Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
August 15th, 2008

GIS untuk Pemetaan Bahasa

GIS untuk Pemetaan Bahasa

Dr.-Ing. Fahmi Amhar

Abstrak

Dengan perangkat Sistem Informasi Geografi (GIS), data sebaran bahasa, dialek dan fonem akan lebih mudah untuk disajikan dan dianalisis.  Pada tulisan ini akan disampaikan beberapa bentuk analisis serta penyajian data bahasa dengan GIS, dari sekedar presentasi hingga korelasi spasial antar “layer” bahasa, sintesis data sebaran bahasa dengan data statistik, serta simulasi dengan GIS untuk menunjang aktivitas penelitian bahasa, misalnya untuk menentukan area kerja.

1      Sistem Informasi Geografi

GIS adalah sistem berbasis komputer yang didesain untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek serta fenomena, di mana lokasi geografi adalah karakteristik penting atau kritis terhadap hasil analisis (Aronoff, 1989).

Dengan GIS data yang telah diakuisi dari dunia nyata akan lebih mudah ditata sehingga lebih fleksibel diakses, diteliti lebih dalam, dianalisis serta disajikan, untuk kemudian dijadikan alat bantu para pengambil keputusan (decission support system) dalam bertindak di dunia nyata.

Sementara itu data sebaran bahasa, dialek dan fonem dapat dipandang sebagai atribut yang tercode atas suatu lokasi geografi, baik dengan kode wilayah, batas administrasi, atau juga batas-batas budaya baik yang ditentukan dengan perkiraan maupun yang diukur dengan alat seperti Global Positioning System (GPS).

Salah satu software GIS yang banyak dipakai di Indonesia – dan kemudian dijadikan alat eksperimen dalam tulisan ini adalah Arc/View dari ESRI.  Arc/View adalah suatu software yang memiliki kemampuan database dan sekaligus penyajian secara spasial.  Dalam Arc/View, data geometri dapat dimasukkan (didigitasi langsung); diimpor dari format software lain; diedit; ditambahkan berbagai data attribut; disajikan secara selektif menurut kriteria lokasi atau thema tertentu dengan berbagai variasi bentuk tampilan (jenis simbol, warna atau arsiran); dikombinasikan dengan berbagai data yang berbeda (seperti spatial join, intersection, union, …) dsb.  Kemampuan semacam ini hanya ada dalam software-software GIS, dan belum ada dalam software grafika seperti Corel Draw atau software editing seperti AutoCAD.

Selain Arc/View – yang harga resminya relatif mahal – ada juga software GIS yang lebih murah – dengan kemampuan lebih terbatas – misalnya Mapinfo, atau bahkan software GIS yang sama sekali gratis, misalnya GRASS atau TatukGIS.

 

 

Gambar 1 – Tampilan software Arc/View (tampilan warna-warni tiap kecamatan)
dan TatukGIS (tampilan desa yang terseleksi oleh lingkaran)

 

2        Analisis Sebaran Bahasa dengan GIS

Data spasial dan data atribut bahasa dapat digunakan bersama-sama untuk membuat peta tematik (special purpose maps) dan untuk mendapatkan suatu informasi atas area geografi tertentu.  Data tersebut juga dapat dipakai untuk analisis yang lebih khusus, di antaranya adalah pengalamatan suatu fenomena yang hanya diketahui dalam dialek tertentu (address matching), pengelompokan komunitas berdasarkan bahasa atau dialek yang dominan (district delineation) hingga seleksi route untuk suatu pekerjaan tertentu yang terkait bahasa (route selection).

Bentuk data yang paling sederhana adalah pencacahan bahasa atau dialek yang digunakan per satuan administrasi.  Untuk bahasa daerah yang dominan, barangkali satuan administrasi kabupaten / Kota dapat digunakan.  Pusat Bahasa adalah organ di bawah Depdiknas, yang juga memiliki jaringan dinas-dinas di setiap Kabupaten / Kota.  Untuk itu tidak terlalu sulit kiranya untuk melakukan inventarisasi – misalnya dengan mengetahui bahasa daerah yang diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah di Kabupaten / Kota tersebut.  Dengan itu akan didapatkan tabel dengan dua kolom utama: KabKota – Bahasa.  Tentunya akan ada sejumlah daerah dengan bahasa yang sama.

