Dr.-Ing. Fahmi Amhar, Peneliti Utama, Bakosurtanal
(Tabloid Suara Islam, minggu 1-2 Desember 2007)
Bagi suatu bangsa, teknologi adalah suatu agen ekonomi yang paling signifikan, di samping politik, hukum serta perubahan sosio-kultural. Karena itu, untuk membangkitkan ekonomi, perlu kebangkitan teknologi. Apapun ideologi yang dianut suatu bangsa, kebangkitan ekonomi tanpa teknologi sulit dibayangkan.
Namun politik pengembangan teknologi bagi banyak negara berkembang saat ini dikeluhkan terhambat oleh rezim “hak kekayaan intelektual” (HKI). Mereka menganggap, hak-hak itu adalah rekayasa negara-negara maju untuk membatasi akses teknologi bagi negara berkembang. Karena itu ada “perlawanan” pada sebagian mereka dengan membiarkan pembajakan karya berhak-cipta, misalnya buku atau software. Di sisi lain, negara-negara maju mengklaim, maraknya pelanggaran HKI itu justru akan mematikan potensi teknologi suatu bangsa.
Karena itu perlu ditelusuri lebih dalam, bagaimana sesungguhnya rezim HKI ini dalam teori dan realita.
Teori
HKI adalah pengakuan hukum oleh negara yang memberikan pencipta atau penemu hak mengatur secara eksklusif penggunaan gagasan yang diciptakannya untuk jangka waktu tertentu sebagai kompensasi dari pengumumannya kepada publik (publikasi). Istilah ‘kekayaan intelektual’ bermakna bahwa hasil pikiran dapat dilindungi oleh hukum sebagaimana bentuk hak milik fisik lainnya.
Hak eksklusif ini secara umum ada dua kategori: pertama: hak eksklusif memperbanyak ciptaan untuk tujuan komersial, tanpa melarang orang lain mengekspresikan ide yang sama dalam bentuk yang berbeda; kedua: hak melarang orang lain mengerjakan sesuatu yang telah didaftarkan, meski mereka belum pernah mendengar atau melihat apa yang diklaim sebagai kekayaan intelektual itu.
Dalam realita, pemilik paten suatu obat misalnya, dapat menghalangi orang lain membuat atau menjual obat itu tanpa seizinnya, namun di sisi lain, sang pemilik itu juga tidak bisa melakukannya sendiri tanpa lisensi khusus dari otoritas pengatur.
Hal ini karena hukum yang mengatur HKI biasanya bersifat teritorial; sehingga dapat berbeda-beda di tiap negara. Di Indonesia UU HKI mencakup Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri, yang terdiri atas Paten, Merek, Desain Industri, Desain Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman
Hak cipta (copyright) ada pada karya kreatif atau seni (buku, film, musik, lukisan, foto dan software) dan pemegangnya diberi hak eksklusif untuk jangka waktu tertentu mengontrol reproduksi (mengcopy) atau adaptasinya (penerjemahan, pengangkatan buku menjadi film, dsb).
Paten diberikan untuk penemuan baru yang berguna bagi industri. Pemiliknya diberi hak eksklusif untuk mengkomersilkan penemuannya untuk 20 tahun sejak tanggal pendaftarannya.
Desain industri memproteksi suatu bentuk alat atau desain (misal spareparts, mebel atau motif tekstil) dari penjiplakan. Hal sejenis ada pada desain sirkuit terpadu yang dipakai memproduksi chip elektronik.
Varietas tanaman memproteksi dalam jangka waktu tertentu suatu jenis tanaman unggul yang telah didapatkan dari riset yang lama dan mahal.
Merek dagang adalah tanda unik yang diberikan untuk membedakan suatu barang atau jasa dari produsen atau pedagang lainnya.
