Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Bakosurtanal’ Category

Ketika Muslim Cerdas Spasial

Tuesday, August 24th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Lebaran segera tiba.  Separuh penduduk ibu kota akan mudik.  Itu berarti jalanan macet.  Kenapa?  Karena sebagian besar tidak tahu jalan, sehingga mengandalkan jalan yang paling populer.  Macetlah.

Hal yang sama terjadi di jalanan ibu kota setiap hari.  Jalan tol yang semestinya lancar malah paling macet.  Kenapa sebagian orang pakai jalan tol?  Banyak yang karena tidak tahu jalan.

Selama musim haji ternyata sama juga.  Jalanan Makkah – Arafah – Muzdalifah – Mina macet oleh orang-orang yang tidak tahu jalan, termasuk sopir-sopir musiman.

Selain masalah jalan, kaum muslim juga sering kelihatan kurang cerdas dalam soal lokasi.  Tak jarang dua masjid terletak berdampingan, sedang pada saat yang sama ada satu kampung yang sangat jauh dari masjid, atau ukuran masjidnya sangat tidak memadai.  Dalam bertanipun, tidak sedikit kaum muslim yang menanam secara latah.  Ketika harga suatu komoditas pertanian sedang tinggi, mereka ramai-ramai menanamnya, tanpa ilmu tentang apakah tanah itu optimal untuk jenis komoditas yang ditanam.  Kalau ini dilakukan oleh petani kecil yang miskin dan tak pernah sekolah, mungkin kita paham.  Tetapi bila ini dimobilisasi oleh pemerintah, tentu kita bertanya-tanya.

Dan kalau kita tanya para pelajar dan mahasiswa tentang nama-nama negeri muslim, atau bahkan lokasi kota-kota di negeri mereka sendiri, kita kadang-kadang mengelus dada.  Kalau mereka tidak tahu di mana lokasi dan batas-batas kedaulatan mereka, bagaimana mereka akan peduli kalau tanah-tanah mereka telah dijarah penjajah dan sumberdaya alamnya telah dihisap?

Padahal kaum muslim generasi awal adalah kaum yang cerdas spasial, atau cerdas dalam mengenali dan memanfaatkan ruang.  Mereka didorong untuk mengenali ruang tempat hidupnya.  Dan lebih dari itu mereka ditantang mengenali ruang hidup bangsa-bangsa lain karena dorongan dakwah dan jihad.  Allah SWT berfirman: “Sungguh telah berlaku sunnah Allah,  maka berjalanlah kamu di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibat (perbuatan) orang-orang mendustakan ayat-ayat-Nya”. (QS. Al-Imran: 137).

Perintah ini telah membuat umat Islam di abad-abad pertama berupaya untuk melakukan ekspedisi. Mereka mulai menjelajah daratan dan mengarungi lautan untuk menyebarkan agama Allah.  Jalur-jalur darat dan laut yang baru dibuka, menghubungkan seluruh wilayah Islam yang berkembang dari Spanyol di barat hingga Asia Tenggara di timur, dari Sungai Wolga di utara hingga lereng gunung Kilimanjaro di pedalaman Afrika.

Ekspedisi di abad-abad itu mendorong para sarjana dan penjelajah Muslim untuk mengembangkan ilmu-ilmu kebuman seperti geodesi dan geografi, atau di era modern disebut geospasial. Umat Islam memang bukan yang pertama menguasai ilmu bumi. Ilmu ini diwarisi dari bangsa Yunani, dari tokoh-tokoh seperti Thales dari Miletus, Herodotus, Eratosthenes, Hipparchus, Aristoteles, Dicaearchus dari Messana, Strabo, dan Ptolemeus.  Salah satu buku karya Ptolomeus yang sudah diterjemahkan ke bahasa Arab, yaitu Almagest, adalah buku favorit yang dipakai sebagai pegangan kajian tafsir di Baghdad, ketika yang dibahas adalah surat al-Ghasiyah.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan (Qs. 88:17-20)

Kerja keras para sarjana Muslim itu berbuah manis. Al-Biruni mampu menghitung keliling bumi lebih akurat dari yang pernah didapat Eratosthenes. Khalifah Al-Ma’mun memerintahkan para intelektualnya menciptakan peta bumi yang besar. Adalah Musa Al-Khawarizmi bersama 70 ahli lainnya membuat globe pertama pada 830 M.  Dia juga menulis kitab Surah Al-Ardh (Risalah Bumi). Pada abad yang sama, Al-Kindi juga menulis sebuah buku berjudul “Tentang Bumi yang Berpenghuni”.

