Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
July 11th, 2007

Mengkaji Politik Perindustrian dalam Islam

Dr.-Ing. Fahmi Amhar

Pengajar Program Studi Teknik Industri
Universitas Muhammadiyah Magelang

Pendahuluan

Di negeri-negeri muslim seperti Indonesia, ada beberapa persoalan perindustrian yang sering terangkat ke permukaan.  Persoalan-persoalan ini dapat dikelompokkan dalam tiga besar:

Pertama teori bahwa perindustrian adalah kunci pertumbuhan ekonomi karena dianggap mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.  Namun di sisi lain, hal ini juga menyimpan resiko pada saat krisis ekonomi, seperti tampak dari kasus-kasus perburuhan akibat rasionalisasi atau penutupan pabrik-pabrik.

Kedua adalah pandangan bahwa perindustrian akan mengakselerasi kemampuan teknologi.  Maka tak heran bahwa indikator kemampuan teknologi selalu diukur dari sejauh mana sebuah bangsa atau negara memiliki atau membangun suatu industri strategis secara mandiri, seperti telah dikerjakan pemerintah Orde Baru di Indonesia dengan industri pesawat terbang.

Ketiga adalah keyakinan bahwa perindustrian merupakan asset vital –bahkan strategis- dalam mempertahankan tujuan-tujuan politik dan/atau ekonomi.  Berbagai proyek besar seperti Krakatau Steel, PT Pupuk Sriwijaya, PT Semen Gresik dsb. semua dibuat dalam rangka meraih tujuan-tujuan tersebut secara makro.

 

Fakta teori pertumbuhan ekonomi

Fakta menunjukkan bahwa teori pertumbuhan ekonomi oleh perindustrian kita ternyata hanya sebagian terwujud dalam kenyataan.  Dalam kurun waktu tertentu, perindustrian di Indonesia memang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.  Namun ada beberapa alasan yang menjadikan perindustrian di negeri ini tidak benar-benar mampu menjaga kelanjutan pertumbuhan ekonomi itu, yaitu:

Pertama, meski industri kita ada di negeri ini dan dimiliki warga negara ini, namun nasibnya sering tidak ditentukan di sini.  Teknologi yang dipakai pada umumnya adalah lisensi dari induknya di luar negeri.  Meski alih teknologi telah dijalankan, dan kita pada dasarnya telah mampu membuat sendiri produk tersebut, namun aturan-aturan paten dan rahasia dagang akan menjaga sehingga kita hanya boleh membuat produk itu sesuai aturan lisensi pemilik paten.

Kedua, output produk industri itu sering sangat tergantung pasar ekspor (pasar dunia).  Bahkan beberapa investor sengaja membangun industri di negeri ini hanya untuk pasar ekspor, bahkan dengan merek asing.  Akibatnya, industri semacam ini cukup rentan terhadap berbagai peristiwa internasional.  Jauh sebelum krisis, sudah banyak industri tekstil yang gulung tikar hanya karena quota tekstil di negara tujuan.  Belakangan ada berbagai aturan lain seperti keramahan terhadap lingkungan (eco-labeling), tidak menggunakan tenaga anak-anak (kidsworker-free-labeling), hingga tidak berkaitan dengan terorisme.

Ketiga, bagi investor, Indonesia yang saat ini sedang hiruk pikuk dengan berbagai peristiwa politik ini serta budaya KKN yang tak banyak berubah, dianggap tak lagi menguntungkan secara bisnis, sehingga jangankan warga negara asing, WNI konglomeratpun ada yang justru memindahkan pabriknya ke luar negeri seperti ke Vietnam atau Kamboja yang “ongkos sosialnya” dianggap lebih ringan.  Kasus pabrik sepatu Nike adalah contoh yang cukup besar yang sampai sekarang belum tuntas.

 

Fakta pandangan kebangkitan teknologi

Sementara itu pada aspek kebangkitan teknologi, industri yang ada di negara-negara muslim masih lebih sering baru bisa bermanismuka. 

Fakta, teknologi itu sering hanya ada dalam seminar atau pameran namun jarang ada realita produksinya.  Sebagai contoh: PT Dirgantara sampai “komma” karena kekurangan order (pesawatnya tak laku) padahal pada saat yang sama TNI-AU sampai memesan pesawat tempur Sukhoi dan beberapa helikopter dari Russia.  Demikian juga Mabes Polri telah membeli hampir 18 helikopter dari Amerika Serikat. 

Pertanyaan yang sama terjadi dengan para penemu (inventor) di perguruan-perguruan tinggi ternama di negeri ini.  Meski secara teknis dan ilmiah karya mereka unggul, namun jalan untuk menerapkannya di dunia industri terbentur pada kenyataan, bahwa mayoritas industri besar di negeri ini hanya mau membuat dan menjual produk dengan brand-image kelas dunia.  Itu berarti, temuan-temuan teknologi itu tidak ada artinya, sepanjang tidak menjadi bagian dalam merek-merek dagang internasional.  Pendek kata, para pengusaha dan investor di negeri ini lebih suka meraih profit jangka pendek sebagai pedagang (atau calo) daripada profit jangka panjang sebagai pengusaha.

