Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
August 12th, 2007

Kebangkitan Teknologi

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Sejak tahun 1995, tanggal 10 Agustus selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas).  Awalnya adalah keberhasilan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN, sekarang PT Dirgantara Indonesia) menerbangkan pesawat N-250, yang diklaim sebagai hasil karya asli anak-anak bangsa.  Saat itu memang Prof. Dr.-Ing. Baharuddin Jusuf Habibie sedang di puncak prestasinya sebagai Menteri Riset & Teknologi Republik Indonesia.  Dan beliau adalah ahli aeronautika dan pernah menjadi wakil presiden sebuah perusahaan pembuat pesawat terbang di Jerman yaitu Messerschmidt Bolkow Blohm (MBB).  Habibie mencoba mendorong kebangkitan teknologi nasional dari aeronautika, bukan sekedar karena dia pakarnya, namun karena (1) dia yakin jika aeronautika yang teknologi canggih bisa dikuasai, mestinya yang lain seperti teknologi mekanisasi pertanian atau otomotif akan lebih mudah lagi; (2) dia percaya kemajuan aeronautika akan menjadi lokomotif yang menarik maju sejumlah teknologi penunjangnya seperti teknologi mesin, kimia, material, elektronika, hingga teknologi informasi.  Oleh karena itu, di era 1980-an, Habibie tanpa ragu-ragu setiap tahun mengirim ratusan lulusan SMA terbaik dari seluruh Indonesia untuk belajar teknologi ke berbagai negara maju (AS, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, Belanda, Austria, Australia).  Untuk itu dia juga berani utang ke Bank Dunia agar seluruh program ini berjalan.  Setiap pelajar yang dikirim ini mendapat beasiswa minimal sejumlah 50.000 US-Dollar hingga menamatkan insinyurnya.  Jumlah ini baru untuk biaya hidup (living cost), belum biaya kuliah (tuition fee). Namun dengan pola ikatan dinas, Habibie yakin investasi negara ini tidak akan sia-sia.

Namun sejarah kemudian membuktikan bahwa seluruh rencana itu nyaris kandas.  Sejak awal para ekonom mengkritik teori Habibie (”Habibienomics”) sebagai utopia.  Kata mereka, yang dibutuhkan bangsa ini adalah teknologi tepat guna, yang dapat dipakai oleh petani di pedesaan, industri kecil dan menengah, serta sektor rumah tangga, yang jumlahnya sangat besar – dan selama ini tergantung impor.  Krisis ekonomi yang membuat Indonesia menjadi pasien IMF memaksa semua proyek-proyek teknologi ini ditinjau ulang.  IPTN yang kemudian jadi PTDI dibiarkan bangkrut.  Ribuan karyawannnya dirumahkan, dan ratusan tenaga profesional yang dulu disekolahkan ke Luar Negeri dengan hutang Bank Dunia ramai-ramai hengkang ke Luar Negeri.  Sekarang saja masih ribuan ex karyawan PTDI yang menuntut pesangonnya.  Lobby-lobby internasional membuat pesawat N250 tidak diberi sertifikat terbang oleh otoritas dunia, sehingga pemasarannya seret.  Habibie sendiri kemudian semakin terseret dalam politik, menjadi Presiden RI yang melepas Timor Timur dan membuka keran liberalisasi, dan kemudian terpaksa turun dari kancah politik karena pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.

Sekarang gaung Hakteknas sudah jarang terdengar, meski tetap diperingati.  Tahun ini, Kementrian Ristek menggelar antara lain Pameran Ristek, Ristek-Medco Award (untuk orang-orang yang dianggap berjasa mengembangkan energi alternatif), Ristek-Telkom Award (untuk mereka yang dianggap berjasa mengembangkan software Open Source) dan Ristek-Martha Tilaar Award (untuk yang diangap berjasa mengembangkan obat / herbal tradisional).

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kebangkitan teknologi hampir mustahil diciptakan atau dikendalikan oleh para teknolog itu sendiri.  Ada interaksi yang kuat dengan dunia ekonomi, politik, legislasi, dan juga kultur masyarakat.  Semua aspek ini harus turut berbenah agar terjadi kebangkitan.  Pada saat yang sama, kebangkitan itu nanti tak sekedar kebangkitan teknologi, tetapi juga kebangkitan ekonomi, politik dan sosial-budaya masyarakat.

