Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
May 26th, 2007

Teknologi Pendidikan Islam

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Suara Islam no 20, minggu I-II Mei 2007

Apakah itu teknologi pendidikan?  Apa pula teknologi pendidikan Islam?  Apa bedanya dengan pendidikan teknologi?

Memperingati hari pendidikan nasional saat ini, banyak orang mengajak menoleh kepada teknologi di bidang pendidikan. 

Pertama, pendidikan teknologi kita dapat dianggap gagal.  Faktanya, pendidikan sains dan teknologi masih dianggap momok oleh mayoritas anak didik kita, sehingga masih banyak warga kita yang gagap teknologi (gaptek) – tidak terkecuali anggota DPR (yang jadi bahan lelucon karena minta Laptop), dan akibatnya makin hari kita makin tergantung pada impor teknologi yang menguras devisa kita dan memaksa kita terus berhutang ke luar negeri.

Kedua, pendidikan kita belum optimal, dan ini disinyalir karena belum digunakannya metode pendidikan kontemporer, termasuk teknologi pendidikan mutakhir.  Teknologi pendidikan lebih sering dipahami secara konvensional dengan lab-lab yang relatif mahal – dan akibatnya tidak terjangkau oleh mayoritas sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi.

Dengan demikian, pendidikan teknologi adalah pendidikan untuk menumbuhkan technological-attitude (sikap benar berteknologi) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga orang memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas untuk melek teknologi, merebut teknologi, dan mengembangkan teknologi.   Sedang teknologi pendidikan adalah teknologi yang didesain untuk mendukung aktivitas pendidikan secara komprehensif.  Aktivitas pendidikan adalah aktivitas untuk membentuk manusia seutuhnya, yakni yang memiliki kedalaman iman, kecerdasan akal, kepekaan nurani, keluasan wawasan, kebijakan sikap, kreativitas karya, kehalusan estetika, keberanian berjuang dan seluruh nilai-nilai positif lainnya.

Dengan memahami pokok masalah di atas, maka jelas bahwa posisi Islam di sini adalah untuk memberi arah dan nilai dari pendidikan, dan demikian pula teknologi pendidikan.  Karena itu teknologi pendidikan Islam bukanlah sekedar teknologi untuk membantu siswa belajar shalat atau belajar membaca Qur’an, namun teknologi yang seluas pendidikan itu sendiri.  Teknologi pendidikan Islam membuat siswa mudah memahami sains dan ilmu-ilmu apapun, mampu menghubungkannya dengan Sang Pencipta dan menyadari apa tujuan diciptakannya alam serta bagaimana sains itu dapat dimanfaatkan secara syar’i.  Dia akan menguasai sains dalam pandangan hidup Islam.  Teknologi ini mengakselerasi siswa mendapatkan tujuan-tujuan pendidikan, sehingga membantu mengatasi keterbatasan kemampuan guru, sempitnya ruang kelas, kekurangan buku dan terbatasnya dana.

Di atas itu semua, teknologi pendidikan Islam seharusnya juga dibuat dengan memperhatikan prinsip-prinsip Islam, seperti kesederhanaan dan kemudahan.  Jadi akan kontradiktif ketika teknologi pendidikan islam ini justru jadi tidak terjangkau oleh mayoritas umat karena dia terlalu canggih dan mahal. 

Karena itu pertimbangan dasar teknologi pendidikan yang tepat harus juga melihat calon penggunanya.  Di pedesaan yang sederhana, teknologi berbasis bahan lokal tentu lebih disukai. Namun di perkotaan di mana tersedia listrik, komputer dan akses internet, teknologi interaktif berbasis komputer atau web mungkin menjadi alternatif yang lebih baik dan termurah.

 

Bentuk Teknologi Pendidikan Islam

Lalu seperti apa bentuk-bentuk teknologi pendidikan Islam?

