Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Analisis’ Category

Faktor-Faktor Yang Memperlemah Ulama

Sunday, April 1st, 2007

Oleh: Dr. Fahmi Amhar (Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina)

Dr. Fahmi Amhar

Dr. Fahmi Amhar

Berapa banyak ulama yang kita miliki?  Ini pertanyaan sederhana, namun sulit dijawab; meski kita hanya mencari tahu secara kuantitatif, belum secara kualitatif. Kalau pertanyaannya dimodifikasi menjadi: Berapa alumni pondok pesantren di Indonesia? Jawabannya lebih mudah. Hitung saja pesantren yang terdaftar di Departemen Agama. Tentu kapasitas pesantren tidak merata.  Yang bisa dihitung adalah yang sudah menerapkan administrasi modern.  Padahal banyak pesantren kita yang tradisional, tidak mengenal pendaftaran maupun ujian dengan standar tertentu.  Jika diasumsikan hanya ada 2000 pesantren se-Indonesia (5 buah per Kabupaten), dan rata-rata 100 lulusan pertahun, dapatkah diharapkan lahir 200.000 “ustadz”? Berapa dari mereka yang menjadi ulama?

Sulit dijawab. Berbeda dengan sarjana, doktor atau profesor yang definisinya jelas. Ulama—yang sejatinya adalah “scholar”—jauh lebih sulit. Tidak setiap ustadz atau dai pantas disebut ulama.  Bahkan yang di MUI pun tidak semua merasa nyaman disebut ulama.

Ulama dalam “Jebakan”

Kini ulama adalah mahluk langka.  Jarang anak kecil yang bercita-cita mau menjadi ulama. Orangtua pun kalau mengirim anaknya ke pesantren hanya  agar anaknya menjadi salih, bukan menjadi ulama.

Di sisi lain, kalau kita memperkenalkan tokoh Indonesia ke orang Timur Tengah bahwa dia seorang ulama, orang Timur Tengah akan balik bertanya: Ulama di bidang apa? Apakah dalam ulumul Quran?  Hadis?  Fikih?  Tarikh? Kalau kita tidak menjelaskan, mereka akan ragu, “Ulama apa itu? Ahli al-Quran bukan; ahli hadis bukan; ahli fikih bukan; ahli tarikh bukan. Jadi, ahli apa?”

Walhasil, kita tahu bahwa ulama saat ini sangat langka. Dari yang langka ini, lebih banyak ulama yang lemah daripada yang kuat. Yang lemah ini tidak menjadi inspirasi bagi umat, tidak memimpin umat keluar dari keterpurukannya, bahkan mereka tidak jarang justru menjadi bagian dari sistem yang menindas umat.

Apa sesungguhnya faktor-faktor yang membuat ulama yang langka ini semakin lemah? Secara umum ada tiga ”jebakan” bagi ulama. Pertama: jebakan pemikiran yang terjadi pada dirinya sendiri.  Kedua: jebakan kultural yang “disiapkan” masyarakat. Ketiga: jebakan sistem yang direkayasa oleh para penguasa.

Agar dapat keluar dari jebakan ini, para ulama wajib memiliki kesadaran ideologis, di mana posisinya saat ini, agar dia tidak terjebak di salah satu atau ketiganya.

1. Jebakan Pemikiran.

Jebakan pemikiran adalah jebakan yang paling lembut sehingga yang terjebak tidak merasa dirinya terjebak. Jebakan pemikiran ini ada tiga macam. Pertama: sekularisasi. Sekularisasi adalah pemisahan agama dari kehidupan publik, yakni kehidupan tempat interaksi tak terbatas seluruh warga, baik Muslim maupun bukan, dalam segala aspek kehidupan: politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dll.