Kekeliruan yang mungkin terjadi di masa lalu adalah terlalu mendewakan teknologi.  Teknologi dianggap obat mujarab atas segala penyakit.  Padahal dalam implementasinya, tanpa kepercayaan dunia keuangan, tanpa selembar surat dari otoritas pemberi ijin, tanpa komitmen kuat para politisi, dan tanpa akseptansi dari masyarakat luas, teknologi hanya akan berada di puncak menara gading.  Tidak membumi.  Tidak digunakan.  Dan akhirnya hilang tertelan sejarah.

Di sini kita melihat bahwa ada yang lebih mendasar dari kebangkitan teknologi, yaitu kebangkitan cara berpikir seluruh elemen masyarakat, baik di level bawah (grassroot) mapun elit: pengusaha, penguasa, politisi, ilmuwan hingga pemuka agama.  Kita memerlukan orang-orang yang benar-benar memiliki visi kebangkitan.  Dan Islam menyediakan visi itu, ketika Allah berfirman dalam QS Ali-Imran:110

Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.

Jadi setiap muslim harus punya visi menjadi yang terbaik, karena dengan itu misinya di dunia untuk menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah dapat berjalan optimal.

Pada masa lalu, visi ini begitu mendarahdaging di dalam umat Islam.  Umat Islam di Madinah di masa nabi belum memiliki teknologi secanggih yang dimiliki orang-orang Romawi, Persia, India atau Cina.  Tetapi karena mereka begitu menghayati pesan Allah agar menjadi yang terbaik, mereka siap untuk berjalan ribuan mil ke Cina, demi mendapatkan teknologi kertas, kompas dan mesiu.  Mereka ke India menyerap ilmu aritmetika dan angka India, yang kemudian diadopsi sehingga menjadi lebih terkenal sebagai angka Arab.  Mereka belajar serius beberapa bahasa asing agar dapat secepat mungkin mentransfer teknologi dari Barat dan Timur, untuk dikembangkan lebih lanjut.  Dan dengan teknologi itu mereka dalam waktu kurang dari seabad sudah lebih unggul dari Persia dan Romawi, sehingga dakwah mereka menjadi berwibawa dan jihad mereka hampir selalu meraih kemenangan.

Ini menunjukkan cara berpikir yang bangkit dengan didasari keimanan.  Maka seluruh politik pada masa itu akan sinergi.  Tidak seperti sekarang, teknologi dicoba dibangkitkan hanya dengan motivasi ekonomi atau kebanggaan nasional.  Padahal para pemain ekonomi sering hanya berburu rente atau keuntungan jangka pendek.  Para politisi berpikir hanya sampai pemilu mendatang, dan bagaimana investasi politiknya cepat kembali.  Sedang massa konsumen dibuai dengan mimpi dari media tentang kehebatan produk asing.  Tidak mungkin kebangkitan apapun bisa terjadi dengan cara ini.  Teknologi juga terbukti bukan lokomotif kebangkitan, namun hanya salah satu efek dari sesuatu yang lebih mendasar tadi, yaitu kebangkitan berpikir.

Adalah tugas para pemimpin umat di segala lini, baik ulama maupun ilmuwan, birokrat maupun teknolog, yang sedang berkuasa maupun yang di luar kekuasaan, agar bersama-sama mewujudkan kebangkitan berpikir berlandaskan keimanan, agar yang didapat adalah kebangkitan yang benar dan sempurna.

Tags: ,

August 12th, 2007

Infrastruktur Data Spasial Nasional

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Pada 25-26 Juni 2007 ini, di Jakarta berlangsung Rapat Koordinasi Nasional Infrastruktur Data Spasial Nasional (Rakornas-IDSN).  Makhluk apa sesungguhnya IDSN ini?

Data Spasial adalah data hasil pengukuran, pencatatan, dan pencitraan terhadap suatu unsur keruangan yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi dengan posisi keberadaannya mengacu pada sistem koordinat nasional.   Infrastruktur berarti semua yang diperlukan guna mengelola data spasial, baik itu si data sendiri (fundamental data set), format bakunya, perangkat teknologi jaringannya, aturan main dengan data, lembaganya hingga orang-orangnya.

