Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Khalifah Juga Manusia

Thursday, August 30th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Alumnus Vienna University
Peneliti Sejarah Islam.

Konferensi Khilafah Internasional (KKI) yang digagas oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus 2007 lalu mulai menuai bola salju.  Di harian Media Indonesia 24 Agustus 2007 lalu muncul dua tulisan yang mempersoalkan ide-ide HTI.

M. Hasibullah Satrawi (alumnus al-Azhar Kairo) mempertanyakan prosedur pemerintahan seperti apa yang hendak diciptakan?  Satrawi menganggap HTI mengalami kerancuan paradigma, yang di satu sisi ingin menegakkan pemerintahan khilafah (yang menurutnya pada masa awal Islam sarat dengan nilai-nilai demokrasi), tetapi di sisi lain HTI anti demokrasi.  Bahkan dia pertanyakan apakah HTI sama atau memang Khawarij baru – suatu hal yang juga dilontarkan oleh kelompok Salafi.

Sedang Zuhairi Misrawi (Direktur Moderate Muslim Society) menggunakan pendekatan hermeneutik.  Istilah khalifah dan khilafah dikatakan mengalami perkembangan dan partikularisasi, dari “mandat Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia apapun agamanya” menjadi “justifikasi dan legitimasi suatu klan politik”.  Kedaulatan Tuhan atau sistem khilafah menurutnya adalah kalimat mulia tapi maknanya bisa menjadi batil.

Lepas dari soal setuju atau tidak dengan isinya, keberadaan dua tulisan itu dapat bernilai positif, dan justru diharapkan oleh HTI untuk membuka perdebatan ilmiah yang mengandalkan kekuatan logika.  Sepanjang pergumulan saya dengan gerakan HT selama lebih kurang 17 tahun, saya melihat bahwa gerakan ini sangat concern dengan adu argumentasi ilmiah, dan bukan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengandalkan logika kekuatan.  Justru logika kekuatan ini yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh penguasa negeri ini, yang mencekal dan mendeportasi dua pembicara KKI dari Luar Negeri, serta melarang dan menekan beberapa tokoh Dalam Negeri agar tidak berorasi di forum KKI.

Sebenarnya apa yang dipersoalkan oleh dua penulis di atas, sudah terjawab oleh buku-buku HT sendiri.  Dalam buku Ajjihzah daulatih khilafah (Struktur Negara Khilafah) yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir (Internasional) tahun 2005, ditegaskan bahwa sistem khilafah adalah sistem manusia dan bersifat duniawi.  Khalifah juga manusia, dan negara Khilafah bukan negara teokrasi.

Meskipun istilah Khalifah dipakai secara umum di dalam Qur’an Surat al-Baqarah ayat 30 (Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”), namun Rasul telah dengan jelas membatasi istilah itu untuk pemerintahan pasca Nabi.  Nabi bersabda dalam hadits riwayat Muslim: “Dulu Bani Israel diurus dan dipelihara oleh para nabi. Setiap seorang nabi meninggal, nabi yang menggantikannya.  Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah, dan mereka banyak”.  Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang kau perintahkan kepada kami?”  Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka.  Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus”.

Di hadits yang lain Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara, sehingga melarang munculnya kepala negara tandingan.  Dalam hadits riwayat Muslim tersebut Nabi secara eksplisit menggunakan istilah khalifah untuk kepala negara kaum muslimin: Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya”.

Tentang mekanisme pemilihan khalifah, apa yang terjadi pada masa khulafaur Rasyidin, dan diamnya mereka melihat mekanisme pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa keempatnya adalah sah sebagai model.  Hal ini karena ada sabda Nabi: “Ummatku tidak akan sepakat dalam kemungkaran”.  HT menyimpulkan bahwa kesepakatan (ijma’) para sahabat (dan hanya berlaku untuk para sahabat Nabi) adalah sebuah sumber hukum.

Karena itu bagi HT mekanisme itu sangat jelas.  Khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar; atau dengan nominasi khalifah sebelumnya seperti Umar; atau dengan suatu komite pemilihan seperti Utsman atau dengan suatu pengambil alihan di saat terjadi vacuum of power seperti Ali.  Keempat model ini semuanya absah pada saat yang tepat.  Jadi keliru untuk mengatakan bahwa Islam atau sistem khilafah tidak memiliki model suksesi.

Sedang apa yang terjadi di masa dinasti Umayah, Abbasiyah atau Utsmaniyah adalah penyalahgunaan sistem nominasi.  Namun bukan metode nominasinya sendiri yang salah.  Dalam sistem demokrasi juga ada nominasi.  Hampir semua penerus Perdana Menteri pada sistem demokrasi parlementer adalah dinominasikan oleh PM sebelumnya.  Toh nominasi ini hanya akan berjalan dengan baik kalau diterima oleh Parlemen dan diperkuat lagi oleh pemilu berikutnya.