Pada awal abad ke-10 M, Abu Zayd Al-Balkhi mendirikan universitas khusus survei pemetaan di Baghdad.  Pada abad ke-11 M, Abu Ubaid Al-Bakri dari Spanyol menulis kitab Mu’jam Al-Ista’jam (Eksiklopedi Kebumian) dan Al-Masalik wa Al-Mamalik (Jalan dan Kerajaan). Ini buku pertama tentang toponimi (nama-nama tempat) di Jazirah Arab. Pada abad ke-12, Al-Idrisi membuat peta dunia dan menulis Kitab Nazhah Al-Muslak fi Ikhtira Al-Falak (Tempat Orang yang Rindu Menembus Cakrawala). Kitab ini begitu berpengaruh sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Geographia Nubiensis.

Seabad kemudian, Qutubuddin Asy-Syirazi (1236–1311 M) membuat peta Laut Tengah, dan Yaqut Ar-Rumi (1179-1229 M) menulis enam jilid ensiklopedi bertajuk Mu’jam Al-Buldan (Ensiklopedi Negeri-negeri).

Penjelajah muslim asal Maroko, Ibnu Battuta di abad 14 M memberi sumbangan yang signifikan dalam menemukan rute perjalanan baru setelah berekspedisi selama hampir 30 tahun. Penjelajah Muslim lainnya, yaitu  Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok menemukan banyak rute baru perjalanan laut setelah berekspedisi tujuh kali dari tahun 1405 hingga 1433 M.  Mereka juga mendata sebaran objek tematik yang diamatinya di atas peta.  Muncullah antara lain geo-botani, untuk mencatat distribusi dan klasifikasi tumbuhan,  atau geo-lingua untuk mencatat sebaran bahasa dan dialek.

Karena dorongan syariah, kaum muslim generasi awal telah cerdas spasial, sehingga mereka lalu pantas diberi amanah menguasai negeri Barat dan Timur.  Kapan kita akan secerdas mereka, atau lebih cerdas lagi?

Strategi Marketing Informasi Spasial

Sunday, January 3rd, 2010

Dr.-Ing. Fahmi Amhar

Peneliti Teknologi Pemetaan Digital Bakosurtanal

Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong

Telp/fax. 021-87901254  email: famhar @telkom.net

 Abstrak

Strategi marketing menurut Hermawan Kartajaya (one of “Marketing Guru”, who shaped the world of marketing) dapat dringkas dalam 9 prinsip.  Prinsip-prinsip ini ternyata bisa diterapkan dalam berbagai aplikasi, baik di perusahaan besar, BUMN, jasa konsultasi, professional, bahkan hingga sampai ke personal (misalnya bagi seseorang yang ingin menjalani satu karier tertentu). 

Pada tulisan ini 9 prinsip itu dicoba diterapkan untuk meningkatkan “daya jual” kemampuan penyediaan data, informasi dan solusi spasial dari dunia data spasial, khususnya Bakosurtanal.

 

Gambar 1. Sketsa model 9 prinsip dalam marketing

 

Prinsip 1 – 3: Explore MIND SHARE

 

Prinsip-1 (mapping strategy) : Segmentation
– View Your Market Creatively

Bagi suatu institusi publik LPND seperti Bakosurtanal, market mereka adalah masyarakat.  Masyarakat ini dari sisi latar belakang ada yang telah melek peta (data spasial) dan ada belum (map illiteracy); yang melekpun ada yang telah menggunakan produk Bakosurtanal ada yang belum.  Dari sisi respon terhadap produk, ada yang negatif, positif dan netral.  Dari sisi sosiologis didapatkan berbagai latarbelakang:  dari aspek kelembagaan (Bappeda, Dinas, BUMN, swasta, akademik, LSM), finansial (kurang, rata-rata, mampu), pendidikan (rendah, rata-rata, tinggi), lingkungan (rural, urban, metro), budaya (tradisional, modern, liberal), serta kedekatan kepada peta (jauh, standar, kental).

