Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
October 3rd, 2007

Jadi APU (PU IV/e)

Sekali ini bukan tulisan yang dipublikasikan di media massa (cetak) …

Senin (1 Okt 2007) lalu saya menerima surat PAK (Penetapan Angka Kredit) dari Kepala LIPI no. 1580/D/2007 tertanggal 26 Juni 2007.  Intinya saya telah meraih AK 1173.8, dan dapat diangkat dalam jabatan Peneliti Utama Gol IV/e (dulu “Ahli Peneliti Utama” alias APU) mulai 01-07-2007, bidang Sistem Informasi Spasial.  Ya inilah mungkin maksimal yang dapat diraih seorang pejabat peneliti.

Saya tinggal nunggu waktu orasi ilmiah untuk dilantik sebagai Professor Riset.  Tetapi aturan yang ada sekarang mengatakan, untuk itu pangkat PNS-nya harus sudah IV/e juga.  Saya sekarang baru IV/b (t.m.t. 1 April 2006).  Jika saya tiap 2 tahun naik pangkat, maka baru 1 April 2012 saya IV/e, artinya baru 2012 itu bisa dilantik jadi Professor Riset.  Itu juga kalau masih hidup 🙂  dan itu juga kalau LIPI masih ada …

Jadi ingat iklan rokok “Yang Muda Yang Gak Boleh Bicara …”.  Usia saya baru 39 tahun, jadi ya masih terhitung muda lah … he he …  Adik kelas saya di Wina (www.ipf.tuwien.ac.at) dulu, kelahiran 1969, dan 2001 sudah jadi Professor (usia 32 tahun).  Kalau dia hidup di Indonesia … capek dech … 🙂

Tapi itulah realita.  Sebenarnya saya hanya ingin menunjukkan bahwa jadi APU itu tidak hebat-hebat amat.  Tidak perlu dibandingkan dengan kolega di Luar Negeri.  Di Indonesia juga banyak yang bisa jadi APU – meski kemudian “gak bunyi”.  Jangan-jangan saya termasuk itu juga ya …  Obsesi saya bikin buku-buku yang menjadi trendsetter di bidang keahlian saya, atau mempatenkan suatu teknologi yang laris manis, atau menginisiasi suatu lembaga (perusahaan, LSM) yang berpengaruh, juga belum tercapai.  Tapi gini-gini saja koq sudah APU ya ???

Tapi di sisi lain saya lihat ada juga orang-orang cerdas nan tekun yang menghasilkan karya-karya hebat yang sesungguhnya, tetapi tidak sempat ngurus jabatan fungsional penelitinya.  Yang kasihan, secara administratif orang-orang ini nantinya akan dinilai oleh rekan-rekannya yang hanya sibuk ngumpulin AK tanpa menghasilkan karya yang sesungguhnya.

Dan saya pengalaman: sekedar ngumpulin AK itu tidak susah-susah amat.  Yang susah itu mempertanggungjawabkan terutama kepada Tuhan, dan kepada rakyat yang telah membayar tunjangan peneliti dan dana penelitian melalui pajak.

Yang susah juga adalah sistem birokrasi di Indonesia.  Karena sekarang saya gol IV/b, saya diserahi tugas jadi Kepala Balai Penelitian Geomatika (eselon III/A).  Saya tidak tahu sampai berapa lama saya akan di posisi ini.  Secara finansial gak ada untungnya … tunjangan fungsional saya sudah lebih tinggi dari tunjangan struktural.  Tahun depan saya IV/c, dan itu berarti – menurut pemahaman Kepala Biro Kepegawaian di Lembaga saya – tidak boleh menjabat eselon III.

Jadi ada dua kemungkinan: saya tidak boleh naik pangkat pilihan (sekalipun sudah ada Kepres yang mengangkat saya menjadi Peneliti Utama IV/e), atau saya harus mengundurkan diri dari Kepala Balai.  Kalau disuruh milih, sepertinya milih mundur saja.

Jadi Peneliti bagaimanapun lebih bebas, tidak harus rapat hampir tiap hari, tidak harus tanda tangan soal keuangan atau personil, yang kadang dirasa belum sreg benar, tetapi someone must do that job!