Pahit untuk mengakui, bahwa sebagian besar ulama kita sudah tersekularisasi di segala sisi. Mereka canggung berbicara masalah publik dari sisi Islam. Mereka membatasi diri untuk berbicara hanya saat ada persoalan moral seperti pornografi, miras, perjudian, pelacuran. Kalaupun mereka berbicara tentang terorisme, itu karena terorisme dikaitkan dengan ustad dan pesantren. Mereka juga hanya peka terhadap gerakan sesat (Ahmadiyah, shalat dwibahasa, dsb). Sebaliknya, mereka canggung untuk duduk bersama membahas pengaturan sumberdaya alam menurut Islam atau mengatasi krisis pangan menurut Islam; seakan-akan dalam masalah-masalah ini, Islam tidak mempunyai solusi.
Kalau berbicara tentang pendidikan Islam, yang terlintas hanya mata pelajaran agama di sekolah, atau  pendidikan oleh yayasan Islam (termasuk pesantren). Jarang yang berpikir bahwa pendidikan Islam itu menyangkut segala segi, dari muatan kurikulumnya yang harus mengacu pada akidah Islam di segala pelajaran (termasuk bahasa, matematika, IPA, IPS) hingga bagaimana pendidikan itu bisa dibiayai sehingga semua warga bisa mendapatkan akses pendidikan bermutu yang terjangkau.

Kedua: dakwah ishlâhiyah dan khayriyah. Sejak sekularisasi menjadi arus utama,  Islam dipelajari hanya sebatas ajaran perbaikan individu atau keluarga.  Dakwah akhirnya hanya terfokus pada perubahan individual yang bersifat kebajikan (khayriyah). Topik yang dominan adalah fikih praktis (ibadah, tatacara makan/berpakaian, nikah, muamalah sehari-hari dan akhlak).  Dakwah sudah dianggap sukses jika berhasil menjadikan seseorang rajin shalat atau perempuan mau berbusana Muslimah. Terkait dengan aktivitas masyarakat, dakwah ditekankan pada kepedulian sosial seperti sedekah, menyantuni anak yatim hingga mendirikan sekolah dan rumah sakit. Bagaimana memberikan solusi tuntas dan mendasar terhadap segala masalah umat (ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, perundang-undangan, dll), hal itu jarang dijadikan target.

Ketiga: pemikiran “asketis”. Derap kehidupan hedonis, apalagi yang dibawa Kapitalisme, membuat sebagian ulama bereaksi dengan hidup bak pertapa sufi (asketis). Dakwah mereka fokus pada aspek ruhiah (spiritual) dan mengajak masyarakat menjauhi dunia. Walhasil, pada saat mendengar nasihat mereka, orang bisa mengucurkan air mata.  Namun, begitu keluar majelis, aktivitas dunianya tidak mengacu syariah, karena syariah itu sendiri tidak pernah dibahas.  Orang diasumsikan otomatis jadi baik ketika pikirannya mengingat Allah.  Padahal faktanya, amal seseorang bergantung pada pemahaman syar‘i yang dimilikinya. Ada pemilik bank yang tiap hari bergelimang riba, namun dia tidak merasa berdosa, karena sudah rajin tahajud dan puasa sunnah.

2. Jebakan Kultural.

Jebakan kultural atau budaya terjadi di—dan dilakukan oleh—masyarakat.  Masyarakat menggunakan pengalamannya dalam berinteraksi dengan agama lain saat memahami Islam.  Jebakan kultural ini dapat memaksa seorang ulama yang semula kuat karena ikhlas menjadi lemah karena bias.  Ada tiga jebakan kultural:

Pertama: mitos ulama. Pada semua ajaran lain, keyakinan berasal dari mitos atau aksioma yang tidak rasional. Ketika beralih ke Islam, penganut mitos pun memandang akidah Islam sebagai mitos.  Rasul saw. berubah dari sosok manusia teladan menjadi sosok keramat yang supranatural. Bahkan ulama tiba-tiba dianggap “orang suci” yang mustahil salah, seperti penganut Katolik memandang Paus. Belakangan muncul orang-orang yang memanfaatkan hal ini demi keuntungan pribadi. Mereka melegitimasi diri di depan orang-orang awam dengan ayat al-Quran atau hadis yang diselewengkan. Lalu muncullah bid‘ah di mana-mana.

Di sisi lain, ulama dimitoskan dengan segala idealitas dalam pandangan awam, bukan pandangan syariah. Saat ulama itu melakukan hal yang dibenci awam (misalnya poligami), gelar “orang suci” tiba-tiba lenyap. Mereka tidak bisa menerima kenyataan, bahwa “ulama juga manusia”.