Rahasia dagang (terkadang disebut pula “confidential information”) adalah suatu rahasia bisnis yang tidak dipublikasikan, namun diketahui orang-orang tertentu di perusahaan itu, dan membocorkannya adalah melanggar hukum, sekalipun orang-orang yang mengetahui itu sudah tidak bekerja di sana. Rezim HKI memberi kesempatan untuk mencatatkan pada negara apa yang termasuk rahasia dagang itu.
Perlindungan hak cipta biasanya diberikan selama 70 tahun, paten 20 tahun, desain industri, sirkuit terpadu atau varietas tanaman bervariasi – umumnya juga maksimum 20 tahun, sedang merek dagang dan rahasia dagang tidak terbatas.
Dengan mempublikasikan karya-karya intelektual ini – meski dengan membatasi pemanfaatannya – diharapkan para peneliti di seluruh dunia dapat meningkatkan kreatifitasnya, sehingga terus menghasilkan karya-karya baru. Database paten yang memang terbuka (semacam www.uspto.gov) adalah sumber informasi teknologi terlengkap yang ada di dunia. Di sana tersedia lebih dari 6 juta deskripsi rinci teknologi – bahkan sebagian besar belum pernah masuk ke pasar, mungkin karena tidak menemukan investornya.
Kontroversi terjadi ketika undang-undang HKI mendorong untuk membuat inovasi agar diketahui umum, namun pada saat yang sama memberi pencipta atau penemu hak eksklusif pemanfaatan karya mereka itu untuk jangka waktu tertentu.
Para ekonom kapitalis biasanya meyakinkan bahwa pasar bebas tanpa hak eksklusif akan membawa produksi intelektual yang lebih rendah. Hal ini karena para pencipta atau penemu itu umumnya bukan pemilik modal besar. Tanpa perlindungan hukum yang memadai, mereka akan khawatir bila karya ciptaan atau penemuan mereka justru dikomersilkan oleh perusahaan besar, dan perusahaan itulah yang untung besar sedang para pencipta dan penemu hanya mendapat hasil yang pas-pasan. Dengan menaikkan balasan bagi para penulis, penemu dan penghasil karya intelektual, melalui royalti yang dijamin rezim HKI, maka efisiensi diharapkan akan naik.
Namun di sisi lain, membatasi penggunaan bebas dari ide dan informasi akan juga menimbulkan biaya, ketika penggunaan teknik terbaik untuk suatu tugas tertentu jadi terhalang.
Masalah ini mencuat karena memang tidak mudah menilai baik biaya menghasilkan maupun manfaat yang didapat dari karya intelektual. Semua hitung-hitungan selalu didasarkan pada banyak asumsi – yang mungkin benar di lingkungan mikro, namun sulit digeneralisasi secara makro.
Memang ada karya intelektual yang dihasilkan dalam riset yang mahal dan lama (riset obat, bibit unggul atau mesin hemat energi). Namun ada pula yang ide itu muncul begitu saja, atau didasarkan temuah ilmiah lain yang tidak dilindungi rezim HKI atau telah ditemukan sebelum rezim HKI ada. Sebagaimana diketahui, penemuan fisika, kimia atau matematika yang tidak secara langsung dapat dimanfaatkan oleh industri, tidak dilindungi HKI, dan hanya konsumsi akademis saja. Fakta juga, nilai ekonomis karya intelektual sering tidak tergantung biaya pembuatannya. Penciptaan lagu atau software, terkadang hanya berbiaya kecil, namun memberi penghasilan sangat tinggi. Margin profitnya jauh lebih tinggi dari margin pada industri manufaktur barang-barang fisik pada umumnya.
Karena itu, bagaimana nilai investasi yang harus dishare oleh pengguna atau investor dalam bentuk royalty itu harus ditentukan? Di sisi lain investor juga ingin nilai yang diinvestasikan itu kembali. Dalam lingkup kecil, investor dapat menghitung penghematan yang dia dapatkan dengan karya intelektual itu. Namun dalam skala besar, hal itu sulit, karena benefit suatu perusahaan juga terkait iklan, persaingan usaha, perkembangan teknologi (yang dapat membuat daluarsa penemuan teknologi sebelumnya) dan kondisi makro ekonomi lainnya. Bahkan sekedar dalam akuntansi saja, pembukuan asset dari karya intelektual itu tidak mudah.