Sejak jadi Ka Balai, saya juga hampir tidak sempat menulis paper ilmiah lagi.  Untungnya tidak lagi harus ngumpulin AK lagi (kecuali cuma Maintanance, 20 AK per tahun).  Tapi rasanya sayang ya … Yang sempat tinggal jadi “selebriti”.  Nulis populer di media massa alhamdulillah masih bisa.  Tapi mudah-mudahan dengan amanah yang ada ini, saya bisa memberi manfaat lebih besar ke lebih banyak orang.

Saya sering gundah kalau belum bisa memberi manfaat bagi banyak orang. Padahal di hadapan Tuhan nanti yang penting bukan apa gelar, jabatan atau penghasilan yang kita raih tetapi sejauh apa itu bermanfaat bagi kemanusiaan?

Kata Rasul: sebaik-baik mu’min adalah yang memberikan manfaat bagi manusia lain.

Tags: ,

September 21st, 2007

Sekali Lagi Tentang Ru’yat & Hisab

Makalah untuk Roundtable Discussion tentang Konsep Hilal
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Yogyakarta 23-24 September 2007

oleh

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional

Secara konseptual, baik ru’yatul hilal (praktis) mapun hisab (teoretis) adalah dua sisi mata uang yang sama – keduanya tidak akan bertentangan bila sama-sama dilakukan dengan benar.  Oleh karena itu saya melihat perdebatan hisab vs ru’yat itu tidak perlu.

Konsep ru’yatul hilal memiliki sandaran syar’i yang kokoh.  Perintahnya adalah ”telah terlihat hilal”, bukan ”telah masuk waktunya”.  Inilah perbedaan pokok perintah yang terkait dengan puasa, dan perintah yang terkait dengan sholat.

Namun perbedaan yang terjadi selama ini sebenarnya bukan hanya hisab vs ru’yat, tetapi juga hisab vs hisab (buktinya untuk 1 Syawal nanti Muhammadiyah berbeda dengan Persis), ru’yat vs ru’yat (buktinya di Kab. Kuningan ada yang memulai puasa hari Rabu 12 September 2007, konon karena ru’yat mereka berhasil melihat hilal), dan bahkan ru’yat matla terbatas vs ru’yat global (Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab lainnya).

Pada tulisan ini saya tidak ingin fokus ke soal fiqihnya an sich, meskipun bahan-bahan pada saya cukup banyak.  Saya akan membahas sisi fakta saja.  Biasanya para fuqoha dalam memutus perkara fikih harus paham betul faktanya dulu, baru mencarikan dalil syar’i yang tepat untuk fakta itu.

Faktor Kunci Keberhasilan Ru’yatul Hilal

Ru’yatul Hilal, agar sukses, harus memenuhi tiga kriteria – saya menyebutnya kriteria ABC:

A – Astronomi, yakni bulan telah (1) ijtima’; (2) wujud / di atas ufuk; dan (3) tingginya telah mencapai minimal yang terbukti seara ilmiah.   Syarat A ini semua bisa dihitung oleh hisab falakiyah (astronomi).  Dalam kritera bulan telah ijtima’ (A-1) dan wujud (A-2), hitungan para astronom pada umumnya tidak berbeda.  Namun untuk tinggi minimal (A-3), yang ada selama ini (misal 2 derajat) adalah angka hisab pada saat ada kesaksian yang diterima, atau kadang-kadang hanya taksiran kasar, bukan diukur dengan teodolit.  Kesaksian ini secara hukum (syar’i) sah, tetapi secara ilmiah belum memenuhi obyektivitas.  Fakta hilal yang terrekam foto setahu saya belum pernah terjadi pada ketinggian 2 derajat apalagi kurang atau umur bulan kurang dari 20 jam (www.icoproject.org).  Kalau syarat A-3 ini dipenuhi, kemungkinan perbedaan hisab (teoretis) dengan ru’yat (praktis) akan sangat minimum.