Apa yang perlu dibidik oleh Bakosurtanal khususnya dan dunia data spasial umumnya secara spesifik?  Mungkin di suatu tempat, prioritas ditujukan ke Bappeda, sementara di tempat lain ke mahasiswa atau LSM. 

Ibaratnya kita tidak boleh melihat semua pihak sebagai hutan, namun sebagai pohon, yang masing-masing bisa berbeda.  Maka kita perlu kelompokkan yang karakternya kurang lebih sama – agar diakses dengan “bahasa” yang sama, atau oleh person dengan karakter sama.  Kita juga akan tahu sikap dan perilaku yang tepat ketika berinteraksi dengan tiap segmen itu, sehingga marketing akan sampai, tidak belum-belum sudah ditolak, hanya karena ketaksesuaian metode pendekatan komunikasi kita, misalnya karena bahasa yang kita gunakan terlalu teknis, terlalu “spasial” – belum empati kepada calon konsumen.

 

Prinsip-2 (fitting strategy) : Targeting
– Allocate Your Resources Effectively

Karena kita memiliki sumberdaya yang terbatas, baik dari sisi jumlah orang, waktu maupun dana, maka mau tak mau harus ada skala prioritas.  Inilah targeting.  Mana yang akan kita bidik duluan, meski tidak berarti melalaikan segmen yang lain.

Sebelumnya kita mesti melihat dulu di mana potensi dan kekuatan kita.  Target memang sedikit banyak tergantung pada kompetensi kita.  Kita harus memastikan bahwa pada segmen yang kita tuju itu kita mempunyai possibility yang besar untuk diterima.  Kalau kita menyapa target itu, dan kemudian timbul respon atau diskusi, maka itu berarti kita akan mendapatkan kemajuan.  Namun sebagaimana sniper, kita memang perlu mengalokasikan waktu, tenaga dan pikiran, terutama untuk target utama kita.  Baru sisanya untuk target berikutnya.

 

 

 

Gambar 2. Posisi Bakosurtanal (sebagai company) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

 

 

 

Dalam hal ini, Hermawan memberi ide analisis TOWS – kebalikan dari SWOT (lihat gambar-2).  Dalam TOWS ini, yang dilihat pertama-tama adalah Threat (tantangan).  Tantangan muncul dari 3C (Customer, Competitor dan Change). 

Customer memiliki permintaan yang beraneka ragam (dari mulai keinginan membuat peta yang setiap rumah kelihatan, sampai yang satu kabupaten bisa muat dalam selembar untuk ditaruh di meja rapat). 

Competitor meliputi berbagai institusi yang mengklaim diri mampu menyediakan data hingga solusi spasial dengan cepat (LAPAN, BPPT, Perguruan Tinggi, swasta) selain “clasic competitor” (Dittop-AD, Dishidros-AL, BPN, DKP). 

Change meliputi perubahan-perubahan teknologi (hadirinya 4S – GPS, GIS, RS dan e/m-BussinesS), regulasi (UU Akses Informasi, UU Perlindungan Konsumen, RUU Rahasia Negara) dan perubahan sosial budaya yang inkremental (seperti penggunaan PDA dan GPS yang makin luas).

Namun tantangan inipun diimbangi dengan Opportunity – peluang menjadikan Bakosurtanal sebagai content-provider berbagai jenis location based service.  Walaupun kita juga tahu bahwa untuk itu masih ada banyak Weakness (kelemahan) yang masih harus diatasi, terutama SDM yang benar-benar cakap manajemen dan melek informatika. 

Namun kita tetap harus berbesar hati dengan apa yang telah dimiliki, terutama data yang begitu besar dengan kualitas terbaik yang mencakup seluruh Indonesia, juga dengan SDM yang berpengalaman dan berpendidikan tinggi.  Selain juga jangan dilupakan posisi quasi-monopolistik yang masih ada, serta intangible assets berupa jaringan kerjasama yang telah dirintis selama ini.