Berikut ini adalah contoh simulasi untuk wilayah propinsi.


Tabel-1 Data simulasi sebaran bahasa daerah yang dominan di tiap provinsi

 

PROVINSI

Bahasa Daerah yang Dominan

PROVINSI

Bahasa Daerah yang Dominan

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Aceh

NUSATENGGARA BARAT

Sasak

SUMATERA UTARA

Melayu

NUSATENGGARA TIMUR

Sasak

RIAU

Melayu

KALIMANTAN BARAT

Dayak

KEPULAUAN RIAU

Melayu

KALIMANTAN TENGAH

Dayak

SUMATERA BARAT

Minang

KALIMANTAN TIMUR

Dayak

JAMBI

Melayu

KALIMANTAN SELATAN

Banjar

BENGKULU

Melayu

SULAWESI UTARA

Manado

SUMATERA SELATAN

Melayu

GORONTALO

Gorontalo

BANGKA-BELITUNG

Melayu

SULAWESI TENGAH

Kaili

LAMPUNG

Lampung

SULAWESI BARAT

Bugis

BANTEN

Banten

SULAWESI SELATAN

Makassar

DKI JAKARTA

Betawi

SULAWESI TENGGARA

Bugis

JAWA BARAT

Sunda

MALUKU

Ambon

JAWA TENGAH

Jawa

MALUKU UTARA

Ternate

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Jawa

PAPUA

Papua

JAWA TIMUR

Jawa

IRIANJAYA BARAT

Papua

BALI

Bali

 

 

 

 Gambar 2 – Tampilan peta sebaran bahasa daerah
Geometri Kabupaten berdasarkan data dari Pusat PDRTR Bakosurtanal, 2005
Attribut bahasa daerah yang dominan berdasarkan data simulasi

 

Sedang untuk dialek, diperlukan satuan administrasi yang lebih rinci, misalnya Kecamatan, atau bahkan Desa.  Pembagian ini tidak harus kaku, karena tentunya akan ada data yang hanya dapat / perlu dilacak ke level kecamatan saja, ada juga daerah yang diperlukan pelacakan sampai desa – misalnya di Papua di mana area kecamatan sangat luas dan dihuni oleh berbagai suku yang memiliki dialek berbeda-beda.

 

 

Gambar 3 – Tampilan peta sebaran dialek di Kab. Puncak Jaya pada Arc/View
Geometri Desa berdasarkan data dari BPS, 2003
Attribut dialek berdasarkan data simulasi (disamakan dengan Kecamatan)

 

Selain itu harus disadari adanya sebaran dialek yang bahkan lebih rinci lagi dari area desa, sehingga tidak dapat dipetakan sesuai batas administratifnya.  Untuk itu dapat digunakan simbol (point) pada koordinat tempat dialek ditemukan (pada umumnya centroid suatu permukiman), atau grafik tambahan (theme / layer terpisah) bahkan dapat overlap dengan batas administratif.

Secara umum, batas sebaran bahasa memang harus ditaruh pada layer terpisah dari batas administrasi karena memiliki sifat-sifat yang berbeda.  Namun di sisi lain dibutuhkan mekanisme untuk menjamin agar dapat dilakukan link dengan berbagai data yang hanya bisa diakses sesuai batas administrasi – misalnya data statistik kependudukan atau ekonomi.

Penggunaannya antara lain untuk mengetahui bahasa apa yang penuturnya paling sedikit, atau ekonominya pada level terrendah – sehingga dikhawatirkan bahasa itu akan punah.  Pada sisi lain, peta bahasa ini dapat digunakan untuk agregasi daerah-daerah dengan kultur budaya yang kurang lebih homogen – karena bahasa dapat menunjukkan pola budaya yang mirip.

Pada level yang lain terdapat pemetaan penggunaan fonem untuk objek yang sama, misalnya Air – Ayer – Aik – Cai.  Peta fonem ini jauh lebih terbatas, dan tersedia dalam bentuk tabel-tabel dengan dua kolom utama: Fonem – KodeWilayah, di mana daerah ini sering diisi dengan data kode daerah secara sekuensial, misalnya sebagai berikut:

 

Fonem Kode daerah tempat ditemukannya
Fonem-1 1, 3, 5-8, 11
Fonem-2 2,4,10
Fonem-3 9

 

Bentuk kolom ini harus diubah agar memenuhi syarat sebagai data relasional dengan kunci pada lokasi, sehingga kolom KodeWilayah harus ditaruh di depan.