B – Baiknya pengamat dan lingkungan pengamatan.  Pengamat harus sehat, tidak memiliki gangguan penglihatan, serta terlatih melihat hilal; sedang lingkungan pengamatan (ke ufuk Barat)) tidak boleh terganggu oleh pepohonan, gedung-gedung, gunung ataupun sumber cahaya lain.  Syarat B ini tidak dapat dihitung tetapi dapat dipersiapkan.  Termasuk persiapan yang bagus adalah pengamatan pada pos observasi bulan yang didesain khusus seperti di Pelabuhan Ratu (di atas bukit dan menghadap ke laut lepas)  dan penggunaan alat-alat optis-elektronis, misalnya teropong yang dilengkapi kamera digital berresolusi tinggi.  Foto digital yang didapat bisa diolah dengan pengolah citra untuk memisahkan cahaya bulan dari cahaya latar yang pada umumnya jauh lebih cerah dan panas (dari matahari).  Namun saya kira ada juga orang yang menolak penggunaan alat seperti ini dengan alasan ru’yatul hilal adalah ibadah yang tauqifi (harus dilaksanakan persis seperti di zaman Nabi).  Orang seperti ini juga mungkin akan menolak penggunaan loud speaker pada saat khutbah Jum’at.

C – Cuaca.  Seberapapun tinggi dan umur hilal, kalau cuaca mendung, maka hilal tidak terlihat.  Cuaca ini tidak dapat diperhitungkan maupun dipersiapkan.  Kalau ini terjadi ya sesuai hadits nabi: ”Genapkan 30 hari!” – kecuali kalau kemudian ternyata di daerah lain hilal berhasil diru’yat.

Adanya syarat ABC ini membuat kapan 1 Ramadhan / 1 Syawal / 9 Zulhijjah tidak bisa dipastikan jauh-jauh hari seperti halnya hari peribadatan agama lain.  Namun kita harus yakini bahwa tentu ada wisdom di balik itu dari Allah swt.

Kalender Hisab bisa berbeda-beda

Sementara itu Hisab memang diperlukan untuk, bahkan oleh mereka yang memegang pendapat bahwa Ru’yat wajib dan tak tergantikan oleh Hisab.  Kenapa?  Ru’yat hanya akan dilakukan pada tanggal 29 bulan sebelumnya!

Ru’yat Ramadhan hanya akan dilakukan tanggal 29 Sya’ban.  Kita tak perlu berkilah bahwa seharusnya awal Sya’bannyapun harus diru’yat …. Nanti tidak akan ada habisnya …  Yang jelas, kapan tanggal 29 ini, sudah tertera di kalender.  Dan ini hasil hisab!

Namun rupanya, kalender hasil hisab ini bisa berbeda-beda oleh 3 faktor:

  1. Faktor rumus perhitungan.  Rumus-rumus hisab pada kitab-kitab tua dibuat sederhana (karena juga pada masa itu belum ada komputer), sehingga untuk menghitung gerhana saja bisa meleset hampir 2 jam!  Tetapi pada umumnya sekarang orang menggunakan rumus astronomi modern yang mengacu kepada The Astronomical Almanach, the Royal Navy Nautical Almanach, atau bahkan rumus-rumus yang dipakai oleh dua buku itu sudah dimasukkan kedalam software.  Minimal hasilnya untuk menghitung ijtima’ akan sama, mungkin beda satu menit karena faktor pembulatan.
  2. Faktor titik sentral perhitungan (markazul falakiyah).  Hisab untuk menghitung wujudul hilal mau tidak mau akan menghitung waktu terbenam bulan dan matahari, dan ini sangat tergantung dilihat dari posisi mana?  Oleh karena itu, perbedaan titik sentral akan mempengaruhi hasilnya.  Penggunaan titik sentral di Indonesia Barat akan berbeda dengan titik sentral di Indonesia Timur, apalagi dengan di luar negeri.  Untuk penggunaan kalender hijri yang berlaku internasional, sebaiknya titik sentralnya adalah Makkah, agar klop dengan ritme ibadah haji.
  3. Faktor kriteria masuk tanggal.  Katakanlah rumus dan titik sentral sama, tetapi kalau kriteria masuk tanggal beda, maka hasilnya pada kondisi kritis bisa beda.  Contohnya: Muhammadiyah & Persis.  Mereka menggunakan rumus dan titik sentral yang sama, namun Muhammadiyah memakai 0 derajat, Persis 2 derajat.  Ketika tinggi hilal saat matahari terbenam katakanlah 1 derajat, bagi Muhammadiyah besok sudah tanggal 1, bagi Persis besok tanggal 30 (istikmal).