 

Prinsip-3 (being strategy) : Positioning
– Lead Your Customers Credibly

Kalau kita mendatangi suatu lembaga dan menawarkan produk atau jasa kita, mereka akan bertanya, siapakah kita ini? 

Karena itu agar aktivitas Bakosurtanal ini menancap dengan baik di dada customer, maka Bakosurtanal harus kredibel di mata customernya.  Kredibilitas ini akan didapat ketika orang percaya bahwa kita ini unik dan membuktikan keunikan itu dengan produk dan jasa yang berkualitas nomor satu.  Bahkan Bakosurtanal tidak hanya siap dengan produk unik sebagai sekedar komoditas, namun juga siap dengan produk yang memuaskan, bahkan memberi “sensasi” dan solusi. Kalau perlu tunjanglah hal itu dengan track-record selama ini, agar positioning itu kuat dan kita memang punya kredibilitas untuk itu.

Positioning bukan sesuatu yang bisa didapat dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan dan dipupuk dengan differentiating dan branding.

 

 

 

 

Gambar 3. Produk yang unik dan “beda” dan relevan pada kebutuhan pengguna

 

 

Prinsip 4-6: Engage MARKET SHARE

 

Prinsip-4 (core tactic) : Differentiation
– Integrate Your Content and Context

Dalam berlomba-lomba bersama para “competitor”, kita harus menentukan kuat di mana dan mendiferensiasi di content atau context.  Paling tidak satu dari ini harus beda dengan competitor.  Akan lebih baik kalau content memang informatif, akurat atau berkualitas, dan context juga cantik, sistematik, pokoknya menarik orang untuk menyimak.

Content dan context harus terintegrasi dengan baik.  Karena kita bergerak dalam informasi spasial ya contentnya harus spatially.  Dan karena kita mass data provider – bukan sekedar riset, atau malah presentasi belaka – ya contextnya harus benar-benar memberikan apa yang dibutuhkan orang dalam mengatasi problemnya, bukan sekedar wacana ilmiah atau seminar tiada akhir (lihat gambar-3).

 

Differentiation of Bakosurtanal

 

We don’t make any map,
but 3D-topographic map

We don’t map just a garden or a city,
but national wide

We don’t map for specific purpose,
but for all purposes

We don’t offer just map,
but spatial data infrastructure

We are not just a mapping institute,
but also a “university of mapping”

We are not just a spatial data factory,
but we do also advance research in spatial data

We are not the only or the first in mapping,
but we are the most experienced in Indonesia

 

 

 

Prinsip-5 (creation tactic) : Marketing Mix
– Integrate Your Offer and Access

Marketing mix meliputi 4P yakni Product, Price, Place dan Promotion.  Dalam merancang marketing mix ini kita harus kembali pada diferensiasi.  Kita mau different di bidang apa?  Kita misalnya ingin menjadi provider infrastruktur data spasial, maka orang harus mengingat kita sebagai penyedia yang paling ahli atas infrastruktur data spasial.  Kita harus bicara mengenai data spasial dengan segenap aspeknya.  Apapun persoalannya, harus kembali ke infrastruktur data spasial yang dalam tataran praktis baru akan sempurna bila diimplementasikan oleh semua stakeholder.  Jadi diferensiasi harus diingat dulu agar tidak salah arah.

Kemudian kita harus susun product, price, place dan promotion agar cocok dengan diferensiasi tadi.  Produk kita jelas yakni infrastruktur data spasial, mulai dari titik-titik kontrol, data gaya berat, pasut, foto-foto udara, peta dasar rupabumi dan wilayah cetak maupun digital dalam berbagai formatnya, gasetir toponimi, hingga ke berbagai atlas. 

Pricenya adalah apa yang perlu diberikan oleh customer?  Secara makro, masyarakat adalah customer yang membayar Bakosurtanal melalui mekanisme pajak dan APBN.  Sedang secara mikro, berbagai pihak membeli data, informasi atau solusinya secara langsung dalam bentuk PNBP.

Gabungan antara product dan price ini disebut Offer.  Offer adalah apa yang kita tawarkan kepada orang.  Kita punya “servis”.  Kita juga memasang “harga”.