Istilah IDSN mulai dipopulerkan di Amerika Serikat sejak sekitar satu dekade  Ide dasarnya adalah sebagian besar urusan masyarakat itu terkait dengan suatu data keruangan, yang lokasi atau posisinya itu signifikan dalam pengambilan kesimpulan.

Contoh: ketika kita memilih tempat tinggal, pekerjaan, sekolah anak hingga pilihan berlibur, semua ini pasti terkait dengan data spasial.  Kita ingin tinggal di lokasi yang air atau udaranya masih baik, tidak terlalu bising, namun infrastrukturnya siap dan aksesnya mudah.  Kita juga ingin bekerja di tempat yang strategis namun tidak terlalu jauh dari rumah.  Demikian juga untuk yang lain.  Untuk itulah kita perlu data atau informasi seperti peta, buku alamat, rute angkutan umum, kode pos dan sebagainya. 

 

Mencari Sinergi

Berbagai lembaga membuat, mengumpulkan, mengelola, menetapkan dan menyebarkan data spasial, misalnya:

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dengan jaringan kontrol geodesi, geoid nasional, cakupan foto udara, hipsografi (matriks elevasi atau peta kontur), batimetri dasar laut, garis pantai, utilitas, penutup lahan, sistem lahan, dan liputan dasar laut (sea bed cover) dan sebagainya.

Badan Pertanahan Nasional dengan kerangka dasar kadastral dan bidang tanah, aspek legalitas atas tanah, penggunaan tanah, zona nilai tanah / nilai aset kawasan, karakteristik tanah dan sebagainya.

Departemen Keuangan dengan data pertanahan yang terkait dengan perpajakan, tanah yang dijaminkan untuk keperluan perbankan dan sebagainya.

Departemen Dalam Negeri dengan data batas wilayah NKRI, wilayah administrasi kepemerintahan, nama-nama tempat (toponimi) dan sebagainya.

Departemen Perhubungan dengan data rute dan izin trayek transportasi umu, volume lalu lintas dan sebagainya.

Departemen Komunikasi dan Informatika dengan data wilayah kode pos, kode area telepon, posisi antene BTS telekomunikasi seluler dan sebagainya.

Departemen Pekerjaan Umum dengan data jaringan jalan, tubuh air/hidrologi lingkungan bangunan (termasuk data kawasan rawan banjir), jaringan air bersih, instalasi limbah, rencana tata ruang dan sebagainya.

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan data lingkungan budaya, posisi-posisi tempat atau fasilitas wisata, volume wisatawan dan sebagainya.

Badan Pusat Statistik dengan data wilayah pengumpulan data statistik, hasil kegiatan statistik dan sebagainya.

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dengan data kuasa pertambangan, geologi, sumberdaya mineral, seismik eksplorasi, gayaberat, sumur pemboran dan hidrogeologi, vulkanologi, peta rawan bencana geologi dan sebagainya.

Departemen Kehutanan dengan data kawasan hutan (termasuk lokasi-lokasi HTI dan HPH), sumberdaya hutan, keanekaragaman hayati, taman nasional dan sebagainya.

Departemen Pertanian dengan data klasifikasi tanah, lokasi lahan pangan, perkebunan dan sebagainya.

Departemen Kelautan dan Perikanan dengan data oseanografi, potensi sumberdaya laut, kondisi wilayah pesisir dan sebagainya.

Departemen Perdagangan dengan data lokasi pasar atau toko yang telah terdaftar, gudang Bulog, dan sebagainya.

Departemen Kesehatan dengan data lokasi fasilitas medis, gudang obat, daerah epidemi dan sebagainya.

Departemen Sosial dengan data lokasi masyarakat adat, kawasan pengungsian, daerah rawan sosial dan sebagainya.

Badan Meteorologi dan Geofisika dengan data iklim dan geofisika, informasi cuaca, gempa dan sebagainya.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan data cakupan citra satelit, posisi daerah yang terliput gerhana dan sebagainya.

Sebenarnya bila semua pelaku di atas mengerjakan dengan baik tugas pokoknya serta saling berkoordinasi, semua akan baik-baik saja.  Realitasnya, kemampuan SDM-nya amat beragam, jumlah uang yang terlibat juga tidak sama, ditambah masyarakat sering menginginkan jalan pintas – karena jalan resminya kurang jelas atau terlalu panjang.  Akibatnya, baik secara pribadi maupun kelembagaan, terjadi tumpang tindih pekerjaan.