Di beberapa jenis produk memang ada hubungan antara peningkatan jumlah penemuan dengan introduksi rezim HKI. Namun pendapat ini digugat orang dengan alasan bahwa wajar bila makin hari makin banyak penemuan teknologi, karena memang elemen yang dapat dikombinasikan semakin banyak.
Yang jelas, di bawah rezim HKI, publik dicegah dari mengambil manfaat dari penggunaan informasi yang dipublikasikan tanpa khawatir melanggar syarat-syarat pemegang HKI. Biaya yang ditanggung publik juga sulit dikuantifikasi. Sebaliknya, biaya yang “ditanggung pemegang HKI” sering dipublikasikan. Bussiness Software Alliance (BSA) yang gencar menyisir pembajakan software mengklaim bahwa di seluruh dunia pembajakan software telah merugikan para penciptanya senilai 29 Milyar Dollar. Namun tidak pernah dihitung kerugian pengguna akibat software yang dibeli legal namun tidak optimal.
Di dunia, hanya Amerika Serikat dan Inggris yang secara terus menerus menerima laba netto dari HKI dan juga pendukung utama sistem HKI. Ini yang dicoba diubah oleh negara-negara seperti China, India dan negara berkembang. Namun “aksi perlawanan” bukan hanya tindakan di negara-negara berkembang. Banyak kalangan dari negara maju sendiri yang akhirnya melihat ketimpangan rezim HKI, dan lalu berinisiatif membuat jalur alternatif.
Orang seperti Wilhelm Conrad Roentgen, penemu sinar tembus dari Jerman, menolak usulan agar mempatenkan penemuannya, karena dia ingin mesin itu menjadi wakaf bagi kemanusiaan.
Dalam bidang software, muncul Open Source Society dan Free Software Foundation. Software bebas copy seperti Linux dengan segala aplikasinya sudah mengkhawatirkan Microsoft, sampai Microsoft di Rusia, Cina, India dan Thailand menawarkan harga khusus super murah kepada instansi pemerintah.
Bahkan World Intelectual Property Organizaiton (WIPO) sendiri telah mengkritik dirinya. Pada 2004 dalam deklarasi Geneva WIPO dianjurkan untuk fokus lebih banyak pada kebutuhan negara bekembang dan untuk melihat HKI sebagai salah satu dari banyak alat untuk pembangunan, dan bukan berhenti pada dirinya sendiri.
Masalahnya, bagi negeri-negeri muslim, lepas dari soal pro atau kontra rezim HKI, sudahkah politik teknologi mereka efektif? Sudahkan ilmuwan mereka dihargai lebih dari artis, olahragawan atau politisi? Sudahkah teknolog mereka berkarya untuk memiliki kemerdekaan teknologi, dan bukan sekedar corong produk ber-HKI dari negara-negara maju?
Dr. Fahmi Amhar
M. Guntur Romli, aktivis Jaringan Islam Liberal dalam tulisannya “Kekerasan Atas Nama Fatwa” di Koran Tempo, Jum’at 23 September 2005 mengkhawatirkan fatwa-fatwa yang memvonis seseorang atau suatu kelompok sebagai sesat atau murtad. Meski fatwa itu tidak eksplisit memerintahkan kekerasan atau pembunuhan pada pihak tervonis, namun kaidah umum yang berlaku seperti “man baddala dinahu faqtuluhu” (“barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia”) telah meniupkan kekuatan bagi siapa saja, tanpa merasa berdosa, untuk mengeksekusi pihak yang divonis, tanpa ada proses klarifikasi atau pembelaan.