Selain itu kita juga harus bisa diakses melalui place dan promotion.  Kita bisa diakses lewat channel mana?  Kalau orang mau produk ini, dia harus kemana?  Bagaimana kita bisa diakses juga sebaiknya direncanakan, misalnya melalui suatu website, kartunama standar yang lengkap dengan nomor telepon atau HP. 

 

Prinsip-6 (capture tactic) : Selling
– Build Long-term Relationship with Customer

Kita harus berani melakukan selling, tapi jangan hard selling atau menjual secara frontal.  Tapi kalau terlalu pasif juga salah.  Jadi ”seling is about art”.

Kita bisa menjual feature selling dengan menjual apa yang kita ada, benefit selling dengan menjual manfaat yang akan didapat customer bila “beli” kita.  Namun yang terbagus adalah menjual solusi.

Ini artinya, jangan terpaku pada PNBP dari penjualan data.  Andaikata seluruh data atau peta habis terjual pun, revenuenya tidak akan menutup investasi (yang untungnya ditanggung negara melalui APBN).  Produk pemetaan tidak seperti produk industri rekaman.  Investasi satu nomor lembar peta dapat mencapai Rp. 100 juta; sementara berapa exemplar peta yang akan terjual dengan harga Rp. 30.000/hardcopy atau Rp. 500.000/softcopy? 

Karena itu lebih baik bermain pada benefit-selling.  PNBP bisa didapat dari customization, memberikan solusi pada pengguna, termasuk juga memberikan update atau training. Dan untuk memperluas pasar ini, tidak ada salahnya untuk mencoba membagikan data secara gratis (pada segmen pasar tertentu), dan kemudian melihat peluang bisnis derivatifnya.  Jadi rugi (sedikit) pada feature selling namun untung banyak di benefit selling.

Setelah itu kita harus terus menjaga relationship dengan pelanggan.  Hubungan ini berlanjut terus, meski pelanggan sudah (pernah) membeli kita.

Kita bisa mengingatkan pelanggan dengan suatu newsletter atau mailing-list yang menginformasikan produk baru kita atau kemungkinan update data yang mereka miliki.  Kita perlu mengadakan semacam “Bakosurtanal User Meeting” secara teratur sehingga hubungan dengan customer terus berlanjut.

 

 

Prinsip 7-9: Execute HEART SHARE

 

Prinsip-7 (value indicator) : Brand
– Avoid the Commodity-Like Trap

Jangan anggap nama sekedar nama.  Nama itu penting dan orang harus mengetahui asosiasi apa yang melekat dengan nama kita.  Kita punya kewajiban membangun brand kita sendiri, baik sebagai individu professional maupun sebagai “kru Bakosurtanal”.  Walau awalnya adalah secara “kecil-kecilan” hanya di forum-forum “klasik” seperti Bappeda (Tata Ruang) atau Tata Pemerintahan (Tata Batas), tapi harus meningkat sehingga juga merambah ke dunia bisnis atau infotainment (informasi yang dikemas sebagai entertainment), sehingga makin banyak yang mengenal kita.  Menulis di media, tampil di acara publik, atau muncul di televisi adalah salah satu usaha melakukan branding.

Setelah itu jaga nama baik kita.  Jangan sampai kita keseringan mengumbar janji tapi tidak mampu memenuhinya (promise under delivery). 

Lebih baik kita rugi materi, tidak apa asal jangan sampai nama kita jatuh.  Sekali nama tercemar, kerugiannya akan lebih besar daripada yang diperkirakan.

 

 

Brand image Bakosurtanal

 

Spatial information

Sistematics – Nationwide

Quality – Accurate

 

 

Prinsip-8 (value enhancer) : Service
– Make Service as Your Way of Life

Dalam tingkatan intelektual, ilmu-ilmu servis memang harus dipelajari dengan baik, bagaimana memperlakukan orang yang butuh pelayanan, bagaimana melakukan orang dengan empati, bagaimana menghadapi orang yang tidak tahu namun sok tahu, dan sebagainya.

Namun kita juga harus belajar mengenali mood kita sendiri, dan mengindentifikasi mood orang lain.  Dengan ini kita bisa menyesuaikan servis kita secara tepat, dengan empati yang lebih besar.

