Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
November 2nd, 2007

Teknologi untuk Jakarta

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Bang Fauzi Bowo (Foke) dan Priyanto telah terpilih dan dilantik sebagai gubernur & wakil gubernur DKI Jakarta yang baru.  Namun terlalu pagi untuk pesta syukuran.  Karena siapapun yang terpilih sebagai gubernur DKI, pasti akan segera pusing dihadapkan pada beberapa masalah serius ibu kota, yaitu: (1) kemacetan, (2) sampah, (3) banjir, (4) layanan umum dan (5) kemiskinan.  Masalah kemiskinan sangat terkait erat dengan keamanan.

Persoalan transportasi begitu mengemuka karena lebih dari dua juta orang setiap hari masuk Jakarta, dan mereka menghabiskan 4-5 jam setiap hari di jalan raya.  Energi yang terbuang percuma di jalanan karena kemacetan ditaksir mencapai 30% konsumsi energi ibu kota.  Demikian juga pengeluaran warga kelas bawah di Jakarta hampir 30% ada di sektor transportasi.  Seorang buruh dengan penghasilan UMR di bawah Rp. 1 juta, akan mengeluarkan ongkos untuk dirinya sendiri ke tempat kerja minimal Rp. 4000 / hari atau lebih dari Rp 100.000/bulan. 

Kemacetan adalah problema transportasi.  Tata ruang yang buruk menyebabkan warga yang bekerja di dalam kota harus tinggal di permukiman kumuh yang tak layak atau jauh di pinggiran, menyebabkan kebutuhan transportasi yang tinggi, yang saat ini tidak terlayani dengan angkutan umum massal yang memadai.  Kuncinya sebenarnya pada penyediaan sebanyak mungkin permukiman susun di tengah kota yang dekat dengan tempat kerja.  Agar permukiman susun ini tidak salah sasaran, Jakarta perlu secepatnya menerapkan Single Identity Number (SIN) untuk tiap penduduknya.  SIN bersama sistem informasi penduduk yang handal, dapat mendeteksi dengan cepat warga yang memang belum memiliki tempat tinggal, atau tempat tinggalnya terlalu jauh dari lokasi kerjanya.

Dengan demikian, strategi pertama adalah ”reduce”, atau mengurangi kebutuhan transportasi melalui pola tata ruang yang optimal.  Strategi kedua adalah ”(sha)re-use”, atau penggunaan bersama/berulang – artinya mendorong transportasi umum massal yang optimal.  Untuk Jakarta seharusnya yang ideal adalah monorel.  Namun entah kenapa, teknologi yang ditawarkan selalu terlalu mahal, sehingga tidak ada investor – termasuk BUMN atau BUMD pemda DKI sendiri – yang berani maju.  Yang sudah operasional baru busway, yang sebenarnya tidak benar-benar signifikan dalam memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum massal.  Sebagian besar pengguna busway sekarang sebenarnya sudah pengguna angkutan umum juga, hanya karena kebetulan tujuannya terlayani jalur busway sehingga merasa lebih untung naik busway yang lebih cepat (karena melalui jalur khusus) dan murah (karena satu tarif ke manapun).  Namun beberapa koridor busway justru menimbulkan masalah baru, misalnya ketika busway itu bersilangan dengan jalur kendaraan yang akan masuk/keluar tol.  Strategi ketiga adalah ”re-cycle” – artinya penggunaan cycle atau sepeda.  Jakarta adalah kota yang datar, yang sangat mungkin orang menggunakan sepeda.  Namun saat ini sangat sulit menemukan sepeda melewati jalan-jalan protokol.  Jakarta adalah kota yang sangat tidak ramah pada pengguna sepeda.  Tidak ada jalur khusus sepeda seperti di kota-kota besar Eropa.  Padahal bersepeda sangat sehat, hemat dan tidak menimbulkan polusi.  Kalaupun merasa jarak tempuh cukup jauh, sekarang sudah banyak sepeda listrik yang dapat memiliki jarak tempuh 40 km.  Malam hari baterei sepeda itu dapat diisi ulang di rumah.  Sayang teknologi yang antara lain dikembangkan oleh LIPI ini tidak banyak dilirik.