Kedua: mitos bahasa. Sebagai bahasa al-Quran, bahasa Arab adalah bahasa ilmu pengetahuan Islam. Namun, di masyarakat non-Arab, kini bahasa ini sudah menjadi “hak istimewa” selapis kecil ulama.  Sekadar tulisan Arab saja kadang dianggap keramat dan mampu mengusir setan. Orang yang pintar membaca al-Quran langsung dipanggil ustadz. Yang fasih berbahasa Arab (baca kitab kuning) dijuluki ulama, tanpa melihat lagi pemahaman Islamnya.

Ketiga: mitos ijtihad. Pada zaman sekarang, ijtihad dimitoskan sama dengan berpendapat. Setiap orang akhirnya boleh berijtihad, sekalipun tanpa bekal memadai. Tidak aneh, muncullah fatwa-fatwa nyleneh. Namun, ini ditoleransi dengan dalil, bahwa ijtihad itu, kalau benar mendapat dua pahala, dan kalau salah mendapat satu pahala. Padahal yang terjadi kadang-kadang hanyalah adopsi terhadap paham sekular yang  dilabeli Islam, yang jauh sekali dari kategori ijtihad.

3. Jebakan Sistem.

Para penguasa korup pada zaman manapun melihat para ulama sebagai orang-orang yang berpotensi menghalangi mereka. Karena itu, penguasa fâsid ini akan berupaya melemahkan para ulama, baik secara “legal” maupun “ilegal”. Yang legal ada tiga macam:
 

Pertama: depolitisasi. Ulama dimarjinalkan dari kancah politik dengan sekularisme. Ulama yang menolak sekularisme akan mundur dari arena; yang ada dalam sistem, mau tak mau, akan sama sekularnya.  Contoh, pada masa lalu, ada UU yang mewajibkan asas tunggal bagi ormas dan parpol. Akibatnya, para ulama praktis kehilangan ‘rumah’, kecuali yang mau pindah ke ormas atau parpol pendukung penguasa.  Meski berdalih akan “mengislamkan dari dalam”, yang terjadi justru sebaliknya.

Kedua: pragmatisme. Ulama dipojokkan untuk sekadar bertahan hidup dalam sistem. Sistem sekular menjamin pelaksanaan syariah di ranah pribadi.  Pembangunan masjid dibantu. Dakwah khayriyah dipromosikan. Zakat dan haji dilayani pemerintah. Ulama yang terpojok akhirnya mengambil sikap, “Inilah yang masih bisa kita kerjakan.” Mereka akhirnya diam terhadap urusan publik yang masih diatur sistem kufur. Padahal kezaliman pada urusan ini (misalnya mahalnya BBM) melanda semua orang; Muslim atau bukan; apakah mereka tahu masalahnya atau tidak. Dakwah pun kemudian tak lagi untuk meluruskan penguasa yang bengkok, yang oleh Nabi saw. disebut sebagai afdhal al-jihâd (jihad paling utama), namun ”yang penting aman”.

Ketiga: Godaan 3-TA. Yang paling vulgar adalah pelemahan ulama dengan harta, tahta dan wanita. Ulama yang kesulitan finansial dibantu, pondoknya dibangun, santrinya diberi beasiswa, dan dakwahnya makin bernilai bisnis. Ada juga ulama yang dilamar jabatan, dari legislatif lokal hingga calon wapres.  Yang terheboh tentu saja yang ditawari wanita. Namun, semua ada kompensasinya. Yang jelas kepekaan, sikap dan pengaruh politik yang bersangkutan bisa tergadai, atau setidaknya dia akan sibuk dengan 3-TA itu. Akibatnya, kinerja keulamaannya turun, atau bahkan dilupakan. Telah banyak pesantren yang hancur karena ditinggal pemimpinnya yang menjadi “selebritis” atau politisi di Senayan.

Adapun jebakan yang ilegal amat bergantung pada sikap penguasa.  Kalau dia santun, ini tidak dilakukan. Dia mencukupkan diri dengan yang legal.  Namun, penguasa zalim akan menempuh segala cara.