 

KodeDaerah Fonem yang ditemukan

1

Fonem-1

2

Fonem-2

3

Fonem-1

4

Fonem-2

5

Fonem-1

6

Fonem-1

7

Fonem-1

8

Fonem-1

9

Fonem-3

10

Fonem-2

11

Fonem-1

 

Selain itu ada juga bentuk tabel di Pusat Bahasa yang berisi ratusan kolom (sehingga kertas tabel itu digulung seperti perkamen kuno).  Setiap kolom pada baris pertama s.d ketiga berisi informasi wilayah (mungkin Kabupaten-Kecamatan-Desa).  Kemudian di bawahnya berisi daftar fonem.

 

Kab Kab-A Kab-A Kab-A Kab-B Kab-B
Kec Kec-a Kec-a Kec-b Kec-a Kec-b
Desa Desa-1 Desa-2 Desa-1 Desa-1 Desa-1
Fonem-1 Fonem-Aa1-1 Fonem-Aa2-1 Fonem-Ab1-1 Fonem-Ba1-1 Fonem-Bb1-1
Fonem-2 Fonem-Aa1-2 Fonem-Aa2-2 Fonem-Ab1-2 Fonem-Ba1-2 Fonem-Bb1-2
Fonem-3 Fonem-Aa1-3 Fonem-Aa2-3 Fonem-Ab1-3 Fonem-Ba1-3 Fonem-Bb1-3
Fonem-4 Fonem-Aa1-4 Fonem-Aa2-4 Fonem-Ab1-4 Fonem-Ba1-4 Fonem-Bb1-4
Fonem-5 Fonem-Aa1-5 Fonem-Aa2-5 Fonem-Ab1-5 Fonem-Ba1-5 Fonem-Bb1-5
Fonem-n Fonem-Aa1-n Fonem-Aa2-n Fonem-Ab1-n Fonem-Ba1-n Fonem-Bb1-n

 

Tabel inipun harus ditransposisi.  Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, misalnya dengan Excel (fungsi TRANSPOSE(array)).  Yang penting adalah huruf fonetik yang dipakai bisa terus dipakai di Excel dan nantinya di Arc/View.

 

Kode Fonem-1 Fonem-2 Fonem-3 Fonem-4 Fonem-5 Fonem-n
Aa1 Fonem-Aa1-1 Fonem-Aa1-2 Fonem-Aa1-3 Fonem-Aa1-4 Fonem-Aa1-5 Fonem-Aa1-n
Aa2 Fonem-Aa2-1 Fonem-Aa2-2 Fonem-Aa2-3 Fonem-Aa2-4 Fonem-Aa2-5 Fonem-Aa2-n
Ab1 Fonem-Ab1-1 Fonem-Ab1-2 Fonem-Ab1-3 Fonem-Ab1-4 Fonem-Ab1-5 Fonem-Ab1-n
Ba1 Fonem-Ba1-1 Fonem-Ba1-2 Fonem-Ba1-3 Fonem-Ba1-4 Fonem-Ba1-5 Fonem-Ba1-n
Bb1 Fonem-Bb1-1 Fonem-Bb1-2 Fonem-Bb1-3 Fonem-Bb1-4 Fonem-Bb1-5 Fonem-Bb1-n
 

 

Penggambarannya adalah dengan langsung memplot fonem yang berfungsi sebagai atribut itu pada posisinya (pada Arc/View fungsi AutoLabel).  Idealnya peta fonem ini dibuat setiap lembar untuk satu jenis objek, sehingga bila ada 250 objek maka akan tercipta 250 lembar peta se Indonesia, yang tiap lembarnya berisi varian-varian istilah untuk objek yang sama.