Bentuk-bentuk teknologi pendidikan secara umum akan optimal bila menggunakan seluruh aspek berpikir manusia.  Manusia berpikir bila dia: (1) menerima informasi dunia realitas dari panca inderanya; (2) memasukkan informasi ke dalam otaknya; (3)  mengolah / menghubungkan informasi itu dengan informasi yang tersimpan sebelumnya. 

Karena itu teknologi pendidikan yang baik akan menggunakan (1) sebanyak mungkin jalur indera, setidaknya tekstual, visual, dan akustikal, namun tentunya lebih optimal lagi kalau juga indera penciuman, perasaan maupun perabaan; (2) sebanyak mungkin bagian otak, baik otak kiri yang bersifat analitis rasional, otak kanan yang bersifat intuitif-kreatif-emosional maupun bagian otak yang disebut God-Spot yang bertanggung-jawab atas perasaan spiritual; (3) membantu menghubungkan dengan informasi yang tersimpan sebelumnya atau yang pernah dialami atau dipelajari siswa.

Berikut ini adalah tiga contoh gagasan teknologi pendidikan Islam berbasis komputer guna mengajarkan suatu topik dalam (1) Fisika, (2) Biologi, (3) Ekonomi.

(1) Untuk mengajar fisika-mekanika, ditunjukkan film audio-visual berbagai peristiwa alam (air terjun, jatuhnya batu, pergerakan benda langit).  Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang alam semesta untuk menghubungkan intelektualitas dengan spiritualitas.  Lalu ada teks dan rumus matematis yang menjelaskan fenomena itu, dan di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan dan analisis pelajar.  Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan mekanika secara syar’i, dilanjutkan film aplikasi mekanika yang baru dipelajari (PLTA, peluncur roket untuk jihad, satelit), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan syari’at (banjir, teror atas bumi Islam, satelit mata-mata asing).    Kemudian terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi.  Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan aplikasi teknologi apapun justru dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.

(2) Untuk mengajar biologi-lingkungan ditunjukkan film audio-visual berbagai jenis mahluk hidup (pohon, serangga, mamalia).  Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang kehidupan untuk menghubungkan intelektualitas dengan spiritualitas.  Lalu ada teks dan yang menjelaskan fenomena itu, dan di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan.  Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan ekologi secara syar’i, dilanjutkan film yang menunjukkan aplikasi ekologi yang baru dipelajari (reboisasi hutan, biopestisida, peternakan), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan syari’at (kerusakan hutan, hama, kepunahan bison).    Kemudian terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi.  Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan aplikasi teknologi apapun justru dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.

(3) Untuk mengajar ekonomi perdagangan – yang berarti suatu realitas masyarakat manusia, ditunjukkan film audio-visual berbagai aktivitas manusia (jual-beli, kafilah dagang, bank).  Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang manusia yang menghubungkan intelektualitas ke spiritualitas.  Lalu ada teks yang menjelaskan fenomena itu, ditambah beberapa ayat yang spesifik mengatur sistem ekonomi di masyarakat.  Di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan.  Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan ilmu ekonomi perdagangan secara syar’i, dilanjutkan film yang menunjukkan aplikasi ekonomi yang baru dipelajari (desain pasar, jaringan logistik, bank syari’ah), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan koridor syari’at (penipuan, penimbunan, jeratan hutang). Lalu terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi.  Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan ilmu apapun dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.

Memang perlu kerja keras untuk merealisasi material teknologi pendidikan Islam untuk segala jenis topik di semua jenis pelajaran.  Namun upaya semacam ini akan menjadi mudah ketika ada dukungan masyarakat.  Dan bentuk masyarakat yang paling optimal untuk itu adalah dalam bentuk negara Khilafah.

