Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
June 3rd, 2008

BBM, 3M & KPK

Anis Hariri <anishariri@gmail.com> wrote:
>  Kalau mengenai kebijakan kenaikan BBM, saya tidak
>  yakin karena SBY tertipu juga.
>  Berani membuat kebijakan tidak populer tentu saja
>  tidak main-main apalagi setahun lagi sudah pemilu.
>  Kalau mau, sebenarnya BBM tidak perlu dinaikkan,
>  tinggal membuat utang baru, beres.
>  Populer, nanti Presiden penggantinya yang ngelunasin
>  atau naikin BBM, atau kalau kepilih lagi baru dinaikin.

Di dalam buku “Future Schock” Alvin Toffler diceritakan bahwa motivasi orang melakukan sesuatu di dunia ini selalu dapat dikembalikan kepada 3M – MIND (Keyakinan – lepas dari soal salah atau benar), MONEY (imbalan – lepas dari soal halal atau haram), dan MUSCLE (paksaan – lepas dari soal memang takut atau ditakut-takuti).

Kalau orang tersebut adalah pejabat / penguasa, kemudian perbuatannya dinilai dari sisi rasional ada yang tidak logis, ternyata kembalinya juga 3M tadi.

Misalnya, ada pejabat yang menjual gedung asset negara dengan harga 10 Milyar, padahal menurut taksiran independen, asset itu minimal berharga 100 Milyar, maka ada 3 kemungkinan:

– MIND (keyakinan – yang jelas tidak rasional, misalnya, kalau itu dari sisi ekonomi dia yakin begini, “Ya kalau dihargai mahal ya tidak laku …”,
atau dari sisi mistik, “Gedung ini fengshui-nya jelek, jual saja”).

– MONEY (imbalan – yang ini juga tidak rasional dari sisi makro, tetapi bisa saja mikro, misalnya ada imbalan politik “yang beli itu perusahaan yang komisarisnya adalah keluarga partai yang diperlukan dalam pilkada mendatang”, atau imbalan ekonomi “nanti bila gedung itu dijual lagi, dia dapat bagian minimal 30%”).

– MUSCLE (ancaman – dia diancam oleh kekuatan yang lebih dia takuti, apakah itu preman lokal “Awas kalau tidak dikasih anakmu bisa pulang-pulang tidak utuh!”, atau preman global “Kami bisa membuat negaramu lebih merana drpd Irak!”).

Formula 3M ini sangat efektif untuk menebak suatu perkara yang tidak rasional, yang umumnya koruptif.  KPK sangat tertarik kalau ada hal-hal seperti ini.  Dan formula 3M ini kalau dibahasakan lokal bisa disingkat “KPK” juga, yaitu KEYAKINAN (mind), POLITIK koruptif (money), dan KETAKUTAN (muscle).

Jadi, kembali ke soal kenaikan harga BBM, kenapa SBY-JK memilih langkah yang secara rasional-politik mestinya tidak dilakukannya, bisa jadi “KPK” juga.  Dia yakin dengan aliran neoliberalis yang mendominasi tim ekonominya.  Dia bisa juga memakai pertimbangan POLITIS (sayangnya bukan dari sisi kerakyatan namun dari sisi korporasi – yang ini pasti menguntungkan dalam jangka panjang), atau ada KETAKUTAN terhadap tekanan-tekanan global.

Tags: , ,

June 3rd, 2008

Tipu-tipu Blue Energy

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Tanggal 24 Mei 2008 dini hari harga BBM jadi dinaikkan.  Pemerintah berargumentasi ini untuk menyelamatkan APBN (karena asumsi harga minyak mentah sudah bergeser dari 95 menjadi 110 US$/barrel), mengurangi kemiskinan (karena subsidi dialihkan dari subsidi barang ke subsidi orang), dan ini alternatif terakhir setelah harga minyak di tingkat global makin menggila.  Banyak pakar mengkritik argumentasi ini.  Dalam asumsi APBN-P kedua 2008 disebutkan bahwa meski harga BBM telah dinaikkan, subsidi BBM masih naik dari 125,8 menjadi 132,1 Trilyun Rupiah, defisit APBN hanya turun dari 94,5 menjadi 82,3 Trilyun rupiah, dan inflasi naik dari 6,5% menjadi 11,2%.  Inflasi inilah yang akan melibas seluruh rakyat.  APBN selamat namun rakyat sekarat, karena APBN sebenarnya hanya memainkan kurang dari 20% ekonomi Indonesia.