Kalaupun pekerjaannya an sich tak tumpang tindih, namun dalam pengumpulan data masih mungkin tumpang tindih.  Misalnya, suatu lembaga pemerintah telah mengadakan citra satelit yang mahal, namun lembaga lainnya membeli lagi citra yang sama, karena ketidaktahuan atau aturan main yang tidak kondusif.  Celakanya, kedua pembelian tadi sama-sama harus ditanggung oleh rakyat melalui APBN.

 

Idealnya

Kita memang harus memiliki data spasial yang dibangun dan diselenggarakan dengan baik, dikelola secara terstruktur, transparan dan terintegrasi dalam suatu jaringan nasional.  Ini akan sangat penting dalam upaya memberikan kemudahan pertukaran dan penyebarluasan data spasial antar lembaga pemerintah dan antar lembaga pemerintah dengan masyarakat.  Kemudahan pertukaran dan penyebarluasan data spasial akan memberikan manfaat untuk meningkatkan efisiensi baik anggaran pemerintah, maupun masyarakat sekaligus mendorong pengembangan ekonomi.

Di level masyarakat kita membayangkan suatu aplikasi seperti berikut:

Pak Haji Ahmad bermaksud membangun sebuah pesantren terpadu, yang menggabungkan pendidikan, dakwah dan agrobisnis.  Untuk itu, dia cukup menyalakan komputer, mengaktifkan koneksi internet dan membuka portal IDSN.  Dia akan disambut oleh peta dasar Indonesia yang dapat diperbesar dan diklik.  Aplikasi semacam ini sudah ada di internet misalnya Google Earth (http://earth.google.com).

 

 

Contoh tampilan Google-Earth – tinggal ditambah dengan aplikasi multi sektoral dalam IDSN

 


Salah satu aplikasi di portal impian ini adalah mencari lahan bebas masalah.  Tiga masalah saja yang akan dicek: bebas bencana – bebas sengketa – dan sesuai tata ruang.

Setelah pak Haji Ahmad memilih perkiraan lokasi, dia menjalankan aplikasi untuk mencek bebas bencana – misalnya untuk bencana longsor.  Sebuah modul akan mencari data hipsografi ke server Bakosurtanal – yang secara simultan (on-fly) akan diolah menjadi data lereng.  Lalu modul yang sama akan mencek kondisi geologisnya ke server Badan Geologi, mencari informasi curah hujan tahunan ke server BMG, dan melihat kondisi vegetasi dari citra satelit aktual di server LAPAN.  Setelah itu modul tersebut akan segera menghitung apakah daerah itu rawan longsor berdasarkan kaidah-kaidah yang diprogramkan di dalamnya.  Hal serupa juga dapat dilakukan untuk bencana yang lain, dengan data pada server yang berbeda.

Kemudian setelah itu, pak Haji Ahmad mengaktifkan modul untuk mencek legalitas, yang dalam hal ini akan mencari tahu ke server BPN.   Dapat ditambahkan juga pengecekan ke server Depdagri untuk mencari tahu tanah itu persisnya ikut wilayah administrasi mana.  Juga ke server Depkeu untuk mencari tahu status perpajakannya.

Terakhir, agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, pak Haji Ahmad mengaktifkan modul tata ruang.  Modul ini akan ”lari” ke server Departemen PU dan Bappeda.

Setelah semua informasi itu terkumpul, barulah pak Ahmad mendapat ”saran” dari komputer, untuk memutuskan apakah rencana tersebut bisa diteruskan atau dikaji ulang.

Semua ”mimpi sorga” di atas hanya akan terwujud dan efektif bila (1) semua lembaga terkait memang berniat untuk membuka data yang dimilikinya; (2) semua data yang ditawarkan itu dalam kualitas (akurasi, kemutakhiran) yang memadai serta disajikan dalam format yang dapat dibuka bersama-sama; (3) semua lembaga menyetor metadata yang berisi informasi singkat atas data spasial yang dikelolanya sehingga pencariannya mudah; (4) ada software bebas (free & open source) yang didedikasikan untuk pertukaran data dan berbagai aplikasi bersama; (5) terdapat server dan jaringan internet yang aman, lancar dan handal – tidak sering terganggu.