Pertama: pecah-belah. Adu domba ini tidak jarang dengan penyusupan intelijen.  Fitnah dimunculkan: yang satu mencurigai yang lain; menuduh pihak lain sesat, ahli bid‘ah, dll. Akibatnya,  ukhuwah islamiyah terputus.

Kedua: stigma negatif. Penguasa memberikan citra negatif seperti radikal, ekstremis dan teroris kepada ulama sehingga yang bersangkutan dijauhi masyarakat. Stigma ini umumnya ditujukan kepada ulama-ulama yang sederhana. Kadang-kadang jamaahnya dipancing untuk melakukan kekerasan, kemudian dimanfaatkan untuk mempertegas stigma yang diberikan.

Ketiga: siksaan dan penjara. Ini adalah cara terakhir untuk membungkam ulama.  Namun, tren di negeri-negeri Muslim sekarang, ulama yang pernah disiksa atau dipenjara justru makin karismatik. Ini tidak disukai penguasa. Karena itu,  direkayasalah seakan-akan sang ulama melakukan kriminalitas seperti menyimpan narkoba, melakukan kejahatan seksual atau pemalsuan dokumen; sebagaimana yang pernah divoniskan kepada Ustad Abu Bakar Baasyir.

Khatimah

Menyatakan seseorang atau sekelompok ulama telah terkena jebakan-jebakan di atas bisa menyulut emosi orang-orang yang merasa selama ini ikhlas berjuang dan berkonstribusi bagi umat. Mereka merasakan pahit-getirnya perjalanan dakwah. Sebagian bahkan telah menghabiskan usianya di penjara.

Semua itu tidak kita nafikan.  Dengan menunjukkan jebakan-jebakan itu, kita tidak sedang menghakimi para ulama pada masa lalu, namun agar pada masa depan tidak ada dari kita yang kena sindiran Rasulullah saw.: Seorang Miuslim tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Kekuatan Ekonomi Dunia Islam

Monday, February 5th, 2007
Berapa besar kekuatan umat Islam bila bersatu?  Sanggupkah dia dihadapkan pada adidaya Amerika Serikat?  Dapatkah dia bertahan bila diembargo?  Mampukah dia menang dalam perang?  Ini pertanyaan-pertanyaan yang kadang hinggap di benak kaum muslim bila melihat peta dunia saat ini. 

Kita memang memiliki beberapa keunggulan seperti keunggulan aqidah, syariah, posisi geografis, sumber daya alam, dan jumlah penduduk.  Namun secara empiris berapa sebenarnya kekuatan itu?

 Data Dunia Islam

Di antara lembaga yang mengumpulkan data seperti itu adalah Statistical, Economic, and Social Research & Training Center for Islamic Countries (SESRTC) di Turki.  Data yang dikumpulkan dapat diakses melalui alamat: www.sesrtcic.org/statistics/byindicators.php

Meski sudah menolong, namun database ini belum lengkap ataupun 100% akurat.  Ada peluang over- atau under-estimated.  Informasi di negeri-negeri Islam memang langka atau simpang siur.  Banyak pemerintah yang menutup-nutupi informasi dengan berbagai motif.  Oleh sebab itu, data di sini harus dipandang sebagai taksiran atau pendekatan awal.

Untuk menjembatani beberapa negara yang datanya tidak tersedia, dalam mengolah data ini terkadang dipakai angka maksimum atau rerata dari data beberapa tahun terakhir.

Dewasa ini ada 57 negara yang ada dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).  Negara-negara ini dijuluki ”dunia Islam”, karena penduduknya mayoritas atau 50% lebih muslim.  Jadi sekitar 148 juta muslim India (13,4% populasi) dan 26 juta muslim Cina (2% populasi) belum terhitung.

Menurut CIA the World Factbook dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Economy_of_the_OIC produk domestik bruto (GDP) dunia Islam adalah US$ 5,54 triliun US$ pertahun atau setara 9,14% GDP dunia.  Untuk perbandingan GDP Uni Eropa atau AS adalah sekitar 12 triliun US$.