Dan tentang alternatif: sebenarnya banyak alternatif yang telah dimunculkan, mulai dari Indonesia membeli minyak dengan harga khusus ke Iran (yang sama-sama anggota OKI) atau Venezuela (yang sama-sama anggota OPEC), pajak progresif untuk sumberdaya alam, negosiasi ulang komitmen ekspor batubara dan LNG untuk diprioritaskan memenuhi kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri, pengembangan energi terbarui pada skala besar, hingga penghapusan dan penjadwalan kembali pembayaran bunga dan cicilan utang yang mencapai Rp. 151 Trilyun per tahun.  Namun semua opsi ini seperti tidak ditanggapi serius pemerintah.  Pemerintah sepertinya hanya fokus pada konversi minyak tanah ke elpiji (dibuktikan dengan membagi-bagi kompor elpiji ukuran 3 kg) dan – ini yang mengherankan – pada bahan bakar ajaib: “blue energy”.

Adalah Joko Suprapto, orang Nganjuk yang konon menemukan bahan bakar dari bahan baku hidrogen dan karbon, yang sama sekali tidak bersumber dari fossil tetapi dari air (www.presidensby.info diakses 3 Dec 2007).  Tanpa diminta presentasi ilmiah dulu di depan panel pakar kimia dan mesin, bahan bakar buatan Joko ini langsung diuji. Pada 25 Nov 2007, rombongan kendaraan berbahan bakar – oleh SBY dinamai “Minyak Indonesia Bersatu” atau “Blue Energy” – langsung diberangkatkan dari kediaman SBY di Cikeas menuju Bali untuk ikut pameran dalam rangka konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC).  Rombongan itu sampai di Bali.  Ketua Tim Blue Energy yang juga staf ahli presiden Heru Lelono, menunjukkan bahwa bahan bakar itu sama dengan premium, bahkan emisinya lebih bersih?  Waktu itu dijanjikan bahwa blue energy akan siap dipasarkan pada bulan April dengan harga hanya Rp. 3000 per liter.

Banyak ilmuwan skeptis.  Bahkan skeptisme itu termasuk sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan.  Penulis sendiri termasuk yang dari awal yakin bahwa itu hanya sejenis “hoax” (tipu-tipu).  Namun baiklah, kita beri kesempatan sampai April. Konon di Cikeas juga sudah ada aktivitas untuk membuat pabriknya, walaupun murni swasta.  Pemodalnya Heru Lelono cs.  Namun ini juga janggal, karena konon bahan bakunya mau ambil dari air laut saja.  Padahal Cikeas jauh dari laut.  Yang jelas, sejak dipamerkan di Bali, meski ada sampelnya yang diberi kode K-99 sebagai pengganti premium, dan ada juga yang sejenis untuk pengganti avtur, solar, atau minyak tanah, tetap saja misterius.  Pasalnya, tidak ada penjelasan ilmiah bagaimana semua itu dibuat, kecuali bahwa itu dengan “teknologi matahati” yang konon bersumber dari ayat al-Qur’an.

Orang Islam banyak yang langsung antusias kalau disebutkan teknologi bersumber dari al-Qur’an.  Padahal suatu hukum fisika tidak memerlukan dalil apapun dari suatu kitab suci.  Hukum fisika bersifat empiris.  Kalau suatu proses itu memang bisa dilakukan secara teknis, maka tak ada dalil yang dapat memustahilkannya.  Dan kalau suatu proses itu mustahil secara teknis, maka juga tak ada dalil yang dapat mengesahkannya.  Dalil syariah hanya diperlukan untuk soal apakah suatu penelitian itu halal atau haram dilakukan, dan kalau halal diteliti, lalu hasilnya apakah halal atau haram untuk dimanfaatkan.

Bagaimana jika K-99 itu sebenarnya memang hanya pertamax atau sejenisnya, lalu diklaim dibuat dari non fossil tetapi berhasil dibuat sangat mirip? Tidak ada cara membuktikannya kecuali menunjukkan prosesnya!