Beberapa informasi mungkin sama sekali bebas, sementara informasi lain dikenakan biaya – maka untuk itu perlu ada mekanisme pembayaran elektronik (e-cash) yang aman.

Suatu mekanisme pelayanan publik yang mudah, murah, aman dan berkualitas adalah kewajiban negara yang diamanahkan oleh syariah.  Sejauh mana kesiapan setiap pihak yang terlibat dalam mewujudkan pelayanan publik semacam ini menjadi ”indikator kesiapan syariah” yang sesungguhnya dari setiap pelaku pelayanan publik.

Tags: ,

July 13th, 2007

Realitas Pendidikan di Barat

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Alumnus Vienna University of Technology, Austria

Abstrak

Pendidikan di negara-negara Barat (Eropa, Amerika) sering dicirikan sebagai pendidikan yang maju, karena memang berada di dalam siklus sebuah negara industri maju.  Namun untuk memahmi realitas pendidikan di sana, beberapa sisi harus disorot.  Aspek pertama adalah persoalan akses vs mutu, yang secara langsung berkaitan dengan peran negara di dalamnya.  Di banyak negara, upaya pemerataan akses atas pendidikan sering dalam kontradiksi dengan mutu yang didapatkan.  Aspek kedua adalah tentang muatan pendidikan, baik dalam sisi ketrampilan hidup – termasuk di dalamnya sains dan teknologi, maupun pandangan hidup.  Yang jelas, realitas pendidikan di Barat sebenarnya tidak seragam, dan tidak mudah untuk digeneralisir.

 Realitas

Dari 200 perguruan tinggi top di dunia yang disurvei oleh majalah Times dan dipublikasikan pada November 2004, 62 universitas ada di AS.  Inggris mendapat ranking ke 2, disusul Jerman, Australia, Perancis dan seterusnya.  AS juga menduduki ranking pertama dilihat dari score maximum yang didapat oleh kampusnya. 

Sedang dihitung dari angka score rata-rata, Swiss menduduki peringkat tertinggi dengan angka 422.  Terlihat ada suatu simpangan yang cukup besar dari nilai rata-rata ke minimum dan maksimum di AS atau Inggris.  Sebaliknya di Jerman, Swiss atau Austria nilai simpangan ini sangat kecil, yang berarti mutu pendidikan di negara-negara itu relatif merata.

Scoring yang diberikan majalah Times ini meliputi penilaian dari peer (panel pakar), jumlah fakultas yang “go intenasional” dan jumlah mahasiswa dari luar negeri (yang diasumsikan menggambarkan reputasi perguruan tinggi tersebut sehingga diminati mahasiswa asing), rasio ideal dari jumlah mahasiswa per fakultas, dan jumlah karya tulis mereka yang dikutip di dunia ilmiah. 

Secara metodologis, nilai score tidak bisa dibandingkan secara linear begitu saja, karena hanya sebagai alat pembeda (differensiasi), bukan kuantifikasi.  Artinya, kampus dengan score 1000 bukan berarti 10 kali lebih baik dari yang scorenya 100.  Survei ini juga tidak merinci ke score per bidang studi yang tentunya akan bisa bervariasi.  Selain itu, indikator yang dipakai tadi tak pelak lebih menguntungkan negara-negara yang berbahasa Inggris, seperti AS, Inggris dan Australia. 

Namun walau bagaimana, daftar itu bisa menjadi cermin bahwa pada abad ke-21 ini, pendidikan yang bermutu lebih banyak dijumpai di Barat.  Dari dunia Islam, satu-satunya negara yang masuk dalam daftar itu hanya Malaysia, yang diwakili Malaya University dan Sains Malaya University.