Usulan untuk mempersatukan

Oleh karena itu menurut saya, untuk mempersatukan masalah perbedaan awal dan akhir Ramadhan, yang harus dilakukan adalah

  1. Menyamakan persepsi kriteria hisab kalender.  Faktor kriteria masuk tanggal sebaiknya mengacu kepada imkanur ru’yat yang sudah terbukti secara ilmiah.  Bukan ijtima’ (baik qobla ghurub maupun qabla fajr) ataupun wujudul hilal!  Kalau wujudul hilal, maka bila tinggi bulan masih sangat rendah, pasti akan berbeda terus dengan metoder ru’yat praktis.  Sedang bila kriterianya imkanur ru’yat, maka perbedaan dengan ru’yat praktis hanya tinggal masalah cuaca.
  2. Menyamakan persepsi tentang kriteria ru’yat praktis yang boleh diterima.  Ini adalah masalah kesaksian.  Selain syarat administratif yaitu bahwa saksi harus seorang muslim yang adil, syarat ABC juga harus dimasukkan untuk menghindari kesalahan kesaksian.  Artinya, syarat A: laporan harus diberikan pada daerah yang memang sudah memungkinkan, dan pada jam yang memungkinkan (bukan pada jam yang masih / sudah mustahil bulan dirukyat); syarat B: laporan harus diberikan oleh seseorang yang terbukti sehat dan tidak terganggu penglihatannya, juga dari tempatnya melihat ke arah ufuk barat tidak ada penghalang yang serius; syarat C: terbukti di daerah tersebut tidak ada mendung atau hujan yang menghalangi ru’yat praktis.
  3. Menyamakan persepsi tentang berita ru’yat dari cakupan yang lebih luas dari wilayah Indonesia.  Indonesia sebaiknya menjalin kerjasama dengan negeri-negeri Islam lainnya untuk menyamakan kedua persepsi di atas, sehingga baik kalender maupun laporan ru’yat dari sesama negeri Islam bisa memiliki kualitas yang sama.  Dengan demikian bisa dihindari kejadian bahwa di Indonesia sebenarnya antar ormas dan pemerintah sudah sama, tetapi ada sekelompok orang yang mengikuti berita ru’yat dari Timur Tengah. Ini sekaligus untuk mengantisipasi kejadian di mana di seluruh Indonesia hilal tidak terlihat karena faktor cuaca (misalnya saat musim penghujan), tetapi di Malaysia, Pakistan atau Saudi hilal terlihat.  Maka mestinya kita bisa menggunakan hasil ru’yat negeri lain tersebut.  Tentu saja kalau kriteria B di sana sendiri tidak benar (seperti yang selama ini sering terjadi, ada laporan ru’yat padahal di sana juga hilal masih belum wujud), maka kita di Indonesia tidak wajib mengikutinya.

Demikianlah, semoga sumbang saran ini dapat membawa ke arah persatuan dan kesatuan ummat, sehingga ummat dapat menikmati indahnya kebersamaan memulai dan mengakhiri Ramadhan.

Penulis menyelesaikan studi geodesi dan remote sensing pada Vienna University of Technology Austria (PhD tahun 1997).  Menekuni masalah hilal sejak 1989, ikut berkontribusi dalam pembuatan software kalkulasi bulan MAWAAQIT (bersama Dr. Khafid). 

Tags: , , , , ,

August 30th, 2007

Khalifah Juga Manusia

Dr. Fahmi Amhar
Alumnus Vienna University
Peneliti Sejarah Islam.

Konferensi Khilafah Internasional (KKI) yang digagas oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus 2007 lalu mulai menuai bola salju.  Di harian Media Indonesia 24 Agustus 2007 lalu muncul dua tulisan yang mempersoalkan ide-ide HTI.

