Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for June, 2007

MUHASABAH & DOA

Tuesday, June 26th, 2007

Istighfar

Ya Allah,
Engkau beri kami mata, tapi kami sering gunakan untuk melihat yang tidak pantas kami lihat;
kami tidak menggunakannya untuk membaca ayat-ayat-Mu.
Engkau beri kami telinga, tapi kami sering gunakan untuk mendengar kata sia-sia;
kami tidak menggunakannya untuk mendengar nasehat.
Engkau beri kami lidah, tapi kami sering gunakan untuk berbohong dan menggunjing;
kami tidak menggunakannya untuk berdakwah, saling menasehati dalam kebenaran.
Engkau beri kami tangan, tapi kami sering gunakan untuk menzalimi orang dan menzalimi kami sendiri;
kami tidak menggunakannya untuk menyingkirkan kemungkaran.
Engkau beri kami kaki, tapi kami sering gunakan untuk melangkah menuju tempat maksiat;
kami tidak menggunakannya untuk pergi berjihad.
Engkau beri kami akal, tapi akal itu jarang kami gunakan untuk memikirkan bagaimana berhukum dengan syari’atMu, akal kami yang liar justru sering memakainya untuk memikirkan hal-hal yang kotor dan licik.

Ya Allah, andaikata Engkau cabut itu semua?
Kalau Engkau cabut mata ini, bagaimana kami bisa melihat indahnya dunia?
Kalau Engkau cabut telinga ini, tentu bagi kami dunia ini akan sunyi tanpa nada dan irama?
Kalau Engkau cabut lidah ini, tentu kami tak sanggup teriak minta tolong di kala ada marabahaya?
Kalau Engkau cabut tangan kami, bagaimana akan menangkis serangan yang menghujam dada?
Kalau Engkau cabut kaki kami, kemana kami akan berlari ketika bencana melanda?
Dan kalau Engkau cabut akal kami, kami tak tahu apakah kami ini binatang atau manusia?

Ya Allah

Engkau beri kami usia hingga setua ini, tapi kami sering lalai hingga usia itu berlalu percuma.
Nafas demi nafas Engkau berikan, tapi tidak menjadi amal apapun jua.
Sehat lebih menyertai hari-hari kami, tapi tidak membuat kami ringan untuk berjihad.
Cahaya matahariMu menerangi kami setiap hari, tapi kami justru mencari kegelapan.
Bumi yang Kau sediakan untuk berpijak, sering kami injak-injak dengan penuh kesombongan.
Langit yang Kau ciptakan sebagai atap, jarang mengingatkan kami kepada keagunganMu, padahal kami tidak pernah akan sanggup menguak rahasianya.

Ya Allah, kami sungguh ngeri,
bila detik-demi-detik yang telah Kau berikan,
di akherat nanti menuntut mengapa dia kami sia-siakan,
bila setiap molekul oksigen-Mu yang pernah kami hirup dengan cuma-cuma,
di hari kiamat nanti menuntut kami mengapa dia kami gunakan untuk maksiat kepada-Mu ya Allah,
bila kesehatan kami akan meringankan timbangan amal kami,
karena selama kami di dunia kami anggap ringan sehat pemberian-Mu ini ya Allah,
bila cahaya matahari-Mu membakar kami di padang mahsyar,
karena cahayanya yang ramah setiap pagi tidak menjadikan- kami mengingat kasih sayang-Mu,
bila bumi yang perkasa menghimpit kami di alam kubur,
karena selama di dunia kami dengan congkak berjalan di punggungnya,
bila langit yang agung menimpa kami di hari kiamat,
karena kami lupa keangungan penciptanya.

Ya Allah,

Orang tua sangat menyayangi kami, tapi kami hampir tak pernah membalas budi mereka.
Saudara dan kerabat menjaga kami  sejak kecil, tapi kami lama tidak bertutur sapa dengan mereka.
Tetangga menjaga rumah kami kalau kami pergi, tapi kami jarang peduli dengan kesulitan mereka.
Teman sejawat selalu membantu, tapi kami hanya ingat padanya ketika kami butuh lagi pertolongan mereka.
Pasangan hidup mendampingi kami di kala suka dan duka, tapi kami sering berkhayal pada orang selain dia.
Anak-anak kami adalah harapan kami kelak,
tapi kami tidak memperkenalkan mereka pada Tuhan dan Rasul Teladan mereka.

