Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

BOSNIA & BENANG-BENANG CINTA #2

Thursday, May 24th, 2012

2 SEONGGOK BATU KARANG

Sepuluh hari sudah Ali Hoffmann pergi ke Bosnia. Dan telah sepuluh sore seusai mengaji, Umar dan terkadang Fatimah bercengkerama dengannya lewat frequensi radio.

Kemarin Ali mengabarkan expedisinya sudah selesai, dan kini dalam perjalanan kembali ke Wina. Sore inipun Umar telah siap kembali.

“Hallo di sini Umar, Oscar Echo Dua Alfa Zulu, apa Mister Abah ada di udara?”.

Sepi, tak ada jawaban. Umar mengulanginya lagi. Namun di radio selain suara cuit-cuit tak ada jawaban. Saat lima belas menit sudah berlalu Umar mulai gelisah.

“Onkel Yusuf, kenapa radionya nggak kayak kemarin?”,tanyanya.

Aku mendekat. Kulihat beberapa alat penunjuk bekerja beres. Ketika frequensi kupindah, kudengar di situ ada suara-suara lain.

Kucoba, “Hallo, here is Oscar Echo Two Alfa Zulu, can you hear me?”.

“Yes, you are welcome”, jawab suatu suara.

“Thank you”, kataku seraya kembali ke frequensi yang biasa kami pakai.

Namun kembali sepi. Frequensi ini memang khusus, lebar bandnya sempit karena alat yang kubikin sendiri ini menggunakan kristal yang canggih. Dengan demikian kami selama ini hampir tak pernah terganggu oleh suara-suara lain.

Akhirnya setelah setengah jam tak ada kontak, aku terpaksa bilang ke Umar, “Barangkali di sana alatnya mengalami gangguan”.

Umar menangis, “Onkel, jangan-jangan truck Abah ditembak?”.

“Tidak, belum tentu”, aku mencoba menenangkan.

“Kita tidak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, tak ada sinyal dari mereka”, kataku menambahkan. Akhirnya Umar kami antar pulang.

Esok sorenya, sepulang dari Universitas, kujumpai istriku sudah duduk menungguku. Mukanya serius. Biasanya dia akan menjemputku di taman, tempat dia dan Fatimah menunggui putra-putra kami bermain. Makanan di meja makan memang telah siap.

“Sebaiknya kita makan dulu ya, aku udah lapar nih!”, kataku memecahkan keheningan. Ulfah mengangguk.

“Mana Salman, Salmaan!”, panggilku.

“Dia ada di Umar”, kata Ulfah.

“Sudah makan dia?”, tanyaku.

“Dia lagi nggak doyan makan”.

“Kenapa?”

“Dia solider dengan Umar. Umar juga nggak mau makan”

Aku terhenyak.

Ulfah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke meja makan.

“Sebaiknya Abi makan dulu”, katanya sambil menyedukkan nasi. Kamipun makan bersama.

“Tadi aku ke Fatimah. Dia murung mendengar kontak radio ke suaminya terputus”, Ulfah mulai cerita.

“Yach, bisa jadi cuma alasan teknis. Di Bosnia banyak gunung-gunung yang mempengaruhi gelombang radio”

Sejenak kami terdiam.

“Fatimah cemas bahwa terjadi apa-apa pada suaminya”

“Emangnya cuma dia saja yang begitu, apakah kau juga tak pernah cemas jika aku pergi?”, tanyaku menggoda.