Aktivitas industri yang berusaha mandiri dengan pengembangan teknologi lebih sering terancam intervensi dari luar.  IMF melarang pemerintah menyuntikkan subsidi lagi untuk BUMN seperti PT Dirgantara Indonesia.  Sementara itu kalangan perbankan enggan mengucurkan kredit pada calon pembeli bus-bus buatan Texmaco Engineering (sebuah perusahaan swasta nasional murni).  Malah justru impor bus bekas yang kini dilakukan, dan Texmaco dibiarkan menjadi pasien BPPN.

Pada sisi lain, aktivitas pengembangan teknologi di negeri ini sering justru larut dalam pola budaya korup yang ada.  Memang, teknologi tinggi hanya bisa dimulai dengan subsidi dari negara.  Namun ini sebenarnya hanya perlu pada tahap inisiasi.  Seharusnya pada level tertentu, teknologi itu sudah mencapai kematangan dan meningkatkan kinerja dalam industri, sehingga penghematan yang dihasilkannya bisa disisihkan untuk pengembangan teknologi lebih lanjut.  Namun yang terjadi, subsidi itu justru membuat para peneliti menjadi malas. 

Di sisi lain, sistem rekrutmen yang ada, seperti pola yang diikuti dalam pegawai negeri sipil (PNS), masih belum mampu membuat para peneliti PNS memiliki komitmen pada aktivitas penelitiannya, terutama yang berhubungan dengan teknologi dan industri.  Yang sering terjadi justru braindrain, yakni mereka yang terbaik akan lari ke luar negeri, bekerja pada perusahaan asing atau bekerja di luar bidang keahliannya.

Pada sisi perburuhan, kemajuan teknologi yang diraih sering justru menempatkan dunia industri pada situasi dilematis.  Pada awalnya, industri bisa didesain untuk berjalan secara padat karya – dan bukan padat modal / padat teknologi.  Namun berbagai peraturan dan standardisasi yang diterapkan agar bisa masuk ke pasar global (seperti kelompok ISO 9000 dan ISO 14000) sulit terpenuhi tanpa penggunaan teknologi yang lebih intensif – dan ini berarti rasionalisasi.

 

Fakta industri dan kemandirian

Akan halnya kemandirian, strategi pembangunan industri ala Orde Baru dengan mencari investor asing baik secara langsung maupun melalui berbagai pinjaman pemerintah dari IGGI, CGI, Paris Club, Word Bank, ADB dan sebagainya, lebih sering justru menjadikan kita sulit menjadi mandiri.

Semua investor asing itu memberikan berbagai syarat yang pasti dalam jangka panjang akan menguntungkan mereka.

Misalnya pada model kontrak BOT (Built-Operation-Transfer), di mana investor akan membangun lebih dahulu dengan jaminan dari pemerintah untuk mengoperasikan proyek itu selama kurun waktu tertentu (10-25 tahun), dan kemudian asset itu dialihkan ke negara.  Sepertinya negara diuntungkan, karena tidak perlu mengeluarkan dana dari APBN untuk pembangunan pertama.  Kemudian proyek itu akan menyerap banyak tenaga kerja dan memasukkan pajak yang juga tidak kecil.  Dan pada akhirnya, proyek itu menjadi milik negara.

Model seperti ini banyak dipakai pada proyek-proyek dengan investasi sangat besar, seperti di Freeport, Arun-LNG dan sejenisnya.  

Namun hampir tak pernah ada akuntabilitas yang sesungguhnya, seberapa besar sebenarnya keuntungan asing dari proyek-proyek semacam itu.  Apalagi biasanya sebelum kontrak pertama berakhir, pihak asing itu sudah akan menyiapkan proyek berikutnya.  Sementara itu, pada saat transfer ke pemerintah, teknologi pada proyek lama sering sudah sangat ketinggalan, atau cadangan sumber daya alam dan lingkungan yang mendukungnya sudah sangat tipis, sehingga proyek itu tidak akan ekonomis lagi. 

Di sisi lain, sistem ekonomi yang ada membuat banyak industri yang semula dinilai strategis, bahkan juga untuk keperluan militer di saat perang, kemudian justru dilego untuk menutup defisit APBN akibat krisis perbankan.  Masih segar ingatan kita akan penjualan Indosat ke STT Singapore, atau sekarang yang masih dalam wacana adalah PT Dirgantara Indonesia.

Walhasil, strategi perindustrian yang ada selama ini belum pernah berhasil menjadikan kita bangsa yang benar-benar mandiri. 

Perindustrian kita gagal menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.  Gagal pula membangkitkan kemampuan teknologi.  Dan teknologi yang telah kita kuasaipun ternyata sulit menjadi andalan perindustrian kita sendiri.