 

Daftar negara dengan Perguruan Tinggi yang masuk Top200 versi majalah Times

Data compiled for The Times Higher by QS (www.qsnetwork.com), published 5 November 2004

 

Negara n avg min max
Amerika Serikat 62     254    103   1.000
Inggris 30     213    106      732
Jerman 17     141    104      228
Australia 14     223    123      418
Perancis 8     191    125      316
Belanda 8     153    107      188
Canada 7     194    114      364
Jepang 6     238    120      482
Cina 5     183    105      392
Swedia 5     135    117      150
Hongkong 4     191    104      250
New Zealand 3     160    146      184
Austria 3     152    121      175
Denmark 3     152    129      189
Korea 3     129    121      144
Swiss 2     422    289      554
Singapura 2     302    217      386
Belgia 2     209    205      213
Malaysia 2     158    150      166
Israel 2     143    124      161
Norwegia 2     134    110      159
Finlandia 2     127    115      139
Italia 2     116    110      122
India 1     242    242      242
Irlandia 1     167    167      167
Rusia 1     162    162      162
Taiwan 1     158    158      158
Spanyol 1     124    124      124
Mexico 1     105    105      105

Keterangan:

n = jumlah perguruan tinggi yang masuk Top200

avg = score rata-rata dari yang masuk Top200

min = score minimum dari yang masuk Top200

max = score maximum

 

Secara umum memang di Indonesia sendiri, alumni perguruan tinggi dari Luar Negeri memiliki “daya jual” yang lebih baik dari lulusan dalam negeri.  Stereotype yang sering muncul adalah: lulusan LN memiliki wawasan lebih luas, memilki attitude (seperti kedisiplinan dan etos kerja) yang lebih baik, dan lebih cakap berkomunikasi dalam salah satu bahasa Internasional.  Walhasil banyak anak-anak dari keluarga kaya yang cenderung pergi sekolah ke Luar Negeri, atau ke sekolah asing di Indonesia.

Antara akses dan mutu

Sebenarnya bila melihat data di atas, tampak bahwa mutu pendidikan sangat tergantung dari besarnya dana (anggaran).  Masalahnya, dana tersebut ada yang disediakan pemerintah, ada yang swadaya. 

Pada negara-negara dengan simpangan score yang besar (AS atau Inggris), pendidikan tinggi praktis dikelola secara swadaya.  Walhasil ada PT yang sangat bonafid (dengan score 1000) seperti Harvard University, yang SPP-nya juga sekitar US$ 100.000 per semester, namun ada juga yang relatif rendah (score 103 – walaupun masih masuk Top200) yaitu Virginia Polytechnic Institute yang disubsidi oleh pemerintah negara bagian.  Sedang di negara-negara dengan simpangan score yang kecil (seperti Jerman atau Austria), pendidikan tinggi hampir seluruhnya didanai oleh negara.

Tampak di sini bahwa sistem pembiayaan pendidikan di Barat memang tidak seragam sehingga sulit digeneralisir.  Sistem ini bergantung kepada filosofi yang dominan di dalamnya. 

Pada negara-negara di mana faham sosialis cukup kuat, yang diterapkan adalah sistem ekonomi pasar (kapitalis), namun pada beberapa aspek seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, negara tetap berperan besar.  Sistem ini sering disebut “Social-capitalism” atau “social-free-market”.  Di sisi lain memang ada negara-negara yang benar-benar menerapkan ekonomi pasar termasuk di sektor ini, walaupun levelnya berbeda-beda.

Secara umum, sistem pembiayaan pendidikan di Barat dapat dibagi dalam empat jenis.

Jenis pertama adalah subsidi penuh, sehingga pendidikan benar-benar gratis.  Sebagai contoh, di Jerman dan Austria, pendidikan adalah gratis sejak masuk Sekolah Dasar hingga lulus Doktor (S3).  Walhasil tidak ada yang tersisih karena persoalan biaya.  Sekolah akan mendapatkan bibit yang terbaik dan siswa yang memang tidak berbakat atau kecerdasannya kurang memadai akan terseleksi secara alami.

Jenis kedua adalah mirip jenis pertama, hanya saja untuk pendidikan tinggi, masa gratis dibatasi misalnya hanya hingga usia tertentu atau lama studi tertentu.  Setelah itu mahasiswa dipungut biaya yang akan makin besar bila lulusnya tertunda.  Negeri yang menerapkan ini misalnya Belanda.  Tentu saja di sana selain pujian juga ada kritik atas sistem ini, karena dianggap mengabaikan kenyataan bahwa meski sekolah gratis namun biaya hidup cukup tinggi, dan ada orang-orang yang tidak memiliki biaya hidup yang cukup sehingga harus sekolah sambil bekerja, sehingga sekolahnya molor.  Fakta memang, meski gratis, yang lebih mampu memanfaatkan hanya kelas menengah ke atas; masih jarang yang anak petani atau buruh.  Bukan sekedar masalah akses, namun juga biaya tambahan (untuk hidup).