M. Hasibullah Satrawi (alumnus al-Azhar Kairo) mempertanyakan prosedur pemerintahan seperti apa yang hendak diciptakan?  Satrawi menganggap HTI mengalami kerancuan paradigma, yang di satu sisi ingin menegakkan pemerintahan khilafah (yang menurutnya pada masa awal Islam sarat dengan nilai-nilai demokrasi), tetapi di sisi lain HTI anti demokrasi.  Bahkan dia pertanyakan apakah HTI sama atau memang Khawarij baru – suatu hal yang juga dilontarkan oleh kelompok Salafi.

Sedang Zuhairi Misrawi (Direktur Moderate Muslim Society) menggunakan pendekatan hermeneutik.  Istilah khalifah dan khilafah dikatakan mengalami perkembangan dan partikularisasi, dari “mandat Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia apapun agamanya” menjadi “justifikasi dan legitimasi suatu klan politik”.  Kedaulatan Tuhan atau sistem khilafah menurutnya adalah kalimat mulia tapi maknanya bisa menjadi batil.

Lepas dari soal setuju atau tidak dengan isinya, keberadaan dua tulisan itu dapat bernilai positif, dan justru diharapkan oleh HTI untuk membuka perdebatan ilmiah yang mengandalkan kekuatan logika.  Sepanjang pergumulan saya dengan gerakan HT selama lebih kurang 17 tahun, saya melihat bahwa gerakan ini sangat concern dengan adu argumentasi ilmiah, dan bukan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengandalkan logika kekuatan.  Justru logika kekuatan ini yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh penguasa negeri ini, yang mencekal dan mendeportasi dua pembicara KKI dari Luar Negeri, serta melarang dan menekan beberapa tokoh Dalam Negeri agar tidak berorasi di forum KKI.

Sebenarnya apa yang dipersoalkan oleh dua penulis di atas, sudah terjawab oleh buku-buku HT sendiri.  Dalam buku Ajjihzah daulatih khilafah (Struktur Negara Khilafah) yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir (Internasional) tahun 2005, ditegaskan bahwa sistem khilafah adalah sistem manusia dan bersifat duniawi.  Khalifah juga manusia, dan negara Khilafah bukan negara teokrasi.

Meskipun istilah Khalifah dipakai secara umum di dalam Qur’an Surat al-Baqarah ayat 30 (Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”), namun Rasul telah dengan jelas membatasi istilah itu untuk pemerintahan pasca Nabi.  Nabi bersabda dalam hadits riwayat Muslim: “Dulu Bani Israel diurus dan dipelihara oleh para nabi. Setiap seorang nabi meninggal, nabi yang menggantikannya.  Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah, dan mereka banyak”.  Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang kau perintahkan kepada kami?”  Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka.  Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus”.

Di hadits yang lain Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara, sehingga melarang munculnya kepala negara tandingan.  Dalam hadits riwayat Muslim tersebut Nabi secara eksplisit menggunakan istilah khalifah untuk kepala negara kaum muslimin: Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya”.

Tentang mekanisme pemilihan khalifah, apa yang terjadi pada masa khulafaur Rasyidin, dan diamnya mereka melihat mekanisme pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa keempatnya adalah sah sebagai model.  Hal ini karena ada sabda Nabi: “Ummatku tidak akan sepakat dalam kemungkaran”.  HT menyimpulkan bahwa kesepakatan (ijma’) para sahabat (dan hanya berlaku untuk para sahabat Nabi) adalah sebuah sumber hukum.

Karena itu bagi HT mekanisme itu sangat jelas.  Khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar; atau dengan nominasi khalifah sebelumnya seperti Umar; atau dengan suatu komite pemilihan seperti Utsman atau dengan suatu pengambil alihan di saat terjadi vacuum of power seperti Ali.  Keempat model ini semuanya absah pada saat yang tepat.  Jadi keliru untuk mengatakan bahwa Islam atau sistem khilafah tidak memiliki model suksesi.