Ya Allah, Bila engkau cabut nikmat ini,

Andaikata dulu ibu kami mengaborsi kami,
lewat siapa lagi kami harapkan curahan Kasihmu ya Allah?

Andaikata kerabat kami memusuhi kami,
lewat siapa lagi kami harapkan Kau menanggung kami ya Allah?

Andaikata tetangga kami tak lagi peduli pada kami,
lewat siapa lagi kami harapkan Kau jaga rumah dan keluarga kami ya Allah?

Andaikata teman sejawat kami mengucilkan kami,
lewat siapa lagi kami harapkan Kau beri kesempatan kami maju ya Allah?

Andaikata pasangan hidup kami selingkuh di belakang kami,
lewat siapa lagi kami harapkan cinta-Mu ya Allah?

Andaikata anak-anak kami semua durhaka melawan kami,
lewat siapa lagi kami harapkan kebahagiaan dalam hidup kami dariMu ya Allah?

Oh Ya Allah, Ampunilah kami ya Allah,
selama ini kami tak juga mensyukuri nikmat yang begitu besar ini ya Allah.

Ya Allah

Engkau telah beri kami nikmat yang tak terhingga.
Engkau mengeluarkan kami dari rahim ibu kami tanpa membawa apa-apa.
Namun kini kadang-kadang ada makanan yang lezat terhidang di hadapan kami,
ada pakaian yang bagus menghiasi tubuh kami,
ada rumah tempat kami berlindung dari hujan dan terik matahari,
kami mudah menggunakan kendaraan ke tempat yang kami mau,
ada sejumlah uang di dompet atau rekening kami,
Dan ada pula sedikit banyak penghormatan yang disematkan orang pada kami,
Tapi mengapa kami masih suka mengeluh ya Allah, seakan nikmatMu tiada cukup,
Mengapa selama ini kami tak pandai mensyukurinya ya Allah?

Makanan lezat itu tidak membuat tubuh kami makin giat beribadah.
Pakaian bagus itu tidak membuat kami tergerak untuk menghias jalan-Mu.
Rumah megah itu tidak bercahaya oleh bacaan Qur’an dan Majlis orang-orang shaleh.
Kendaraan itu tidak membawa kami ke majlis ilmu maupun ladang-ladang jihad.
Uang yang banyak itu belum menjadi manfaat bagi kaum dhuafa atau anak-anak yatim.
Apalagi kehormatan ini, orang bertanya siapa yang telah mereguk manfaatnya.

Ya Allah,

Padahal mudah sekali bagiMu untuk meminta kembali apa yang Engkau titipkan,
Kau bisa kirim bakteri, sehingga makanan ini jadi berbahaya bagi manusia,
Kau bisa kirim jamur sehingga pakaian ini menjadi kusam dan busuk baunya,
Kau bisa kirim api, sehingga rumah ini terbakar sempurna,
Kau bisa kirim bencana, sehingga kendaraan itu rusak binasa,
Kau bisa kirim banyak masalah, sehingga uang yang banyak itu ludes seketika,
Kau bisa buka aib kami pada manusia, sehingga dari kehormatan itu justru malu yang ada,
Ya Allah, Engkau begitu menyayangi kami, sungguh kami manusia yang durhaka.

Ya Allah

Kau curahkan ilmu kepada kami, tetapi ilmu itu belum banyak kami amalkan dan kami gunakan untuk membawa manusia agar selalu ingat kepada-Mu.
Kau mudahkan kami sholat, tetapi sholat itu belum membuat kami mampu mencegah perbuatan yang keji dan mungkar; pula sholat kami jauh dari khusyu’.
Kau mudahkan kami puasa, tetapi puasa kami belum membuat kami mencintai orang-orang yang lapar dan dahaga bertahun-tahun lamanya.
Kau mudahkan kami shodaqoh, tetapi masih terselip perasaan riya’ di dada.
Kau mudahkan kami berzikir, tetapi zikir kami sebatas di masjid dan rumah-rumah saja.

Sungguh malu kami menghadapMu ya Allah, apalagi memohon sesuatu kepadaMu.
Tapi bila tidak kepadaMu, kepada siapa lagi kami harus memohon?
Kabulkanlah permohonan kami yang hina berikut ini ya Allah.