Ulfah tersipu-sipu. Tapi kemudian katanya, “Tapi tentunya kau mengerti, posisinya lain denganku”

Aku terdiam. Fatimah memang tak sama dengan Ulfah. Aku teringat ketika enam tahun yang silam aku pulang ke Indonesia. Saat itu Robert – nama Ali sebelum masuk Islam – menyatakan keinginannya melihat keindahan Nusantara.  Dia memang teman baikku di Wina. Sebenarnya aku mengenal Robert tanpa sengaja. Saat itu aku mengisi liburanku dengan bekerja di sebuah supermarket.  Tugasku gampang, namun perlu otot: menurunkan barang-barang dari truck ke gudang. Dan Robert adalah sopir truck yang sering memasok supermarket tersebut. Mula-mula dia tanya, apa yang kukerjakan kalau aku lagi tak ada tugas. Yach, di rumah saja jawabku. Maka Robert lalu mengajakku jalan-jalan. Ya, dia memang ingin menunjukkan keindahan negerinya kepadaku, yang kala itu memang masih terhitung orang baru. Kami memang sama-sama muda.

Ketika kami sudah agak lama bersahabat, suatu hari dia berkata kepadaku,

“Aku kagum kepadamu, belum pernah sekalipun kulihat kau minum bir, bagaimana kau bisa?”

Semula aku ragu mengatakan bahwa aku seorang muslim, takut kalau tiba-tiba dia jadi antipati terhadapku.

“Kalau aku tak minum bir di jalan, kau jelas tahu, aku harus selalu pegang kemudi. Tapi kau?”, tambahnya.

Akhirnya kuberanikan, “Ya, aku lakukan itu, karena Tuhanku melarangku minum apa saja yang memabukkan”.

“Apa sih agamamu, Budha atau Taoisme?”

Aku tersenyum, “Agamaku adalah agama yang dianut oleh semua orang yang menyerahkan diri kepada satu Tuhan.”

Robert tampak bingung. Alisnya bertemu. “Ya, agamaku juga cuma percaya pada satu Tuhan, tapi kami boleh minum bir. Emangnya ada agama yang Tuhannya banyak?”

“Ada. Barangkali kau masih ingat pada mitos Yunani. Tapi yang kumaksud satu Tuhan adalah keteguhan untuk tidak mengambil sumber peraturan selain dari-Nya”

“Peraturan apa? Yang kutahu, aku sih memang bukan seorang Katholik yang baik. Aku tak pernah ke gereja, dan bibelpun aku juga tak punya. Bagiku trinitas itu membingungkan. Yang penting aku percaya, kalau Tuhan itu ada. Oo kalau tidak ada, pada siapa aku mau berdoa tiap kali aku harus berangkat membawa truckku?”

“Oh, kalau dipikir sebenarnya kau sudah cocok dengan konsep agamaku”

“Ya tapi agamamu itu apa?”

“Kau akan marah, kalau aku sebutkan?”

Dia menggeleng.

“Islam!”

“Apa? Kamu seorang Islam? Bagaimana bisa, kau seorang yang baik, ramah dan suka menolong. Selama ini kupikir Mohammedaner suka membunuh orang kayak aku, aku kan

orang kafir?”, tanyanya sambil matanya membelalak.

Aku tertawa, “Ah Robert, itu sekedar propaganda media massa kalian di sini. Memang ada kejadian-kejadian di mana seakan-akan seseorang atau suatu kaum diserang oleh orang-orang Muslim, maaf bukan Mohammedaner, karena ke-non-muslimannya. Itu salah. Mereka diserang karena kejahatannya, ketidakadilannya, keserakahannya.  Kami orang-orang yang cinta damai, dan kami tak boleh memaksa orang lain memeluk agama kami”.

Robert termangu.

Sejak itu, setiap hari libur, kami lebih sering duduk-duduk di kamar asramaku. Robert mulai tertarik membaca buku-buku kecil tentang Islam, serta terjemahan Qur’an berbahasa Jerman yang kupunya.

Akhirnya suatu hari dia tanya, “Kapan kau ke Indonesia?”.

“Musim panas depan”, kataku.

“Aku ikut ya?”, tanyanya tiba-tiba.

“Okey”, aku mengiyakan.

Aku tahu, meski sekedar sopir truck, penghasilan Robert lebih dari lumayan sekedar untuk jalan-jalan ke luar negeri.