Tags: ,

April 1st, 2007

Faktor-Faktor Yang Memperlemah Ulama

Oleh: Dr. Fahmi Amhar (Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina)

Dr. Fahmi Amhar

Dr. Fahmi Amhar

Berapa banyak ulama yang kita miliki?  Ini pertanyaan sederhana, namun sulit dijawab; meski kita hanya mencari tahu secara kuantitatif, belum secara kualitatif. Kalau pertanyaannya dimodifikasi menjadi: Berapa alumni pondok pesantren di Indonesia? Jawabannya lebih mudah. Hitung saja pesantren yang terdaftar di Departemen Agama. Tentu kapasitas pesantren tidak merata.  Yang bisa dihitung adalah yang sudah menerapkan administrasi modern.  Padahal banyak pesantren kita yang tradisional, tidak mengenal pendaftaran maupun ujian dengan standar tertentu.  Jika diasumsikan hanya ada 2000 pesantren se-Indonesia (5 buah per Kabupaten), dan rata-rata 100 lulusan pertahun, dapatkah diharapkan lahir 200.000 “ustadz”? Berapa dari mereka yang menjadi ulama?

Sulit dijawab. Berbeda dengan sarjana, doktor atau profesor yang definisinya jelas. Ulama—yang sejatinya adalah “scholar”—jauh lebih sulit. Tidak setiap ustadz atau dai pantas disebut ulama.  Bahkan yang di MUI pun tidak semua merasa nyaman disebut ulama.

Ulama dalam “Jebakan”

Kini ulama adalah mahluk langka.  Jarang anak kecil yang bercita-cita mau menjadi ulama. Orangtua pun kalau mengirim anaknya ke pesantren hanya  agar anaknya menjadi salih, bukan menjadi ulama.

Di sisi lain, kalau kita memperkenalkan tokoh Indonesia ke orang Timur Tengah bahwa dia seorang ulama, orang Timur Tengah akan balik bertanya: Ulama di bidang apa? Apakah dalam ulumul Quran?  Hadis?  Fikih?  Tarikh? Kalau kita tidak menjelaskan, mereka akan ragu, “Ulama apa itu? Ahli al-Quran bukan; ahli hadis bukan; ahli fikih bukan; ahli tarikh bukan. Jadi, ahli apa?”

Walhasil, kita tahu bahwa ulama saat ini sangat langka. Dari yang langka ini, lebih banyak ulama yang lemah daripada yang kuat. Yang lemah ini tidak menjadi inspirasi bagi umat, tidak memimpin umat keluar dari keterpurukannya, bahkan mereka tidak jarang justru menjadi bagian dari sistem yang menindas umat.

Apa sesungguhnya faktor-faktor yang membuat ulama yang langka ini semakin lemah? Secara umum ada tiga ”jebakan” bagi ulama. Pertama: jebakan pemikiran yang terjadi pada dirinya sendiri.  Kedua: jebakan kultural yang “disiapkan” masyarakat. Ketiga: jebakan sistem yang direkayasa oleh para penguasa.

Agar dapat keluar dari jebakan ini, para ulama wajib memiliki kesadaran ideologis, di mana posisinya saat ini, agar dia tidak terjebak di salah satu atau ketiganya.

1. Jebakan Pemikiran.

Jebakan pemikiran adalah jebakan yang paling lembut sehingga yang terjebak tidak merasa dirinya terjebak. Jebakan pemikiran ini ada tiga macam. Pertama: sekularisasi. Sekularisasi adalah pemisahan agama dari kehidupan publik, yakni kehidupan tempat interaksi tak terbatas seluruh warga, baik Muslim maupun bukan, dalam segala aspek kehidupan: politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dll.