Misalnya untuk objek “sungai”, di Aceh disebut “Alue”, di Sumatera Selatan “Way”, di Jawa Barat “Ci”, di Jawa Tengah “Kali” hingga di Timor “Mota”.  Para ahli toponimi biasa mengenali bahwa istilah-istilah tersebut adalah nama generik untuk sungai (lihat Spesifikasi Pemetaan Rupabumi).  Tentu saja spesifikasi dari objek air tersebut (misalnya ukuran sungai) di tiap bahasa tetap bisa bervariasi.

Dapat juga yang dipetakan adalah arti dari bunyi / ucapan yang sama di berbagai tempat, sehingga bila suatu kata – misalnya – “atos” memiliki banyak arti (“sudah” di Jawa Barat, “keras” di Jawa Tengah, dan sebagainya), maka yang dijadikan judul peta adalah “atos”.

3. Analisis Lanjut dengan GIS-Bahasa

Teknik Address-Matching memungkinkan berbagai data dari file terpisah digabungkan dengan suatu common georeferenced address, misalnya data sebaran bahasa dengan data populasi, pendapatan perkapita dengan distribusi sekolah.  Dengan demikian bisa didapat berapa jumlah penutur suatu bahasa daerah / dialek, dan apakah mereka tergolong komunitas yang sejahtera.  Suatu bahasa lokal yang hanya ditututkan oleh kalangan yang secara ekonomi kurang beruntung serta kurang berpendidikan, dapat dipastikan lambat laun akan hilang.  Bila ternyata di masa silam pada bahasa itu tersimpan khasanah ilmu pengetahuan (lontar-lontar kuno berisi sejarah, pusaka atau resep obat-obatan), maka ilmu pengetahuan inipun akan terkubur bersamanya.

Gambar 4.  Contoh variasi sajian statistik dari penutur bahasa

Bahkan teknik ini memungkinkan melakukan sintesis antara data statistik dengan non-statistik, untuk mengetahui korelasi di antara mereka, dengan syarat, masing-masing data memiliki relevansi geografi.  Contoh analisis dengan metode ini adalah untuk mendapatkan korelasi antara kemiskinan di suatu tempat dengan penguasaan / penggunaan bahasa / dialek yang dominan.

Dalam hal data yang dipakai hanya data statistik, sebenarnya bisa diterapkan GIS “non-geometrik”, misalnya hanya menggunakan kode wilayah atau topologi sederhana.  Untuk analisis non geometrik, dari peta rupabumi sebenarnya cukup diambil kelas batas administrasi dan kelas nama-nama geografi, atau maksimal kelas jaringan jalan (untuk topologinya).

Teknik District Delineation adalah prosedur untuk mendefinisikan suatu area secara kompak dengan satu atribut atau lebih.  Misalnya untuk membagi daerah sosialisasi suatu program pemerintah berdasarkan populasi dengan bahasa lokal yang kurang lebih sama – sehingga diasumsikan memiliki budaya yang mirip.  Informasi bahasa didapat dari data atribut sedang informasi untuk mendefinisikan batas diambil dari data spasial.

4  Kesimpulan

GIS mempermudah penyajian data sebaran bahasa, membuka serangkaian analisis baru yang terintegrasi dengan data spasial dari peta dasar digital, serta mempermudah aktivitas survey statistik sendiri.  Namun kualitas hasil analisis dengan GIS tidak akan berbeda jauh dengan kualitas data yang merupakan masukkannya, bahkan bisa jadi kualitas analisis ini akan lebih jelek dari kualitas data bila petugas analis tidak memperhatikan tingkat akurasi maupun tingkat kemutakhiran data yang dipakainya.

Referensi

Amhar, F. (1999) GIS untuk Analisis dan Penyajian Data Statistik; presented paper pada Seminar “Statistika Sebagai Solusi Problematika Ilmiah dan Bisnis” BPS, Jakarta 20 April 1999

Aronoff (1989): Geographic Information Systems: A Management Perspective.  WDL Publ. Ottawa. 294 pp.

Bakosurtanal (2003): Spesifikasi Pemetaan Rupabumi.

Prahasta, E. (2002): Sistem Informasi Geografis: tutorial-ArcView.  Informatika, Bandung.


 

[1] disampaikan pada workshop “GIS untuk Pemetaan Bahasa”
Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta 24 Maret 2006

[2] Peneliti pada Lab Pemetaan Digital, Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang (PDRTR)
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong
Telp/fax. (021) 87901254,  email: famhar@yahoo.com

Tags: ,

June 12th, 2008

Nabi Isa turun ke dunia lagi – dalil Ahmadiyah ???