Duhai Allah,

Jadikanlah mata ini penglihatanMu ya Allah, agar ia hanya melihat hal-hal yang halal dilihatnya.
Jadikanlah telinga ini pendengaranMu ya Allah, agar ia hanya mendengar hal-hal yang halal didengarnya.
Jadikanlah lidah ini gaung wahyuMu, agar manusia hanya merasakan kedamaian dan cinta dariMu.
Jadikanlah tangan ini perpanjangan Kasih SayangMu ya Allah.
Perjalankanlah kaki ini ke tempat-tempat yang Engkau ridha.
Dan selimuti akal ini selalu dalam cahaya kebijaksanaanMu – wahai Al-Hakim.

Duhai Allah,

Jadikanlah agar ilmu yang Kau bagi pada kami, bermanfaat dan menyelamatkan kami di dunia dan di akherat.
Jadikanlah agar harta yang Kau titipkan pada kami, selalu barokah bagi manusia, terutama kaum dhuafa.
Jadikanlah agar jabatan yang Kau amanahkan pada kami, senantiasa kami gunakan untuk melayani ummat, melindungi yang lemah dan tertindas, dengan menerapkan syari’atMu.
Jadikanlah keluarga kami keluarga yang penuh cinta, sakinah-mawaddah wa rahmah.
Jadikanlah anak-anak kami anak-anak sholeh, yang doanya akan menerangi kubur-kubur kami.
Jadikanlah makanan yang kami makan energi ibadah kami.
Jadikanlah pakaian yang kami pakai, manifestasi ketaqwaaan kami.

Duhai Allah,

Berilah pada mereka yang kesempitan, hati dan dunia yang lapang.
Berilah pada mereka yang sakit, kesembuhan dan sehat yang tidak melenakan.
Berilah pada mereka yang miskin, kekayaan yang tidak melalaikan.
Berilah pada mereka yang tertindas, kemerdekaan yang tidak memperdayakan.
Berilah pada mereka yang sendirian, jodoh-jodoh yang kepadaMu akan saling mendekatkan.

Duhai Allah,

Berilah hidayah pada para pemimpin kami, agar mereka mengurus dan melayani kami dengan syariatMu yang penuh berkah, dan jadilahkan kami bersatu dalam menerapkan syariatMu ya Allah.
Kami rindu dengan Rasulullah, dengan Khulafaur Rasyidin, dengan para Khalifah,

dengan keadilan, kemakmuran dan keberkahan yang diciptakan oleh penerapan SyariahMu,
dengan keberanian Thariq bin Ziyad ketika membakar kapalnya untuk menghapus keraguan pasukannya;
dengan kesederhanaan Umar bin Abdul Aziz sehingga rakyat tak ada lagi yang pantas menerima zakat;
dengan kejeniusan Harun ar-Rasyid ketika membangun pusat-pusat ilmu pengetahuan di Baghdad;
dengan ketegasan al-Mu’tashim Billah yang menyerbu Romawi untuk membela kehormatan seorang muslimah;
dengan kemuliaan jihad Salahuddin al-Ayubi ketika memperlakukan Richard Lion Heart yang terluka;
dengan keyakinan Muhammad al-Fatih ketika masuk Konstantinopel untuk memenuhi nubuwah Rasul;
dengan ketegasan Sultan Abdul Hamid ketika menolak tawaran-tawaran zionis di Palestina;
Berilah kami nikmat sebagaimana Engkau telah beri nikmat kepada mereka ya Allah.
Kami yakin bahwa RasulMu benar, Khilafah ala minhajin Nubuwwah akan datang lagi,

Berilah kesempatan kami untuk menyaksikan kebesaranMu itu ya Allah,
dan berilah kami kekuatan dan kesabaran untuk menyumbangkan harta dan jiwa kami dalam perjuangan itu.
Amien ya Rabbal Alamien

Antisipasi Perubahan Iklim

Sunday, June 10th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Pada tahun 1970-an setiap murid SD selalu mendengar dari guru IPA-nya bahwa Indonesia mengalami musim kemarau pada bulan April hingga Oktober, dan musim penghujan dari Oktober hingga April.  Musim ini diselingi perubahan arah angin dan cuaca yang khas yang disebut pancaroba.  Namun kini, musim kita tampaknya semakin ”kacau”.  Di Jawa, hujan lebat masih turun disertai angin kencang hingga Juni ini – sehingga kita sebut ”kemarau basah”.  Sementara itu, di bulan Desember tahun lalu masih banyak sawah yang kekeringan karena hujan belum juga turun.

Fenomena ini sebenarnya sudah cukup lama diprediksi para ahli, bahkan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) sampai membentuk ”badan dunia untuk kerangka kesepakatan atas perubahan iklim” atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dalam pertemuan puncak di Rio de Janeiro tahun 1992.