Pahit untuk mengakui, bahwa sebagian besar ulama kita sudah tersekularisasi di segala sisi. Mereka canggung berbicara masalah publik dari sisi Islam. Mereka membatasi diri untuk berbicara hanya saat ada persoalan moral seperti pornografi, miras, perjudian, pelacuran. Kalaupun mereka berbicara tentang terorisme, itu karena terorisme dikaitkan dengan ustad dan pesantren. Mereka juga hanya peka terhadap gerakan sesat (Ahmadiyah, shalat dwibahasa, dsb). Sebaliknya, mereka canggung untuk duduk bersama membahas pengaturan sumberdaya alam menurut Islam atau mengatasi krisis pangan menurut Islam; seakan-akan dalam masalah-masalah ini, Islam tidak mempunyai solusi.
Kalau berbicara tentang pendidikan Islam, yang terlintas hanya mata pelajaran agama di sekolah, atau  pendidikan oleh yayasan Islam (termasuk pesantren). Jarang yang berpikir bahwa pendidikan Islam itu menyangkut segala segi, dari muatan kurikulumnya yang harus mengacu pada akidah Islam di segala pelajaran (termasuk bahasa, matematika, IPA, IPS) hingga bagaimana pendidikan itu bisa dibiayai sehingga semua warga bisa mendapatkan akses pendidikan bermutu yang terjangkau.

Kedua: dakwah ishlâhiyah dan khayriyah. Sejak sekularisasi menjadi arus utama,  Islam dipelajari hanya sebatas ajaran perbaikan individu atau keluarga.  Dakwah akhirnya hanya terfokus pada perubahan individual yang bersifat kebajikan (khayriyah). Topik yang dominan adalah fikih praktis (ibadah, tatacara makan/berpakaian, nikah, muamalah sehari-hari dan akhlak).  Dakwah sudah dianggap sukses jika berhasil menjadikan seseorang rajin shalat atau perempuan mau berbusana Muslimah. Terkait dengan aktivitas masyarakat, dakwah ditekankan pada kepedulian sosial seperti sedekah, menyantuni anak yatim hingga mendirikan sekolah dan rumah sakit. Bagaimana memberikan solusi tuntas dan mendasar terhadap segala masalah umat (ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, perundang-undangan, dll), hal itu jarang dijadikan target.

Ketiga: pemikiran “asketis”. Derap kehidupan hedonis, apalagi yang dibawa Kapitalisme, membuat sebagian ulama bereaksi dengan hidup bak pertapa sufi (asketis). Dakwah mereka fokus pada aspek ruhiah (spiritual) dan mengajak masyarakat menjauhi dunia. Walhasil, pada saat mendengar nasihat mereka, orang bisa mengucurkan air mata.  Namun, begitu keluar majelis, aktivitas dunianya tidak mengacu syariah, karena syariah itu sendiri tidak pernah dibahas.  Orang diasumsikan otomatis jadi baik ketika pikirannya mengingat Allah.  Padahal faktanya, amal seseorang bergantung pada pemahaman syar‘i yang dimilikinya. Ada pemilik bank yang tiap hari bergelimang riba, namun dia tidak merasa berdosa, karena sudah rajin tahajud dan puasa sunnah.

2. Jebakan Kultural.

Jebakan kultural atau budaya terjadi di—dan dilakukan oleh—masyarakat.  Masyarakat menggunakan pengalamannya dalam berinteraksi dengan agama lain saat memahami Islam.  Jebakan kultural ini dapat memaksa seorang ulama yang semula kuat karena ikhlas menjadi lemah karena bias.  Ada tiga jebakan kultural:

Pertama: mitos ulama. Pada semua ajaran lain, keyakinan berasal dari mitos atau aksioma yang tidak rasional. Ketika beralih ke Islam, penganut mitos pun memandang akidah Islam sebagai mitos.  Rasul saw. berubah dari sosok manusia teladan menjadi sosok keramat yang supranatural. Bahkan ulama tiba-tiba dianggap “orang suci” yang mustahil salah, seperti penganut Katolik memandang Paus. Belakangan muncul orang-orang yang memanfaatkan hal ini demi keuntungan pribadi. Mereka melegitimasi diri di depan orang-orang awam dengan ayat al-Quran atau hadis yang diselewengkan. Lalu muncullah bid‘ah di mana-mana.

