Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
May 23rd, 2012

BOSNIA & BENANG-BENANG CINTA — sebuah novel jihad yang bersahaja

1 EXPEDISI KE BOSNIA

Suatu hari di Wina, Austria, tahun 1992.

Hari telah pukul delapan sore, tapi matahari musim panas masih tampak ceria di langit Barat. Seperti biasa, menjelang Maghrib beberapa ibu dan anak-anak masih berada di taman di halaman dalam gedung tempat appartemen kami berada, mencari udara segar. Aku lihat dari jendela istriku juga ada di tengah mereka, bersama Fatimah, tetangga kami. Tampak Umar anaknya bermain kejar-kejaran dengan anakku.

Pukul delapan lima belas mereka naik. Seperti biasa Salman mengetuk pintu sambil teriak lucu

“Assalaamu’alaikum!”.

Ah suka sekali aku mendengar suaranya.

“‘Alaikumsalam!” Jawabku. Aku tak perlu membukakan pintu karena istriku di belakangnya. Salman dan Umar berlari masuk.

“Kali ini aku yang adzan”, kata Umar.

“Tidak, aku!”, bantah Salman.

Dua bocah empat dan lima tahun ini selalu begitu, berebut beradzan. Dan aku selalu harus mengundinya. Begitulah sejak Umar selalu disuruh ibunya Maghriban berjamaah di appartemenku.

Saat kuundi ternyata Umar yang mendapatkan kesempatan.

“Abi jahat, masak Umar melulu, kemarin dia, sekarang dia lagi”, protes Salman.

“Abi tidak bisa apa-apa, bukankah uang logam tadi jatuh ke lantai. Allahlah yang menentukan, apakah angka atau gambar yang di atas”, potong istriku.

Tak berapa lama kemudian mengalunlah suara adzan yang merdu dari bibir Umar. Benar-benar irama yang langka di kota Wina ini. Benar, di sini ada Islamic Center.  Namun jaraknya kira-kira 8 km, dan kami mesti ganti kendaraan umum 3-4 kali. Kami hanya ke sana setiap sholat Jumat saja.

Seusai sholat Maghrib, seperti biasa pula Umar dan Salman berlomba meneruskan bacaan Qur’annya.

“Jangan terburu, Qur’an itu dibaca dengan suara yang indah”, cegahku ketika Salman tampak tergesa ingin mengejar ketinggalannya dari Umar.

Pukul sembilan mereka selesai.

Umar berkata kepadaku, “Onkel Yusuf, bolehkah saya bicara dengan abah?”.

“Tentu!”, jawabku. Umar segera menuju ke meja di pojok ruangan. Di situ ada pemancar kecil yang biasa kami pakai untuk komunikasi radio amatir ke seluruh dunia.

Umar sudah faham cara mengoperasikannya. Tak berapa lama kemudian suara cuit-cuit sudah menguasai ruangan.

“Hallo di sini Umar, Oscar Echo Dua Alfa Zulu, apakah Mister Abah ada di udara?”, katanya. Umar selalu memanggil ayahnya lewat radio dengan “Mister Abah”.

Tak berapa lama di sana ada jawaban “Mister Haji, di sini Marco, tunggu sebentar, Abah baru sembahyang!”

Radio masih bercuit-cuit. Umar tampak tak sabar menunggu. Ya, Ali Hoffmann, ayah Umar ada nun jauh di sana, di medan jihad: Bosnia-Herzegovina. Dia memang tak langsung mengangkat senjata. Namun tugasnya pun tak kalah resikonya: menyelundupkan amunisi.

Seminggu yang lalu Ali datang ke appartemenku.

“Yusuf!”, katanya membuka percakapan.

“Apa?”, jawabku.

“Aku ingin juga berbuat sesuatu untuk saudara-saudara kita seiman di Bosnia”.

“Apa yang bisa kau lakukan, bukankah kau sibuk setiap hari membawa truck ke Jerman atau ke Swiss”.

“Yach justru itu. Dulu sebelum pecah perang, aku sudah berratus kali membawa truck ke Beograd, bahkan sampai ke Athena. Aku rasa aku masih ingat banyak route yang mudah-mudahan lepas dari pengamatan tentara Serbia”

“Tapi bukankah selama ini sudah banyak organisasi yang membawa bahan makanan dan obat-obatan ke sana. Bahkan setiap hari ada pesawat transporter yang mendarat di

Sarajevo”.

“Benar Yusuf. Namun kau lihat, yang mereka butuhkan bukan itu. Apa artinya bahan pangan jika setiap hari kota mereka dihujani granat. Yang mereka butuhkan itu senjata!”

“Jadi kau ingin membawa senjata ke sana?”

“Ya!”

“Resikonya sangat tinggi”

“Tentu aku tak sebodoh itu. Bukankah di tengah-tengah terigu, kain terpal dan obat-obatan yang akan dikirim ke sana kita bisa menyelundupkan bahan-bahan fosfor untuk membuat bahan peledak?”

Aku masih menunggu apa kata Ali selanjutnya.