Romli memberi contoh dari sejarah klasik seperti ketika Abu Bakar memerangi pihak-pihak yang menolak membayar zakat setelah divonis murtad, kemudian Ali yang dibunuh oleh orang Khawarij setelah difatwa kafir karena dianggap bertahkim kepada manusia, hingga al-Dzahabi, ulama Al-Azhar yang dibunuh setelah difatwa murtad oleh Jama’ah Takfir wal Jihad. Intinya adalah fatwa-fatwa yang dijatuhkan secara sepihak, kemudian dilaksanakan secara sewenang-wenang.
Realitas yang ingin ditunjukkan Romli memang menarik: fenomenologis – sebagaimana lazimnya gaya kajian para pengamat Islam di Barat, yang diikuti oleh para aktivis liberal. Namun tulisan atau kajian itu selalu meninggalkan tiga cacat: (1) kajian itu tidak menyertakan analisis sistemik; (2) kajian itu selalu cenderung menggeneralisir; (3) kajian itu kurang kritis pada sistem di luar Islam – sehingga seakan itu hanya khas Islam.
Fatwa ditinjau dari segi bahasa maupun hukum, adalah sebuah pendapat hukum. Pendapat ini bisa muncul dari orang yang berkualifikasi itu (ahli hukum, mujtahid) ataupun tidak, dari yang diberi otoritas untuk itu (mufti) ataupun tidak.
Dalam Islam, fatwa yang diambil berdasarkan suatu dalil Qur’an/Sunnah –meskipun lemah- tetaplah sebuah hukum syara’. Hukum syara’ ini mengikat bagi sang pembuat fatwa atau yang memintanya. Ketika sebuah negara membentuk lembaga fatwa (seperti Indonesia dengan MUI), maka secara tak langsung negara itu meminta fatwa dan terikat dengan fatwa yang nantinya akan dikeluarkan. Namun fatwa itu baru benar-benar berlaku untuk seluruh manusia atau penduduk hanya setelah otoritas negara itu mengadopsi fatwa itu menjadi suatu hukum yang positif, lepas dari soal apakah fatwa itu sendiri suatu pendapat hukum yang bermutu atau tidak.
Sebenarnya hal yang sama terjadi di semua sistem hukum, tidak cuma hukum Islam. Di hukum Barat, para ahli hukum berbeda pendapat misalnya tentang hukuman yang pantas bagi pemerkosa pada anak-anak, pengedar narkoba atau pelaku terorisme. Sebagian berfatwa (=berpendapat) pelakunya wajib dihukum mati, sebagian lain berfatwa hukuman mati wajib dihapuskan karena bertentangan dengan HAM. Sebagian berfatwa bahwa tersangka terorisme tidak boleh didampingi pengacara. Demikian seterusnya. Bila fatwa itu hanya berasal dari individu atau lembaga yang tidak otoritatif, maka paling-paling akan menjadi wacana publik yang paling jauh dibawa ke parlemen untuk divoting. Namun bila fatwa itu keluar dari lembaga yang otoritatif, semacam dari Mahkamah Konstitusi, maka dia akan langsung mengikat dan wajib bagi pemerintah untuk melaksanakannya.
Dari sini kita bisa melihat dengan adil, bahwa fatwa Abu Bakar bukanlah fatwa yang illegal atau inkonstitusional, karena memang dia yang diberi mandat dan otoritas untuk mengadopsi fatwa – yang kebetulan sama dengan pendapat pribadi beliau. Ini kurang lebih sama dengan keputusan Presiden untuk menghadapi gerakan separatis, apakah ditumpas dengan aksi militer, atau dirangkul dengan aksi persuasi. Pasti akan banyak “fatwa” yang beraneka. Tapi yang akan dilaksanakan tentu yang diadopsi Presiden.