Jenis ketiga adalah pembiayaan pendidikan gratis hanya sampai lulus SMA, sedang di perguruan tinggi dipungut biaya SPP – walaupun juga masih bersubsidi.

Jenis keempat adalah pendidikan membiayai sendiri.  Caranya macam-macam, ada yang dengan melibatkan komunitas atau alumni, kerjasama dengan industri atau perbankan (kredit pendidikan) dan atau menjadikan pendidikan sebagai benda komersil.  Contoh ini banyak di Amerika, sekalipun di Amerika banyak juga model pembiayaan jenis ketiga.

Pendidikan jenis terakhir inilah yang cenderung „dijual“ secara internasional.  Kita sering melihat iklan dari perguruan tinggi Australia, Singapura atau bahkan Amerika Serikat.  Namun kita akan jarang melihat iklan sejenis dari Jerman atau Austria.  Andaikata ada, maka ia dipakai untuk: (1) merekrut calon ilmuwan unggul dari negara dunia ke-3; (2) merekrut calon agen yang akan mempromosikan dan menyalurkan produk mereka di negara dunia ke-3; (3) mendapatkan tenaga yang lebih murah minimal selama pendidikan (karena membayar kandidat PhD jelas lebih murah daripada membayar pekerja resmi – meski kualifikasi dan yang dikerjakannya sama; (4) mendapatkan anggaran tambahan dari pemerintahnya.

 

Uang SPP di beberapa negara EU

Negara SPP per tahun setara (US$)
Belgia sekitar 18000 BFR per tahun, termasuk registrasi, kuliah, ujian dan asuransi. 560-670
Inggris undergraduates 607 GBP; postgraduates 1890 GBP plus uang ujian dan biaya lain 1300-4320
Italia universitas negeri 300000-400000 Lira per tahun; tergantung pendapatan keluarga 300-400
Belanda 1500-1750 NGL 1000-1270
Perancis 450 FF SPP, plus asuransi + iuran mahasiswa 1100 – 1500 FF; kecuali Grandes ecoles de commerce et de gestion (sekolah swasta di bawah KADIN): 12000-22000 FF 220-300 / 2400-4400

Sumber: UNIVERSITÄTEN 1995, p. 16, angka di sini dipengaruhi oleh perubahan (kurs, kenaikan harga, …)

 

 Baru menggarap IQ dan EQ

Dalam masalah muatan pendidikan, aspek IQ (kecerdasan intelektual) dan EQ (kecerdasan emosi) sama-sama digarap.  Untuk menilainya tentu saja kita harus sadari bahwa di Indonesia, baru IQ yang diolah.  Maka segera akan terlihat bahwa muatan pendidikan di Indonesia memang kurang bermutu. 

Di Barat pada umumnya siswa atau mahasiswa tidak dibebani dengan jumlah materi ajar yang terlalu besar sebagaimana di Indonesia, namun mereka dibekali dengan pisau asah sehingga mampu mencari dan mengembangkan sendiri ilmu.  Sedari kecil anak dibimbing untuk mampu berpikir logis, kritis dan kreatif.

Kecerdasan emosi juga dikembangkan sehingga anak-anak yang tumbuh di sana relatif lebih percaya diri, lancar berkomunikasi baik lisan maupun tertulis, dan peka terhadap lingkungan.  Kalau masyarakat di Barat relatif lebih mampu menjaga kebersihan, rajin bekerja, dan displin saat berlalu-lintas, itu adalah buah dari pendidikan EQ yang cukup berhasil.

Dari aspek ruhiyah (kecerdasan spiritual, SQ), perlakuan institusi pendidikan tidak sama.  Di negara dengan tingkat sekulerisme yang sangat tinggi seperti Perancis, tidak ada pendidikan agama pada sekolah umum.  Pendidikan agama hanya dimungkinkan pada sekolah swasta berlatarbelakang agama.  Sedang di negara dengan kultur agama yang masih kuat (seperti Katholik di Austria), pendidikan agama diberikan secara umum di sekolah-sekolah sampai SMU.  Untuk siswa yang beragama lain diberikan juga pendidikan agama dengan guru seagama, yang semuanya dibayar oleh pemerintah (termasuk guru agama Islam – yang dikoordinir oleh Austrian Islamic Society).