Di sisi lain, ulama dimitoskan dengan segala idealitas dalam pandangan awam, bukan pandangan syariah. Saat ulama itu melakukan hal yang dibenci awam (misalnya poligami), gelar “orang suci” tiba-tiba lenyap. Mereka tidak bisa menerima kenyataan, bahwa “ulama juga manusia”.

Kedua: mitos bahasa. Sebagai bahasa al-Quran, bahasa Arab adalah bahasa ilmu pengetahuan Islam. Namun, di masyarakat non-Arab, kini bahasa ini sudah menjadi “hak istimewa” selapis kecil ulama.  Sekadar tulisan Arab saja kadang dianggap keramat dan mampu mengusir setan. Orang yang pintar membaca al-Quran langsung dipanggil ustadz. Yang fasih berbahasa Arab (baca kitab kuning) dijuluki ulama, tanpa melihat lagi pemahaman Islamnya.

Ketiga: mitos ijtihad. Pada zaman sekarang, ijtihad dimitoskan sama dengan berpendapat. Setiap orang akhirnya boleh berijtihad, sekalipun tanpa bekal memadai. Tidak aneh, muncullah fatwa-fatwa nyleneh. Namun, ini ditoleransi dengan dalil, bahwa ijtihad itu, kalau benar mendapat dua pahala, dan kalau salah mendapat satu pahala. Padahal yang terjadi kadang-kadang hanyalah adopsi terhadap paham sekular yang  dilabeli Islam, yang jauh sekali dari kategori ijtihad.

3. Jebakan Sistem.

Para penguasa korup pada zaman manapun melihat para ulama sebagai orang-orang yang berpotensi menghalangi mereka. Karena itu, penguasa fâsid ini akan berupaya melemahkan para ulama, baik secara “legal” maupun “ilegal”. Yang legal ada tiga macam:
 

Pertama: depolitisasi. Ulama dimarjinalkan dari kancah politik dengan sekularisme. Ulama yang menolak sekularisme akan mundur dari arena; yang ada dalam sistem, mau tak mau, akan sama sekularnya.  Contoh, pada masa lalu, ada UU yang mewajibkan asas tunggal bagi ormas dan parpol. Akibatnya, para ulama praktis kehilangan ‘rumah’, kecuali yang mau pindah ke ormas atau parpol pendukung penguasa.  Meski berdalih akan “mengislamkan dari dalam”, yang terjadi justru sebaliknya.

Kedua: pragmatisme. Ulama dipojokkan untuk sekadar bertahan hidup dalam sistem. Sistem sekular menjamin pelaksanaan syariah di ranah pribadi.  Pembangunan masjid dibantu. Dakwah khayriyah dipromosikan. Zakat dan haji dilayani pemerintah. Ulama yang terpojok akhirnya mengambil sikap, “Inilah yang masih bisa kita kerjakan.” Mereka akhirnya diam terhadap urusan publik yang masih diatur sistem kufur. Padahal kezaliman pada urusan ini (misalnya mahalnya BBM) melanda semua orang; Muslim atau bukan; apakah mereka tahu masalahnya atau tidak. Dakwah pun kemudian tak lagi untuk meluruskan penguasa yang bengkok, yang oleh Nabi saw. disebut sebagai afdhal al-jihâd (jihad paling utama), namun ”yang penting aman”.

Ketiga: Godaan 3-TA. Yang paling vulgar adalah pelemahan ulama dengan harta, tahta dan wanita. Ulama yang kesulitan finansial dibantu, pondoknya dibangun, santrinya diberi beasiswa, dan dakwahnya makin bernilai bisnis. Ada juga ulama yang dilamar jabatan, dari legislatif lokal hingga calon wapres.  Yang terheboh tentu saja yang ditawari wanita. Namun, semua ada kompensasinya. Yang jelas kepekaan, sikap dan pengaruh politik yang bersangkutan bisa tergadai, atau setidaknya dia akan sibuk dengan 3-TA itu. Akibatnya, kinerja keulamaannya turun, atau bahkan dilupakan. Telah banyak pesantren yang hancur karena ditinggal pemimpinnya yang menjadi “selebritis” atau politisi di Senayan.