Dan sebenarnyalah, dalam kasus Abu Bakar, perlu diluruskan bahwa para penolak pembayar zakat sebenarnya tidak dihukum murtad – namun hanya bughat (pembangkangan). Mereka hanya diperangi sampai mereka tunduk kembali kepada otoritas politik yang sah. Pada saat itu memang ada kelompok lain yang murtad setelah Nabi wafat. Pada yang murtadpun sebelum dihukum bunuh ada aturan Islam yang mewajibkan penguasa untuk melakukan persuasi, penyadaran dengan memberikan tempo untuk dialog.
Sementara itu, eksekusi oleh pihak-pihak di luar pemilik otoritas, seperti yang dilakukan oleh Khawarij dan Jama’ah Takfir wal Jihad jelas illegal, karena mereka bukan pemilik otoritas.
Adanya pihak-pihak yang sewenang-wenang dan tanpa klarifikasi memvonis dengan suatu fatwa kemudian mengeksekusinya, tidak boleh lantas mendorong kita untuk menggeneralisasir dengan mengharamkan berfatwa dalam bidang itu. Bila ini terjadi, maka ini lebih gawat dari pemasungan pluralitas pendapat seperti yang diperjuangkan teman-teman dari kelompok liberal.
Pluralitas pendapat atau pluralitas fatwa adalah realitas sejak zaman Nabi, para shahabat, para imam Madzhab dan seterusnya. Ada perkara-perkara yang oleh satu imam dianggap halal, namun oleh imam yang lain dianggap haram. Perbedaan ini bahkan masuk ke bidang aqidah – seperti yang terjadi pada kelompok Mu’tazilah. Kelompok yang sangat mengagungkan akal ini (dan sangat dihormati di kalangan liberal) berpendapat bahwa Qur’an adalah mahluk – berbeda dengan jumhur yang berpendapat Qur’an kalam Ilahi (bukan mahluk atau Khalik). Tentu ada fatwa tambahan di kalangan Mu’tazilah yang kemudian diadopsi oleh Khalifah al-Ma’mun, sehingga kemudian ada kekerasan terhadap para ulama yang tidak setuju dengan fatwa Mu’tazilah itu. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu korbannya. Namun beliau bukan korban fatwa an sich, namun korban eksekusi dari penguasa yang secara legal memang punya otoritas menerapkan fatwa. Hanya saja fatwa tersebut memang tidak berkualitas. Dan belakangan Khalifah sendiri yang mencabut fatwa itu setelah dalam suatu dialog dia menyadari kejanggalannya.
Adanya fatwa yang tidak bermutu, dan kemudian dieksekusi –sekalipun oleh pihak yang otoritatif– bukanlah monopoli dunia Islam. Ini mungkin yang disinyalir oleh Ulil Abshar Abdala sebagai “batas tipis antara otoritas dan otoriter”.
Jadi kuncinya adalah pada tingkat berpikir umat. Ketika tingkat berpikir umat sangat rendah, maka akan lahirlah intelektual dan ulama gadungan, yang berfatwa tanpa ilmu. Ketika fatwa ini dieksekusi, oleh siapaun, apapun bidangnya, maka yang muncul adalah musykilah baru.
Musykilah ini bisa berupa kekerasan yang dilakukan secara individual sebagaimana terjadi pada al-Dzahabi. Bisa pula oleh negara, sebagaimana di masa lalu oleh al-Ma’mun, di masa Orde Baru oleh Soeharto, dan kini di tingkat global oleh George W. Bush.