Pertumbuhan penduduk dan peningkatan standar hidup telah memacu peningkatan penggunaan energi, yang dampaknya meningkatkan kadar gas karbon dioksida (CO2) di atmosfir.  Gas ini menimbulkan efek rumah kaca (greenhouse-effect) yaitu memerangkap panas dari sinar matahari, sehingga secara keseluruhan suhu atmosfir bumi meningkat.  Beberapa teori memprediksi kondisi ini akan mencairkan salju abadi di kutub-kutub atau gunung-gunung tinggi, sehingga paras laut naik, pulau-pulau kecil tenggelam dan pada saat yang sama gurun pasir meluas, masa tanam mundur dan kebakaran hutan lebih sering terjadi.  Kebakaran hutan akan menimbulkan efek berantai yaitu semakin menambah kadar gas rumah kaca tadi.

Banyak ahli mengembangkan model-model untuk mempelajari dan menghitung efek perubahan iklim ini.  Mereka kesulitan dalam mengkalibrasi model-model itu guna menentukan model mana yang paling tepat.  Hal ini karena data untuk menghitung jumlah CO2 (Greenhouse-gas Inventory) yang ada di tiap tempat dari waktu ke waktu dianggap kurang memadai atau penuh dengan asumsi.  Sejumlah ahli bahkan masih percaya bahwa naiknya CO2 akan secara alami disetimbangkan oleh lautan.  Naiknya CO2 membuat air laut lebih reaktif dan mengikat CO2 tersebut.  Mereka menduga bahwa di masa lampau, di saat aktivitas vulkanik gunung-gunung berapi masih sangat tinggi, tentu CO2 di atmosfir juga jauh lebih tinggi dari sekarang.  Persoalannya, berapa lama kesetimbangan alam itu akan tercipta kembali, dan apakah manusia bisa bertahan melewati masa adaptasi tersebut?

Pada 1997 di Kyoto Jepang ditandatangani protokol untuk mengurangi kadar CO2 (disebut Kyoto Protocol).  Namun sayangnya dua negara besar yaitu China dan Amerika Serikat menolak meratifikasi protokol itu, walau dengan alasan yang berbeda.  China berposisi bahwa aktivitas ekonominya masih jauh di bawah negara-negara industri maju.  Pengurangan CO2 berarti menutup kesempatan rakyat China untuk menikmati standar hidup yang lebih baik.  Sedang pemerintah Bush lebih percaya penasehatnya yang menolak keabsahan model-model iklim itu. 

Faktanya, selama ini AS adalah “juara” penghasil CO2, yaitu 39% dunia.  Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia.  Artinya, jumlah CO2 dari seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%.

Mereka yang percaya perubahan iklim global bahkan telah mengembangkan model-model dampak sosial-ekonomi perubahan ini.  Misalnya naiknya suhu rata-rata 2º Celcius saja akan membuat sekian puluh juta penduduk pantai di daerah tropis semakin miskin karena kehilangan habitat dan matapencahariannya akibat makin seringnya gelombang pasang terjadi – seperti pernah mengejutkan kita beberapa waktu yang lalu. 

Negara-negara maju anggota UNFCCC pada awalnya punya komitmen untuk membantu secara finansial negara-negara berkembang dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim ini.  Untuk itu negara-negara berkembang diwajibkan untuk melakukan sejumlah hal seperti menjaga hutan-hutannya serta menyerahkan data Greenhouse gas-inventory.

Namun setelah sepuluh tahun Kyoto Protokol, negara-negara berkembang semakin sadar bahwa ada faktor-faktor institusional yang sangat sulit diatasi, yaitu: (1) negara-negara industri terdepan di dunia (dikenal dengan G-8) sudah berada pada “zona nyaman”, sehingga malas untuk berubah; (2) di dunia saat ini tidak ada skema ekonomi alternatif yang berskala global; dan (3) PBB ternyata tidak punya kapasitas politik yang cukup.  Faktanya, politik PBB dan ekonomi dunia saat ini sangat ditentukan oleh politik dan aktivitas korporasi Amerika Serikat – yang menolak meratifikasi protokol Kyoto tadi.