Adapun jebakan yang ilegal amat bergantung pada sikap penguasa.  Kalau dia santun, ini tidak dilakukan. Dia mencukupkan diri dengan yang legal.  Namun, penguasa zalim akan menempuh segala cara.

Pertama: pecah-belah. Adu domba ini tidak jarang dengan penyusupan intelijen.  Fitnah dimunculkan: yang satu mencurigai yang lain; menuduh pihak lain sesat, ahli bid‘ah, dll. Akibatnya,  ukhuwah islamiyah terputus.

Kedua: stigma negatif. Penguasa memberikan citra negatif seperti radikal, ekstremis dan teroris kepada ulama sehingga yang bersangkutan dijauhi masyarakat. Stigma ini umumnya ditujukan kepada ulama-ulama yang sederhana. Kadang-kadang jamaahnya dipancing untuk melakukan kekerasan, kemudian dimanfaatkan untuk mempertegas stigma yang diberikan.

Ketiga: siksaan dan penjara. Ini adalah cara terakhir untuk membungkam ulama.  Namun, tren di negeri-negeri Muslim sekarang, ulama yang pernah disiksa atau dipenjara justru makin karismatik. Ini tidak disukai penguasa. Karena itu,  direkayasalah seakan-akan sang ulama melakukan kriminalitas seperti menyimpan narkoba, melakukan kejahatan seksual atau pemalsuan dokumen; sebagaimana yang pernah divoniskan kepada Ustad Abu Bakar Baasyir.

Khatimah

Menyatakan seseorang atau sekelompok ulama telah terkena jebakan-jebakan di atas bisa menyulut emosi orang-orang yang merasa selama ini ikhlas berjuang dan berkonstribusi bagi umat. Mereka merasakan pahit-getirnya perjalanan dakwah. Sebagian bahkan telah menghabiskan usianya di penjara.

Semua itu tidak kita nafikan.  Dengan menunjukkan jebakan-jebakan itu, kita tidak sedang menghakimi para ulama pada masa lalu, namun agar pada masa depan tidak ada dari kita yang kena sindiran Rasulullah saw.: Seorang Miuslim tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Tags: , ,

February 12th, 2007

Sistem Pengendali Banjir

Dr. Fahmi Amhar

(Tulisan ini dimuat di harian KR -Yogyakarta- 12 Februari 2007)

BANJIR membuat sengsara. Air kotor masuk rumah, membuat sofa, kasur, buku-buku tidak bisa dipakai lagi. Pada saat banjir, listrik mati, PAM mati, telepon mati, jalanan macet. Pasca banjir, sampah di mana-mana. Pabrik dan kantor yang tidak kena banjir pun banyak yang tidak berjalan. Pegawainya tidak bisa menembus banjir. Daerah bebas banjir ikut kena imbasnya. Harga kebutuhan pokok naik. Pasokan BBM terlambat. Adakah teknologi untuk mengendalikan banjir? Ada! Kenapa tidak dipakai? Dipakai! Kenapa tidak berhasil? Perlu sistem! Sistem apa? Ada sistem keras (fisik) dan sistem lunak.

Banjir bukan sekedar fenomena alam. Fenomena alamnya adalah hujan. Tetapi hujan belaka tidak otomatis menyebabkan banjir. Untuk menjadi banjir, debit air yang berasal dari hujan dan limpahan daerah hulu, harus lebih besar dari ‘kredit air’, yaitu air yang meresap, menguap atau dibuang. Oleh sebab itu, agar tidak banjir, teknologi yang dapat dikembangkan adalah bagaimana mengendalikan peresapan dan pembuangan air. Pengendalian hujan dan penguapan belum perlu kita bahas, karena perlu energi yang besar atau waktu lama.