Dalam sistem khilafah, nominasi ini baru akan sah ketika ada baiat.  Baiat adalah semacam kontrak antara umat (yang terwakili oleh tokoh-tokoh kunci kekuatan umat, yaitu di politik atau militer) yang siap taat dan membela seseorang agar menerapkan syariat Islam.  Orang yang menerima baiat itulah yang kemudian menjadi khalifah, atau amirul mukminin, atau sultan atau sebutan lain yang sah.

Sebaiknya kalau kita meneropong suatu sistem pemerintahan, kita jangan hanya terpaku pada sistem suksesinya.  Konstitusi negara manapun tidak hanya mengatur suksesi.  Di UUD 45 hasil amandemen, soal suksesi hanya ada pada 3 pasal dari 37 pasal. Maka, ketika kita menilai kualitas sebuah negara, jangan pula hanya dilihat suksesinya.  Kalau kita mau jujur, Indonesia ini meski sukses melakukan suksesi secara demokratis, tetapi kualitas kehidupan masyarakatnya justru semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita proklamasi.

Sementara, se-despot apapun para khalifah Islam di masa lalu, mereka masih melindungi rakyatnya, mencerdaskannya, menjadikannya sejahtera, dan menorehkan sejarah peradaban emas Islam.  Umar bin Abdul Azis dari bani Umayyah berhasil mensejahterakan rakyatnya dalam 2,5 tahun, padahal waktu itu kekuasaanya membentang dari Spanyol hingga Iraq.  Khalifah al Rasyid dan al Makmun dari bani Abbasiyah mensponsori aktivitas keilmuan yang luar biasa di masanya.  Al Mu’tashim Billah dengan tegas menindak suatu negara boneka Romawi yang serdadunya melakukan pelecehan seksual atas wanita muslimah di negeri itu.  Bayangkan dengan apa yang diperbuat Republik Indonesia yang sangat demokratis pemilunya ini pada ribuan perempuan buruh migran yang tidak cuma dilecehkan namun juga disiksa di luar negeri?   Al Qanuni dari bani Utsmaniyah berhasil menahan – untuk beberapa abad kemudian – laju imperialisme kekaisaran-kekaisaran Eropa saat itu (Habsburg Austria, Tsar Russia, dll).  Andaikata khilafah Utsmani ini tidak pernah ada, barangkali Islam belum berkembang di Indonesia seperti saat ini.

Menganggap sistem khilafah awal sarat dengan nilai-nilai demokrasi justru menunjukkan kebutaan kita terhadap demokrasi.  Demokrasi direduksi hanya dalam proses pemilu (demokrasi prosedural).  Orang-orang Islam liberal pun sangat paham akan hal ini, sehingga merekapun menentang kalau orang hanya menggunakan demokrasi sebatas prosedural.  Padahal dalam demokrasi itu juga ada asas sekulerisme (penetralan kehidupan publik dari acuan agama apapun), asas liberalisme (kebebasan berpikir, berpendapat dan berperilaku sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain) serta asas kapitalisme (pasar bebas dengan modal sebagai panglima).  Demokrasi boleh mempersoalkan apa saja (termasuk Islam), namun tidak boleh mempersoalkan ketiga asas pendampingnya.  Sementara itu ide khilafah yang diusung HT sebenarnya tidak pernah mempersoalkan demokrasi sebagai prosedur, namun menentang keras tiga asas pendampingnya.  Adakah demokrasi tanpa sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme?  Negara mana contohnya?  Kalau anda yakin jawabannya ada, mungkin anda masih bermimpi!

Mengkaji Politik Perindustrian dalam Islam

Wednesday, July 11th, 2007

Dr.-Ing. Fahmi Amhar

Pengajar Program Studi Teknik Industri
Universitas Muhammadiyah Magelang

Pendahuluan

Di negeri-negeri muslim seperti Indonesia, ada beberapa persoalan perindustrian yang sering terangkat ke permukaan.  Persoalan-persoalan ini dapat dikelompokkan dalam tiga besar:

Pertama teori bahwa perindustrian adalah kunci pertumbuhan ekonomi karena dianggap mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.  Namun di sisi lain, hal ini juga menyimpan resiko pada saat krisis ekonomi, seperti tampak dari kasus-kasus perburuhan akibat rasionalisasi atau penutupan pabrik-pabrik.

Kedua adalah pandangan bahwa perindustrian akan mengakselerasi kemampuan teknologi.  Maka tak heran bahwa indikator kemampuan teknologi selalu diukur dari sejauh mana sebuah bangsa atau negara memiliki atau membangun suatu industri strategis secara mandiri, seperti telah dikerjakan pemerintah Orde Baru di Indonesia dengan industri pesawat terbang.

Ketiga adalah keyakinan bahwa perindustrian merupakan asset vital –bahkan strategis- dalam mempertahankan tujuan-tujuan politik dan/atau ekonomi.  Berbagai proyek besar seperti Krakatau Steel, PT Pupuk Sriwijaya, PT Semen Gresik dsb. semua dibuat dalam rangka meraih tujuan-tujuan tersebut secara makro.