Strategi reduce, re-use dan re-cycle juga ditemukan untuk mengatasi sampah.  Bertahun-tahun DKI harus ”berantem” dengan masyarakat sekitar Tempat Pembuangan Akhir di Bantargebang Bekasi atau Bojong Bogor.  Sampah apapun harus dikurangi.  Dengan pemisahan sampah yang benar (logam – gelas – plastik – kertas – bio – khusus), sampah-sampah tertentu dapat digunakan kembali (reuse) atau didaur ulang (recycle).  Jadi teknologi mengatasi sampah tidak sebatas landfill atau inscenerator.  Teknologi reuse & recycle akan membuka lapangan kerja yang luas.  Di lapangan sudah banyak orang yang mengais rizki sebagai pemulung.  Tinggal diciptakan pola kerja yang lebih manusiawi dan sehat untuk mereka saja. 

Kalau tata ruang dapat dibenahi dan sampah teratasi, banjir juga lebih mudah teratasi.  Memang banjir tidak hanya persoalan tata ruang dan sampah.  Namun tata ruang yang salah adalah penyebab rusaknya daerah resapan air.  Dan sampah adalah penyebab utama pendangkalan saluran, macetnya pompa dan tidak optimalnya pintu air.  Barangkali jika Banjir Kanal Timur sudah adapun, dia tak akan banyak berfungsi lantaran penuh dengan sampah.  Makanya rencana pemda DKI membangun terowongan dalam serba guna atau Multi Purpose Deep Tunnel (MPDT) yang di musim kering jadi terowongan tol, dan di musim banjir jadi pembuang air harus dikritisi.  Dengan volume sampah seperti sekarang, bisa saja terowongan itu hanya sekali pakai – setelah itu tidak dapat dipakai lagi karena sampahnya nyaris mustahil dibersihkan lagi.

DKI yang dihuni hampir 10 juta jiwa memang sudah saatnya memerlukan sistem layanan umum yang canggih.  Namun sekarang, jangankan untuk mendapatkan layanan mudah dan murah untuk KTP, akte kelahiran atau pemakaman, untuk mendapat informasi tentang bagaimana cara mendapatkan pelayanan saja di DKI susah.  Datang ke dinas-dinas, kita sering dihadang oleh jam kerja yang tidak jelas dan SDM yang kurang kompeten.  Sedang teknologi internet yang sebenarnya dapat digunakan untuk layanan 24 jam malah kurang dimanfaatkan.  Masak DKI yang punya APBD terbesar dan dekat dengan para pakar harus kalah dengan misalnya Kabupaten Takalar yang justru sudah menerapkan e-government dengan berhasil?

Kalau masalah transportasi, sampah, banjir dan layanan umum teratasi, mengatasi kemiskinan juga akan terasa jauh lebih mudah.  Kemiskinan di DKI terasa di depan pelupuk mata.  Di mana-mana ada pengemis.  Namun kita justru diancam denda bila bersedekah pada pengemis, sementara pemerintah juga praktis tidak berbuat banyak.  Malah bikin peraturan yang mengancam denda Rp 50 juta bagi pengemis atau pengamen.  Tetapi ini hanya aturan konyol yang tidak akan operasional.  Kalau punya 50 juta ngapain ngemis atau ngamen?  Atau kita sudah terlalu stress dengan kemacetan sehingga tak sempat lagi berfikir jernih bagaimana mengatasi kemiskinan?