Agar peresapan optimal, tanah memerlukan permukaan yang poris. Hutan tropis adalah contoh permukaan yang amat poris. Akarnya yang dalam mampu mengantar air hingga lapisan yang terdalam. Sementara dedaunannya dapat melindungi serangan hujan langsung ke tanah. Kalau tidak terlindungi, lapisan humus yang mampu meresap air akan terkuliti, terbawa erosi, meninggalkan tanah gundul yang keras dan tidak dapat meresap air lagi. Karena itu, teknologi peresapan yang terbaik adalah penghutanan sebanyak mungkin lahan-lahan kosong, terutama di daerah hulu. Hingga saat ini belum ada teknologi mekanis, termasuk sumur resapan, yang lebih baik dari keberadaan pohon. Yang banyak diharapkan adalah bioteknologi untuk menghasilkan jenis pohon yang dalam waktu singkat dapat besar, berakar dalam dan efisiensinya tinggi.

Yang kedua adalah pembuangan. Air yang mengalir di permukaan harus dibuang ke laut. Kalau debitnya amat besar, saluran alam (sungai) yang ada bisa kewalahan. Untuk itu, ada beberapa teknologi untuk mengatasinya:

(1) Membuat situ (danau penampungan). Ini teknologi yang paling sederhana, namun boros ruang. Di zaman Belanda, ada ratusan situ di Jakarta dan Bogor. Ada situ yang aslinya rawa-rawa, ada pula yang memang dibuat. Sekarang situ-situ itu banyak yang diurug jadi perumahan. Alasannya untuk mengatasi ledakan penduduk, sekaligus mengusir sarang nyamuk malaria atau demam berdarah. Sayang fungsi anti banjirnya tidak diganti. Idealnya, kalau diurug, maka harus ada teknologi penggantinya, misalnya yang berikut ini.

(2) Kanalisasi, termasuk normalisasi sungai dan sodetan. Normalisasi adalah pelurusan aliran sungai, supaya air lebih cepat ke laut, sehingga genangan lebih cepat teratasi dan tidak membentuk banjir. Sodetan adalah menghubungkan dua sungai atau lebih dengan kanal buatan, untuk mendistribusikan debit berlebih di satu sungai ke sungai yang lain.

(3) Pompanisasi, ini termasuk upaya pembuangan modern, perlu energi ekstra. Negeri Belanda saat ini termasuk negara yang unggul dalam hal ‘mengeringkan laut’ dengan pompanisasi dan tanggul. Sebagian besar Amsterdam sekarang ini lebih rendah tujuh meter dari permukaan laut, tetapi berkat sistem pompa yang cukup, sudah 40 tahun lebih tidak ada banjir. Pompa-pompa modern dilengkapi pula dengan sensor hujan atau air pasang, sehingga bekerja otomatis ketika dibutuhkan.

(4) Tanggul, ini untuk membendung agar air sungai tidak meluap ke sekitarnya, yang barangkali elevasinya lebih rendah dari air ketika tinggi. Hal yang sama dilakukan untuk air pasang laut. Karena air tinggi tidak tiap hari, maka setiap tanggul pasti harus ada pintu air.

Lima teknologi ini adalah inti sistem keras (hardware), yakni peningkatan daya resap baik dengan pohon maupun sumur resapan, situ, kanalisasi, pompanisasi maupun tanggul sudah dicoba semua. Sudah ada beberapa villa di Puncak yang dirobohkan lagi, demi tanah resapan. Gubernur DKI sudah berencana di tahun anggaran ini mau membeli tanah-tanah untuk membuat situ. Banjir Kanal Timur sudah mulai dibangun, meski pembebasan tanahnya terkendala. Pompanisasi sudah dipakai di banyak kompleks perumahan menengah ke atas, agar banjir tidak sampai masuk kompleks mereka. Dan tanggul sungai beserta pintu airnya, nyaris tak terhitung, meski yang terkenal pintu air Manggarai.