Maka semakin jelas bahwa untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran ekologis, perlu paradigma dan sistem politik dan ekonomi global yang baru.  Sistem politik dan ekonomi kapitalistis-sekuler terbukti gagal.  Perlu ada sistem alternatif yang bersandar kepada Sang Pencipta Yang Maha Tahu.  Allah berfirman:

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30: 41)

Sistem alternatif bagi dunia yang sekaligus adalah sistem satu-satunya bagi kaum muslimin itu adalah sistem pemerintahan Islam global (khilafah).  Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh khilafah akan mengatasi masalah CO2 ini sejak dari akarnya.  CO2 akan dikurangi dari sisi demand maupun supply. 

Dari sisi demand: CO2 dihasilkan dari penggunaan energi konvensional (minya, gas, batubara).  Semakin materialis gaya hidup seseorang, makin banyak energi dihabiskannya dan semakin banyak pula CO2 akan dibuangnya.  Dengan digantinya paradigma kebahagiaan dengan paradigma Islam, maka sekaligus dua masalah teratasi: kebutuhan energi dan CO2.  Bentuk mengurangi demand ini bisa berupa penataan ruang baik makro maupun mikro yang lebih baik, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk transportasi, penerangan atau penyejuk udara. 

Sedang dari sisi supply, penggunaan energi terbarukan seperti energi surya dalam berbagai bentuknya (solar-cell, solar-farm, solar-tank), energi angin (wind-farm), energi air (dari mikrohidro sampai PLTA), energi ombak, energi suhu laut (Ocean-Thermal-Energi-Conversion, OTEC), pasang surut, panas bumi (geothermal) hingga bio-energi (biomass, biogas, biofuel hingga enegi otot hewan) dapat membantu menurunkan penggunaan energi konvensional, dan pada akhirnya mengantisipasi perubahan iklim.

Gelombang Pasang & Perlindungan Pantai

Sunday, June 10th, 2007

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Jum’at 18 Mei 2007 dan sebagian hingga Senin 21 Mei 2007, berbagai daerah di Indonesia dikejutkan oleh gelombang pasang.  Ombak setinggi 2-3 meter telah menyapu kawasan pantai, bahkan masuk ke daratan hingga 50-200 meter.  Berbeda dengan tsunami yang selalu didahului dengan gempa di dasar laut, gelombang pasang ini praktis tidak terdeteksi dari awal.  Akibatnya penduduk pantai hanya dapat pasrah menyaksikan rumah-rumah mereka tergerus gelombang, tambak mereka rusak, dan perahu-perahu mereka terseret ke tengah laut.

Banyak teori dilontarkan untuk menjelaskan fenomena alam tersebut.  Teori-teori ini dibangun dari analisis data yang ada, yang meliputi data pasang surut paras laut, kecepatan angin hingga temperatur permukaan laut.  Tidak semua analisis itu dianggap memuaskan oleh para ilmuwan.  Di antara teori tersebut yang paling kuat adalah bahwa gelombang pasang ini merupakan sinergi dari tiga fenomena yang terjadi serentak yakni: (1) Pasang tertinggi yang terjadi setiap 18,6 tahun sekali.  Pada 17 Mei terjadi bulan baru sehingga bumi segaris lurus dengan bulan dan matahari pada jarak terdekat (perigeum), sehingga kombinasi gravitasi keduanya mampu mengangkat air hingga mencapai pasang maksimal.  (2) Gelombang Kelvin – yakni gelombang di samudra atau atmosfir yang mengimbangi gaya Coriolis (gaya akibat rotasi bumi).  Gaya ini mengarah dari masing-masing kutub ke equator dengan tendensi ke timur dengan kecepatan tetap, hingga membentur pantai atau saling berbenturan dengan gelombang Kelvin dari arah yang berlawanan di equator. (3) Gelombang Swell, yaitu gelombang akibat tiupan angin dengan skala yang lebih besar daripada riak (ripples).  Angin terjadi karena perbedaan tekanan udara akibat perbedaan pemananasan.  Perbedaan pemanasan ini antara lain diakibatkan oleh perbedaan liputan awan yang berbeda.

Sinergi tiga kekuatan ini (pasang surut, rotasi bumi, dan angin) yang masing-masing pada kondisi maksimum, menghasilkan gelombang yang maksimum pula.  Ketika gelombang ini bertemu topografi dasar laut yang melandai di dekat pantai, puncak gelombang ini akan tampak membesar, sehingga ketika menghantam pantai menimbulkan bencana yang mengerikan.