 

Strategi Perindustrian dalam Islam

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan.  Namun bicara tentang perindustrian dalam Islam, orang sering hanya terfokus pada cabang industri yang mendukung aspek ruhiyah Islam, seperti industri penerbitan Islam, industri busana dan asesori muslim, atau industri yang mendukung ibadah haji.

Padahal seharusnya seluruh cabang perindustrian diwajibkan untuk tunduk kepada syariat Islam.  Seluruh cabang industri, baik yang menghasilkan produk untuk konsumen akhir maupun yang menghasilkan alat-alat berat atau bahan baku industri yang lain, seharusnya dibangun dan diatur dalam satu kerangka berpikir dan paradigma yang dilandasi oleh aqidah Islam.

Dengan melihat fakta-fakta di muka, maka bisa kita simpulkan bahwa suatu politik perindustrian dalam Islam akan terkait erat dengan bagaimana merubah pola berpikir dalam masyarakat, dan juga satu set aturan-aturan dalam sistem ekonomi seperti hukum kepemilikan; politik moneter; perdagangan luar negeri; aturan-aturan tentang hak atas kekayaan intelektual (HaKI); dan perburuhan; sampai sistem pendidikan dan sistem politik dan pertahanan.

Paradigma negara dalam Islam adalah untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama, nasab, harta, kemuliaan, keamanan dan negara.  Karena itu, seluruh politik perindustrian akan disinergikan untuk mewujudkan apa yang disebut maqashidus syariah itu.

Perindustrian dikembangkan agar ekonomi bisa berputar, sehingga jiwa-jiwa bisa tertolong (misalnya industri makanan atau obat-obatan), akal bisa dihidupkan (misalnya industri penerbitan Islam serta alat-alat edukasi), kehidupan beragama bisa lebih semarak (misalnya industri konstruksi sarana ibadah atau alat-alat transportasi jamaah haji), kehidupan keluarga lebih harmonis (misalnya industri peralatan untuk bayi dan ibu hamil), dan seterusnya.  Perindustrian diarahkan untuk mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam, baik muslim maupun non muslim.  Tidak ada artinya berproduksi yang berorientasi ekspor, jika pada saat yang sama untuk berbagai kebutuhan yang mendasar harus mengimpor, bila itu sudah bisa dipenuhi kemampuan industri dalam negeri.

Namun pada saat yang sama perindustrian juga dibangun atas dasar strategi dakwah dan jihad, defensif maupun offensif, baik yang sifatnya non fisik maupun fisik.

Dari sisi non fisik, seluruh pembangunan industri harus dibangun dalam paradigma kemandirian.  Tak boleh sedikitpun ada peluang yang akan membuat kita menjadi tergantung kepada orang-orang kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan pinjaman atau ekspor-impor) maupun politik.

… Allah sekali-kali tak akan memberi jalan pada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (Qs. 4:141)

 

Sedang dari sisi fisik, seluruh industri yang ada, harus mampu dimodifikasi untuk menyediakan keperluan untuk jihad pada saat dibutuhkan.  Industri alat-alat berat yang pada saat damai akan membuat kereta api atau alat-alat dapur, pada saat perang harus mampu dengan cepat disulap menjadi industri tank atau senapan otomatis.

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak tahu; sedang Allah mengetahuinya.  Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Qs. 8:60)

 

Kemampuan semacam ini pula yang dimiliki oleh setiap negara industri maju.  Pada saat Perang Dunia Kedua, banyak pabrik panci di Jerman yang oleh Hitler diperintahkan untuk segera menyiapkan puluhan ribu pucuk senapan untuk tentara.  Di Amerika Serikatpun, pabrik-pabrik pesawat seperti Boeing atau Lockheed Martin, memiliki cetak biru baik untuk pesawat sipil maupun militer.  Pada saat Perang Teluk mereka diperintahkan menukar prioritas produksi ke pesanan-pesanan Pentagon.

 

Revolusi Industri

Semua kemampuan tersebut di atas tentu saja tidak bisa didapat kecuali ada suatu revolusi teknologi dan industri.  Pola alih teknologi yang ada selama ini, apalagi dalam frame pinjaman asing, tidak akan pernah membuat kita benar-benar mandiri.  Kita hanya dididik untuk memakai teknologi afkiran produksi negara donor.

Kita hanya akan mampu mandiri, bila kita melalui loncatan teknologi, yaitu sebuah revolusi industri.  Revolusi ini akan terjadi, bila pada masyarakat terdapat pemikiran untuk mandiri, bukan pemikiran untuk tergesa-gesa menikmati.  India dan Cina adalah contoh terbaik abad 20. 

Seorang rekan penulis yang pernah mengunjungi Pusat Ruang Angkasa India menyaksikan, bahwa institusi yang telah berhasil membuat dan meluncurkan sejumlah satelit India itu terkesan amat sederhana.  Bahkan yang berpendingin udara hanyalah ruang pimpinan dan ruang rapat.  Selain itu hanya kipas angin.  Namun yang menyolok, baik AC maupun kipas angin itu, dan juga seluruh fasilitas yang sangat canggih di sana, semua buatan India!  Di jalan-jalan juga jarang disaksikan kendaraan Jepang atau Eropa.  Biarpun belum bisa ngebut “kayak setan”, tapi buatan India! 