Dan supaya pelayanan menjadi mantap, kita harus berusaha menganggap servis sudah menjadi tugas kita di dunia.  Artinya, bagi staf Bakosurtanal, jangan sampai mencurahkan perhatian kepada masalah pemetaan hanya dilakukan ketika ada tugas saja atau ketika ada kompensasi materi (UPK) saja.  Di sinilah perlunya spiritual commitment, sehingga aktivitas marketing akan makin bersifat spiritiual.

 

Prinsip-9 (value enabler) : Process
– Improve Your Quality, Cost and Delivery

Menjadi terkenal atau memberikan servis yang baik tidak cukup, tetapi harus diperhatikan bahwa kita memberikan servis yang sesungguhnya.  Dan ini sebuah proses.  Di dalam segala proses ini kualitas harus dijaga, cost harus efisien dan bisa diberikan tepat waktu.  Ada tiga proses, yaitu : 1) proses pekerjaan kita sehari-hari; 2) proses menangani keluhan atau permintaan “pelanggan”; dan 3) proses penciptaan suatu servis baru yang kreatif.

Demikianlah, Branding yang baik ini akan menaikkan Positioning Bakosurtanal, sehingga posisi tawarnyapun akan jauh lebih baik dari sebelumnya.

 

 

 

Gambar 4. Spiral peningkatkan posisi suatu institusi dengan marketing yang tepat

 

 

Daftar Pustaka:

Kartajaya, H. (2004): Marketing Your Self.  Markplus.

Agustian, A.G. (2001): ESQ Power.

Masalah Pertanahan Pasca Bencana

Thursday, August 10th, 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal

Bencana apapun, gempa, tsunami, erupsi gunung berapi, banjir, lumpur panas dan sebagainya akan meninggalkan setumpuk pekerjaan rumah.  Sekian orang meninggal, yang lain luka-luka atau mengungsi.  Sekian orang kehilangan mata pencahariannya.  Sekian anak putus sekolah.  Sekian kekasih kehilangan yang dicintainya, menjadi yatim atau janda.

Di antara PR itu yang kurang mendapat perhatian adalah masalah pertanahan.  Filosofinya: orang yang telah menderita itu sebaiknya jangan ditambah lagi dengan kehilangan hak-hak atas tanah miliknya.

Di Aceh, sekian ratus hektar tanah, setelah tsunami tiba-tiba menjadi bagian dari laut, setelah ketinggiannya kini lebih dari semeter di bawah muka laut rata-rata.  Di beberapa tepi sungai di Sulawesi yang belum lama ini banjir, sekian tanah dan bangunan di atasnya terkena erosi, sehingga kini penghuninya yang masih hidup tak tahu lagi, di mana harus membangun kembali.  Di lereng Merapi, sekian petani tiba-tiba mendapatkan sawah atau kebunnya telah menjadi padang batu lava.  Di Sidoarjo, ribuan orang kehilangan rumah dan sawahnya yang tergenang lumpur panas, tanpa tahu kapan mereka dapat kembali hidup seperti semula.

Sebenarnya peristiwa kehilangan tanah ini tidak hanya terjadi saat ada bencana.  Bisa pula ini karena politik kehutanan atau pertambangan yang belum peduli rakyat kecil, terutama yang hidup dalam masyarakat adat.  Di banyak tempat di Sumatera, Kalimantan dan Papua, ratusan masyarakat adat tiba-tiba kehilangan akses ke hutan yang sudah mereka huni berabad-abad, bahkan sejak sebelum adanya Republik Indonesia.  Tiba-tiba tanah-tanah mereka itu dinyatakan sebagai tanah negara, lalu diserahkan kepada pengusaha HPH, perkebunan sawit atau pertambangan.

Pertanyaannya, bagaimana solusi pekerjaan rumah ini, dan siapa yang harus melaksanakan solusi ini?

Berbeda dengan asset lainnya, tanah adalah barang tak bergerak yang juga bukan buatan manusia.  Secara adat dan juga menurut syariat Islam, manusia berhak atas tanah yang dia hidupkan.  Maksud “dihidupkan” misalnya dibuat bangunan atau dikelola sehingga produktif.  Asal muasalnya, tanah di dunia ini bukan milik siapa-siapa.  Ia hanya milik Sang Pencipta.

