfaat bagi ummat.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Sejak tahun 1995, tanggal 10 Agustus selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas). Awalnya adalah keberhasilan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN, sekarang PT Dirgantara Indonesia) menerbangkan pesawat N-250, yang diklaim sebagai hasil karya asli anak-anak bangsa. Saat itu memang Prof. Dr.-Ing. Baharuddin Jusuf Habibie sedang di puncak prestasinya sebagai Menteri Riset & Teknologi Republik Indonesia. Dan beliau adalah ahli aeronautika dan pernah menjadi wakil presiden sebuah perusahaan pembuat pesawat terbang di Jerman yaitu Messerschmidt Bolkow Blohm (MBB). Habibie mencoba mendorong kebangkitan teknologi nasional dari aeronautika, bukan sekedar karena dia pakarnya, namun karena (1) dia yakin jika aeronautika yang teknologi canggih bisa dikuasai, mestinya yang lain seperti teknologi mekanisasi pertanian atau otomotif akan lebih mudah lagi; (2) dia percaya kemajuan aeronautika akan menjadi lokomotif yang menarik maju sejumlah teknologi penunjangnya seperti teknologi mesin, kimia, material, elektronika, hingga teknologi informasi. Oleh karena itu, di era 1980-an, Habibie tanpa ragu-ragu setiap tahun mengirim ratusan lulusan SMA terbaik dari seluruh Indonesia untuk belajar teknologi ke berbagai negara maju (AS, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, Belanda, Austria, Australia). Untuk itu dia juga berani utang ke Bank Dunia agar seluruh program ini berjalan. Setiap pelajar yang dikirim ini mendapat beasiswa minimal sejumlah 50.000 US-Dollar hingga menamatkan insinyurnya. Jumlah ini baru untuk biaya hidup (living cost), belum biaya kuliah (tuition fee). Namun dengan pola ikatan dinas, Habibie yakin investasi negara ini tidak akan sia-sia.
Namun sejarah kemudian membuktikan bahwa seluruh rencana itu nyaris kandas. Sejak awal para ekonom mengkritik teori Habibie (”Habibienomics”) sebagai utopia. Kata mereka, yang dibutuhkan bangsa ini adalah teknologi tepat guna, yang dapat dipakai oleh petani di pedesaan, industri kecil dan menengah, serta sektor rumah tangga, yang jumlahnya sangat besar – dan selama ini tergantung impor. Krisis ekonomi yang membuat Indonesia menjadi pasien IMF memaksa semua proyek-proyek teknologi ini ditinjau ulang. IPTN yang kemudian jadi PTDI dibiarkan bangkrut. Ribuan karyawannnya dirumahkan, dan ratusan tenaga profesional yang dulu disekolahkan ke Luar Negeri dengan hutang Bank Dunia ramai-ramai hengkang ke Luar Negeri. Sekarang saja masih ribuan ex karyawan PTDI yang menuntut pesangonnya. Lobby-lobby internasional membuat pesawat N250 tidak diberi sertifikat terbang oleh otoritas dunia, sehingga pemasarannya seret. Habibie sendiri kemudian semakin terseret dalam politik, menjadi Presiden RI yang melepas Timor Timur dan membuka keran liberalisasi, dan kemudian terpaksa turun dari kancah politik karena pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.
Sekarang gaung Hakteknas sudah jarang terdengar, meski tetap diperingati. Tahun ini, Kementrian Ristek menggelar antara lain Pameran Ristek, Ristek-Medco Award (untuk orang-orang yang dianggap berjasa mengembangkan energi alternatif), Ristek-Telkom Award (untuk mereka yang dianggap berjasa mengembangkan software Open Source) dan Ristek-Martha Tilaar Award (untuk yang diangap berjasa mengembangkan obat / herbal tradisional).
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kebangkitan teknologi hampir mustahil diciptakan atau dikendalikan oleh para teknolog itu sendiri. Ada interaksi yang kuat dengan dunia ekonomi, politik, legislasi, dan juga kultur masyarakat. Semua aspek ini harus turut berbenah agar terjadi kebangkitan. Pada saat yang sama, kebangkitan itu nanti tak sekedar kebangkitan teknologi, tetapi juga kebangkitan ekonomi, politik dan sosial-budaya masyarakat.
Kekeliruan yang mungkin terjadi di masa lalu adalah terlalu mendewakan teknologi. Teknologi dianggap obat mujarab atas segala penyakit. Padahal dalam implementasinya, tanpa kepercayaan dunia keuangan, tanpa selembar surat dari otoritas pemberi ijin, tanpa komitmen kuat para politisi, dan tanpa akseptansi dari masyarakat luas, teknologi hanya akan berada di puncak menara gading. Tidak membumi. Tidak digunakan. Dan akhirnya hilang tertelan sejarah.
Di sini kita melihat bahwa ada yang lebih mendasar dari kebangkitan teknologi, yaitu kebangkitan cara berpikir seluruh elemen masyarakat, baik di level bawah (grassroot) mapun elit: pengusaha, penguasa, politisi, ilmuwan hingga pemuka agama. Kita memerlukan orang-orang yang benar-benar memiliki visi kebangkitan. Dan Islam menyediakan visi itu, ketika Allah berfirman dalam QS Ali-Imran:110
Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Jadi setiap muslim harus punya visi menjadi yang terbaik, karena dengan itu misinya di dunia untuk menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah dapat berjalan optimal.
Pada masa lalu, visi ini begitu mendarahdaging di dalam umat Islam. Umat Islam di Madinah di masa nabi belum memiliki teknologi secanggih yang dimiliki orang-orang Romawi, Persia, India atau Cina. Tetapi karena mereka begitu menghayati pesan Allah agar menjadi yang terbaik, mereka siap untuk berjalan ribuan mil ke Cina, demi mendapatkan teknologi kertas, kompas dan mesiu. Mereka ke India menyerap ilmu aritmetika dan angka India, yang kemudian diadopsi sehingga menjadi lebih terkenal sebagai angka Arab. Mereka belajar serius beberapa bahasa asing agar dapat secepat mungkin mentransfer teknologi dari Barat dan Timur, untuk dikembangkan lebih lanjut. Dan dengan teknologi itu mereka dalam waktu kurang dari seabad sudah lebih unggul dari Persia dan Romawi, sehingga dakwah mereka menjadi berwibawa dan jihad mereka hampir selalu meraih kemenangan.
Ini menunjukkan cara berpikir yang bangkit dengan didasari keimanan. Maka seluruh politik pada masa itu akan sinergi. Tidak seperti sekarang, teknologi dicoba dibangkitkan hanya dengan motivasi ekonomi atau kebanggaan nasional. Padahal para pemain ekonomi sering hanya berburu rente atau keuntungan jangka pendek. Para politisi berpikir hanya sampai pemilu mendatang, dan bagaimana investasi politiknya cepat kembali. Sedang massa konsumen dibuai dengan mimpi dari media tentang kehebatan produk asing. Tidak mungkin kebangkitan apapun bisa terjadi dengan cara ini. Teknologi juga terbukti bukan lokomotif kebangkitan, namun hanya salah satu efek dari sesuatu yang lebih mendasar tadi, yaitu kebangkitan berpikir.
Adalah tugas para pemimpin umat di segala lini, baik ulama maupun ilmuwan, birokrat maupun teknolog, yang sedang berkuasa maupun yang di luar kekuasaan, agar bersama-sama mewujudkan kebangkitan berpikir berlandaskan keimanan, agar yang didapat adalah kebangkitan yang benar dan sempurna.