Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Bakosurtanal’ Category

Belajar Jadi Profesor “GUN”

Thursday, February 23rd, 2012

Belajar Jadi Profesor “GUN”

Pada akhir 2011, Presiden RI telah menandatangani  Perpres 94/2011 yang secara perlahan tapi pasti akan mengubah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG).  Ini terjadi setelah munculnya UU no 4/2011 tentang Informasi Geospasial yang disahkan bulan April 2011. Berikut adalah wawancara hasil wawancara eksklusif dengan Prof. Fahmi.

Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar adalah salah seorang anggota tim kecil yang berada di belakang pematangan UU IG sejak tahun 2007.  Dia adalah profesor riset pertama di Indonesia di bidang sistem informasi spasial, profesor riset ke-2 di Bakosurtanal dan ke-310 yang dikukuhkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).  Pada saat pengukuhannya pada 11 Agustus 2010, Fahmi Amhar yang lahir pada 15 Maret 1968 ini baru berusia 42 tahun, sehingga dia menjadi profesor riset termuda yang pernah dikukuhkan LIPI.

Prof. Fahmi, apa sebenarnya cita-cita UU-IG yang nanti akan menjadi tugas BIG?
Intinya adalah “GUN” – Geospasial Untuk Negeri.  Ini juga tema besar yang dicanangkan Dr. Asep Karsidi, Kepala Bakosurtanal – dan sekarang sekaligus Kepala BIG di masa transisi – dalam peringatan 42 tahun Bakosurtanal tanggal 17 Oktober 2011 lalu.

Apa maksud “Geospasial Untuk Negeri” itu?
Dalam hemat saya GUN dapat disingkat dalam tiga motto: “Geospasial untuk seluruh wilayah Indonesia”, “Geospasial untuk seluruh urusan Indonesia” dan “Geospasial untuk seluruh rakyat Indonesia”.

Apa artinya “Geospasial untuk seluruh wilayah” ?
“Geospasial untuk seluruh wilayah Indonesia” artinya kita punya kewajiban menyediakan Informasi Geospasial Dasar tentang seluruh wilayah Indonesia, dari ibu kota hingga pulau-pulau terluar, dari puncak gunung hingga dasar laut di landas kontinen, dan dari yang skalanya untuk tingkat nasional (skala kecil) maupun yang sesuai untuk tingkat RT (skala besar).

Kalau “Geospasial untuk seluruh urusan”?
“Geospasial untuk seluruh urusan Indonesia” artinya kita punya kewajiban menjadikan informasi geospasial mendukung selesainya seluruh urusan kita secara lebih efektif dan efisien, dari urusan pemerintahan hingga urusan wisata keluarga, dari urusan eksekutif hingga legislatif dan judikatif, dari urusan yang menghasilkan banyak duit seperti peta untuk optimasi lokasi investasi hingga yang menguras duit seperti penanggulangan bencana atau kemiskinan.

Wah menarik, bagaimana dengan yang ketiga?
“Geospasial untuk seluruh rakyat Indonesia” artinya kita punya kewajiban menjadi informasi geospasial ini dapat diakses oleh segala lapisan masyarakat, dari anak pra sekolah hingga manula, dari petani hingga eksekutif, dari atlit olimpiade hingga kaum diffabel (penyandang cacat).  Ini artinya, kita harus mengemas informasi geospasial dalam berbagai bentuk, termasuk ke dalam budaya pop, dalam sinetron, dongeng anak-anak, hingga souvenir.

Prof, kira-kira berapa lama Geospasial Untuk Negeri ini akan menjadi realitas?
Saya kira ini perjalanan panjang.  Kita juga harus mengapresiasi apa yang telah ditempuh bangsa ini hingga hari ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.  Yang jelas, kita harus punya indikator, kita mau kemana, dan kita sampai di mana.  Setiap saat kita evaluasi, bahkan setiap lima tahun mungkin perlu ada perubahan kebijakan nasional dengan produk perundang-undangan bila dianggap perlu.

Oya iya Prof, ini pertanyaan agak pribadi, sebenarnya sejauh mana perjuangan anda meraih gelar tertinggi (sebagai Profesor)?
Sebenarnya saya merasa belum pantas dan belum pingin jadi profesor.