Hadits tentang bakal turun kembalinya Nabi Isa ke dunia menjelang Hari Kiamat, memang ada.
Hadits ini adalah salah satu dari dalil atau argumentasi hampir semua kelompok-kelompok Islam sempalan.
Ahmat Mossadeqh (kelompok Qiyadah Islamiyah) yang sudah dilarang, pakai ini.  Dia mengaku “al-Masih al-Mau’ud”.
Demikian juga Ahmadiyah.  Ketika SKB keluar, Jubir Ahmadiyah Syamsir Ali merujuk buku Fiqh non Ahmadiyah yang menyebutkan bahwa ada hadits Nabi Isa akan kembali lagi.  Jadi – logika dia – bakal ada nabi lagi setelah Muhammad.  Karena itu – logika dia – tidak bisa menyalahkan Ahmadiyah karena pasal ini.
JUSTRU DI INI POIN SESATNYA AHMADIYAH:
Mereka mengklaim Mirza Ghulam Ahmad itu sebagai Nabi Isa yang turun kembali itu. 
Dalam pandangan Islam, Nabi Isa bin Maryam memang tidak dibiarkan mati di tiang salib, tetapi diselamatkan Allah, dan akan diturunkan kembali ke dunia sebelum hari kiamat.
Ini artinya, andaikata Mirza Ghulam Ahmad itu memang Nabi Isa, maka harus ada bukti-bukti sebagai berikut:
  1. Dia harus tidak punya nasab kepada siapapun, kecuali kepada Bunda Maryam.  Sedang Mirza Ghulam Ahmad itu diketahui jelas siapa Bapak Ibunya yang orang India itu …
  2. Karena Nabi Isa itu tidak punya ayah biologis maupun genetis, maka kalau diteliti DNA-nya, pasti ada “something interesting”.
  3. Karena Nabi Isa ini adalah Nabi Isa yang dulu diambil dari Yerusalem, maka pasti dia berbicara bahasa yang dipakai di sana saat itu (mungkin bahasa Ibrani – karena dia adalah bani Israel, atau bahasa Suryani – karena dia adalah warga Syria yang dijajah Romawi).
  4. Karena Nabi Isa itu diberi mukjizat seperti mampu menyembuhkan segala penyakit, maka tentu kemampuan itu masih ada (mampu menyembuhkan AIDS atau kanker) sebagai pembukti bahwa dia adalah Nabi Isa yang asli, bukan palsu seperti Mossadeqh atau Mirza Ghulam Ahmad.
Bagaimana mungkin fenomena ini bisa dijelaskan?
Mudah saja.  Bayangkan saja bahwa ada Malaikat yang diperintah Allah membawa Nabi Isa dalam suatu perjalanan dengan kecepatan mendekati cahaya, sehingga ada “time-dilatation”.  Orang yang berada dalam perjalanan, hanya akan merasakan waktu berjalan beberapa detik atau jam saja, sedang yang di luar, merasakan waktu berjalan ribuan tahun.  Hal semacam ini pernah terjadi pada Ashabul Kahfi.  Pada Nabi Isa, efeknya, dia “hilang” di tahun 30-an (abad pertama era Masehi), dan muncul lagi di masa depan (entah kapan).  Namun dia tetap Nabi Isa yang dulu, bukan dilahirkan kembali oleh ibu yang lain seperti para nabi palsu itu.
Jadi begitu penjelasannya.
Salam
FA.-

Tags: ,

June 12th, 2008

Belajar Menegaskan Batas

Dr Ing Fahmi Amhar

KASUS perbatasan mencuat lagi. Oleh Malaysia hak-hak
perbatasan kita dilanggar. Sedang oleh Australia
nelayan-nelayan kita ditangkapi dan dituduh melanggar
batas laut teritorial Australia.

Setelah kisruh Sipadan-Ligitan dan perairan blok
Ambalat, kini muncul helipad (tempat pendaratan
helikopter) milik militer Malaysia hanya 7 meter dari
perbatasan di wilayah pehuluan Tanjung Lokang Kec
Kedamin Kab Kapuas Hulu. Keberadaan helipad ini
melanggar perjanjian Sosek Malindo 1967 yang tidak
memperbolehkan ada kegiatan kedua negara di sepanjang
2 kilometer dari patok batas kedua wilayah.