Memang tidak ada teknologi untuk mengatasi kemiskinan.  Namun banyak hal yang bisa digerakkan untuk mengatasi masalah di DKI (kemacetan, sampah, banjir, layanan), yang semestinya mampu membuka banyak lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan.  Lagi-lagi diperlukan sistem informasi penduduk yang handal.  Kemiskinan bukan sekedar angka-angka statistik atas penghasilan perkapita, tetapi realita bagi seorang bocah harus terdampar di jalanan, seorang janda menjadi pelacur untuk membelikan susu bayinya, dan seorang ayah kebingungan membawa jasad anaknya yang sakit dan kemudian mati di atas gerobak sampahnya.

DKI harus lebih manusiawi, dengan teknologi yang tepat, di atas landasan yang berkah, yaitu syariah!

 

(dimuat di Suara Islam no. 31 minggu I-II November 2007)

Tags: , , ,

November 2nd, 2007

Posisi Zakat dalam Pemberdayaan Sosial

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Ekonomi Islam – Pusat Studi & Khazanah Ilmu-ilmu Islam (PSKII)

Adalah kecenderungan yang wajar bila para penggiat zakat selalu ingin melihat bahwa “zakat adalah segalanya”, seperti halnya para penggiat sholat melihat “sholat adalah segalanya” – sehingga mereka menghabiskan waktunya untuk sholat baik yang wajib maupun yang sunnah.

Ketika orang ingin melihat bahwa zakat adalah kunci untuk semua problema kemiskinan, maka zakat akan digenjot habis-habisan, dipopulerkan dengan ilmu marketing, dioptimalkan dengan sistem informasi, diperluas dengan aneka zakat profesi, dan dikeluarkan dengan berragam teknik pemberdayaan sosial, baik di bidang pendidikan, kesehatan maupun sosial.

Karena itu agak mengejutkan ketika saat acara buka puasa di Bappenas, tokoh ekonomi Islam Dr. M. Syafi’i Antonio mengatakan bahwa dalam pemberdayaan sosial sebenarnya zakat hanya ada pada posisi ke-tiga.  Sambil berseloroh, beliau menambahkan, “Wah ini bid’ah apalagi?”

Namun beliau kemudian menjelaskan, bahwa pertama, pemberdayaan sosial sesungguhnya harus bersandar pada aktivitas ekonomi, tepatnya ekonomi syariah.  Tanpa aktivitas ekonomi, tidak akan ada akumulasi harta, dan berarti tidak akan ada yang bisa dizakatkan.  Ekonomi syariah adalah ekonomi dengan paradigma yang amat berbeda, mulai dari asal-usul kepemilikan yang sah, teori manfaat, teori harga, problema ekonomi dan sebagainya.  Pada tataran praktis: ekonomi syariah adalah ekonomi yang seluruh transaksinya syar’ie, mulai dari soal jual-beli, pinjam-meminjam, berserikat bisnis dan sebagainya.  Ekonomi syariah tidak sekedar ekonomi para penjual buku Islam, asessori Islam atau penyelenggara wisata ruhiyah, umroh dan haji, sebagaimana terlihat dalam SYARI’AH EXPO di Jakarta belum lama ini.  Ekonomi syariah juga tidak sekedar ekonomi tanpa riba dan judi, karena syariah mengatur lebih banyak lagi, misalnya bagaimana kepemilikan pada sumber daya alam yang besar seperti tambang, hutan atau laut; bagaimana mengatur fiskal dan moneter; bagaimana peran negara; dan seterusnya.

Ekonomi syariah harus menggantikan seluruh sistem ekonomi kapitalis yang terlanjur mendarahdaging di negeri-negeri Islam, baik level mikro maupun makro.  Ini tentu tantangan besar bagi para ahli ekonomi Islam untuk bersama-sama mensyariahkan ekonomi nasional.