Hah, koq bisa?
Publikasi internasional saya belum banyak.  Hingga pengukuhan, saya belum pernah diberi amanah secara formal untuk membimbing calon Doktor.  Belum menulis banyak buku teknis.  Belum menghasilkan penemuan yang layak paten dan komersial.  Dan yang terpenting ini: saya belum botak, ubanan dan pelupa ha ha ha …

Jadi ternyata jadi Profesor itu tidak muluk-muluk?
Justru itu rahasia yang ingin saya buktikan.  Mau tahu?

Apa itu?
Untuk jadi Profesor riset itu perlu angka kredit kumulatif 1050.  Dari jumlah ini, 80% harus unsur utama, jadi kira-kira 840 lah.  Pendidikan jenjang S3 sudah menghasilkan 200.  Jadi karya tulis ilmiah harus 640.  Kalau tulisan kita masuk jurnal nasional terakreditasi, itu dapat 25.  Kalau prosiding konferensi nasional, itu dapat 10.  Jadi kalau kita secara teratur bisa masuk ke 4 prosiding dan 1 jurnal per tahun, pasti dapatlah, dalam 10 tahun meraih angka kredit yang dibutuhkan.  Tentu saja kalau nulisnya rame-rame, ya perlu lebih banyak tulisan lagi.  Intinya saya telah membuktikan bahwa dalam 10 tahun saja itu bisa koq jadi profesor, bukan sulap bukan sihir bukan KKN ha ha ha …  Tapi tentu saja ini tak lepas dari lingkungan yang kondusif di Bakosurtanal selama ini.  Saya tak akan bisa begini kalau tidak ada senior-senior yang memberi kemudahan dan juga tantangan, jika tak ada rekan-rekan tempat diskusi dan bekerjasama, dan jika tak ada bawahan yang membantu baik secara langsung maupun dengan doa.

Prof. Fahmi menyelesaikan Doktornya di Vienna University of Technology, Austria, pada tahun 1997, berarti pada usia 29 tahun.  Dia berangkat ke Austria pada tahun 1987 dengan beasiswa dari Kementerian Riset dan Teknologi yang saat itu dipimpin oleh B.J. Habibie.  Setelah pada 1993 meraih gelar “Diplom Ingenieur” di bidang Geodesy & Geomatics Engineering, dia mendapat beasiswa dari Austrian National Science Foundation untuk menempuh jenjang Doktoral.

Tapi Prof, tadi anda mengatakan anda merasa belum pantas jadi Profesor, tapi apa yang lalu menggerakkan anda untuk “mau” jadi Profesor?
Sebenarnya, tahun 2007 angka kredit kumulatif saya sudah lebih dari 1050, dan saya sudah menempati jabatan fungsional Peneliti Utama IV/e.  Tapi saat itu, peraturannya, yang boleh orasi pengukuhan profesor hanya yang pangkat PNS-nya sudah IV/e.  Baru pada tahun 2009 secara resmi aturan itu diubah oleh LIPI dan Badan Kepegawaian Negara, sehingga semua yang sudah Peneliti Utama IV/e, sekalipun pangkatnya belum IV/e, boleh orasi, asalkan dia S3.  Bahkan yang sudah Peneliti Utama IV/e itu hanya diberi waktu 2 tahun untuk orasi pengukuhan profesor.  Kalau tidak, ya nanti hak orasinya hangus.  Makanya ya saya buru-buru orasi lah, daripada hangus … Maka jadilah saya profesor.

Oh jadi sebenarnya anda sudah layak menjadi profesor pada tahun 2007?
Ya kalau menurut aturan LIPI-BKN tahun 2009 itu begitu.