 

Fakta teori pertumbuhan ekonomi

Fakta menunjukkan bahwa teori pertumbuhan ekonomi oleh perindustrian kita ternyata hanya sebagian terwujud dalam kenyataan.  Dalam kurun waktu tertentu, perindustrian di Indonesia memang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.  Namun ada beberapa alasan yang menjadikan perindustrian di negeri ini tidak benar-benar mampu menjaga kelanjutan pertumbuhan ekonomi itu, yaitu:

Pertama, meski industri kita ada di negeri ini dan dimiliki warga negara ini, namun nasibnya sering tidak ditentukan di sini.  Teknologi yang dipakai pada umumnya adalah lisensi dari induknya di luar negeri.  Meski alih teknologi telah dijalankan, dan kita pada dasarnya telah mampu membuat sendiri produk tersebut, namun aturan-aturan paten dan rahasia dagang akan menjaga sehingga kita hanya boleh membuat produk itu sesuai aturan lisensi pemilik paten.

Kedua, output produk industri itu sering sangat tergantung pasar ekspor (pasar dunia).  Bahkan beberapa investor sengaja membangun industri di negeri ini hanya untuk pasar ekspor, bahkan dengan merek asing.  Akibatnya, industri semacam ini cukup rentan terhadap berbagai peristiwa internasional.  Jauh sebelum krisis, sudah banyak industri tekstil yang gulung tikar hanya karena quota tekstil di negara tujuan.  Belakangan ada berbagai aturan lain seperti keramahan terhadap lingkungan (eco-labeling), tidak menggunakan tenaga anak-anak (kidsworker-free-labeling), hingga tidak berkaitan dengan terorisme.

Ketiga, bagi investor, Indonesia yang saat ini sedang hiruk pikuk dengan berbagai peristiwa politik ini serta budaya KKN yang tak banyak berubah, dianggap tak lagi menguntungkan secara bisnis, sehingga jangankan warga negara asing, WNI konglomeratpun ada yang justru memindahkan pabriknya ke luar negeri seperti ke Vietnam atau Kamboja yang “ongkos sosialnya” dianggap lebih ringan.  Kasus pabrik sepatu Nike adalah contoh yang cukup besar yang sampai sekarang belum tuntas.

 

Fakta pandangan kebangkitan teknologi

Sementara itu pada aspek kebangkitan teknologi, industri yang ada di negara-negara muslim masih lebih sering baru bisa bermanismuka. 

Fakta, teknologi itu sering hanya ada dalam seminar atau pameran namun jarang ada realita produksinya.  Sebagai contoh: PT Dirgantara sampai “komma” karena kekurangan order (pesawatnya tak laku) padahal pada saat yang sama TNI-AU sampai memesan pesawat tempur Sukhoi dan beberapa helikopter dari Russia.  Demikian juga Mabes Polri telah membeli hampir 18 helikopter dari Amerika Serikat. 

Pertanyaan yang sama terjadi dengan para penemu (inventor) di perguruan-perguruan tinggi ternama di negeri ini.  Meski secara teknis dan ilmiah karya mereka unggul, namun jalan untuk menerapkannya di dunia industri terbentur pada kenyataan, bahwa mayoritas industri besar di negeri ini hanya mau membuat dan menjual produk dengan brand-image kelas dunia.  Itu berarti, temuan-temuan teknologi itu tidak ada artinya, sepanjang tidak menjadi bagian dalam merek-merek dagang internasional.  Pendek kata, para pengusaha dan investor di negeri ini lebih suka meraih profit jangka pendek sebagai pedagang (atau calo) daripada profit jangka panjang sebagai pengusaha.

Aktivitas industri yang berusaha mandiri dengan pengembangan teknologi lebih sering terancam intervensi dari luar.  IMF melarang pemerintah menyuntikkan subsidi lagi untuk BUMN seperti PT Dirgantara Indonesia.  Sementara itu kalangan perbankan enggan mengucurkan kredit pada calon pembeli bus-bus buatan Texmaco Engineering (sebuah perusahaan swasta nasional murni).  Malah justru impor bus bekas yang kini dilakukan, dan Texmaco dibiarkan menjadi pasien BPPN.

Pada sisi lain, aktivitas pengembangan teknologi di negeri ini sering justru larut dalam pola budaya korup yang ada.  Memang, teknologi tinggi hanya bisa dimulai dengan subsidi dari negara.  Namun ini sebenarnya hanya perlu pada tahap inisiasi.  Seharusnya pada level tertentu, teknologi itu sudah mencapai kematangan dan meningkatkan kinerja dalam industri, sehingga penghematan yang dihasilkannya bisa disisihkan untuk pengembangan teknologi lebih lanjut.  Namun yang terjadi, subsidi itu justru membuat para peneliti menjadi malas. 