Bila dibagi penduduknya yang pada 2005 ditaksir 1,24 miliar didapatkan GDP/capita sebesar US$ 4.454/tahun, atau dengan kurs sekarang Rp 3,3 juta/orang per bulan.  Namun distribusi harta ini amat tidak merata.  GDP/capita tertinggi diraih Uni-Emirat Arab (US$ 45.200/tahun atau Rp 34 juta/bulan) dan terrendah di Somalia (US$ 600/tahun (Rp 450.000/bulan).

Luas wilayah 57 negara OKI ini adalah 32 juta km2, lebih luas dari AS atau Uni Eropa.  Kepadatan penduduk rata-ratanya adalah 38 orang per kilometer persegi.  Kepadatan tertinggi ada di Bahrain yang hanya”negara kota”, yaitu 1055 jiwa per Km-persegi, diikuti Maladewa (933), Bangladesh (817) dan Palestina (626).  Mereka harus berdesakan di tempat yang sempit, padahal bumi Allah sangat luas.

Memang area luas ini baru bermakna bila produktif.  Di satu sisi banyak bumi Islam itu berupa gurun pasir yang belum dihidupkan.  Karena itu perlu ditinjau sejumlah indikator vital, seperti produksi minyak, bahan pangan, baja dan sebagainya. 

 IndikatorProduk Vital

Barangkali untuk analisis ekonomi yang komprehensif diperlukan seluruh parameter dalam statistik, namun mengingat tidak untuk setiap item tersedia data di seluruh negara serta belum adanya pembobotan yang disepakati, maka dipilih produksi minyak mentah sebagai sumber energi utama (meski di sejumlah negara tersedia sumber energi lain), lalu biji-bijian dan daging sebagai bahan pangan, dan baja untuk indikator industrialisasi. 

Produksi minyak mentah tahun 2004 total sekitar 9,2 Milyar Barrel per tahun.  Kalau ini dibagi populasi, akan didapat angka 3,2 liter per orang per hari.  Sekedar pembanding, di Indonesia saat ini yang penggunaan energinya belum efisien, konsumsi BBM masih sekitar 0,82 liter per orang per hari.

Sementara itu produksi biji-bijian makanan pokok adalah 240,3 juta ton.  Kalau dibagi populasi, didapat angka 0,529 kg per orang per hari.  Meski ini masih di bawah kebutuhan rata-rata (menurut FAO) yakni 750 gram per orang per hari, namun insya Allah ancaman kelaparan tidak terjadi.  Apalagi teknologi pertanian masih bisa ditingkatkan dan umat Islam biasa puasa.

Sementara itu untuk produksi daging ditaksir 19,5 juta ton.  Kalau ini dibagi dengan populasi, akan didapat angka 15,7 kg daging per orang per tahun, atau 42 gram per orang per hari.  Sebuah angka yang lumayan untuk komposisi gizi harian, mengingat sumber protein kita seharusnya bervariasi antara daging, ikan, unggas atau nabati. 

Setelah energi dan pangan, baja adalah produk vital yang jadi modal dasar industri dan konstruksi.  Produksi baja di dunia Islam ditaksir baru 60 juta ton per tahun.  Bila setengahnya dipakai untuk konstruksi (gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik &  telekomunikasi), mesin pabrik, kereta api, kapal dan persenjataan, lalu setengahnya untuk memproduksi mobil berbobot rata-rata 2 ton, maka ini baru menghasilkan 15 juta mobil.  Angka yang kecil untuk 1,2 milyar populasi, karena bila satu keluarga rata-rata terdiri dari 4 orang, akan ada 300 juta keluarga.  Jadi baru setelah 20 tahun setiap keluarga itu akan memiliki mobil baru.

Kalau cerdas, keterbatasan produksi itu malah mendorong inovasi agar efisien, misal dengan transportasi massal kereta super ringan, atau menggalakkan sepeda yang selain hemat juga baik untuk kesehatan.

Kenyataannya, saat ini sumber daya negeri-negeri Islam banyak diekspor, sering dengan nilai tukar amat rendah karena kandungan teknologinya rendah.  Contoh, tahun 1980, sebuah negeri muslim menukar 12910 karung kopi untuk satu lokomotif dari Swiss.  Tahun 1990, untuk lokomotif serupa mereka harus menukar 45800 karung!