Wah kalau begitu anda sebenarnya meraih derajat Profesor pada usia 39 tahun.  Perasaan anda gimana, jadi profesor semuda ini?
Biasa saja.  Kalau dibandingkan dengan banyak profesor lain di Indonesia, insya Allah saya gak jelek-jelek amat … ha ha ha.  Lagi pula, teman-teman saya sekolah di Austria dulu juga ada beberapa yang sudah jadi Profesor.  Wolfgang Wagner dan Norbert Pfeifer yang satu lab dengan saya dulu masing-masing jadi profesor pada usia 32 dan 35 tahun.  Di Indonesia, Prof. Firmansyah dari FE-UI jadi profesor pada usia 37 tahun.  Memang profesor di perguruan tinggi ukurannya agak beda.  Mereka cukup angka kredit kumulatif 850.  Dan unsur utamanya bukan cuma penelitian, tetapi juga pengajaran dan pengabdian masyarakat (tridarma perguruan tinggi).  Tapi intinya, bukan usia yang menentukan, tetapi karya dan kontribusi.  Dan saya menyadari, sepertinya kontribusi saya belum apa-apa.

Bisa ceritakan proses anda menjadi peneliti?
Saya itu hobby meneliti sejak SMP.  Selama SMA saya tiga kali meraih juara Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI [tahun 1984, 1985 dan 1986].  Saya mendirikan Kelompok Ilmiah Remaja.  Sejak menjadi Doktor, saya juga mereview beberapa jurnal nasional dan internasional.  Saya juga aktif di berbagai organisasi profesi ilmiah.  Bahkan saya pernah jadi acting president dari TC-VI International Society of Photogrammetry & Remote Sensing.

Hasil riset anda yang termanfaatkan apa saja?
Saya banyak melakukan optimasi proses pemetaan digital dan pembangunan sistem informasi spasial.  Tahun 1997 begitu pulang saya terlibat intensif dengan salah satu megaproyek Bakosurtanal saat itu, yaitu proyek digital mapping.  Saya melakukan otomatisasi dalam proses penyelesaiannya, sehingga pekerjaan yang mestinya perlu 25 orang dengan 25 komputer selama 1 bulan, cukup dikerjakan oleh 5 komputer selama 2 minggu non stop. Lalu saya banyak terlibat dalam standardisasi proses-proses pemetaan.  Tanpa standard tak ada kualitas, dan tanpa peta yang berkualitas tak ada sistem informasi spasial yang handal.  Bayangkan kalau sistem informasi ini dipakai untuk manajemen kebencanaan!  Saya juga terlibat dalam banyak hal di luar teknis perpetaan seperti membuat juknis jabatan surveyor pemetaan, membuat modul-modul diklat, menyusun harga satuan pokok, menyusun RPP Tingkat Ketelitian Peta untuk Rencana Tata Ruang, hingga menyusun RUU Informasi Geospasial yang baru disahkan DPR 5 April 2011 lalu.  Saya berusaha agar semua ini memiliki landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tahun 2007-2010 Fahmi menjadi Kepala Balai Penelitian Geomatika Bakosurtanal, yang hingga saat itu merupakan satu-satunya unit resmi litbang di Bakosurtanal, meskipun peneliti juga tersebar di unit kerja yang lain.

Anda pernah di struktural, apa yang anda rasakan?
Di struktural itu, gagasan kita bisa kita terapkan, tentunya terbatas dalam lingkup yang kita kendalikan.  Kalau peneliti belaka kan paling hanya bisa usul.  Di struktural kita bisa alokasikan sumberdaya baik orang maupun anggaran.  Namun di sisi lain, saya terkadang miris juga dengan pertanggungjawaban moral.  Kadang masih jauh antara harapan dengan kenyataan.  Kalau dari sisi penelitian sebenarnya tidak masalah mengatakan bahwa penelitian ini hingga bulan Desember belum selesai karena beberapa kendala, mungkin tiga bulan lagi baru kelar.  Tapi secara anggaran harus dinyatakan selesai, karena kalau tidak selesai, dana tidak dapat ditarik sama sekali, hangus, jadi kalau begini, yang akan menyelesaikan tiga bulan ke depan juga tidak akan dapat dibayar.  Dilematis.