Lagi pula, kalau memang ini benar, sudah diam-diam saja, langsung produksi massal, pasarkan.  Pasti untung besar.  Tetapi mungkin mereka mencari pemodal besar dulu untuk bikin pabrik (yang dapat ditipu dulu) …

Kini kita semua menyaksikan, sudah bulan Juni, blue Energy tidak pernah muncul.  Yang ada adalah Joko Suprapto sempat diberitakan raib (diculik?), meskipun lalu muncul lagi.  Memang pernah ada film Hollywood yang menceritakan seorang professor penemu bahan bakar pengganti minyak, yang diculik komplotan yang tidak ingin dominasi perusahaan minyak dunia goyah.  Tapi itu kan fiksi.  Rupanya penemuan Joko ini fiksi juga.  Kini lebih banyak lagi yang terungkap.  Rupanya Joko Suprapto ini pernah datang ke UGM untuk minta pengakuan atas “penemuannya” berupa lemari misterius penghasil listrik.  Namun karena tidak mau membuka bagaimana proses listrik itu terjadi, oleh rektor UGM kala itu disindir sebagai “Pembangkit Listrik Tenaga Jin” (www.detik.com).

Banyak orang mulai khawatir: di lingkar pertama SBY ada orang-orang yang gampang ditipu!  Bagaimana kalau kebijakan penaikan harga BBM sendiri penuh dengan tipu-tipu?  Apalagi analisis ekonomi energi dan APBN jauh lebih rumit daripada soal kimia-fisika blue energy.

Hukum Termodinamika-2

Di fisika dikenal hukum kekekalan massa-energi.  Sifat kekal ini bukan seperti kekekalan Allah swt.  Ini hanya sifat kekal yang diamati dalam reaksi di suatu sistem (lab).  Sebenarnya ada lagi hukum yang sangat penting yang disebut hukum termodinamika 2.  Isinya adalah bahwa energi yang dapat dimanfaatkan itu selalu berkurang karena terserap oleh apa yang disebut “entropi” alam.  Entropi adalah tingkat ketidakteraturan alam.

Hukum termodinamika-2 sudah teruji.  Sebenarnya cukup satu experimen saja – bila valid – untuk menggugurkan hukum ini.  Yaitu menghasilkan mesin dengan efisiensi lebih dari 100%!  Semua mesin adalah mengkonversi energi.  Mesin mobil mengkonversi energi kimia dalam BBM ke energi mekanis.  Generator PLN mengkonversi energi kimia (pada PLTU) atau mekanis (pada PLTA) ke energi listrik.  Efisiensi mesin-mesin ini hanya berkisar dari 30% – 70%.  Banyak energi terbuang oleh gesekan menjadi energi panas yang tidak bisa dimanfaatkan.  Energi buangan ini menambah entropi mesin, yakni mesin akan aus dan lambat laun rusak.

Jika ada mesin dengan efisiensi lebih dari 100%, artinya kita mendapatkan energi yang lebih banyak daripada yang dimasukkan.  Jika ada mesin dengan efisiensi 200% saja, maka seluruh persoalan energi di dunia selesai.  Mesin itu akan berfungsi tanpa henti (perpetuum mobile).  Tapi yang seperti ini tidak pernah ada.

Semua riset yang ada saat ini hanyalah meningkatkan efisiensi konversi energi.  Popularitas mobil terjadi karena ada bahan bakar minyak yang praktis, mudah dibawa dan kandungan energinya cukup tinggi (pada minyak mentah: 42100 KJoule/kg).  Sebagai perbandingan, pada accu mobil canggih yang hanya seberat 10 kg, daya simpan energi (12V/60Ah), hanya setara dengan 260 KJoule/kg.

Andaikata sumber energi primer sudah terselesaikan dengan energi nuklir atau energi terbarukan (panas bumi, surya, angin, atau ombak), maka masalah utama sistem transportasi jalan raya adalah menyimpan energi itu agar dapat mudah dibawa, syukur-syukur tanpa memodifikasi apapun pada mesin.

Substansi air tak akan pernah menjadi sumber energi.  Tetapi dari air mungkin dibuat penyimpan energi sangat padat (minimal 120067 KJoule/kg = 3 x minyak).  Air dapat dipisahkan kembali (elektrolisis) ke unsur-unsur asalnya yaitu hidrogen dan oksigen.  Proses pemisahan ini tentu memasukkan energi (endoterm).  Hidrogen dan oksigen ini kemudian dipisahkan dalam suatu tabung tekanan tinggi yang aman.  Ketika hidrogen dipertemukan kembali dengan oksigen, tentu akan muncul reaksi yang mengeluarkan energi (eksoterm) dan hasil reaksi itu kembali air.  Proses ini biasa dipakai dalam peluncuran roket ke luar angkasa. Namun dalam proses ini, energi endotermis pasti lebih besar dari eksotermisnya.  Dengan kata lain tidak mungkin membuat bahan bakar dari air!