Demikian juga Cina.  Ketika Mao Tse Tung ditanya kapan Cina akan melakukan intensifikasi pertanian dengan menggunakan traktor, dia menjawab, “Kita akan pakai traktor, setelah kita bisa bikin traktor!”.

Meskipun demikian, impor barang-barang industri buatan Luar Negeri tetap berstatus mubah seperti hukum asalnya.  Hanya saja, Khalifah berhak mentabanni aturan-aturan yang membatasinya baik itu bersifat bilateral (seperti tarif bea masuk atau quota) maupun unilateral bila itu dipandang perlu untuk melindungi negara Islam.

 

Investasi dan Kepemilikan Industri

Membangun sebuah industri yang mandiri, apalagi itu sebuah revolusi industri, memerlukan investasi yang sangat besar.  Di dunia Barat, investasi itu biasa didapatkan dengan pinjaman dari konsorsium perbankan atau dengan divestasi saham kepemilikan ke publik, misalnya melalui Bursa Efek.  Pada sistem kapitalis, negara hanya menjadi regulator, tidak terlibat langsung.  Maka ketika investor asing masuk ke negeri-negeri Islam, mereka menginginkan sistem yang sama.  Walhasil, industri-industri besar dan padat modal di negeri-negeri ini dimiliki oleh kapitalis-kapitalis besar, yang mayoritas tentu saja orang asing.

Akan sangat berarti bila industri tersebut berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti sektor pertambangan, energi, atau infrastruktur telekomuinikasi; di mana masyarakat yang tidak punya pilihan akhirnya terpaksa membeli dengan harga yang monopolistik.

Islam menetapkan bahwa sejumlah sumber daya tidak bisa dimiliki oleh individu.  Kepemilikannya adalah milik seluruh ummat.  Negara menjadi pengelolanya untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat.  Kalaupun ada individu yang terlibat dalam pencarian, produksi atau distribusinya, maka ia hanya dibayar sesuai dengan kerjanya; bukan dengan pola bagi hasil seperti seakan-akan dia bagian dari pemiliknya.  Karena pada hakekatnya, hak kepemilikan umum tersebut tidak bisa dialihkan kepada siapapun.

Hukum perindustrian dalam sektor yang merupakan kepemilikan umum akan mengikuti hukum asalnya, yaitu hukum kepemilikan umum.  Negaralah yang sebagai pengelolanya akan menghimpun dana guna membangun teknologinya, eksplorasi sumber alamnya hingga distribusinya.  Bila Rasulullah menyebut “air, api dan padang gembalaan”, maka hal ini berarti termasuk seluruh industri pertambangan, pembangkit listrik dan industri pengolahan hasil hutan.  Bila Rasulullah menyebut jalan-jalan yang tidak boleh dikapling-kapling, maka ini berarti termasuk seluruh infrastruktur transportasi dan telekomunikasi.

Bila dikatakan negara tidak punya uang, maka negara bisa menarik pajak secara temporer kepada para aghniya di negeri itu, dan bukan berhutang ke luar negeri, dan bukan pula mengizinkan swasta masuk dengan prinsip BOT ataupun konsesi.

Dan bila dikatakan bahwa industri yang dikelola oleh negara akan tidak efisien dan merupakan ladang KKN, maka pertanyaannya, apakah tidak mungkin swasta juga tidak efisien dan ladang KKN.  Atau jangan-jangan KKN di sektor swasta tidak disebut KKN, karena dianggap milik individu?

Di sini tampak bahwa masalah perindustrian dalam Islam tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus terpadu dalam satu paket dengan aturan-aturan syariah yang lain.  Misalnya aturan-aturan syirkah, perekrutan karyawan, ijarah, pengawasan harta pejabat manajemen; bahkan lebih jauh lagi dengan aturan-aturan pendikan, pergaulan, makanan-minuman dan ibadah.

Yang bisa membuat seluruh aturan-aturan ini terislamisasi tentu saja hanyalah revolusi aqidah pada masyarakat.  Karena seluruh sistem itu, termasuk sistem perindustrian, harus terpancar dari aqidah Islam.  Karena itu, revolusi industri harus didahului dengan revolusi aqidah.  Aqidahlah yang akan membuat kepemimpinan ideologis, sehingga seluruh cara berpikir ummat berubah.

Ini pulalah yang membuat Rasulullah memulai dengan dakwah aqidah yang bersifat ideologis.  Ketika dakwah ini berhasil diemban oleh sebuah negara, maka seluruh politik, termasuk politik perindustrian dilaksanakan di atas dasar ideologi itu, sehingga kemudian makin memperkuat kemandirian negara Islam itu sehingga bisa menundukkan adi kuasa-adi kuasa saat itu.