Namun pendidikan agama ini hampir tidak ada pengaruhnya.  Pada .penelitian James H. Leuba (psikolog terpandang Amerika) Th.1914: 58% dari 1000 ilmuwan Amerika yang dipilih acak tidak percaya adanya Tuhan.  Tahun 1934 jumlahnya naik menjadi 67%.  Edward J. Larson (Prof. Hukum & Sejarah-University of Georgia, Amerika & pemenang Pulitzer 1998) meneliti lebih lanjut pada ilmuwan top anggota National Academy of Science.  Pada pertanyaan “Apakah percaya adanya Tuhan” ada jawaban sebagai berikut:

 

  1914 1933 1998
Percaya 27,5% 15,0% 7,0%
Tidak percaya 52,7% 68,0% 72,2%
Ragu-ragu 20,9% 17,0% 20,8%

 

Dan tentang kehidupan setelah mati

 

  1914 1933 1998
Percaya 35,2% 18,0% 7,9%
Tidak percaya 25,4% 53,0% 76,7%
Ragu-ragu 43,7% 29,0% 23,3%

 

Sumber:
E.J. Larson & L. Witham. Nature 394, 313 (1998)

 Marketer Sekulerisme

Tampak di sini bahwa budaya sekuler-liberal tetap lebih berkesan dibanding pendidikan agama di sekolah yang cuma beberapa jam seminggu.  Persoalan seperti pergaulan bebas, narkoba dan kriminalitas di sekolah ada di mana-mana.  Di sisi lain, pandangan terhadap Islam, umat dan sejarahnya yang bias hampir ditemui di semua semua pelajaran (penelitian Susanne Heine: Islam Zwischen Selbstbild und Klische, Wien, 1995).

Cara pandang dan perilaku sekuler – yang tidak harus melalui indoktrinasi atau pelajaran sekolah – adalah sarana mempertahankan sistem yang ada di Barat (yakni untuk siswa mereka sendiri), dan juga mengekspornya ke seluruh dunia melalui orang-orang asing yang bersekolah di Barat.  Mahasiswa asing ini nantinya diharapkan menjadi “marketer” tentang keramahan bangsa Barat, kehandalan produk Barat, dan kemajuan cara pandang Barat.

Pada kasus beasiswa untuk ilmu-ilmu humaniora, pandangan sekuler ini akan tertanam dalam prinsip-prinsip ilmiah yang dikaji.  Penerima beasiswa dari negara-negara berkembang selama bertahun-tahun, bahkan setelah lulus, diharapkan menghasilkan paper-paper tentang berbagai hal yang dilihat dari sudut pandang kapitalis.

Sedang pada beasiswa untuk ilmu-ilmu sains dan teknologi, secara khusus memang tidak ada pengkondisian sekulerisme di kampus.  Namun realitas kehidupan Barat itu sendiri adalah cara “dakwah” terbaik tentang sekulerisme – sehingga tak sedikit mahasiswa muslim yang berkesimpulan bahwa sistem di Barat serba lebih “islami” daripada di negeri Islam sendiri.

Dengan orang-orang ini, maka imperialisme dapat dilanjutkan.  Keunggulan sains dan teknologi akan dijadikan alat imperialisme, misalnya melalui hutang LN atau ketergantungan produk LN – dan ini sering melalui anak-anak kandung umat Islam sendiri.

 Kesimpulan:

Pendidikan di Barat secara umum memang saat ini lebih maju dibanding di negeri-negeri Islam – yang memang belum menerapkan sistem Islam.  Dalam pembiayaannya, ditemukan bahwa ketika negara mendanai penuh pendidikan, terjadi pemerataan akses – dan juga mutu.  Namun kurangnya sentuhan ruhiyah – terlebih Islam – membuat lulusannya cenderung atheis dan terdehumanisasi.  Mereka akan menjadi alat sekulerisme dan imperialisme. 

tulisan ini dimuat di jurnal al-Waie edisi no 59, Juli 2005

Tags: ,