Pilar yang kedua menurut Syafi’i adalah sistem nafkah.  Sistem nafkah adalah jejaring sosial yang ampuh untuk menjaga keberlangsungan masyarakat.  Pada sistem nafkah Islam, setiap lelaki akil baligh yang mampu bekerja terkena kewajiban mencari nafkah.  Sedang yang mereka yang tidak mampu, mereka akan dinafkahi oleh kerabat dekat yang juga ahli warisnya.  Sistem ini terbukti lebih efektif dari sistem asuransi sosial yang ada di Barat saat ini.  Pada sistem asuransi, hubungan kekerabatan tak perlu ada, sehingga timbul kecenderungan menurunnya peran keluarga dan bahkan trend yang mengarah ke tidak menikah atau orang tua tunggal (single parent).  Kondisi ini pada jangka panjang akan berakibat punahnya populasi.  Di sisi lain, sistem Islam memberi wewenang pada negara untuk intervensi ketika ada orang yang menelantarkan tanggungannya.  Negara bisa mengambil paksa hak nafkah tersebut atau mengambil alih tanggungjawab ketika seseorang sudah tidak memiliki siapapun.  Karena itu dalam sistem nafkah Islam, mestinya tidak perlu ada orang yang terjebak situasi sehingga mencari sesuap nasi sebagai pengemis, gelandangan atau pelacur.

Pilar yang ketiga barulah zakat.  Zakat adalah mekanisme non ekonomi (karena ia adalah ibadah) dan non nafkah (karena tidak diberikan pada orang yang menjadi tanggungan).  Jadi zakat adalah katup terakhir pemberdayaan sosial.  Karena itu wajar jika efektifitas zakat amat tergantung dari sejauh mana ekonomi syariah maupun sistem nafkah berfungsi.

Dalam hitungan kasar saja: jumlah orang miskin di Indonesia standar Bank Dunia ada 100 juta orang.  Kalau untuk memberdayakan mereka rata-rata diperlukan Rp. 1 juta / orang / tahun saja, itu berarti Rp 100 Trilyun.  Sementara PDB kita diperkirakan sekitar Rp. 3600 Trilyun.  Kalau semua ini dipukulrata dizakati 2,5% maka baru didapat Rp. 90 Trilyun!  Jelas masih kurang! Belum kalau melihat bahwa harta itu banyak yang ada di tangan non muslim yang tidak wajib zakat.  Realitanya saat ini zakat yang terkumpul melalui Laznas tak pernah mencapai Rp. 1 Trilyun!

Itulah karena saat ini ekonomi syariah baru berjalan atas kesadaran masing-masing.  Di lapangan, ekonomi syariah dipaksa bersaing dengan ekonomi ribawi.  Walhasil, setelah 16 tahun perbankan syariah di Indonesia, assetnya masih kurang dari 2% asset perbankan nasional.  Sementara itu  negara juga praktis tidak pernah intervensi bila ada rakyat yang tidak mendapatkan hak nafkahnya.

Maka dalam posisi inilah, peran zakat yang semula nomor tiga dipaksa naik menjadi nomor satu.  Itupun masih dalam basis kesadaran masing-masing.  Belum ada aturan apapun yang memberi sanksi pada penunggak zakat, sebagaimana tak ada sanksi atas pelaku ekonomi ribawi atau penunggak nafkah.

Dengan kondisi seperti ini, berharap zakat menjadi tulang punggung pemberdayaan sosial memang seperti mimpi.  Memang perjuangan apapun selalu bermula dari mimpi.  Namun kalau perjuangan ini diintegrasikan dengan perjuangan penerapan kembali syariat Islam termasuk dalam bidang-bidang ekonomi, maka tidak sulit menjadikan mimpi ini kenyataan.

 

(ditulis untuk Bulletin Yayasan Pembina Keluarga Remaja Islam Magelang, Nov. 2007)

Tags: , ,

October 4th, 2007

Teknologi Pertanian Pangan

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Bahwa beras kini mahal, tidak ada orang yang membantah.  Apalagi kini menjelang lebaran. Tahun 1997, seorang PNS gol III-A berpenghasilan 350.000 Rupiah.  Kecil, tapi ini cukup untuk membeli 233 kg beras kelas sedang yang hanya Rp. 1500/kg.  Kini, beras yang sama Rp. 4800/kg, sehingga meski gaji PNS III-A sudah Rp. 1 juta, yang didapat hanya 208 kg.  Pemerintah mengklaim bahwa stock beras nasional di Bulog merosot, sehingga perlu impor.  Namun harga beras di pasaran hanya turun sebentar.