Masa tersebut akan terulang, bila dakwah kita meniru pola dari Rasulullah.  Wallahu a’lam.

 

Bacaan Lanjut:

Abdurrahman al-Maliki: POLITIK EKONOMI ISLAM (Siyasah Iqtishadiyah al-Musla).  Bangil: Al-Izzah. 2001.

Ahmad Y. al-Hassan dan Donald R. Hill: TEKNOLOGI DALAM SEJARAH ISLAM (Islamic Technology).  Mizan, 1993.

Tags: ,

June 26th, 2007

MUHASABAH & DOA

Istighfar

Ya Allah,
Engkau beri kami mata, tapi kami sering gunakan untuk melihat yang tidak pantas kami lihat;
kami tidak menggunakannya untuk membaca ayat-ayat-Mu.
Engkau beri kami telinga, tapi kami sering gunakan untuk mendengar kata sia-sia;
kami tidak menggunakannya untuk mendengar nasehat.
Engkau beri kami lidah, tapi kami sering gunakan untuk berbohong dan menggunjing;
kami tidak menggunakannya untuk berdakwah, saling menasehati dalam kebenaran.
Engkau beri kami tangan, tapi kami sering gunakan untuk menzalimi orang dan menzalimi kami sendiri;
kami tidak menggunakannya untuk menyingkirkan kemungkaran.
Engkau beri kami kaki, tapi kami sering gunakan untuk melangkah menuju tempat maksiat;
kami tidak menggunakannya untuk pergi berjihad.
Engkau beri kami akal, tapi akal itu jarang kami gunakan untuk memikirkan bagaimana berhukum dengan syari’atMu, akal kami yang liar justru sering memakainya untuk memikirkan hal-hal yang kotor dan licik.

Ya Allah, andaikata Engkau cabut itu semua?
Kalau Engkau cabut mata ini, bagaimana kami bisa melihat indahnya dunia?
Kalau Engkau cabut telinga ini, tentu bagi kami dunia ini akan sunyi tanpa nada dan irama?
Kalau Engkau cabut lidah ini, tentu kami tak sanggup teriak minta tolong di kala ada marabahaya?
Kalau Engkau cabut tangan kami, bagaimana akan menangkis serangan yang menghujam dada?
Kalau Engkau cabut kaki kami, kemana kami akan berlari ketika bencana melanda?
Dan kalau Engkau cabut akal kami, kami tak tahu apakah kami ini binatang atau manusia?

Ya Allah

Engkau beri kami usia hingga setua ini, tapi kami sering lalai hingga usia itu berlalu percuma.
Nafas demi nafas Engkau berikan, tapi tidak menjadi amal apapun jua.
Sehat lebih menyertai hari-hari kami, tapi tidak membuat kami ringan untuk berjihad.
Cahaya matahariMu menerangi kami setiap hari, tapi kami justru mencari kegelapan.
Bumi yang Kau sediakan untuk berpijak, sering kami injak-injak dengan penuh kesombongan.
Langit yang Kau ciptakan sebagai atap, jarang mengingatkan kami kepada keagunganMu, padahal kami tidak pernah akan sanggup menguak rahasianya.

Ya Allah, kami sungguh ngeri,
bila detik-demi-detik yang telah Kau berikan,
di akherat nanti menuntut mengapa dia kami sia-siakan,
bila setiap molekul oksigen-Mu yang pernah kami hirup dengan cuma-cuma,
di hari kiamat nanti menuntut kami mengapa dia kami gunakan untuk maksiat kepada-Mu ya Allah,
bila kesehatan kami akan meringankan timbangan amal kami,
karena selama kami di dunia kami anggap ringan sehat pemberian-Mu ini ya Allah,
bila cahaya matahari-Mu membakar kami di padang mahsyar,
karena cahayanya yang ramah setiap pagi tidak menjadikan- kami mengingat kasih sayang-Mu,
bila bumi yang perkasa menghimpit kami di alam kubur,
karena selama di dunia kami dengan congkak berjalan di punggungnya,
bila langit yang agung menimpa kami di hari kiamat,
karena kami lupa keangungan penciptanya.

Ya Allah,

Orang tua sangat menyayangi kami, tapi kami hampir tak pernah membalas budi mereka.
Saudara dan kerabat menjaga kami  sejak kecil, tapi kami lama tidak bertutur sapa dengan mereka.
Tetangga menjaga rumah kami kalau kami pergi, tapi kami jarang peduli dengan kesulitan mereka.
Teman sejawat selalu membantu, tapi kami hanya ingat padanya ketika kami butuh lagi pertolongan mereka.
Pasangan hidup mendampingi kami di kala suka dan duka, tapi kami sering berkhayal pada orang selain dia.
Anak-anak kami adalah harapan kami kelak,
tapi kami tidak memperkenalkan mereka pada Tuhan dan Rasul Teladan mereka.

Ya Allah, Bila engkau cabut nikmat ini,

Andaikata dulu ibu kami mengaborsi kami,
lewat siapa lagi kami harapkan curahan Kasihmu ya Allah?