Jadilah, kami berdua sama-sama ke Indonesia. Dan sejak hari pertama, dia sudah “schock”. Pertama adzan Shubuh yang tepat dari samping rumah ibuku. Tapi dia tidak protes. Keheranan kedua, dia selalu melihat ibu dan adik perempuanku memakai kerudung, setiap hari selama dia ada di sana. Lalu alunan suara Qur’an yang merdu dari anak-anak kecil di Mesjid setiap habis Maghrib.

Namun yang paling menggetarkan hatinya adalah tatkala dia menyaksikan sembayang Jum’at.

Dia cerita begini, “Yusuf, aku seperti tak percaya melihatnya. Tadi ada seseorang datang agak terlambat, dan ia sembahyang di dekat pintu. Namun ketika banyak orang yang sudah selesai keluar mesjid, tak satupun dari ratusan orang itu yang berani melintas terlalu dekat di depan orang yang terlambat tadi. Dia seperti seonggok batu karang yang membelah lautan manusia. Betapa kulihat kalian sangat menghargai ibadah satu orangpun, tak seperti jika kami berdesak-desak di depan gereja St. Peter di Vatikan.”

Aku sendiri kaget mendengar pernyataannya itu. Sebagai orang yang lahir dari orang tua muslim, terhadap hal semacam tadi aku malah tak begitu jeli.

Beberapa hari kemudian, Robert berkata, “Yusuf, maukah kau mengajariku sembahyang seperti di agama kalian?”

Aku begitu terharu waktu itu. Aku segera membawanya ke guru ngajiku, dan sejak hari itulah Robert menjadi saudaraku seiman. Oleh ustadz dia diberi nama “Ali”, meski di paspornya tetap tertulis nama aslinya.

Selama tiga bulan liburan di Indonesia itu Robert eh Ali banyak belajar. Kepada ibuku dia sudah berani memuji masakannya dalam bahasa Indonesia. Dia rajin membuat catatan sendiri untuk pelajaran agama Islam maupun bahasa Indonesia.

Suatu hari katanya, “Yusuf, aku suka sekali tinggal di sini. Namun bagaimanapun juga aku harus kembali ke pekerjaanku…”.

“Ya, dan juga ke ibumu”, tambahku.

“Ah, aku tak tahu apa sikap mereka kini setelah aku menjadi Muslim”, katanya sedih.

“Ali, bagaimanapun juga, mereka adalah orang tuamu, yang membesarkanmu!”

“Kau benar. Aku akan berusaha tetap baik pada mereka, meskipun aku tahu, ketika dulu aku ceritakan bahwa sahabatku seorang Muslim, bukan main marah mereka”.

Aku jadi tercenung.

“Yusuf”, sapa Ali lagi. Aku menengok.

“Tidak mungkinkah kau membantuku … “, dia agak malu.

“Membantu apa?”

Ali diam sebentar, berpikir, tapi kemudian katanya, “Membantuku mencarikan seorang istri buatku?”

“Hah?” Aku kaget.

“Ya, aku memang pernah gonta ganti pacar. Tapi biarlah itu masa laluku yang gelap. Di Eropa jelas susah mendapatkan wanita yang mengerti akan kemuslimanku. Mereka sudah terlanjur mendapat gambaran klise: Islam merendahkan wanita”.

Aku benar-benar bingung. Aku sendiri belum menikah, eh kini diminta orang mencarikan isteri. Siapa ya? Adikku masih kecil. Apa sanggup anak berusia 13 tahun menjadi isteri, di Luar Negeri lagi. Ah tidak. Akhirnya aku menghubungi ustadz. Dan entah dari mana, ustadz mendapat ilham untuk menawarkan Fatimah, gadis yatim piatu yang ada di bawah tanggungannya.

“Bagaimana dengan Fatimah?”, tanyaku ke Ali.

“Ya kenapa tidak?”, jawab Ali gembira.

“Tak apa, dia tak cantik, tak menarik seperti pacar-pacarmu dulu, dia juga tak berpendidikan tinggi”, aku coba meyakinkan.