Di sisi lain, sistem rekrutmen yang ada, seperti pola yang diikuti dalam pegawai negeri sipil (PNS), masih belum mampu membuat para peneliti PNS memiliki komitmen pada aktivitas penelitiannya, terutama yang berhubungan dengan teknologi dan industri.  Yang sering terjadi justru braindrain, yakni mereka yang terbaik akan lari ke luar negeri, bekerja pada perusahaan asing atau bekerja di luar bidang keahliannya.

Pada sisi perburuhan, kemajuan teknologi yang diraih sering justru menempatkan dunia industri pada situasi dilematis.  Pada awalnya, industri bisa didesain untuk berjalan secara padat karya – dan bukan padat modal / padat teknologi.  Namun berbagai peraturan dan standardisasi yang diterapkan agar bisa masuk ke pasar global (seperti kelompok ISO 9000 dan ISO 14000) sulit terpenuhi tanpa penggunaan teknologi yang lebih intensif – dan ini berarti rasionalisasi.

 

Fakta industri dan kemandirian

Akan halnya kemandirian, strategi pembangunan industri ala Orde Baru dengan mencari investor asing baik secara langsung maupun melalui berbagai pinjaman pemerintah dari IGGI, CGI, Paris Club, Word Bank, ADB dan sebagainya, lebih sering justru menjadikan kita sulit menjadi mandiri.

Semua investor asing itu memberikan berbagai syarat yang pasti dalam jangka panjang akan menguntungkan mereka.

Misalnya pada model kontrak BOT (Built-Operation-Transfer), di mana investor akan membangun lebih dahulu dengan jaminan dari pemerintah untuk mengoperasikan proyek itu selama kurun waktu tertentu (10-25 tahun), dan kemudian asset itu dialihkan ke negara.  Sepertinya negara diuntungkan, karena tidak perlu mengeluarkan dana dari APBN untuk pembangunan pertama.  Kemudian proyek itu akan menyerap banyak tenaga kerja dan memasukkan pajak yang juga tidak kecil.  Dan pada akhirnya, proyek itu menjadi milik negara.

Model seperti ini banyak dipakai pada proyek-proyek dengan investasi sangat besar, seperti di Freeport, Arun-LNG dan sejenisnya.  

Namun hampir tak pernah ada akuntabilitas yang sesungguhnya, seberapa besar sebenarnya keuntungan asing dari proyek-proyek semacam itu.  Apalagi biasanya sebelum kontrak pertama berakhir, pihak asing itu sudah akan menyiapkan proyek berikutnya.  Sementara itu, pada saat transfer ke pemerintah, teknologi pada proyek lama sering sudah sangat ketinggalan, atau cadangan sumber daya alam dan lingkungan yang mendukungnya sudah sangat tipis, sehingga proyek itu tidak akan ekonomis lagi. 

Di sisi lain, sistem ekonomi yang ada membuat banyak industri yang semula dinilai strategis, bahkan juga untuk keperluan militer di saat perang, kemudian justru dilego untuk menutup defisit APBN akibat krisis perbankan.  Masih segar ingatan kita akan penjualan Indosat ke STT Singapore, atau sekarang yang masih dalam wacana adalah PT Dirgantara Indonesia.

Walhasil, strategi perindustrian yang ada selama ini belum pernah berhasil menjadikan kita bangsa yang benar-benar mandiri. 

Perindustrian kita gagal menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.  Gagal pula membangkitkan kemampuan teknologi.  Dan teknologi yang telah kita kuasaipun ternyata sulit menjadi andalan perindustrian kita sendiri.

 

Strategi Perindustrian dalam Islam

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan.  Namun bicara tentang perindustrian dalam Islam, orang sering hanya terfokus pada cabang industri yang mendukung aspek ruhiyah Islam, seperti industri penerbitan Islam, industri busana dan asesori muslim, atau industri yang mendukung ibadah haji.

Padahal seharusnya seluruh cabang perindustrian diwajibkan untuk tunduk kepada syariat Islam.  Seluruh cabang industri, baik yang menghasilkan produk untuk konsumen akhir maupun yang menghasilkan alat-alat berat atau bahan baku industri yang lain, seharusnya dibangun dan diatur dalam satu kerangka berpikir dan paradigma yang dilandasi oleh aqidah Islam.

Dengan melihat fakta-fakta di muka, maka bisa kita simpulkan bahwa suatu politik perindustrian dalam Islam akan terkait erat dengan bagaimana merubah pola berpikir dalam masyarakat, dan juga satu set aturan-aturan dalam sistem ekonomi seperti hukum kepemilikan; politik moneter; perdagangan luar negeri; aturan-aturan tentang hak atas kekayaan intelektual (HaKI); dan perburuhan; sampai sistem pendidikan dan sistem politik dan pertahanan.

Paradigma negara dalam Islam adalah untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama, nasab, harta, kemuliaan, keamanan dan negara.  Karena itu, seluruh politik perindustrian akan disinergikan untuk mewujudkan apa yang disebut maqashidus syariah itu.