Jadi anda lebih suka tidak di struktural?
Kalau hanya melihat tunjangan, tunjangan peneliti utama lebih tinggi dari tunjangan Kepala Balai (Eselon 3) saat itu.  Mungkin lain kalau strukturalnya setingkat Eselon 2 atau Eselon 1 ha ha ha …  Mengutip Prof Syafii Maarif [mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah], gaji profesor saat ini masih “gaji penghinaan” ha ha ha …  Tapi mudah-mudahan segera akan berubah.  Di Perguruan Tinggi gaji+tunjangan profesor sekarang sudah lebih tinggi dari eselon-1.  Tapi sebaiknya kita berorientasi pada output dan outcome saja.  Soal penghasilan itu sudah ada yang ngatur … ha ha ha …

Anda tidak tertarik bekerja di Luar Negeri saja?
Tahun 1989 sewaktu masih mahasiswa saya pernah kerja di suatu biro engineering di Austria.  Tahun 1990 saya bahkan pernah kerja sebagai programmer dalam suatu proyek GIS [Geographic Information System] di IBM Vienna.  Gajinya 250 Schilling atau sekarang sekitar 25 Euro per jam.  Saya kira sampai sekarang pun gaji segitu masih lumayan.  Padahal dulu saya masih mahasiswa, sekarang profesor ha ha ha …Tetapi hidup ini kan tidak cuma mengejar nilai materi.  Ada nilai ethical, sosial atau bahkan spiritual.  Dan saya merasa kehadiran saya di Indonesia bermanfaat untuk lebih banyak manusia dibanding kalau saya tetap di Luar Negeri.  Tetapi saya tidak memandang negatif teman-teman yang tetap di Luar Negeri.  Banyak di antara mereka yang ternyata juga punya kontribusi besar untuk Indonesia dan dunia, yang mungkin kalau mereka di sini malah tidak bisa.  Sedangkan di sisi lain, banyak juga lulusan Luar Negeri yang berada di Indonesia tetapi justru menjadi benalu bagi masyarakat, misalnya jadi koruptor.

Apa yang paling membahagiakan anda?
Kalau saya dapat menginspirasi para guru dan anak-anak muda agar mereka menjadi orang-orang yang berpikir, syukur-syukur menjadi ilmuwan, bahasa Qur’annya menjadi “ulil albab”.  Tetapi lebih bahagia lagi kalau dapat menginspirasi orang yang punya kekuasaan, sehingga mereka memutuskan kebijakannya dengan adil.  Bahasa Nabi, adilnya umara itu lebih utama dari sholat malam 70 tahun …

Itulah makanya anda juga mengajar?
Ya, saya mengajar di Pasca IPB dan Undip, dulu juga di Universitas Paramadina dan Universitas Muhammadiyah.  Oleh LIPI dan Diknas saya juga sejak kira-kira sepuluh tahun terakhir dipercaya sebagai juri beberapa lomba ilmiah, seperti Lomba Karya Ilmiah Remaja, Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia, National Youth Inventor Award dan Lomba Penelitian Ilmiah Remaja. Saya menulis buku dan mengembangkan training untuk meningkatkan kecerdasan dan kreativitas ilmiah berbasis spiritual (Technoscience Spirituality Quotient).  Dan selain itu saya banyak menjadi pembicara seminar dalam berbagai topik kemasyarakatan, umumnya tentang pendidikan atau riset, tetapi kadang juga tentang ekonomi atau politik, karena realitanya pendidikan atau riset itu subordinat dari sistem ekonomi atau politik yang ada.

Mengapa anda tidak masuk dunia politik saja?
Berpolitik tidak harus masuk parpol kan?  Membaca buku itu aktivitas akademik.  Tetapi berupaya agar semua anak bangsa bisa membaca, itu adalah aktivitas politik.  Itu terkait dengan menciptakan iklim membaca yang kondusif, menyediakan bacaan bermutu yang mudah diakses dan sebagainya.  Demikian juga dengan dunia riset.  Dunia riset di negeri ini jauh dari kondusif.  Peneliti sehebat apapun tidak boleh mendapatkan insentif lebih dari Rp. 50 juta setahun, karena setiap peneliti hanya boleh lembur maksimum 4 jam / hari, dan honornya perjam untuk profesor adalah Rp. 50.000.  Itu semua masih dipotong pajak ha ha ha …  Saya bahkan membayangkan, kalau Thomas Alva Edison [penemu lampu listrik] hidup di sini, tentu dia tidak lolos masuk peneliti.  Demikian juga dengan Bill Gates [pendiri Microsoft] yang bukan sarjana.  Albert Einstein [penemu fisika relativitas] mungkin bisa jadi peneliti, tapi paling pangkatnya mentok di IV/B ha ha ha …
Riset kita di kancah internasional masih “ngisin-isini” (bikin malu).  Kita senangnya jadi tangan di bawah, menerima dana hibah atau utangan atau training.  Pengalaman saya jadi counterpart proyek dengan utang Luar Negeri, itu isi kontraknya didikte oleh mereka.  Kita boleh saja mencoreti item yang sudah kita kuasai, tetapi harga totalnya atau besaran utangnya ternyata tetap.