Tags: , ,

May 5th, 2008

Mencari Nilai tambah (1)

Hidup ini tidak linier.

Kadang-kadang, istri saya membandingkan Fahri (anak ketiga) dengan Fitri (anak pertama).  Pada usia 3 tahun dulu, bicara Fitri sudah jelas, membaca dikit-dikit sudah bisa, beberapa doa-doa sudah lancar.  Fahri belum, meskipun motoriknya bagus, usil (dalam bahasa Jawa: “petakilan”) dan pokoknya “rame” banget.  Dulu ibu saya juga suka membandingkan saya dengan beberapa teman atau sepupu, yang konon tulisan mereka lebih rapi atau belajarnya lebih rajin.  Tetapi ketika saya mendapat beasiswa sekolah ke Luar Negeri, semua komentar itu tentu saja terhenti dengan sendirinya.

Saya bilang, hidup ini tidak linier.  Seseorang yang di suatu masa dilebihkan atau dikurangkan, tidak selamanya begitu.  Semua yang didapat seseorang di suatu masa, itu hanya modal dari Sang Maha Pencipta untuk kehidupan selanjutnya.  Yang dihitung adalah amal, sejauh mana performance seseorang dalam membuat nilai tambah dari modal tersebut.  Nilai tambah ini ada yang berupa fisikal, finansial, emosional, intelektual ataupun spiritual.  Tak heran bila Rasulullah mengajarkan kepada kita doa: Allahumma inni as’aluka salamatan fid dien (=spiritual), wa afiatan fil jasadi (=fisikal), wa ziyadatan fil ilmi (=intelektual), wa barakatan fi rizki (=finansial) wa taubatan qablal maut (=emosional).

Kadang-kadang orang melihat diri kita hanya sebagai kita sekarang.  Saya sendiri sering dilihat sebagai “orang yang beruntung” – minimal beruntung dari sisi pernah menikmati pendidikan S1-S3 di Austria, meraih Doktor pada usia 29 tahun dan jabatan fungsional Peneliti Utama IV/e pada usia 39 tahun.  Beberapa orang bertanya apa kunci suksesnya.  Saya katakan, semua ini hanya merupakan satu mata rantai dari sebuah mosaic.  Ada masa lalu, yang tanpa itu semua tidak terjadi.  Dan ada masa depan yang masih menanti.

Kalau kembali ke tahun 1973, tahun ketika saya masuk Taman Kanak-kanak, dan ayah saya berhenti bekerja karena dua hal: lapak dagangnya digusur dan diikuti penyakit glaukoma yang merenggut penglihatannya, tentu saat itu tidak ada harapan yang muluk-muluk di keluarga kami.  Saya menapaki masa-masa sekolah dari TK hingga SMA dalam situasi yang mungkin jarang dirasakan anak-anak lain: yakni hampir tidak pernah jajan karena juga hampir tidak pernah dibekali uang saku!  Kalau habis pelajaran olahraga, anak-anak lain langsung menyerbu warung, saya ya biasa saja tidak ikut ke warung.  Haus ditahan.  Kadang sih bawa air putih dari rumah.  Alhamdulillah kebiasaan itu menjadi salah satu “faktor sukses” ketika saya belajar di Luar Negeri.  Sepuluh tahun di Austria, saya tetap saja tidak akrab dengan kantin Universitas.  Lebih banyak bawa bekal yang disiapkan sendiri.  Jauh lebih murah dan dijamin halal.

Karena kami keluarga besar (total sembilan bersaudara), sementara kondisi ekonomi cukup memprihatinkan, hanya dua kakak saya pertama yang sempat kuliah dengan biaya orang tua.  Ayah sangat berharap mereka sukses dan menjadi lokomotif bagi adik-adiknya.  Sayang, harapan ini tidak tercapai.  Kakak saya ketiga masuk STM dan pernah bekerja serabutan dengan ijazahnya, sebelum sepuluh tahun kemudian diterima di perusahaan minyak asing.  Kakak saya keempat masuk Akabri karena alasan simpel saja: sekolahnya gratis.  Kakak saya kelima dan keenam masuk sekolah menengah kejuruan farmasi, sehingga setelah lulus langsung dapat cari uang dengan jaga apotik.  Belakangan kakak-kakak ini yang lalu patungan membiayai adik-adiknya, yang nomor tujuh dan delapan, yang kebetulan perempuan.