Bicara masalah beras adalah bicara teknologi pertanian pangan.  Di sini dikenal tiga fase pekerjaan, yaitu (1) produksi, (2) pascapanen dan (3) distribusi.

Berapa produksi beras kita?  Mungkin hanya Allah yang tahu pastinya.  Di Indonesia sedikitnya ada tiga angka yang berbeda karena berasal dari metode yang berbeda. 

Badan Pusat Statistik menggunakan data citra satelit untuk menghitung luasan sawah yang aktual.  Tentu saja tidak mudah karena ada sawah yang baru tanam (masih berair), sawah yang sedang menghijau, sawah yang sudah menguning, dan sawah yang sudah dipanen.  Selain itu di citra juga ada awan yang mengganggu.  BPS juga melakukan survei di berbagai daerah untuk mencari indeks panen (kg gabah kering per hektar).  Dari luas dan indeks panen dapat dihitung produksi gabah kering nasional.  Dari angka itu menjadi beras tinggal diasumsikan rendemen (rugi-rugi pada pasca panen) sekitar 20% maka didapatkan angka produksi beras nasional 2006 sekitar 54,7 juta ton per tahun dari sekitar 11,8 juta hektar sawah.

Sementara itu Pusat Studi Ekonomi Pertanian Badan Litbang Departemen Pertanian mengandalkan laporan dari bawah tentang luasan dan indeks panen.  Mereka memberi angka sekitar 67 juta ton beras per tahun.

Sedang angka Bulog jelas jauh lebih kecil, karena tidak semua hasil panen beras dibeli Bulog.

Kalau diambil angka BPS saja, kemudian dihitung dengan jumlah penduduk 2007 (sekitar 225 juta orang), maka didapatkan beras per kapita 243 kg/orang/tahun, suatu jumlah yang mencukupi – karena 1 kg beras dapat untuk makan enam kali atau 2 hari, alias kebutuhan per orang per tahun hanya sekitar 185 kg.

Secara internasional, produktivitas beras kita ada pada nomor 3 (sekitar 4,6 ton/ha) setelah Jepang (6,5 ton/ha) dan China (6,1 ton/ha).  Tanah kita memang subur, air melimpah (kecuali di beberapa tempat di musim kemarau), jadi meski masih “biasa-biasa saja”, produktivitas beras kita sudah lebih tinggi dari Vietnam (4,2 ton/ha) atau Thailand (2,5 ton/ha).  Kalau pertanian kita secanggih Jepang, misal dengan “precission farming” (pertanian presisi) sehingga jarak tanam, takaran air, pupuk, anti hama – semuanya optimal, mungkin hasilnya lebih besar dari Jepang.

Jadi di produksi sebenarnya tidak masalah.  Pada pasca panen terdapat rugi-rugi, misalnya saat pemanenan (9,5%), perontokan (4,8%), pengangkutan (0,2%), pengeringan (2,2%), penyimpanan (1,5%) atau rata-rata 20%.  Masih bisa diterima.  Namun bagaimana harga beras tetap tinggi?

Kuncinya ternyata di mekanisme distribusi.  Selama ini terdapat perbedaan harga di level petani dengan di pasar hingga mencapai Rp. 2500 per kg.  Ini artinya keuntungan di level distributor antara 200% – 300%.  Petani ditekan harganya karena mereka tidak punya gudang atau teknologi pascapanen untuk menjaga agar beras tahan lama. Kadang-kadang petani bahkan terpaksa menjual padinya sebelum panen (ijon), demi menutup utang-utang mereka untuk benih, pupuk, anti hama atau kebutuhan keluarga mereka.