Sementara, Australia, telah memulangkan 50 nelayan
Indonesia ke Kupang NTT.  Para nelayan itu merupakan
sebagian awak dari 24 kapal ikan Indonesia yang
ditangkap kapal-kapal patroli Australia.
Berdasarkan MoU 1974, nelayan tradisional Indonesia
memiliki akses penangkapan di zona khusus sebagaimana
tertera dalam peta yang disepakati kedua negara.
Kawasan itu antara lain adalah Kepulauan Karang Scott,
Seringapatam, Pulau Browse, Kepulauan Karang Ashmore,
Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.

Bagaimana seharusnya menentukan batas?

Yang termudah, antar-wilayah dibatasi (delimitasi)
oleh objek alam yang tajam – semisal jurang atau
palung.  Kenyataannya, banyak batas yang didefinisikan
secara kabur. Jangankan batas wilayah, batas persil
tanah kita pun banyak yang kabur – dalam sertifikat
misalnya sering hanya tertulis: Batas Timur: tanah Bp
Todung; Batas Selatan: tanah Bp. Slamet; Batas Barat:
tanah Haji Bajuri dan Batas Utara: tanah Ibu Utari.
Kalau dikejar, persisnya batas tanah kita dengan tanah
sebelah itu apa?  Selokan? Pohon pisang? Kalau tanah
seluas 100-200 meter persegi saja rumit, bayangkan
yang ribuan hektar!

Semua persoalan batas manapun harus dikembalikan pada
itikad baik kedua pihak yang berbatasan.
Mereka harus sepakat pada empat hal: (1) yang
dijadikan batas; (2) cara mengukurnya; (3) cara
mendokumentasikannya; (4) bagaimana mengenali kembali
batas itu di alam agar kesepakatan itu dapat
dihormati.

Pertama banyak hal bisa dijadikan batas. Yang termudah
adalah batas alam, umumnya garis pemisah air di
punggung pegunungan atau alur sungai terdalam.  Di
laut, batas laut teritorial ditentukan 12 mil laut
dari garis pantai, kecuali bila lebar selat antar
negara tidak mencapai 24 mil, maka ditentukan garis
tengahnya. Selain itu, batas juga bisa dibuat hanya
dengan kesepakatan, misalnya berupa as jalan negara
sebagai batas dua kabupaten.  Ada juga batas
disepakati dengan garis lurus pada lintang sekian atau
bujur sekian.  Yang terakhir ini ada di Pulau Sebatik
Kabupaten Nunukan (Indonesia – Malaysia) dan di Papua
(Indonesia – Papua Nugini).

Kedua, setelah kedua belah pihak sepakat pada poin 1,
masalah berikutnya adalah tentang cara mengukurnya.
Batas alam jelas membutuhkan survei dan pemetaan yang
teliti. Untuk mendapatkan garis pemisah air yang
akurat, perlu peta-peta kontur (3-dimensi) minimal
skala 1:25.000.  Pernah terjadi di suatu negara Arab,
titik-titik yang disepakati menjadi garis batas
digambar (delineasi) di atas peta yang lebih kecil
(skala 1:250.000).  Akibatnya saat dibawa ke lapangan,
apa yang semula diduga pas di garis pemisah air,
ternyata di lereng. Tentu keenakan wilayah yang dapat
puncak bukitnya dan tidak enak bagi yang cuma dapat
lerengnya.

Hal yang sama terjadi bila batas itu adalah sungai.
Bila secara gegabah ditarik garis tengah sungai, bisa
jadi pada saat air surut, air itu berada hanya di satu
sisi saja, sehingga penduduk sisi yang lain yang mau
ke air harus ke ‘luar negeri’.  Karena itulah maka
harus dilakukan survei hidrografi untuk mendapat
‘Talweg’ – yakni alur terendah di dasar sungai itu.

Menentukan batas pada jalan sekilas tampak lebih
mudah, tentu selama jalan itu tidak diperlebar ke satu
sisi saja.  Sedang menentukan batas secara eksak
dengan lintang dan bujur semata, bisa-bisa menzalimi
penduduk lokal jika memisahkan komunitas mereka secara
sewenang-wenang.