Anda sudah Profesor berarti sudah “di garis aman”
Siapa bilang?  Kalau di Perguruan Tinggi mungkin ya, kalau profesor riset, itu tiap dua tahun harus melakukan maintainance, setor angka kredit sekian.  Kalau tidak tercapai, ya gelar profesornya dicopot.  Apa gak malu itu?  Tetapi lebih dari itu, seorang profesor dituntut lebih oleh masyarakat.  Dia tak harus sekedar mumpuni, tetapi juga harus “bunyi”, menyuarakan kebenaran dan melawan kedhaliman.

Cita-cita anda yang belum tercapai?
Saya kira kita semua punya beberapa jenis cita-cita.  Ada cita-cita abadi, yaitu masuk surga.  Ada cita-cita jangka panjang, menengah dan pendek.  Cita-cita jangka pendek itu seperti “jadi sarjana” atau “jadi profesor”.  Sangat egoistik.  Ukurannya apa yang diterima diri pribadi.  Kalau jangka menengah dan panjang tak bisa lagi sekedar menerima, tetapi harus memberi.  Saya punya cita-cita jangka menengah agar Geospasial Untuk Negeri benar-benar terwujud dalam sepuluh tahun ke depan.  Terus saya punya cita-cita jangka panjang agar dalam dua puluh lima tahun ke depan kita memiliki kontribusi universal yang signifikan, mungkin bahasanya “Geospasial rahmatan lil ‘alamien”.  Boleh kan?

Persisnya seperti apa?
Tantangan ke depan akan semakin global.  Perubahan iklim, kemudahan arus barang jasa dan informasi antar bangsa, tetapi juga kejahatan transnasional, semua membutuhkan wisdom yang kelas dunia, dan juga tools – termasuk informasi geospasial – yang kelas dunia. Saya masih ingin ikut menyaksikan, karya dan perjuangan ilmuwan-ilmuwan Indonesia itu bermanfaat bagi manusia sejagad hingga berabad-abad kemudian, seperti al-Khawarizmi yang membuat aljabar atau al-Biruni yang memberi dasar-dasar ilmu bumi modern.  Ilmu yang bermanfaat akan menjadi investasi yang tidak akan putus sekalipun kita mati. Saya juga ingin mencetak kader-kader ilmuwan lebih banyak, karena guru yang hebat itu adalah guru yang mampu membuat muridnya lebih hebat dari dirinya. Semoga Allah masih memberi saya panjang usia.

Ah Prof. Fahmi, anda masih muda, tetapi terima kasih atas wawancaranya yang sangat inspiratif.

Oleh: Agung Teguh Mandira
(http://www.bakosurtanal.go.id/bakosurtanal/belajar-jadi-profesor-gun/)

SEBUAH KISAH TENTANG ALOS

Wednesday, April 27th, 2011

Mendengar berita kematian satelit ALOS yang diemail oleh Dr. Manasobu Shimada (ALOS Science Manager JAXA) hari ini tentu saja saya sangat bersedih.

Sebenarnya satelit ALOS yang telah beroperasi 5 tahun 3 bulan telah jauh melampaui life-design-nya yang semula hanya 3 tahun.  Sebenarnya, jet-gas untuk manuver satelit ini masih cukup untuk beroperasi hingga 10 tahun.  Namun kegagalan sistem power dari solar-cell-nya membuat komunikasi dengan satelit terputus, sehingga satelit itu tidak bisa dikendalikan lagi.  Namun dalam kurun waktu 5 tahun 3 bulan itu, telah banyak yang kita peroleh, kita pelajari, kita rencanakan kembali.