Ali tertawa, “Yusuf, bukankah kau sendiri yang dulu mengajariku, seorang budak yang hitam legam, tapi mukmin, jauh lebih berharga dari wanita yang cantik berkulit kuning langsat, tapi berhati bangsat”

“Jadi kau ambil Fatimah?”

“Segera!”, katanya.

Kami berpelukan.

Ya, benar-benar sebuah proses singkat. Tanpa pacaran, tanpa apa-apa. Ali yakin pada kesaksian ustadz akan ahlaq baik Fatimah. Setelah ijab qobul, berlangsung pesta sederhana di rumah ustadz. Benar-benar sederhana meski pengantin pria seorang Eropa. Sama sekali tak ada keinginan Ali mencoba perkawinan adat Solo atau Yogya yang penuh mistik itu. Dan seminggu kemudian, jadilah kami kembali ke Austria. Ya, liburan yang tiga bulan itu telah merubah hidup Robert Hoffmann.

“Kriiiing” suara telepon menyadarkanku dari lamunan.

“Yusuf”. “Assalaamu ‘alaikum, Ali Hoffmann di sini, Alhamdulillah saya baik-baik saja, maaf kendaraan kami mengalami kerusakan di jalan sehingga radionya tak bisa mengudara. Sekarang kami sudah di Kroasia, sudah aman, Insya Allah, dua hari lagi kami sampai di Wina”

“Alhamdulillah. Kami sudah cemas saja. Sudah telepon istrimu belum?”

“Tentu. Maaf ya, ini koinku habis. Assalamu’alaikum!”

Pintu diketuk. Ketika Ulfah membukanya, Fatimah langsung menubruknya dan menangis gembira.

BOSNIA & BENANG-BENANG CINTA — sebuah novel jihad yang bersahaja

Wednesday, May 23rd, 2012

1 EXPEDISI KE BOSNIA

Suatu hari di Wina, Austria, tahun 1992.

Hari telah pukul delapan sore, tapi matahari musim panas masih tampak ceria di langit Barat. Seperti biasa, menjelang Maghrib beberapa ibu dan anak-anak masih berada di taman di halaman dalam gedung tempat appartemen kami berada, mencari udara segar. Aku lihat dari jendela istriku juga ada di tengah mereka, bersama Fatimah, tetangga kami. Tampak Umar anaknya bermain kejar-kejaran dengan anakku.

Pukul delapan lima belas mereka naik. Seperti biasa Salman mengetuk pintu sambil teriak lucu

“Assalaamu’alaikum!”.

Ah suka sekali aku mendengar suaranya.

“‘Alaikumsalam!” Jawabku. Aku tak perlu membukakan pintu karena istriku di belakangnya. Salman dan Umar berlari masuk.

“Kali ini aku yang adzan”, kata Umar.

“Tidak, aku!”, bantah Salman.

Dua bocah empat dan lima tahun ini selalu begitu, berebut beradzan. Dan aku selalu harus mengundinya. Begitulah sejak Umar selalu disuruh ibunya Maghriban berjamaah di appartemenku.

Saat kuundi ternyata Umar yang mendapatkan kesempatan.

“Abi jahat, masak Umar melulu, kemarin dia, sekarang dia lagi”, protes Salman.

“Abi tidak bisa apa-apa, bukankah uang logam tadi jatuh ke lantai. Allahlah yang menentukan, apakah angka atau gambar yang di atas”, potong istriku.

Tak berapa lama kemudian mengalunlah suara adzan yang merdu dari bibir Umar. Benar-benar irama yang langka di kota Wina ini. Benar, di sini ada Islamic Center.  Namun jaraknya kira-kira 8 km, dan kami mesti ganti kendaraan umum 3-4 kali. Kami hanya ke sana setiap sholat Jumat saja.

Seusai sholat Maghrib, seperti biasa pula Umar dan Salman berlomba meneruskan bacaan Qur’annya.