Perindustrian dikembangkan agar ekonomi bisa berputar, sehingga jiwa-jiwa bisa tertolong (misalnya industri makanan atau obat-obatan), akal bisa dihidupkan (misalnya industri penerbitan Islam serta alat-alat edukasi), kehidupan beragama bisa lebih semarak (misalnya industri konstruksi sarana ibadah atau alat-alat transportasi jamaah haji), kehidupan keluarga lebih harmonis (misalnya industri peralatan untuk bayi dan ibu hamil), dan seterusnya.  Perindustrian diarahkan untuk mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam, baik muslim maupun non muslim.  Tidak ada artinya berproduksi yang berorientasi ekspor, jika pada saat yang sama untuk berbagai kebutuhan yang mendasar harus mengimpor, bila itu sudah bisa dipenuhi kemampuan industri dalam negeri.

Namun pada saat yang sama perindustrian juga dibangun atas dasar strategi dakwah dan jihad, defensif maupun offensif, baik yang sifatnya non fisik maupun fisik.

Dari sisi non fisik, seluruh pembangunan industri harus dibangun dalam paradigma kemandirian.  Tak boleh sedikitpun ada peluang yang akan membuat kita menjadi tergantung kepada orang-orang kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan pinjaman atau ekspor-impor) maupun politik.

… Allah sekali-kali tak akan memberi jalan pada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (Qs. 4:141)

 

Sedang dari sisi fisik, seluruh industri yang ada, harus mampu dimodifikasi untuk menyediakan keperluan untuk jihad pada saat dibutuhkan.  Industri alat-alat berat yang pada saat damai akan membuat kereta api atau alat-alat dapur, pada saat perang harus mampu dengan cepat disulap menjadi industri tank atau senapan otomatis.

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak tahu; sedang Allah mengetahuinya.  Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Qs. 8:60)

 

Kemampuan semacam ini pula yang dimiliki oleh setiap negara industri maju.  Pada saat Perang Dunia Kedua, banyak pabrik panci di Jerman yang oleh Hitler diperintahkan untuk segera menyiapkan puluhan ribu pucuk senapan untuk tentara.  Di Amerika Serikatpun, pabrik-pabrik pesawat seperti Boeing atau Lockheed Martin, memiliki cetak biru baik untuk pesawat sipil maupun militer.  Pada saat Perang Teluk mereka diperintahkan menukar prioritas produksi ke pesanan-pesanan Pentagon.

 

Revolusi Industri

Semua kemampuan tersebut di atas tentu saja tidak bisa didapat kecuali ada suatu revolusi teknologi dan industri.  Pola alih teknologi yang ada selama ini, apalagi dalam frame pinjaman asing, tidak akan pernah membuat kita benar-benar mandiri.  Kita hanya dididik untuk memakai teknologi afkiran produksi negara donor.

Kita hanya akan mampu mandiri, bila kita melalui loncatan teknologi, yaitu sebuah revolusi industri.  Revolusi ini akan terjadi, bila pada masyarakat terdapat pemikiran untuk mandiri, bukan pemikiran untuk tergesa-gesa menikmati.  India dan Cina adalah contoh terbaik abad 20. 

Seorang rekan penulis yang pernah mengunjungi Pusat Ruang Angkasa India menyaksikan, bahwa institusi yang telah berhasil membuat dan meluncurkan sejumlah satelit India itu terkesan amat sederhana.  Bahkan yang berpendingin udara hanyalah ruang pimpinan dan ruang rapat.  Selain itu hanya kipas angin.  Namun yang menyolok, baik AC maupun kipas angin itu, dan juga seluruh fasilitas yang sangat canggih di sana, semua buatan India!  Di jalan-jalan juga jarang disaksikan kendaraan Jepang atau Eropa.  Biarpun belum bisa ngebut “kayak setan”, tapi buatan India! 

Demikian juga Cina.  Ketika Mao Tse Tung ditanya kapan Cina akan melakukan intensifikasi pertanian dengan menggunakan traktor, dia menjawab, “Kita akan pakai traktor, setelah kita bisa bikin traktor!”.

Meskipun demikian, impor barang-barang industri buatan Luar Negeri tetap berstatus mubah seperti hukum asalnya.  Hanya saja, Khalifah berhak mentabanni aturan-aturan yang membatasinya baik itu bersifat bilateral (seperti tarif bea masuk atau quota) maupun unilateral bila itu dipandang perlu untuk melindungi negara Islam.

 

Investasi dan Kepemilikan Industri

Membangun sebuah industri yang mandiri, apalagi itu sebuah revolusi industri, memerlukan investasi yang sangat besar.  Di dunia Barat, investasi itu biasa didapatkan dengan pinjaman dari konsorsium perbankan atau dengan divestasi saham kepemilikan ke publik, misalnya melalui Bursa Efek.  Pada sistem kapitalis, negara hanya menjadi regulator, tidak terlibat langsung.  Maka ketika investor asing masuk ke negeri-negeri Islam, mereka menginginkan sistem yang sama.  Walhasil, industri-industri besar dan padat modal di negeri-negeri ini dimiliki oleh kapitalis-kapitalis besar, yang mayoritas tentu saja orang asing.