Sebagian dari pelajaran itu adalah design yang sama sekali baru untuk ALOS-2 dan ALOS-3 nanti, yaitu dipisahkannya antara sistem optik dari sistem radar.  Pada ALOS-1, 2 sensor optik (pan-stereo, XS) dan 1 sensor radar ada dalam satu platform. Namun pada prakteknya, mustahil mengoperasikan 3 sensor sekaligus, karena keterbatasan power, board-memory dan downlink-bandwidth.

Bakosurtanal mengenal ALOS sejak sebelum diluncurkan.  Tahun 2005, proposal saya untuk “Generating & Updating of Topographic Map using ALOS-data”, dipilih mewakili Bakosurtanal untuk suatu Pilotproject antar instansi yang dikoordinir oleh LAPAN.

Tahun 2006, bersamaan dengan ISPRS-Symposium di Tokyo, saya mengunjungi RESTEC, yang ditunjuk JAXA mempromosikan ALOS ke negara berkembang. Ternyata meski waktu itu satelit sudah diluncurkan, tetapi masa comissioning masih membutuhkan waktu hingga data bisa keluar.  Namun perkenalan saya langsung dengan RESTEC, yang dilanjutkan dengan kunjungan mereka ke Bakosurtanal, membuka mata mereka, bahwa potential user untuk ALOS yang sangat besar di Indonesia adalah Bakosurtanal.  Akhirnya, selain kita bisa mendapatkan citra ALOS dari jalur LAPAN, kita bisa mendapatkan saluran ke-2, yaitu download langsung dari RESTEC.  Beberapa peneliti dari LAPAN sendiri pernah memanfaatkan saluran ke-2 ini, karena ternyata saluran-1 terbilang lamban, karena data dikirim dengan DHL.

Bahkan, RESTEC pernah mengajak teknisi dari JAXA datang ke Bakosurtanal dan memasang software pengolah DEM khusus dari mereka di Bakosurtanal (saat itu di salah satu komputer ber-OS Linux di Balitka).  Sayangnya software ini cuma diberi nyawa untuk 1 bulan, dan sayangnya juga, JAXA tidak berniat mengkomersilkan.

Tahun 2007, saya mencoba mengajukan proposal riset sendiri langsung ke JAXA, tentang korelasi citra optik (AVNIR) dan radar (PALSAR) dengan tujuan dapat mendeteksi dini kebakaran hutan dan tembus awan.  Proposal ini di-acc dalam skema RA-2, di mana kita dapat citra gratis langsung download sendiri dari server JAXA selama 3 tahun, di mana tiap tahun sampai 50 citra.  Sayangnya, kemudian saya dapatkan bahwa tidak ada satupun citra AVNIR yang benar-benar diambil pada saat yang sama dengan citra PALSAR.  Lebih dari itu, ternyata dalam setahun, cuma ada 2 cycle (dari 8 cycle per tahun) citra PALSAR yang diambil dengan modus full polarimetry.  Jadi akhirnya, cukup sulit untuk mewujudkan impian saya mendeteksi dini kebakaran hutan dengan main-main citra radar polarimetry yang tembus awan itu.  Akhirnya jatah citra ALOS selama 2008-2011 itu saya bagi-bagi ke siapa saja peneliti yang membutuhkan, termasuk mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Setiap acara Seminar GeoCampus dari Balitka ke 10 perguruan tinggi di seluruh Indonesia saya promosikan data ALOS.  Itupun, sampai passwordnya expired pada bulan Maret 2011, masih ada 70 citra yang tersisa, belum termanfaatkan.

Namun bagaimanapun saya banyak belajar.  Gembar-gembor Dr. Makoto Ono dari RESTEC, bahwa ALOS dapat menyediakan peta topo skala 1:25.000 TANPA GCP, ternyata – mohon maaf – pepesan kosong!  Semua contoh peta berbahan baku ALOS dari GSI (Bakosurtanal-nya Jepang), menggunakan GCP yang cukup massif, yang di Jepang memang sudah tersedia sangat merata.