Andaikata kerabat kami memusuhi kami,
lewat siapa lagi kami harapkan Kau menanggung kami ya Allah?

Andaikata tetangga kami tak lagi peduli pada kami,
lewat siapa lagi kami harapkan Kau jaga rumah dan keluarga kami ya Allah?

Andaikata teman sejawat kami mengucilkan kami,
lewat siapa lagi kami harapkan Kau beri kesempatan kami maju ya Allah?

Andaikata pasangan hidup kami selingkuh di belakang kami,
lewat siapa lagi kami harapkan cinta-Mu ya Allah?

Andaikata anak-anak kami semua durhaka melawan kami,
lewat siapa lagi kami harapkan kebahagiaan dalam hidup kami dariMu ya Allah?

Oh Ya Allah, Ampunilah kami ya Allah,
selama ini kami tak juga mensyukuri nikmat yang begitu besar ini ya Allah.

Ya Allah

Engkau telah beri kami nikmat yang tak terhingga.
Engkau mengeluarkan kami dari rahim ibu kami tanpa membawa apa-apa.
Namun kini kadang-kadang ada makanan yang lezat terhidang di hadapan kami,
ada pakaian yang bagus menghiasi tubuh kami,
ada rumah tempat kami berlindung dari hujan dan terik matahari,
kami mudah menggunakan kendaraan ke tempat yang kami mau,
ada sejumlah uang di dompet atau rekening kami,
Dan ada pula sedikit banyak penghormatan yang disematkan orang pada kami,
Tapi mengapa kami masih suka mengeluh ya Allah, seakan nikmatMu tiada cukup,
Mengapa selama ini kami tak pandai mensyukurinya ya Allah?

Makanan lezat itu tidak membuat tubuh kami makin giat beribadah.
Pakaian bagus itu tidak membuat kami tergerak untuk menghias jalan-Mu.
Rumah megah itu tidak bercahaya oleh bacaan Qur’an dan Majlis orang-orang shaleh.
Kendaraan itu tidak membawa kami ke majlis ilmu maupun ladang-ladang jihad.
Uang yang banyak itu belum menjadi manfaat bagi kaum dhuafa atau anak-anak yatim.
Apalagi kehormatan ini, orang bertanya siapa yang telah mereguk manfaatnya.

Ya Allah,

Padahal mudah sekali bagiMu untuk meminta kembali apa yang Engkau titipkan,
Kau bisa kirim bakteri, sehingga makanan ini jadi berbahaya bagi manusia,
Kau bisa kirim jamur sehingga pakaian ini menjadi kusam dan busuk baunya,
Kau bisa kirim api, sehingga rumah ini terbakar sempurna,
Kau bisa kirim bencana, sehingga kendaraan itu rusak binasa,
Kau bisa kirim banyak masalah, sehingga uang yang banyak itu ludes seketika,
Kau bisa buka aib kami pada manusia, sehingga dari kehormatan itu justru malu yang ada,
Ya Allah, Engkau begitu menyayangi kami, sungguh kami manusia yang durhaka.

Ya Allah

Kau curahkan ilmu kepada kami, tetapi ilmu itu belum banyak kami amalkan dan kami gunakan untuk membawa manusia agar selalu ingat kepada-Mu.
Kau mudahkan kami sholat, tetapi sholat itu belum membuat kami mampu mencegah perbuatan yang keji dan mungkar; pula sholat kami jauh dari khusyu’.
Kau mudahkan kami puasa, tetapi puasa kami belum membuat kami mencintai orang-orang yang lapar dan dahaga bertahun-tahun lamanya.
Kau mudahkan kami shodaqoh, tetapi masih terselip perasaan riya’ di dada.
Kau mudahkan kami berzikir, tetapi zikir kami sebatas di masjid dan rumah-rumah saja.

Sungguh malu kami menghadapMu ya Allah, apalagi memohon sesuatu kepadaMu.
Tapi bila tidak kepadaMu, kepada siapa lagi kami harus memohon?
Kabulkanlah permohonan kami yang hina berikut ini ya Allah.

Duhai Allah,

Jadikanlah mata ini penglihatanMu ya Allah, agar ia hanya melihat hal-hal yang halal dilihatnya.
Jadikanlah telinga ini pendengaranMu ya Allah, agar ia hanya mendengar hal-hal yang halal didengarnya.
Jadikanlah lidah ini gaung wahyuMu, agar manusia hanya merasakan kedamaian dan cinta dariMu.
Jadikanlah tangan ini perpanjangan Kasih SayangMu ya Allah.
Perjalankanlah kaki ini ke tempat-tempat yang Engkau ridha.
Dan selimuti akal ini selalu dalam cahaya kebijaksanaanMu – wahai Al-Hakim.