Akan sangat berarti bila industri tersebut berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti sektor pertambangan, energi, atau infrastruktur telekomuinikasi; di mana masyarakat yang tidak punya pilihan akhirnya terpaksa membeli dengan harga yang monopolistik.

Islam menetapkan bahwa sejumlah sumber daya tidak bisa dimiliki oleh individu.  Kepemilikannya adalah milik seluruh ummat.  Negara menjadi pengelolanya untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat.  Kalaupun ada individu yang terlibat dalam pencarian, produksi atau distribusinya, maka ia hanya dibayar sesuai dengan kerjanya; bukan dengan pola bagi hasil seperti seakan-akan dia bagian dari pemiliknya.  Karena pada hakekatnya, hak kepemilikan umum tersebut tidak bisa dialihkan kepada siapapun.

Hukum perindustrian dalam sektor yang merupakan kepemilikan umum akan mengikuti hukum asalnya, yaitu hukum kepemilikan umum.  Negaralah yang sebagai pengelolanya akan menghimpun dana guna membangun teknologinya, eksplorasi sumber alamnya hingga distribusinya.  Bila Rasulullah menyebut “air, api dan padang gembalaan”, maka hal ini berarti termasuk seluruh industri pertambangan, pembangkit listrik dan industri pengolahan hasil hutan.  Bila Rasulullah menyebut jalan-jalan yang tidak boleh dikapling-kapling, maka ini berarti termasuk seluruh infrastruktur transportasi dan telekomunikasi.

Bila dikatakan negara tidak punya uang, maka negara bisa menarik pajak secara temporer kepada para aghniya di negeri itu, dan bukan berhutang ke luar negeri, dan bukan pula mengizinkan swasta masuk dengan prinsip BOT ataupun konsesi.

Dan bila dikatakan bahwa industri yang dikelola oleh negara akan tidak efisien dan merupakan ladang KKN, maka pertanyaannya, apakah tidak mungkin swasta juga tidak efisien dan ladang KKN.  Atau jangan-jangan KKN di sektor swasta tidak disebut KKN, karena dianggap milik individu?

Di sini tampak bahwa masalah perindustrian dalam Islam tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus terpadu dalam satu paket dengan aturan-aturan syariah yang lain.  Misalnya aturan-aturan syirkah, perekrutan karyawan, ijarah, pengawasan harta pejabat manajemen; bahkan lebih jauh lagi dengan aturan-aturan pendikan, pergaulan, makanan-minuman dan ibadah.

Yang bisa membuat seluruh aturan-aturan ini terislamisasi tentu saja hanyalah revolusi aqidah pada masyarakat.  Karena seluruh sistem itu, termasuk sistem perindustrian, harus terpancar dari aqidah Islam.  Karena itu, revolusi industri harus didahului dengan revolusi aqidah.  Aqidahlah yang akan membuat kepemimpinan ideologis, sehingga seluruh cara berpikir ummat berubah.

Ini pulalah yang membuat Rasulullah memulai dengan dakwah aqidah yang bersifat ideologis.  Ketika dakwah ini berhasil diemban oleh sebuah negara, maka seluruh politik, termasuk politik perindustrian dilaksanakan di atas dasar ideologi itu, sehingga kemudian makin memperkuat kemandirian negara Islam itu sehingga bisa menundukkan adi kuasa-adi kuasa saat itu.

Masa tersebut akan terulang, bila dakwah kita meniru pola dari Rasulullah.  Wallahu a’lam.

 

Bacaan Lanjut:

Abdurrahman al-Maliki: POLITIK EKONOMI ISLAM (Siyasah Iqtishadiyah al-Musla).  Bangil: Al-Izzah. 2001.

Ahmad Y. al-Hassan dan Donald R. Hill: TEKNOLOGI DALAM SEJARAH ISLAM (Islamic Technology).  Mizan, 1993.

Politik Teknologi & Kekayaan Intelektual

Monday, December 4th, 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar, Peneliti Utama, Bakosurtanal

(Tabloid Suara Islam, minggu 1-2 Desember 2007)

 

Bagi suatu bangsa, teknologi adalah suatu agen ekonomi yang paling signifikan, di samping politik, hukum serta perubahan sosio-kultural.  Karena itu, untuk membangkitkan ekonomi, perlu kebangkitan teknologi.  Apapun ideologi yang dianut suatu bangsa, kebangkitan ekonomi tanpa teknologi sulit dibayangkan. 

Namun politik pengembangan teknologi bagi banyak negara berkembang saat ini dikeluhkan terhambat oleh rezim “hak kekayaan intelektual” (HKI).  Mereka menganggap, hak-hak itu adalah rekayasa negara-negara maju untuk membatasi akses teknologi bagi negara berkembang.  Karena itu ada “perlawanan” pada sebagian mereka dengan membiarkan pembajakan karya berhak-cipta, misalnya buku atau software.  Di sisi lain, negara-negara maju mengklaim, maraknya pelanggaran HKI itu justru akan mematikan potensi teknologi suatu bangsa. 