Saya hanya dapat mengatakan bahwa untuk produksi peta RBI lengkap, ALOS PRISM+AVNIR cuma sanggup sampai skala 1:50.000.

Untuk 1:25.000, ALOS hanya dapat menyediakan update unsur planimetrisnya.  Untuk juga dapat menyediakan data vertikal (DEM) dengan akurasi yang dibutuhkan pada skala 1:25.000, perlu investigasi yang cukup mendalam tentang pengaruh penggunaan dari berapa GCP dan/atau RPC, dikaitkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan GCP dan/atau RPC tersebut.

Data archive ALOS yang jutaan citra banyaknya masih dapat kita akses.  Di Tokyo mereka sudah menyediakan satu lantai gedung yang luas dengan puluhan rak untuk menaruh data server – yang Januari 2007 itu masih kosong.  Di Bakosurtanal, sejak 2011 yang masih dapat akses langsung (dalam skema RA3) adalah Dr. Ibnu Sofian.

Saya sendiri juga masih dapat akses ke archive tersebut melalui LAPAN, karena sejak 2010, saya ditunjuk menjadi WG2-chair, dengan fokus pada coastal studies & small-island research.  Tahun ini, saya mendapat insentif riset kompetitif dari Ristek untuk mencari algoritma mendapatkan garis pantai MSL secara otomatis dari 2 citra ALOS (PRISM, AVNIR dan PALSAR) yang diambil pada 2 kondisi pasang surut yang berbeda.

Selama terlibat dengan ALOS ini saya sudah melakukan 4 kali perjalanan ke Luar Negeri, yakni 2 kali ke Jepang (1 ISPRS Symposium dan 1 Training Disaster Management berbasis Space Technology), 1 ke Rhodos Yunani (ALOS PI-Symposium) dan 1 ke Kona, Hawaii (ALOS PI-Symposium).  Ada sejumlah paper lain yang ditulis bersama dengan peneliti Balitka yang dipresentasikan di tempat lain, seperti di Jerman, China dan Malaysia.

Semoga dalam beberapa tahun ke depan ini archive data ALOS tetap dapat memberikan banyak pengetahuan baru kepada kita tentang bagaimana sebaiknya mengelola lingkungan ini.

Dan semoga, tidak lama lagi, Indonesia juga dapat mengirim sendiri satelit Earth Observation dari Indonesia, yang dapat sepenuhnya kita gunakan untuk memantau lingkungan alam Indonesia, mengoptimasi pemanfaatan sumberdaya, mendeteksi bencana, menjaga kedaulatan dan mencerdaskan anak bangsa.

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Professor for Spatial Information System
National Coordination Agency for Surveys & Mapping
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong – INDONESIA

PENANGGULANGAN BENCANA; Persoalan Fokus, Organisasi dan Anggaran

Sunday, November 7th, 2010

Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Bakosurtanal

Indonesia adalah supermarket bencana.  Belum selesai longsor di Wasior Papua teratasi, Gunung Merapi meletus, Gempa dan tsunami terjadi di Mentawai, dan Jakarta justru tenggelam dalam banjir.  Sebenarnya, bencana (hazard) tidak harus menjadi malapetaka (disaster) selama kapasitas teknis maupun manusia di dalamnya cukup untuk mengantisipasinya.  Curah hujan yang tinggi tidak akan menjadi malapetaka bila sistem drainase bagus.  Longsor dan Gunung Meletus dapat dihindari dengan mengevakuasi atau memindahkan permukiman secara permanen ke daerah aman.  Gempa bisa dihadapi dengan bangunan tahan gempa.  Tsunami bisa diantisipasi dengan sistem peringatan dini dan pelatihan (tsunami drill) yang teratur.

Tetapi meski telah memiliki UU no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan telah dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tapi kapasitas bangsa ini dalam menanggulangi bencana nyaris belum banyak berubah.  Akibatnya upaya-upaya mengatasi bencana ini dikeluhkan banyak pihak masih jauh dari optimal.  Memang upaya penanggulangan bencana adalah juga tanggungjawab masyarakat – dalam bentuk edukasi dan gotong royong, namun tidak disangsikan bahwa pemerintah memiliki kemampuan yang paling besar.  Pemerintah memiliki organisasi yang paling besar.  Ada empat juta PNS dan setengah juta lebih anggota TNI dan POLRI.  Pemerintah juga memiliki APBN dalam orde Trilyun.  Ini semua jauh di atas seluruh LSM bersama-sama.