Sementara itu para pedagang bermodal besar mampu menyediakan gudang, jaringan angkutan beras dan jaringan informasi harga di seluruh Indonesia – bahkan dunia.

Beras adalah komoditas yang relatif inelastis.  Di satu sisi tingginya permintaan tidak bisa segera diantisipasi dengan produksi (karena menanam padi perlu minimal tiga bulan!).  Di sisi lain, selama pola makan bangsa ini masih didominasi beras, maka bisnis beras hampir tak mungkin rugi.  Dengan gudang modern yang memiliki pengatur udara, beras dapat disimpan hingga bertahun-tahun, dan dilepas hanya ketika harga tinggi.  Celakanya adalah ketika hal seperti ini justru dilakukan dengan semata-mata pertimbangan bisnis.

Sejak Bulog berubah dari lembaga pelayanan masyarakat (perusahaan umum penyangga tata niaga bahan pokok) menjadi mirip BUMN yang mencari untung, maka distribusi beras benar-benar diatur dengan prinsip kapitalisme.

Jadi jelas bahwa kuncinya sebenarnya bukan pada teknologi pertanian sich, tetapi lebih pada sistem distribusinya. 

Walaupun demikian teknologi pertanian tetap penting untuk dikuasai.  Pada komoditas selain beras seperti terigu, kedelai dan susu, produksi kita memang sangat rendah.  Adalah ironis bahwa “makanan orang miskin” seperti tahu-tempe, bahan baku kedelainya ternyata banyak diimpor!

Indonesia sebenarnya memiliki keanekaragaman hayati yang jauh lebih tinggi dari negara manapun di dunia.  Namun anehnya, kita lebih mengenal keunggulan jambu Bangkok atau semangka Bangkok daripada produk lokal.  Di Indonesia ada banyak fakultas pertanian dan balai litbang pertanian, namun produknya juga jarang terdengar.  Alumni suatu institut pertanian konon bahkan lebih banyak yang bekerja di bank atau jadi wartawan.

Kebutuhan alat-alat mekanisasi pertanian (seperti traktor) juga besar, namun jarang terdengar investor lokal masuk ke bisnis ini.  Apalagi untuk teknologi pasca panen. 

Agar produk pangan kita dapat diekspor, diperlukan sistem pengolahan yang rapi, hampir mendekati steril, sehingga produk seperti tahu atau tempe lebih tahan berhari-hari.  Di sinilah inovasi berperan.  Di sinilah dunia pertanian mesti bekerjasama dengan pakar mesin, elektronika atau kimia, bukan sebaliknya melecehkan mereka yang menggeluti teknologi canggih itu seakan lepas dari akar Indonesia.

Dr. Ir. Adhi Sudadi Soembagyo, MSME, seorang pakar robotik lulusan Belgia mengisahkan bahwa ketika dia belajar robotik, banyak orang melecehkan bahwa ilmunya tak akan terpakai di Indonesia karena yang dibutuhkan adalah teknologi tepat guna dan padat karya.  Belakangan, justru robot yang pertama kali dibangun sepulangnya dari Belgia adalah mesin pembuat tahu.  Dengan robot ini, pekerja manusia cukup memasukkan kedelai, sedang selebihnya dikerjakan secara otomatis dan hygienis.  Hasilnya, tahu dalam kemasan yang tahan lama, siap untuk ekspor.

Sayangnya, saat ini para pionir teknologi pertanian sering merasa kurang didengar – baik oleh kolega sendiri apalagi oleh para pengguna umum.  Sebenarnya kuncinya kembali lagi kepada (1) motivasi individual – baik di level produsen maupun konsumen; (2) kultur pangan yang ada di masyarakat; (3) peran negara yang seharusnya pro-aktif menghilangkan kelaparan di negeri yang dilindunginya.

(dimuat di Suara Islam, minggu I-II Oktober 2007)

Tags: ,