Neraca perdagangan dunia Islam sebenarnya positif (1042,9 Milyar US$ ekspor – 733,7 Milyar US$ impor).  Namun dari jumlah ini, yang merupakan ekspor ke sesama dunia Islam hanya 113 Milyar US$ dan impor 118 Milyar US$.  Jadi ketergantungan ke luar dunia Islam sangat besar.  Bila ini dibiarkan akan jadi kendala saat Kesatuan Islam di bawah Daulah Khilafah diserukan dan lalu diembargo dari luar.

 

Sumber Daya Non-tangible

Selain sumber daya yang terukur dalam bentuk materi, terdapat sumber daya non-tangible yang tak dapat langsung terukur, misalnya SDM terdidik, organisasi (jejaring) dan informasi (pengalaman) yang terkumpul.  Sumber daya ini terukur dengan melihat data penduduk melek huruf, rasio yang masuk perguruan tinggi, bagian pemerintah pada penciptaan GDP dan distribusi penghasilan.

Angka melek huruf pada orang dewasa di dunia Islam baru 69%!  Inipun masih dengan bahasa nasional masing-masing (Arab, Persi, Urdu, Turki, Perancis, Russia, Melayu, dll.). 

Sedang rasio yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi baru 15% dari lulusan SLTA.  Inipun masih di luar soal mutu asal-asalan dari pendidikan sekuler yang kapitalistik.

Bagian pemerintah dalam penciptaan GDP menggambarkan tingkat partisipasi rakyat pada aktivitas ekonomi.  Makin tinggi sharing pemerintah, makin rentan ekonomi negeri itu pada gejolak.  Idealnya pemerintah bertindak mengatur urusan umat dengan syariat, bukan sebagai pelaku bisnis yang bertindak dengan pertimbangan ekonomi.  Di dunia Islam, pemerintah rata-rata masih berperan hingga 35% dalam aktivitas ekonomi.  Ekonomi Sudan atau Guyana yang dilanda perang bahkan praktis 100% mengandalkan pemerintah.  Pemerintah Brunei memegang 84% GDP karena produk utamanya minyak – semua milik raja yang memerintah. 

Dalam hal ekonomi terkait SDA yang besar seperti minyak, angka-angka statistik boleh jadi akan rancu antara pemerintahan feodalistik, sosialistik dan Islami, di mana minyak masuk kepemilikan umum yang harus dikelola pemerintah – namun bukan terus dibisniskan.

Partisipasi rakyat juga terlihat pada distribusi penghasilan.  Kalau menggunakan batas miskin tiap negara, maka angka kemiskinan rata-rata adalah 38,65%.  Namun bila menggunakan standar Bank Dunia yaitu US$ 2 per orang per hari, maka 50% jatuh di bawah garis (UNDP Human Development Report 2006).  Yang terparah Nigeria (92,4%), yang terbaik Iran (7,3%)

 Menyatukan Ekonomi Dunia Islam

Dengan berbagai cara, ekonomi dunia Islam ini telah berkali-kali dicoba disatukan.  OKI telah gagal.  Pakta selatan-selatan – yang melibatkan negara-negara Amerika Latinpun gagal.  Percobaan terakhir adalah dengan kelompok D-8 (Development-Eight), yang terdiri dari Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Mesir, Nigeria, Pakistan dan Turki.  Realitasnya, pengaruh D-8 ini bahkan lebih kecil dari kelompok semacam ASEAN, apalagi terhadap G-8, yakni negara-negara industri maju (AS, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Itali, Jepang dan Russia) yang merupakan 65% dari ekonomi dunia.

Penyebabnya kegagalannya terlalu banyak, mulai dari ego-nasionalisme tiap negara, para pemimpinnya yang tidak benar-benar kapabel maupun independen (menjadi boneka negara besar), hingga produk antar negara yang terlalu mirip sehingga tidak saling melengkapi. 

Tanpa suatu perubahan yang fundamental dalam cara berpikir di dunia Islam, yaitu cara berpikir tentang visi dan missi negeri mereka di dunia, rasanya sulit akan ada sinergi dari penyatuan ekonomi dunia Islam.