Penulis melihat ada tiga hal yang perlu lebih diperhatikan secara serius oleh Pemerintah agar upaya-upaya penanggulangan bencana ini ke depan lebih optimal.

Pertama masalah fokus.  Fokus ini nanti akan mempengaruhi pola organisasi dan anggaran.  Tidak pelak lagi, yang namanya bencana tidak bisa direncanakan seperti pesta pernikahan.  Oleh sebab itu, banyak pihak tidak sabar, dan akhirnya hanya fokus dalam tanggap darurat saja.  Padahal penanggulangan bencana memiliki setidaknya tiga siklus: pencegahan – tanggap darurat – pemulihan.  Selama tidak ada kejadian yang memerlukan tanggap darurat, seharusnya ada upaya-upaya permanen untuk pencegahan.  Memeriksa secara teratur sistem drainase, menguji kehandalan pencatat pasang surut, hingga melatih semua PNS, pelajar dan mahasiswa secara teratur dan sistemik untuk tanggap darurat – sesuai tipe bencana yang mungkin dihadapi di daerah itu, adalah contoh-contoh upaya pencegahan.

Kedua masalah organisasi.  Karena fokus penanggulangan bencana hanya pada tanggap darurat, tak heran bahwa organisasi BNPB ataupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hanya diisi dengan personel dan peralatan ala kadarnya.  Mereka lebih mengandalkan pada personil yang dipinjam dari instansi lain seperti dari Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, bahkan hingga BPPT atau Bakosurtanal dalam bentuk Tim Satuan Respon Cepat (SRC) atau Taruna Siaga Bencana (TAGANA).  Teorinya, personil pinjaman ini sudah sepakat siap dikerahkan sewaktu-waktu ada bencana.  Kenyataan di lapangan tidak semudah itu.  Kadang-kadang anggota SRC ataupun TAGANA sedang menghadapi tugas pokok sehari-hari di instansinya.  Dan tidak selalu mudah untuk setiap saat meninggalkan tugas pokoknya tersebut dan dikerahkan ke daerah bencana.  Apalagi kalau sudah menjelang akhir tahun, di mana tugas-tugas menumpuk dan harus ada laporan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan di depan auditor, yang tentu saja hanya akan menilai kinerja berdasarkan tupoksi tiap instansi.  Organisasi yang kurang fokus ini juga menyebabkan rekrutmen personel BNPB atau BPBD belum berdasarkan kompetensi – atau bahkan sertifikasi.  Personel PNS limpahan dari instansi lain masih ada yang “personel sisa”, bukan personel terbaik yang tahan banting.  Dari sisi organisasi ini, harus diakui bahwa TNI memiliki organisasi dan personel terlatih yang paling siap melakukan tanggap darurat.

Ketiga masalah anggaran.  Bencana terjadi tidak mengikuti tahun anggaran.  Serapan anggaran untuk penanggulangan bencana tidak dapat linier seperti proyek-proyek normal.  Misalnya ada aturan Kementerian Keuangan yang mengharuskan tgl 15 Desember sudah “saldo besi”.  Bagaimana bila bencana terjadi setelah tanggal itu, seperti tsunami Aceh 26 Desember 2004 lalu?  Aturan umum dalam penyerapan anggaran yang linier membuat institusi yang menyiapkan SRC dan TAGANA tidak bisa berbuat banyak ketika bencana terjadi di penghujung tahun.  Ini menjadi lebih rumit ketika masih ada egoisme sektoral, sehingga banyak kantor BNPB / BPBD yang hingga kini masih numpang dan juga di lokasi yang kurang nyaman untuk didatangi.

Mudah-mudahan Pemerintah, dapat melihat persoalan ini secara jernih, sehingga kendala fokus, organisasi, anggaran, dan egoisme sektoral dapat diurai, korban bencana dapat lebih cepat ditolong dan masyarakat secara umum dapat ditingkatkan kapasitasnya menghadapi bencana.