Sedang apa yang terjadi di masa dinasti Umayah, Abbasiyah atau Utsmaniyah adalah penyalahgunaan sistem nominasi.  Namun bukan metode nominasinya sendiri yang salah.  Dalam sistem demokrasi juga ada nominasi.  Hampir semua penerus Perdana Menteri pada sistem demokrasi parlementer adalah dinominasikan oleh PM sebelumnya.  Toh nominasi ini hanya akan berjalan dengan baik kalau diterima oleh Parlemen dan diperkuat lagi oleh pemilu berikutnya.

Dalam sistem khilafah, nominasi ini baru akan sah ketika ada baiat.  Baiat adalah semacam kontrak antara umat (yang terwakili oleh tokoh-tokoh kunci kekuatan umat, yaitu di politik atau militer) yang siap taat dan membela seseorang agar menerapkan syariat Islam.  Orang yang menerima baiat itulah yang kemudian menjadi khalifah, atau amirul mukminin, atau sultan atau sebutan lain yang sah.

Sebaiknya kalau kita meneropong suatu sistem pemerintahan, kita jangan hanya terpaku pada sistem suksesinya.  Konstitusi negara manapun tidak hanya mengatur suksesi.  Di UUD 45 hasil amandemen, soal suksesi hanya ada pada 3 pasal dari 37 pasal. Maka, ketika kita menilai kualitas sebuah negara, jangan pula hanya dilihat suksesinya.  Kalau kita mau jujur, Indonesia ini meski sukses melakukan suksesi secara demokratis, tetapi kualitas kehidupan masyarakatnya justru semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita proklamasi.

Sementara, se-despot apapun para khalifah Islam di masa lalu, mereka masih melindungi rakyatnya, mencerdaskannya, menjadikannya sejahtera, dan menorehkan sejarah peradaban emas Islam.  Umar bin Abdul Azis dari bani Umayyah berhasil mensejahterakan rakyatnya dalam 2,5 tahun, padahal waktu itu kekuasaanya membentang dari Spanyol hingga Iraq.  Khalifah al Rasyid dan al Makmun dari bani Abbasiyah mensponsori aktivitas keilmuan yang luar biasa di masanya.  Al Mu’tashim Billah dengan tegas menindak suatu negara boneka Romawi yang serdadunya melakukan pelecehan seksual atas wanita muslimah di negeri itu.  Bayangkan dengan apa yang diperbuat Republik Indonesia yang sangat demokratis pemilunya ini pada ribuan perempuan buruh migran yang tidak cuma dilecehkan namun juga disiksa di luar negeri?   Al Qanuni dari bani Utsmaniyah berhasil menahan – untuk beberapa abad kemudian – laju imperialisme kekaisaran-kekaisaran Eropa saat itu (Habsburg Austria, Tsar Russia, dll).  Andaikata khilafah Utsmani ini tidak pernah ada, barangkali Islam belum berkembang di Indonesia seperti saat ini.

Menganggap sistem khilafah awal sarat dengan nilai-nilai demokrasi justru menunjukkan kebutaan kita terhadap demokrasi.  Demokrasi direduksi hanya dalam proses pemilu (demokrasi prosedural).  Orang-orang Islam liberal pun sangat paham akan hal ini, sehingga merekapun menentang kalau orang hanya menggunakan demokrasi sebatas prosedural.  Padahal dalam demokrasi itu juga ada asas sekulerisme (penetralan kehidupan publik dari acuan agama apapun), asas liberalisme (kebebasan berpikir, berpendapat dan berperilaku sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain) serta asas kapitalisme (pasar bebas dengan modal sebagai panglima).  Demokrasi boleh mempersoalkan apa saja (termasuk Islam), namun tidak boleh mempersoalkan ketiga asas pendampingnya.  Sementara itu ide khilafah yang diusung HT sebenarnya tidak pernah mempersoalkan demokrasi sebagai prosedur, namun menentang keras tiga asas pendampingnya.  Adakah demokrasi tanpa sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme?  Negara mana contohnya?  Kalau anda yakin jawabannya ada, mungkin anda masih bermimpi!

Tags: ,