Dengan perubahan paradigma itu akan ada upaya-upaya di masyarakat tiap negeri untuk tak sekedar jadi ”lahan” negara-negara maju, tetapi jadi agen perubahan ke dunia yang diridhai Allah.  Perlahan namun pasti mereka mereformasi cara berpikir, bersikap serta ikatan-ikatan yang selama ini menjadikan mereka berbangsa dan bernegara. 

Kemudian suatu negara yang masyarakat serta kekuatan politik-militernya paling siap, akan memimpin mendeklarasikan berdirinya negara baru, Daulah Khilafah.  Negara di saat awal akan menunjukkan kinerjanya, sebagai negara yang adil dan benar-benar merdeka, sambil mengajak negeri-negeri muslim lain untuk bergabung.  Ketika rakyat negeri lain melihat bahwa dengan bergabung itu terbuka peluang luas untuk berkehidupan yang lebih baik, maju dan kuat sehingga mampu memimpin dunia, mereka akan mendesak pemerintah masing-masing untuk bergabung ke Daulah Khilafah. 

Satu demi satu negeri Islam akan masuk ke dalam Khilafah, seperti dulu bergabungnya daerah-daerah Hindia Belanda ke Republik Indonesia, atau kini bergabungnya negara-negara Eropa ke Uni Eropa.  Kekuatan dunia Islam yang bersatu di bawah Daulah Khilafah akan jadi realita, bahkan lebih besar lagi, jika sistem Islam telah mengoptimasi pengaturan seluruh potensi alam maupun manusia di dalamnya, serta muslim-muslim terbaik yang selama ini ada di negara-negara maju ramai-ramai pulang untuk membaktikan dirinya demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin.


 Penulis: Dr. Fahmi Amhar, dosen pascasarjana Universitas Paramadina.

Mencari Lokasi Musibah

Tuesday, January 2nd, 2007

oleh: Dr Fahmi Amhar

Rubrik Analisis Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 3 Januari 2007.

http://222.124.164.132/article.php?sid=108401

BAGI sebagian orang, tahun 2006 telah berakhir dengan suatu misteri, dan tahun 2007 telah berawal dengan misteri yang lain. Pada Kamis 28 Desember kapal motor Senopati Nusantara yang berlayar dari Kalimantan Tengah ke Semarang telah tenggelam di perairan Jepara. Belum ada separo korban ditemukan dan dievakuasi, pekerjaan Tim SAR ditambah dengan hilangnya pesawat Adam Air yang terbang menuju Manado, semula konon karena menabrak gunung, namun kemudian informasi ini dicabut. Misteri yang beruntun, baik bagi Tim-SAR, Komite Nasional Keselamatan Transportasi maupun bagi keluarga atau relasi para korban.

Kedua hal itu membuat kita bertanya-tanya, belum mampukah kita lebih cepat menemukan kapal atau pesawat (wahana) yang hilang? Tentu saja wahana darat seperti mobil atau motorpun juga bisa hilang dicuri orang. Lebih jauh lagi tentunya, bagaimana mencegah itu semua terjadi, atau setidaknya tidak berdampak begitu buruk.

Kita tidak perlu buru-buru bertanya kepada dukun atau paranormal, karena secara teknologi sebenarnya ada alat yang dapat digunakan. Teknologi itu adalah Sistem Penentuan Posisi Global (Global Positioning System / GPS). Sistem ini menerima sinyal-sinyal yang diterima dari 24 satelit-satelit GPS yang dipasang Amerika Serikat di orbit sekitar 22.000 kilometer. Dengan menerima sinyal dari minimal 4 satelit GPS, maka posisi XYZ setiap titik di muka bumi dapat ditentukan. Perlu dicatat, Rusia dan Uni Eropa juga membangun sistem sejenis untuk menjaga kemandirian mereka dari Amerika Serikat.

Koordinat posisi yang telah didapatkan kemudian dapat dikirim dengan radio ke pusat-pusat pemantau seperti pelabuhan, bandara atau juga kantor polisi (untuk kasus di darat), yang akan melihat titik-titik dengan identitas yang jelas di atas peta digital di layar komputer. Setiap identitas terhubung ke sebuah database yang memuat informasi lebih rinci atas wahana itu, semisal surat izin, kapasitasnya dan sebagainya. Setiap wahana itu bergerak, maka titik di layar komputer juga ikut pindah.