“Jangan terburu, Qur’an itu dibaca dengan suara yang indah”, cegahku ketika Salman tampak tergesa ingin mengejar ketinggalannya dari Umar.

Pukul sembilan mereka selesai.

Umar berkata kepadaku, “Onkel Yusuf, bolehkah saya bicara dengan abah?”.

“Tentu!”, jawabku. Umar segera menuju ke meja di pojok ruangan. Di situ ada pemancar kecil yang biasa kami pakai untuk komunikasi radio amatir ke seluruh dunia.

Umar sudah faham cara mengoperasikannya. Tak berapa lama kemudian suara cuit-cuit sudah menguasai ruangan.

“Hallo di sini Umar, Oscar Echo Dua Alfa Zulu, apakah Mister Abah ada di udara?”, katanya. Umar selalu memanggil ayahnya lewat radio dengan “Mister Abah”.

Tak berapa lama di sana ada jawaban “Mister Haji, di sini Marco, tunggu sebentar, Abah baru sembahyang!”

Radio masih bercuit-cuit. Umar tampak tak sabar menunggu. Ya, Ali Hoffmann, ayah Umar ada nun jauh di sana, di medan jihad: Bosnia-Herzegovina. Dia memang tak langsung mengangkat senjata. Namun tugasnya pun tak kalah resikonya: menyelundupkan amunisi.

Seminggu yang lalu Ali datang ke appartemenku.

“Yusuf!”, katanya membuka percakapan.

“Apa?”, jawabku.

“Aku ingin juga berbuat sesuatu untuk saudara-saudara kita seiman di Bosnia”.

“Apa yang bisa kau lakukan, bukankah kau sibuk setiap hari membawa truck ke Jerman atau ke Swiss”.

“Yach justru itu. Dulu sebelum pecah perang, aku sudah berratus kali membawa truck ke Beograd, bahkan sampai ke Athena. Aku rasa aku masih ingat banyak route yang mudah-mudahan lepas dari pengamatan tentara Serbia”

“Tapi bukankah selama ini sudah banyak organisasi yang membawa bahan makanan dan obat-obatan ke sana. Bahkan setiap hari ada pesawat transporter yang mendarat di

Sarajevo”.

“Benar Yusuf. Namun kau lihat, yang mereka butuhkan bukan itu. Apa artinya bahan pangan jika setiap hari kota mereka dihujani granat. Yang mereka butuhkan itu senjata!”

“Jadi kau ingin membawa senjata ke sana?”

“Ya!”

“Resikonya sangat tinggi”

“Tentu aku tak sebodoh itu. Bukankah di tengah-tengah terigu, kain terpal dan obat-obatan yang akan dikirim ke sana kita bisa menyelundupkan bahan-bahan fosfor untuk membuat bahan peledak?”

Aku masih menunggu apa kata Ali selanjutnya.

“Kita tidak boleh kehilangan waktu. Selama ini negara-negara Barat, juga negaraku Austria, sekedar menonton atau paling-paling mengeluarkan seruan. Kitalah yang harus berbuat mengatasi kekejaman ini. Demi Allah Yusuf, kalau Ayahku masih hidup, dia pasti akan mengatakan kekejaman Serbia atas Muslim ini sudah melampaui batas kekejaman Nazi di masa lalu”

Aku mengangguk-angguk.

“Yusuf, aku bisa minta bantuanmu kan?”

“Apa yang bisa kuperbuat. Kau tahu, aku ingin sekali berangkat juga ke Bosnia. Tapi mungkin imanku memang masih lemah. Terkadang aku bingung, mana yang harus

kudahulukan. Di sini aku sudah delapan tahun belajar, dan Insya Allah tahun depan aku meraih PhD-ku. Di Indonesia ada ibuku yang sudah renta, dan seorang adik perempuan. Sementara itu jelas, jutaan Muslim di Indonesiapun menunggu buah dari ilmu yang kupelajari di sini. Selain itu aku memang tak pernah memegang senapan. Di Indonesia tak ada wajib militer. Dan menjalankan truck seperti kau aku juga tak bisa.”