Karena itu perlu ditelusuri lebih dalam, bagaimana sesungguhnya rezim HKI ini dalam teori dan realita.

 

Teori

HKI adalah pengakuan hukum oleh negara yang memberikan pencipta atau penemu hak mengatur secara eksklusif penggunaan gagasan yang diciptakannya untuk jangka waktu tertentu sebagai kompensasi dari pengumumannya kepada publik (publikasi).  Istilah ‘kekayaan intelektual’ bermakna bahwa hasil pikiran dapat dilindungi oleh hukum sebagaimana bentuk hak milik fisik lainnya.

Hak eksklusif ini secara umum ada dua kategori: pertama: hak eksklusif memperbanyak ciptaan untuk tujuan komersial, tanpa melarang orang lain mengekspresikan ide yang sama dalam bentuk yang berbeda; kedua: hak melarang orang lain mengerjakan sesuatu yang telah didaftarkan, meski mereka belum pernah mendengar atau melihat apa yang diklaim sebagai kekayaan intelektual itu.

Dalam realita, pemilik paten suatu obat misalnya, dapat menghalangi orang lain membuat atau menjual obat itu tanpa seizinnya, namun di sisi lain, sang pemilik itu juga tidak bisa melakukannya sendiri tanpa lisensi khusus dari otoritas pengatur.

Hal ini karena hukum yang mengatur HKI biasanya bersifat teritorial; sehingga dapat berbeda-beda di tiap negara.  Di Indonesia UU HKI mencakup Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri, yang terdiri atas Paten, Merek, Desain Industri, Desain Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman

Hak cipta (copyright) ada pada karya kreatif atau seni (buku, film, musik, lukisan, foto dan software) dan pemegangnya diberi hak eksklusif untuk jangka waktu tertentu mengontrol reproduksi (mengcopy) atau adaptasinya (penerjemahan, pengangkatan buku menjadi film, dsb). 

Paten diberikan untuk penemuan baru yang berguna bagi industri.  Pemiliknya diberi hak eksklusif untuk mengkomersilkan penemuannya untuk 20 tahun sejak tanggal pendaftarannya.

Desain industri memproteksi suatu bentuk alat atau desain (misal spareparts, mebel atau motif tekstil) dari penjiplakan.  Hal sejenis ada pada desain sirkuit terpadu yang dipakai memproduksi chip elektronik.

Varietas tanaman memproteksi dalam jangka waktu tertentu suatu jenis tanaman unggul yang telah didapatkan dari riset yang lama dan mahal.

Merek dagang adalah tanda unik yang diberikan untuk membedakan suatu barang atau jasa dari produsen atau pedagang lainnya.

Rahasia dagang (terkadang disebut pula “confidential information”) adalah suatu rahasia bisnis yang tidak dipublikasikan, namun diketahui orang-orang tertentu di perusahaan itu, dan membocorkannya adalah melanggar hukum, sekalipun orang-orang yang mengetahui itu sudah tidak bekerja di sana.  Rezim HKI memberi kesempatan untuk mencatatkan pada negara apa yang termasuk rahasia dagang itu.

Perlindungan hak cipta biasanya diberikan selama 70 tahun, paten 20 tahun, desain industri, sirkuit terpadu atau varietas tanaman bervariasi – umumnya juga maksimum 20 tahun, sedang merek dagang dan rahasia dagang tidak terbatas.

Dengan mempublikasikan karya-karya intelektual ini – meski dengan membatasi pemanfaatannya – diharapkan para peneliti di seluruh dunia dapat meningkatkan kreatifitasnya, sehingga terus menghasilkan karya-karya baru.  Database paten yang memang terbuka (semacam www.uspto.gov) adalah sumber informasi teknologi terlengkap yang ada di dunia.  Di sana tersedia lebih dari 6 juta deskripsi rinci teknologi – bahkan sebagian besar belum pernah masuk ke pasar, mungkin karena tidak menemukan investornya.

 

Kritik & Kontroversi

Kontroversi terjadi ketika undang-undang HKI mendorong untuk membuat inovasi agar diketahui umum, namun pada saat yang sama memberi pencipta atau penemu hak eksklusif pemanfaatan karya mereka itu untuk jangka waktu tertentu.

Para ekonom kapitalis biasanya meyakinkan bahwa pasar bebas tanpa hak eksklusif akan membawa produksi intelektual yang lebih rendah.  Hal ini karena para pencipta atau penemu itu umumnya bukan pemilik modal besar.  Tanpa perlindungan hukum yang memadai, mereka akan khawatir bila karya ciptaan atau penemuan mereka justru dikomersilkan oleh perusahaan besar, dan perusahaan itulah yang untung besar sedang para pencipta dan penemu hanya mendapat hasil yang pas-pasan.  Dengan menaikkan balasan bagi para penulis, penemu dan penghasil karya intelektual, melalui royalti yang dijamin rezim HKI, maka efisiensi diharapkan akan naik. 