“Kita tidak boleh kehilangan waktu. Selama ini negara-negara Barat, juga negaraku Austria, sekedar menonton atau paling-paling mengeluarkan seruan. Kitalah yang harus berbuat mengatasi kekejaman ini. Demi Allah Yusuf, kalau Ayahku masih hidup, dia pasti akan mengatakan kekejaman Serbia atas Muslim ini sudah melampaui batas kekejaman Nazi di masa lalu”

Aku mengangguk-angguk.

“Yusuf, aku bisa minta bantuanmu kan?”

“Apa yang bisa kuperbuat. Kau tahu, aku ingin sekali berangkat juga ke Bosnia. Tapi mungkin imanku memang masih lemah. Terkadang aku bingung, mana yang harus

kudahulukan. Di sini aku sudah delapan tahun belajar, dan Insya Allah tahun depan aku meraih PhD-ku. Di Indonesia ada ibuku yang sudah renta, dan seorang adik perempuan. Sementara itu jelas, jutaan Muslim di Indonesiapun menunggu buah dari ilmu yang kupelajari di sini. Selain itu aku memang tak pernah memegang senapan. Di Indonesia tak ada wajib militer. Dan menjalankan truck seperti kau aku juga tak bisa.”

“Ya, aku tahu itu. Aku juga tahu, tak sepatahkatapun kau bisa bahasa Yugoslavia. Tidak, kau tak perlu ikut.  Aku malah justru ingin menitipkan Fatimah dan Umar pada keluargamu selama aku pergi. Namun selain itu kalau kau ijinkan, aku ingin meminjam pesawat radiomu, agar aku bisa kontak ke kawan-kawanku di sana, dan juga biar Umar bisa menyampaikan rasa kangennya!”

Jadilah. Keesokkannya, Ali telah siap. Ya rupanya Ali sudah cukup lama mempersiapkan perjalanan itu. Caritas dan Palang Merah Austria memang sejak lama mencari sopir truck yang berani menempuh expedisi yang berbahaya ini. Sarajevo, Gorazde, Mostar adalah kota-kota Bosnia yang sejak enam bulan terakhir ini tak pernah sepi dari hujan granat.

Ali memeluk Fatimah, istrinya yang enam tahun yang lalu dia kenal ketika dia bersamaku tour ke Indonesia.  Kemudian dia bopong Umar, buah hatinya. Diciumnya anak itu. “Baik-baik ya Umar. Jangan lupa, setiap Maghrib berjamaah bersama onkel Yusuf!”. Umar mengangguk.

“Semoga Allah bersama Abah!”, kata bocah itu lirih.

Terlihat linangan air mata di wajah Ali. Sekali lagi bocah itu diciumnya.

“Kita harus segera berangkat!”, kata Marco memecah keharuan suasana. Awak Palang Merah ini melambaikan tangan ke Ali dari cockpit truck. Ali segera menjabat tanganku. “Tolong, jaga istriku baik-baik. Kalau aku tak ada, dia di sini sebatang kara”, pesannya lirih.

“Insya Allah, aku dan Ulfah akan berbuat sebaik-baiknya. Seandainya memang saatnya, maka bersembunyi di balik benteng bajapun kematian akan menjemput kita. Berangkatlah, Allah bersamamu. Oh Ali, aku iri pada kesempatan yang kau dapatkan…” Aku tak mampu menahan air mataku lagi.

Ali memelukku. “Assalaamu ‘alaikum”, katanya.

“Alaikum salam”.

Dengan mantap dia naik ke atas trucknya. Truckpun berangkat.

“Assalaamu ‘alaikum! Mana Mister Haji, di sini Mister Abah sehat wal afiat!” suara itu menyadarkanku dari lamunanku. Umar tampak girang dan segera cerita pada ayahnya apa yang telah dikerjakannya hari itu.

“Siang tadi Umar membantu Umi bikin bakso. Wah bakso Umi lebih enak dari bakso tante Ulfah…. terus tadi pas sembahyang Maghrib, Umar juara adzan lagi…”

Tak lama kemudian Umar memanggilku. “Onkel, Abah mau bicara!”.

Aku mendekat ke radio dan mengambil alih microfon.

“Assalaamu ‘alaikum”

“‘Alaikum salam, apa kabar ya akhi?”, tanyanya.

“Alhamdulillah. Siang tadi kami berhasil lagi mendapatkan beberapa keluarga yang mau menampung para pengungsi dari Bosnia. Anda?”

“Ya, alhamdulillah kami telah selamat mencapai Gorazde. Saat ini muatan sedang diturunkan, dan saya sudah memberi tahu komandan Muslim di sini, bahwa ada beberapa muatan khusus”.

“Allahu akbar”.

“Semoga selama kita bicara ini, tak ada agen rahasia Serbia yang nguping frequensi kita, dan andaipun nguping,semoga dia tak faham bahasa Indonesia…”.

Wah, dalam keadaan gentingpun Ali tetap bisa bergurau.

(bersambung)

Tags: ,

.

Leave a Reply