Baru sejak adanya hukum positif yang diterapkan Belanda, tanah yang bukan milik pribadi dinyatakan sebagai milik negara.  Pribadi yang ingin memiliki tanah dari tanah negara itu, wajib memohon dan membayar Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.  Mereka lalu mendapat secarik surat dan membayar Pajak Bumi dan Bangunan.  “Lumayan”.  Tanah yang tadinya tidak menghasilkan “apapun”, kini menghasilkan – minimal – pajak.

Banyak dampak dari politik pertanahan ini.  Di daerah-daerah terpencil, masyarakat adat menjadi terancam eksistensinya, karena tiba-tiba tanah-tanah mereka – yang jelas belum bersurat itu – tiba-tiba diklaim oleh pengusaha yang telah membayar biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Pengusaha yang mendapatkan tanah itu secara legal, terkadang hanya menjadikan tanah-tanah itu objek jarahan – ketika masih ada kayunya – atau spekulasi.  Kalau ini terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab, tentu tanah yang ditelantarkan seperti ini akan ditarik lagi oleh negara untuk diberikan kepada orang lain yang lebih mampu mengelolanya.

Sementara itu, di daerah-daerah yang lebih ramai, orang sudah agak lupa asal muasal kepemilikan tanah adalah seperti itu.  Di bayangan banyak orang, tanah hanya dapat dimiliki dengan cara dibeli atau diwarisi.  Walhasil ketika tanahnya hilang oleh bencana, mereka jadi putus asa.

Sesungguhnya, tanah-tanah korban bencana, bila itu sudah mustahil direstorasi, selayaknya dideklarasikan menjadi milik umum, dan kepada yang bersangkutan diberikan ganti rugi yang sesuai, sehingga dapat bereksistensi seperti sedia kala.  Kenapa dijadikan milik umum, hal itu karena tanah itu dipandang sebagai buffer bagi kemaslahatan umum, buffer dari erosi, erupsi gunung berapi, tsunami dan sebagainya.

Sedang bila tanah itu bisa direstorasi, misalnya tanah bekas tsunami direklamasi lagi, tentu saja pemilik sebelumnya lebih berhak, tentunya setelah pekerjaan reklamasi itu dibayar dengan sepadan.

Dalam hal ini, status kepemilikan tanah perlu diperluas dari dua macam (milik pribadi – milik negara) menjadi tiga macam (milik pribadi – milik negara – milik umum).  Tidak selayaknya negara mengalihkan kepemilikan negara kepada pribadi / swasta, ketika tanah itu sebenarnya milik umum, kecuali dipastikan tidak ada hak umum yang dilanggar.  Jadi aspek ekologis, sosial, termasuk hak masyarakat adat harus diperhatikan.  Sementara itu tanah pribadi dapat dijadikan milik umum setelah dibayar ganti ruginya, atau bila oleh pemiliknya telah diwakafkan.  Karena itu sudah saatnya pendataan tanah yang ada di negeri ini terintegrasikan.

Selama ini, ada dua institusi pendaftar tanah di Indonesia. Pertama Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk tanah milik.  Kedua Departemen Kehutanan yang mendaftar tanah hutan.  Data luas tanah dari kedua lembaga ini bila dijumlah akan jauh lebih besar dari luas resmi seluruh daratan Indonesia saat ini.  Ini indikasi banyak tumpang tindih karena sistem yang kusut dan administrasi yang tidak rapi.

Semoga bencana yang bertubi-tubi menggugah segenap pihak – terutama pemerintah – untuk membenahi sistem pertanahan negeri ini.  Agar mereka korban bencana tidak terus gigit jari disuguhi mimpi.

Qur’an berkata: Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi dan memperhatikan akibat (perbuatan) orang-orang sebelum mereka. Orang-orang itu lebih kuat dan telah mengolah dan memakmurkan bumi lebih banyak dari mereka.  Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan bukti-bukti yang nyata (namun mereka mengingkarinya).  Maka Allah sekali-kali tidak zalim kepada mereka, tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. (Qs. 30 ar-Rum:9)