Kondisi ekonomi juga membuat kakak-kakak saya kreatif menciptakan pekerjaan.  Ada yang bikin layang-layang lalu dijual.  Ada yang memelihara ulat sutera untuk diambil benangnya.  Ada yang melukis kartu lebaran lalu ditiipkan di toko-toko.  Ada yang mengkreditkan baju ke teman-temannya.  Saya sendiri kebagian menjaga warung material bangunan dan membesarkan bibit cengkeh.  Dan ini saya lakukan kelas 3-4 SD!

Di masa SMP, saya mendapat dua “mentor” yang banyak berpengaruh dalam hidup saya.  Pertama seorang guru Bahasa Indonesia yang masih muda namun sangat inspiratif, mendorong murid-muridnya mengarang dan membuat majalah dinding.  Dan kedua seorang mahasiswa fisip yang mengumpulkan remaja di kampung dan diprovokasi untuk jadi militan, berani mengungkapkan pendapat – termasuk di muka umum.  Herannya, dari sekian banyak murid dan remaja kampung yang bertemu mentor tersebut, sejatinya tidak banyak yang kemudian “jadi”.

Di masa SMP itulah saya merasakan kemampuan menulis bisa menjadi salah satu bekal hidup saya.  Saya mulai menulis di media massa.  Mulai dari cerpen, puisi, dan reportase singkat.  Saya juga mulai mengikuti berbagai Lomba menulis atau Karya Ilmiah.  Dari uang yang saya dapat, saya mulai membiayai sekolah saya sendiri.  Bahkan sedikit-sedikit ikut menyumbang kakak-kakak saya kalau ada keperluan biaya sekolahnya …

Namun sejatinya banyak juga ketrampilan yang saya pelajari untuk jaga-jaga di kemudian hari.  Saya belajar menservis elektronik, fotografi hingga mengetik.  Ada kursus mengetik yang katanya gratis.  Saya ikut dua minggu.  Eh rupanya kursus itu ada tipu-tipunya.  Setelah dua minggu, harus naik level, dan untuk itu ada ujiannya, nah untuk ujian itu siswa diminta membayar cukup mahal.  Saya berhenti kursus, namun keahlian mengetik itu terbawa sampai sekarang – meskipun tidak punya ijazah mengetik.  Alhamdulillah dengan honor tulisan, saya kemudian dapat membeli mesin ketik (manual) sendiri.  Jadilah, hampir tiap hari di rumah tak tik tuk tak tik tuk cling ….

Keahlian mengetik sangat penting, sekalipun sekarang sudah pakai komputer.  Kita jadi tidak perlu melihat keyboard lagi.  Dan kecepatannya: boleh dech balapan sama para sekretaris … he he …  Dan itu pernah terpakai.  Ketika di Luar Negeri, ada masa-masa paceklik, ketika beasiswa sudah tidak ada.  Saya sempat jadi tukang ketik skripsi.  Lumayan, dapat sekitar 30 Austrian-Schilling (sekarang kira-kira 3 Euro) per halaman.

Namun hobby saya menulis tidak selalu terakomodir oleh lingkungan.  Karena sering dipanggil final Lomba Menulis di luar kota, saya jadi sering meninggalkan sekolah.  Akibatnya sebagian nilai pelajaran saya di SMA jadi kebakaran.  Bukan karena tidak bisa mengerjakan, namun karena terkadang tidak diberi kesempatan test-susulan.  Saya tahu, sikap guru-guru terbelah.  Anehnya, guru pelajaran Bahasa Indonesia termasuk yang kurang kondusif pada aktivitas kepenulisan ini.

Pada saat kelulusan SMA, saya tidak termasuk lima puluhan siswa yang beruntung lolos seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri tanpa test (jalur PMDK).    Sebagian orang heran, sebagian gembira (“rasain loh, emang enak ..”), sebagian lagi kecewa.  Dari wajahnya, saya tahu ibu saya termasuk yang kecewa.  Kalau ayah saya waktu itu masih hidup, tentu beliau juga amat kecewa.  “Makanya, jangan cuma mengetik melulu” …

(bersambung)

Tags: ,