Bila wahana itu mengalami masalah serius dan kontak radio terputus, maka beberapa titik terakhir akan tersimpan dan terpampang dengan warna khusus di layar. Dengan demikian kita dapat melakukan simulasi ekstrapolasi ke mana posisi wahana tersebut berlanjut.

Posisi wahana dipengaruhi kelembaman terakhir (arah dan kecepatan) serta faktor eksternal (arah dan kecepatan angin, arus atau gelombang laut). Makin lama waktu terbuang, makin besar area kemungkinan yang harus diekstrapolasi, karena kita tak selalu tahu data faktor eksternal. Berita terakhir ada korban kapal yang sudah mencapai perairan Madura (beberapa ratus kilometer dari posisi terakhir kapal). Pencarian akan lebih cepat kalau areanya telah terbatasi. Mungkin masih ada korban yang bisa terselamatkan.

Maka tim pencari segera diberangkatkan. Tentu tak mudah mencari objek kecil di areal yang luas secara langsung (visual). Mungkinkah memakai citra penginderaan jauh?

Kita tahu bahwa di langit bersliweran satelit-satelit observasi bumi yang memindai negeri kita. Memang ada satelit yang memberi gambar beresolusi pixel 1 meter bahkan 60 cm, seperti Ikonos atau Quickbird, sehingga mampu mendeteksi wahana naas itu, asalkan cuaca bersahabat. Citra satelit itu bersensor pasif, sehingga bisa tertutup awan. Bagaimana dengan radar? Radar memang tembus awan, dan mudah mendeteksi logam. Namun saat ini resolusi satelit radar seperti Radarsat atau ERS masih kasar. Kalau satelit TerraSar-X yang resolusi pixelnya bakal 1 meter jadi diluncurkan Jerman-Perancis tahun ini, mungkin situasinya akan berubah.

Namun tetap saja nanti ada tugas yang tidak ringan: menemukan objek di citra yang diduga pesawat yang jatuh atau kapal yang celaka itu. Di sinilah peran teknologi pengenal pola (pattern recognition) diharapkan. Satu catatan lagi: kalau posisi kapal sudah jauh di dalam air, maka citra satelit apapun sulit menjangkaunya.

Untuk wahana darat, teknologi ini bisa lebih sederhana. Di Indonesia bahkan Polda Metro dan beberapa perusahaan taksi serta expedisi sudah memakainya untuk memantau armadanya. Ada juga perusahaan yang menjual piranti kecil GPS untuk dipasang secara rahasia di mobil sebagai alarm. Kalau mobil yang kita parkir digeser orang lebih dari nilai toleransi yang diberikan, maka alat itu otomatis akan mengirim SMS ke nomor yang ditentukan (bisa ponsel pemiliknya atau polisi). Koordinatnya kemudian juga dapat terus diikuti.

Penggunaan GPS ini selain dapat mengurangi dampak kecelakaan kapal dan pesawat juga dapat menjaga aset-aset rakyat, misalnya untuk memantau illegal logging atau fishing (pencurian ikan). Misalnya semua kapal nelayan dengan ukuran di atas tonase tertentu wajib memasang alat GPS. Maka polisi air atau Dinas Perikanan dapat memantau posisi setiap kapal nelayan besar, apakah mereka mengambil ikan di wilayah yang diizinkan atau tidak. Dan di lapangan, kalau secara visual ada kapal yang tak tampak di komputer (karena tidak memasang alat GPS ini), maka berarti kapal itu tidak berizin, izinnya kedaluarsa atau dia mengambil ikan di luar wilayahnya. Tentu saja diasumsikan alat itu kalau dipasang harus berfungsi dengan baik.  Hal serupa bisa diterapkan untuk kendaraan darat yang beroperasi di hutan. Kalau tidak muncul di komputer, berarti ilegal. Mau diapain kapal atau kendaraan seperti ini? Cabut izinnya atau disita untuk negara. Tentu saja kalau petugas kita berani – berani mati dan berani menolak suap. Karena para bandit juga sering punya senjata dan juga duit.

(Penulis adalah Peneliti Utama Bakosurtanal)-