Di luar ini semua, pengukuran batas sangat tergantung
instrumentasi yang digunakan. Bisa jadi, batas yang
dianggap sudah pasti, jika diukur lagi dengan alat
yang lebih canggih, didapatkan koordinat yang berbeda.
Ini terjadi di Pulau Sebatik pada pilar batas yang
sebenarnya tak pernah bergeser sejak zaman Belanda,
namun hasil ukur modern dengan GPS berbeda beberapa
puluh meter dengan data pengamatan astronomi jaman
dulu yang ada dalam lampiran perjanjian
Inggris-Belanda.  Garis pantaipun tergantung bagaimana
definisinya. Di laut ada pasang-surut.

Ketiga, taruhlah sekarang kedua belah pihak telah
sepakat menggunakan objek batas dan alat ukur yang
sama. Bagaimana mereka akan mendokumentasikan batas
itu sebagai dokumen antar-negara yang didepo di PBB?
Mereka harus membuat dokumen yang berisi peta
topografi yang mencakup wilayah di kedua negara
sepanjang garis batas, daftar koordinat titik-titik
batas dan tanda tangan pengesahan kedua belah pihak.
Peta topografi tersebut harus seragam dalam tiga hal,
yaitu: (a) sistem koordinat, datum dan bidang
proyeksi; (b) klasifikasi objek yang sama; dan (c)
simbolisasi yang sama.  Tiga hal ini perlu banyak
kompromi untuk mewujudkannya. Sebagai contoh:
peta-peta rupabumi Indonesia yang dibuat Bakosurtanal
pada umumnya menggunakan koordinat geografis, datum
WGS-1984 dan proyeksi Universal Transverse Mercator,
sedang Malaysia menggunakan datum dan proyeksi yang
berbeda. Klasifikasi sawah di Malaysia juga berbeda
dengan Indonesia yang mengenal sawah irigasi dan tadah
hujan.  Sedang pola arsiran maupun warna jelas semua
beda. Walhasil, menggabungkan kedua peta topografi
agar menjadi satu peta perbatasan jelas butuh
perjuangan tersendiri. Ini ditambah dengan persyaratan
bahwa semua legenda peta harus bi-lingual dari
masing-masing negara ditambah bahasa Inggris sebagai
bahasa PBB.

Keempat, kalau masalah peta sudah beres, kini masalah
implementasi di lapangan. Peta dan dokumen perbatasan
hanya akan disimpan di tempat-tempat terhormat. Yang
harus ada di lapangan adalah tanda-tanda, yaitu pilar
atau pagar (baik dari kawat berduri ataupun dari
beton) seperti di Israel atau di zaman perang dingin
dulu. Pilar-pilar ini biasanya dibuat dalam jumlah
yang cukup, yang jaraknya satu dengan yang lain
memungkinkan saling melihat.  Sedang di laut, karena
tidak mungkin membuat pilar, yang bisa dilakukan
adalah mengandalkan alat navigasi GPS. Untuk kapal
dengan peta elektronik, alat bahkan dapat diset untuk
langsung memberi alarm bila sudah mendekati
perbatasan.

Kalau semua berjalan baik, tentu kasus helipad
Malaysia atau nelayan Indonesia yang ditangkap di
Australia tak akan terjadi. Masalahnya, belum semua
segmen perbatasan dengan kedua negara itu telah
ditegaskan dan diratifikasi. Sebagian patok batas kita
dengan Malaysia ada yang baru klaim sepihak – artinya
belum diakui oleh Malaysia. Di antara patok-patok
batas itu ada yang dengan mudah dapat dipindahkan oleh
para pelaku illegal logging untuk memudahkan mereka
melarikan diri bila aksi-aksinya terdeteksi aparat.
Demikian juga dengan peta-peta laut Australia – yang
boleh jadi masih berbeda dengan peta-peta laut
Indonesia – terutama dalam hal garis Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE). Yang jelas, pemerintah memang harus
lebih serius dalam menegaskan batas – terlebih yang
antar-negara.

(Penulis adalah Peneliti Utama, Bakosurtanal)-n
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=166973&actmenu=45

Tags: , ,