Duhai Allah,

Jadikanlah agar ilmu yang Kau bagi pada kami, bermanfaat dan menyelamatkan kami di dunia dan di akherat.
Jadikanlah agar harta yang Kau titipkan pada kami, selalu barokah bagi manusia, terutama kaum dhuafa.
Jadikanlah agar jabatan yang Kau amanahkan pada kami, senantiasa kami gunakan untuk melayani ummat, melindungi yang lemah dan tertindas, dengan menerapkan syari’atMu.
Jadikanlah keluarga kami keluarga yang penuh cinta, sakinah-mawaddah wa rahmah.
Jadikanlah anak-anak kami anak-anak sholeh, yang doanya akan menerangi kubur-kubur kami.
Jadikanlah makanan yang kami makan energi ibadah kami.
Jadikanlah pakaian yang kami pakai, manifestasi ketaqwaaan kami.

Duhai Allah,

Berilah pada mereka yang kesempitan, hati dan dunia yang lapang.
Berilah pada mereka yang sakit, kesembuhan dan sehat yang tidak melenakan.
Berilah pada mereka yang miskin, kekayaan yang tidak melalaikan.
Berilah pada mereka yang tertindas, kemerdekaan yang tidak memperdayakan.
Berilah pada mereka yang sendirian, jodoh-jodoh yang kepadaMu akan saling mendekatkan.

Duhai Allah,

Berilah hidayah pada para pemimpin kami, agar mereka mengurus dan melayani kami dengan syariatMu yang penuh berkah, dan jadilahkan kami bersatu dalam menerapkan syariatMu ya Allah.
Kami rindu dengan Rasulullah, dengan Khulafaur Rasyidin, dengan para Khalifah,

dengan keadilan, kemakmuran dan keberkahan yang diciptakan oleh penerapan SyariahMu,
dengan keberanian Thariq bin Ziyad ketika membakar kapalnya untuk menghapus keraguan pasukannya;
dengan kesederhanaan Umar bin Abdul Aziz sehingga rakyat tak ada lagi yang pantas menerima zakat;
dengan kejeniusan Harun ar-Rasyid ketika membangun pusat-pusat ilmu pengetahuan di Baghdad;
dengan ketegasan al-Mu’tashim Billah yang menyerbu Romawi untuk membela kehormatan seorang muslimah;
dengan kemuliaan jihad Salahuddin al-Ayubi ketika memperlakukan Richard Lion Heart yang terluka;
dengan keyakinan Muhammad al-Fatih ketika masuk Konstantinopel untuk memenuhi nubuwah Rasul;
dengan ketegasan Sultan Abdul Hamid ketika menolak tawaran-tawaran zionis di Palestina;
Berilah kami nikmat sebagaimana Engkau telah beri nikmat kepada mereka ya Allah.
Kami yakin bahwa RasulMu benar, Khilafah ala minhajin Nubuwwah akan datang lagi,

Berilah kesempatan kami untuk menyaksikan kebesaranMu itu ya Allah,
dan berilah kami kekuatan dan kesabaran untuk menyumbangkan harta dan jiwa kami dalam perjuangan itu.
Amien ya Rabbal Alamien

Tags: , ,

June 10th, 2007

Antisipasi Perubahan Iklim

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Pada tahun 1970-an setiap murid SD selalu mendengar dari guru IPA-nya bahwa Indonesia mengalami musim kemarau pada bulan April hingga Oktober, dan musim penghujan dari Oktober hingga April.  Musim ini diselingi perubahan arah angin dan cuaca yang khas yang disebut pancaroba.  Namun kini, musim kita tampaknya semakin ”kacau”.  Di Jawa, hujan lebat masih turun disertai angin kencang hingga Juni ini – sehingga kita sebut ”kemarau basah”.  Sementara itu, di bulan Desember tahun lalu masih banyak sawah yang kekeringan karena hujan belum juga turun.

Fenomena ini sebenarnya sudah cukup lama diprediksi para ahli, bahkan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) sampai membentuk ”badan dunia untuk kerangka kesepakatan atas perubahan iklim” atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dalam pertemuan puncak di Rio de Janeiro tahun 1992.

Pertumbuhan penduduk dan peningkatan standar hidup telah memacu peningkatan penggunaan energi, yang dampaknya meningkatkan kadar gas karbon dioksida (CO2) di atmosfir.  Gas ini menimbulkan efek rumah kaca (greenhouse-effect) yaitu memerangkap panas dari sinar matahari, sehingga secara keseluruhan suhu atmosfir bumi meningkat.  Beberapa teori memprediksi kondisi ini akan mencairkan salju abadi di kutub-kutub atau gunung-gunung tinggi, sehingga paras laut naik, pulau-pulau kecil tenggelam dan pada saat yang sama gurun pasir meluas, masa tanam mundur dan kebakaran hutan lebih sering terjadi.  Kebakaran hutan akan menimbulkan efek berantai yaitu semakin menambah kadar gas rumah kaca tadi.