Namun di sisi lain, membatasi penggunaan bebas dari ide dan informasi akan juga menimbulkan biaya, ketika penggunaan teknik terbaik untuk suatu tugas tertentu jadi terhalang.

Masalah ini mencuat karena memang tidak mudah menilai baik biaya menghasilkan maupun manfaat yang didapat dari karya intelektual.  Semua hitung-hitungan selalu didasarkan pada banyak asumsi – yang mungkin benar di lingkungan mikro, namun sulit digeneralisasi secara makro.

Memang ada karya intelektual yang dihasilkan dalam riset yang mahal dan lama (riset obat, bibit unggul atau mesin hemat energi).  Namun ada pula yang ide itu muncul begitu saja, atau didasarkan temuah ilmiah lain yang tidak dilindungi rezim HKI atau telah ditemukan sebelum rezim HKI ada.  Sebagaimana diketahui, penemuan fisika, kimia atau matematika yang tidak secara langsung dapat dimanfaatkan oleh industri, tidak dilindungi HKI, dan hanya konsumsi akademis saja.  Fakta juga, nilai ekonomis karya intelektual sering tidak tergantung biaya pembuatannya.  Penciptaan lagu atau software, terkadang hanya berbiaya kecil, namun memberi penghasilan sangat tinggi.  Margin profitnya jauh lebih tinggi dari margin pada industri manufaktur barang-barang fisik pada umumnya.

Karena itu, bagaimana nilai investasi yang harus dishare oleh pengguna atau investor dalam bentuk royalty itu harus ditentukan?  Di sisi lain investor juga ingin nilai yang diinvestasikan itu kembali.  Dalam lingkup kecil, investor dapat menghitung penghematan yang dia dapatkan dengan karya intelektual itu.  Namun dalam skala besar, hal itu sulit, karena benefit suatu perusahaan juga terkait iklan, persaingan usaha, perkembangan teknologi (yang dapat membuat daluarsa penemuan teknologi sebelumnya) dan kondisi makro ekonomi lainnya.  Bahkan sekedar dalam akuntansi saja, pembukuan asset dari karya intelektual itu tidak mudah.

Di beberapa jenis produk memang ada hubungan antara peningkatan jumlah penemuan dengan introduksi rezim HKI.  Namun pendapat ini digugat orang dengan alasan bahwa wajar bila makin hari makin banyak penemuan teknologi, karena memang elemen yang dapat dikombinasikan semakin banyak.

Yang jelas, di bawah rezim HKI, publik dicegah dari mengambil manfaat dari penggunaan informasi yang dipublikasikan tanpa khawatir melanggar syarat-syarat pemegang HKI.  Biaya yang ditanggung publik juga sulit dikuantifikasi.  Sebaliknya, biaya yang “ditanggung pemegang HKI” sering dipublikasikan.  Bussiness Software Alliance (BSA) yang gencar menyisir pembajakan software mengklaim bahwa di seluruh dunia pembajakan software telah merugikan para penciptanya senilai 29 Milyar Dollar.  Namun tidak pernah dihitung kerugian pengguna akibat software yang dibeli legal namun tidak optimal.

Di dunia, hanya Amerika Serikat dan Inggris yang secara terus menerus menerima laba netto dari HKI dan juga pendukung utama sistem HKI.  Ini yang dicoba diubah oleh negara-negara seperti China, India dan negara berkembang.  Namun “aksi perlawanan” bukan hanya tindakan di negara-negara berkembang.  Banyak kalangan dari negara maju sendiri yang akhirnya melihat ketimpangan rezim HKI, dan lalu berinisiatif membuat jalur alternatif. 

Orang seperti Wilhelm Conrad Roentgen, penemu sinar tembus dari Jerman, menolak usulan agar mempatenkan penemuannya, karena dia ingin mesin itu menjadi wakaf bagi kemanusiaan.

Dalam bidang software, muncul Open Source Society dan Free Software Foundation.  Software bebas copy seperti Linux dengan segala aplikasinya sudah mengkhawatirkan Microsoft, sampai Microsoft di Rusia, Cina, India dan Thailand menawarkan harga khusus super murah kepada instansi pemerintah.

Bahkan World Intelectual Property Organizaiton (WIPO) sendiri telah mengkritik dirinya. Pada 2004 dalam deklarasi Geneva WIPO dianjurkan untuk fokus lebih banyak pada kebutuhan negara bekembang dan untuk melihat HKI sebagai salah satu dari banyak alat untuk pembangunan, dan bukan berhenti pada dirinya sendiri.

Masalahnya, bagi negeri-negeri muslim, lepas dari soal pro atau kontra rezim HKI, sudahkah politik teknologi mereka efektif?  Sudahkan ilmuwan mereka dihargai lebih dari artis, olahragawan atau politisi?  Sudahkah teknolog mereka berkarya untuk memiliki kemerdekaan teknologi, dan bukan sekedar corong produk ber-HKI dari negara-negara maju?