Musykilah ini bisa juga berupa perampasan hak publik, atau penyelesaian persoalan perdata tidak sebagaimana mestinya – seperti terjadi dengan berbagai fatwa-fatwa dalam bidang ekonomi, politik atau perdata akibat sistem kapitalisme-sekuler, seperti penaikan harga BBM, privatisasi sektor publik, perubahan status rumah sakit umum menjadi swasta, hingga fatwa suatu yayasan yang membolehkan pernikahan lintas agama. Semua lahir dari suatu fatwa, suatu pendapat. Memang tidak semua langsung berujud kekerasan. Namun bila di kemudian hari tidak ada rumah sakit yang mau merawat pasien miskin (sehingga pasien itu mati pelan-pelan), atau ada anak-anak bunuh diri karena orang tuanya yang beda agama akhirnya ribut terus, apakah itu bukan kekerasan? Atau mungkin lebih pantas kita sebut “kekerasan tertunda”?
Fatwa –sebagai suatu pendapat– bukanlah benda sakral yang pasti benar dan wajib dilaksanakan. Ketika fatwa itu didasarkan pada dalil Qur’an dan Sunnah, maka dia menjadi hukum syara’ yang mengikat pembuatnya – dan peminta fatwa itu. Namun siapa yang melaksanakan, tergantung apakah objek hukum dalam fatwa itu merupakan tugas dari individu, kelompok atau negara.
Dan ketika ada pendapat atau fatwa yang berbeda, maka dibuka diskursus publik. Fatwa mana yang akan dilaksanakan, haruslah fatwa yang paling bermutu, ditinjau dari ketepatannya dalam memahami realita, dan dalam menerapkan dalil Qur’an dan Sunnah – bukan ditinjau dari HAM, demokrasi atau manfaat ekonomi.
Dan ketika fatwa itu sudah diadopsi oleh otoritas publik, maka semua orang harus menaatinya – termasuk mereka yang semula menentangnya atau mengikuti fatwa yang lain, sampai kemudian fatwa itu dicabut kembali, demi fatwa lain yang argumentasinya lebih kuat lagi.
Menaati fatwa yang telah diadopsi suatu otoritas adalah satu hal, dan terus mengkritiknya dengan argumentasi yang lebih kuat adalah hal yang lain.
Wallahu a’lam bis shawab.
Israel adalah negara di atas mitos. Anehnya, lebih dari separo dunia, bahkan sebagian orang Israel sendiri, menggantungkan hidupnya dari mitos itu.
Mitos ini setidaknya ada tiga macam:
Mitos pertama adalah mitos “tanah yang dijanjikan”. Mitos ini ditujukan untuk bangsa Yahudi sendiri. Kepada mereka dikatakan bahwa negeri di antara Laut Tengah dan Sungai Jordan itulah tanah sakral yang dijanjikan “Yahweh” kepada mereka. Dan karena itulah, jutaan keturunan Yahudi dari seluruh dunia, juga dari Amerika, Rusia dan Ethiopia rela berimigrasi –dan berjuang- ke Israel, sekalipun tahu, tanah itu tidak senyaman daerah asal mereka, dan sejak berdirinya tak pernah sepi dari konflik berdarah.
Mitos kedua adalah mitos “bangsa yang didhalimi”. Mitos ini terutama ditujukan untuk bangsa Barat, sehingga Israel mendapatkan pembenaran atas tanah yang didudukinya, sampai-sampai film “Schindler List” karya Steven Spielberg dianugerahi sejumlah Oscar.
Mitos ketiga adalah mitos “Yahudi adalah manusia-manusia superior yang mampu mengendalikan dunia”. Seakan-akan Amerika sendiri, dikendalikan Yahudi, sehingga selalu memveto keputusan PBB yang merugikan Israel, media massanya selalu membela Israel, dan konglomeratnya tak henti mengucurkan dana demi Israel. Mitos ketiga ini terutama ditujukan kepada ummat muslim. Akibatnya Israel dianggap musuh yang paling pantas dibenci – dan juga ditakuti. Sulit membayangkan seorang tokoh semacam Ariel Sharon datang ke negeri muslim seperti Indonesia, lalu diajak meninjau masjid Istiqlal atau bertemu dengan tokoh-tokoh muslim, sebagai mana pernah terjadi dengan Bill Clinton atau Jimmy Carter. (more…)