Banyak ahli mengembangkan model-model untuk mempelajari dan menghitung efek perubahan iklim ini.  Mereka kesulitan dalam mengkalibrasi model-model itu guna menentukan model mana yang paling tepat.  Hal ini karena data untuk menghitung jumlah CO2 (Greenhouse-gas Inventory) yang ada di tiap tempat dari waktu ke waktu dianggap kurang memadai atau penuh dengan asumsi.  Sejumlah ahli bahkan masih percaya bahwa naiknya CO2 akan secara alami disetimbangkan oleh lautan.  Naiknya CO2 membuat air laut lebih reaktif dan mengikat CO2 tersebut.  Mereka menduga bahwa di masa lampau, di saat aktivitas vulkanik gunung-gunung berapi masih sangat tinggi, tentu CO2 di atmosfir juga jauh lebih tinggi dari sekarang.  Persoalannya, berapa lama kesetimbangan alam itu akan tercipta kembali, dan apakah manusia bisa bertahan melewati masa adaptasi tersebut?

Pada 1997 di Kyoto Jepang ditandatangani protokol untuk mengurangi kadar CO2 (disebut Kyoto Protocol).  Namun sayangnya dua negara besar yaitu China dan Amerika Serikat menolak meratifikasi protokol itu, walau dengan alasan yang berbeda.  China berposisi bahwa aktivitas ekonominya masih jauh di bawah negara-negara industri maju.  Pengurangan CO2 berarti menutup kesempatan rakyat China untuk menikmati standar hidup yang lebih baik.  Sedang pemerintah Bush lebih percaya penasehatnya yang menolak keabsahan model-model iklim itu. 

Faktanya, selama ini AS adalah “juara” penghasil CO2, yaitu 39% dunia.  Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia.  Artinya, jumlah CO2 dari seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%.

Mereka yang percaya perubahan iklim global bahkan telah mengembangkan model-model dampak sosial-ekonomi perubahan ini.  Misalnya naiknya suhu rata-rata 2º Celcius saja akan membuat sekian puluh juta penduduk pantai di daerah tropis semakin miskin karena kehilangan habitat dan matapencahariannya akibat makin seringnya gelombang pasang terjadi – seperti pernah mengejutkan kita beberapa waktu yang lalu. 

Negara-negara maju anggota UNFCCC pada awalnya punya komitmen untuk membantu secara finansial negara-negara berkembang dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim ini.  Untuk itu negara-negara berkembang diwajibkan untuk melakukan sejumlah hal seperti menjaga hutan-hutannya serta menyerahkan data Greenhouse gas-inventory.

Namun setelah sepuluh tahun Kyoto Protokol, negara-negara berkembang semakin sadar bahwa ada faktor-faktor institusional yang sangat sulit diatasi, yaitu: (1) negara-negara industri terdepan di dunia (dikenal dengan G-8) sudah berada pada “zona nyaman”, sehingga malas untuk berubah; (2) di dunia saat ini tidak ada skema ekonomi alternatif yang berskala global; dan (3) PBB ternyata tidak punya kapasitas politik yang cukup.  Faktanya, politik PBB dan ekonomi dunia saat ini sangat ditentukan oleh politik dan aktivitas korporasi Amerika Serikat – yang menolak meratifikasi protokol Kyoto tadi.

Maka semakin jelas bahwa untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran ekologis, perlu paradigma dan sistem politik dan ekonomi global yang baru.  Sistem politik dan ekonomi kapitalistis-sekuler terbukti gagal.  Perlu ada sistem alternatif yang bersandar kepada Sang Pencipta Yang Maha Tahu.  Allah berfirman:

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30: 41)

Sistem alternatif bagi dunia yang sekaligus adalah sistem satu-satunya bagi kaum muslimin itu adalah sistem pemerintahan Islam global (khilafah).  Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh khilafah akan mengatasi masalah CO2 ini sejak dari akarnya.  CO2 akan dikurangi dari sisi demand maupun supply. 

Dari sisi demand: CO2 dihasilkan dari penggunaan energi konvensional (minya, gas, batubara).  Semakin materialis gaya hidup seseorang, makin banyak energi dihabiskannya dan semakin banyak pula CO2 akan dibuangnya.  Dengan digantinya paradigma kebahagiaan dengan paradigma Islam, maka sekaligus dua masalah teratasi: kebutuhan energi dan CO2.  Bentuk mengurangi demand ini bisa berupa penataan ruang baik makro maupun mikro yang lebih baik, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk transportasi, penerangan atau penyejuk udara. 

Sedang dari sisi supply, penggunaan energi terbarukan seperti energi surya dalam berbagai bentuknya (solar-cell, solar-farm, solar-tank), energi angin (wind-farm), energi air (dari mikrohidro sampai PLTA), energi ombak, energi suhu laut (Ocean-Thermal-Energi-Conversion, OTEC), pasang surut, panas bumi (geothermal) hingga bio-energi (biomass, biogas, biofuel hingga enegi otot hewan) dapat membantu menurunkan penggunaan energi konvensional, dan pada akhirnya mengantisipasi perubahan iklim.

Tags: , ,