Pasca banjir, banyak pihak berkomentar yang cenderung menyalahkan salah satu aspek saja, kemudian lalu membuat usulan menurut satu aspek juga.

Bahkan, meski lima teknologi tadi sudah dioptimasi dengan simulator dan dipasang dengan komposisi ideal, tetap saja banjir bisa menjadi bencana, bila sistem lunaknya tumpul. Apa itu sistem lunak? Sebenarnya cukup banyak. Di tulisan ini akan diberikan lima contoh sistem lunak.

(1) Sistem pengelolaan sampah. Banyak sungai dan selokan penuh sampah sehingga banjir. Namun bila ditelusuri, sampah yang dibuang sembarangan itu terjadi karena tempat sampah langka dan kapan diangkutnya tidak diketahui. Jadi pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mengangkuti sampah dengan disiplin tinggi. Sistem penggajiannya perlu diperbaiki agar mereka dapat bertahan pada ‘bisnis kotor’ itu.

(2) Sistem tata ruang. Perencanaan tata ruang saat ini sering disetir para pemilik modal. Hampir tak ada satupun daerah di Indonesia yang tata ruangnya berbasis bencana. Artinya, mereka mengembangkan kota sudah dengan simulasi akan seperti apa kota itu bila diberi bencana tertentu (banjir, gempa, tsunami dll). Tata ruang yang berbasis bencana akan menyiapkan diri dengan tempat dan rute evakuasi bila banjir atau kebakaran atau bencana lainnya terjadi. Jadi tidak perlu nantinya ada pengungsi banjir di tepi jalan tol.

(3) Sistem distribusi ekonomi. Ekonomi kapitalisme berbasis riba sangat mendorong urbanisasi, karena ada cukup besar uang yang tidak benar-benar ditanamkan di sektor real. Andaikata sistem syariah yang dipakai, modal akan mengalir ke sektor real, dan ini mau tidak mau akan mengalir ke daerah-daerah, dan urbanisasi bisa ditekan.

(4) Sistem edukasi bencana. Masyarakat kita bukanlah masyarakat yang sadar bencana. Sebagian bahkan menganggap banjir hal biasa kalau tinggal di Jakarta. Di kantor-kantor saja, jarang ditemukan alat pemadam api, padahal kebakaran adalah bencana lokal yang paling sering terjadi. Kalau kita belajar dari Jepang, alat pemadam api kecil (sebesar semprotan Baygon) ada di hampir tiap rumah tangga dan kamar hotel. Rute evakuasi dipasang di tempat-tempat umum. Pendidikan sadar bencana ini harus didukung oleh para elite politis, selebritis dan media massa. Pemerintah bahkan perlu membangun museum untuk memberi penghayatan bencana kepada orang-orang yang belum pernah mengalaminya, agar tahu apa yang harus diperbuat, baik untuk mencegahnya maupun mengatasinya ketika bencana terjadi.

(5) Terakhir adalah sistem manajemen pemerintahan yang tanggap bencana. Semua orang yang akan menjadi pejabat publik perlu dibekali dengan manual bila ada bencana beserta trainingnya. Aparat TNI perlu memiliki latihan-latihan khusus mengatasi darurat bencana – tidak sekedar darurat militer atau perang. TNI adalah organisasi yang paling mudah digerakkan, serta punya perlengkapannya untuk mengatasi bencana. Namun bila saat ini tidak pernah disiapkan ke sana, dan para pejabat publik tidak terpikir ke sana, ya semua tidak disiapkan.

Bagi seorang mukmin, kesiapan terhadap bencana tidak cuma atas bencana dunia, namun juga atas ”bencana akherat”. Dia menyiapkan amal, menghadapi mati yang bisa datang sekonyong-konyong. (Penulis adalah Peneliti Utama Bakosurtanal)-z

Tags: ,