“Ya, aku tahu itu. Aku juga tahu, tak sepatahkatapun kau bisa bahasa Yugoslavia. Tidak, kau tak perlu ikut.  Aku malah justru ingin menitipkan Fatimah dan Umar pada keluargamu selama aku pergi. Namun selain itu kalau kau ijinkan, aku ingin meminjam pesawat radiomu, agar aku bisa kontak ke kawan-kawanku di sana, dan juga biar Umar bisa menyampaikan rasa kangennya!”

Jadilah. Keesokkannya, Ali telah siap. Ya rupanya Ali sudah cukup lama mempersiapkan perjalanan itu. Caritas dan Palang Merah Austria memang sejak lama mencari sopir truck yang berani menempuh expedisi yang berbahaya ini. Sarajevo, Gorazde, Mostar adalah kota-kota Bosnia yang sejak enam bulan terakhir ini tak pernah sepi dari hujan granat.

Ali memeluk Fatimah, istrinya yang enam tahun yang lalu dia kenal ketika dia bersamaku tour ke Indonesia.  Kemudian dia bopong Umar, buah hatinya. Diciumnya anak itu. “Baik-baik ya Umar. Jangan lupa, setiap Maghrib berjamaah bersama onkel Yusuf!”. Umar mengangguk.

“Semoga Allah bersama Abah!”, kata bocah itu lirih.

Terlihat linangan air mata di wajah Ali. Sekali lagi bocah itu diciumnya.

“Kita harus segera berangkat!”, kata Marco memecah keharuan suasana. Awak Palang Merah ini melambaikan tangan ke Ali dari cockpit truck. Ali segera menjabat tanganku. “Tolong, jaga istriku baik-baik. Kalau aku tak ada, dia di sini sebatang kara”, pesannya lirih.

“Insya Allah, aku dan Ulfah akan berbuat sebaik-baiknya. Seandainya memang saatnya, maka bersembunyi di balik benteng bajapun kematian akan menjemput kita. Berangkatlah, Allah bersamamu. Oh Ali, aku iri pada kesempatan yang kau dapatkan…” Aku tak mampu menahan air mataku lagi.

Ali memelukku. “Assalaamu ‘alaikum”, katanya.

“Alaikum salam”.

Dengan mantap dia naik ke atas trucknya. Truckpun berangkat.

“Assalaamu ‘alaikum! Mana Mister Haji, di sini Mister Abah sehat wal afiat!” suara itu menyadarkanku dari lamunanku. Umar tampak girang dan segera cerita pada ayahnya apa yang telah dikerjakannya hari itu.

“Siang tadi Umar membantu Umi bikin bakso. Wah bakso Umi lebih enak dari bakso tante Ulfah…. terus tadi pas sembahyang Maghrib, Umar juara adzan lagi…”

Tak lama kemudian Umar memanggilku. “Onkel, Abah mau bicara!”.

Aku mendekat ke radio dan mengambil alih microfon.

“Assalaamu ‘alaikum”

“‘Alaikum salam, apa kabar ya akhi?”, tanyanya.

“Alhamdulillah. Siang tadi kami berhasil lagi mendapatkan beberapa keluarga yang mau menampung para pengungsi dari Bosnia. Anda?”

“Ya, alhamdulillah kami telah selamat mencapai Gorazde. Saat ini muatan sedang diturunkan, dan saya sudah memberi tahu komandan Muslim di sini, bahwa ada beberapa muatan khusus”.

“Allahu akbar”.

“Semoga selama kita bicara ini, tak ada agen rahasia Serbia yang nguping frequensi kita, dan andaipun nguping,semoga dia tak faham bahasa Indonesia…”.

Wah, dalam keadaan gentingpun Ali tetap bisa bergurau.

(bersambung)