 

Perlindungan Pantai

Lepas dari penyebab gelombang pasang dan mekanismenya yang barangkali masih menarik bagi para peneliti hingga beberapa saat ke depan, yang harus kita siapkan adalah sistem antisipasinya.  Perlindungan kawasan pantai memang sudah saatnya menjadi perhatian serius negeri ini, mengingat panjang garis pantainya lebih dari 81.000 kilometer.  Gelombang pasang, tsunami, dan abrasi mengancam di banyak lokasi.  Lebih dari itu perubahan ekosistem pantai karena pendangkalan (sedimentasi) maupun pencemaran masih terus terjadi.

Sistem pertahanan alam yang paling efektif sebenarnya adalah hutan bakau (mangrove).  Keberadaan mangrove di lepas pantai dapat meredam gelombang pasang bahkan tsunami hingga kekuatannya tinggal sepertiganya.  Keberadaan mangrove juga mampu menjaga lingkungan pantai dari abrasi.  Mangrove juga menjadi habitat dari banyak organisme pantai, sehingga kerusakan mangrove bisa berarti kepunahan keragaman hayati.

Namun derap kapitalisme telah membuat kerusakan mangrove kita sangat cepat.  Selain terjadi konversi besar-besaran area mangrove menjadi tambak atau pemukiman, kerusakan mangrove juga terjadi karena penjarahan untuk dijadikan kayu bakar akibat mahalnya bahan bakar minyak.  Di beberapa lokasi, pantai bahkan diurug (direklamasi) dengan mengorbankan lahan yang sebelumnya tumbuh mangrove.

Saat ini tidak mudah untuk mendapatkan data luas mangrove yang tersisa secara nasional, apalagi mendapatkan data perkembangannya dari tahun ke tahun.  Kerusakan memang kasat mata bila kita mendatangi lokasi-lokasi yang dulu diketahui memiliki mangrove, namun untuk menghitungnya secara nasional diperlukan data dari citra satelit. Karena ”sabuk” mangrove di pantai sebenarnya tidak terlalu lebar, maka perlu citra satelit resolusi tinggi untuk dapat merekamnya. 

Untuk dapat melakukan pencegahan atau mitigasi dari bencana yang mengancam kawasan pantai, pemerintah dapat melakukan pemetaan daerah rawan (zonasi).  Secara umum, kawasan-kawasan budidaya (permukiman, tambak, infrastruktur) di pantai yang landai, menghadap laut lepas tanpa pelindung seperti pulau atau karang, serta tidak memiliki mangrove, adalah zona-zona rawan.  Kawasan itu perlu mendapatkan persiapan khusus untuk menghadapi bencana dari arah laut. 

Selain mitigasi, sistem peringatan dini (early warning system) sebaiknya juga dibangun.  Pasca tsunami Aceh 2004, memang ada usaha dari pemerintah untuk membangun TEWS (tsunami early warning system).  Hanya saja sistem yang terdiri dari GPS, seismometer, sensor tekanan air di dasar laut, stasiun pasang surut dan super komputer ini memang belum tuntas terkoneksi satu dengan yang lain, apalagi siap dioperasikan di lapangan.  Namun andaikata sudah lengkappun, sistem ini hanya efektif untuk tsunami, belum untuk gelombang pasang.

Untuk gelombang pasang sepertinya perlu ada tambahan dan modifikasi di beberapa elemen TEWS.  Sistem ini misalnya harus memasukkan data pantauan temperatur laut hingga ribuan mil di seputar Indonesia, sehingga munculnya gelombang Swell dapat terdeteksi.  Pelampung (buoys) yang terhubung ke sensor tekanan dasar laut juga mestinya tidak hanya berfungsi sebagai pengirim data ke pusat pengolah data TEWS namun juga sensor gelombang itu sendiri.  Bahkan jumlah buoys ini harus ditambah cukup signifikan untuk ”memagari” pantai kita – tidak hanya menghadap ke arah patahan lempeng kontinen yang potensial terjadi gempa dan tsunami, tetapi juga ke segala arah potensial datangnya gelombang Kelvin dan gelombang Swell. 

Yang disesalkan, andaikata sistem ini telah terbangun, kita bisa jadi belum bisa merawatnya.  Tanpa edukasi ke masyarakat yang intensif, sistem ini barangkali dalam waktu singkat akan tidak operasional lagi.  Saat ini saja, banyak buoys milik Dirjen Perhubungan Laut yang hilang dicuri orang, padahal buoys itu hanya berfungsi sebagai rambu-rambu pelayaran dan tidak memiliki komponen elektronik yang mahal seperti untuk TEWS.

Dengan demikian, perlindungan pantai memang memerlukan tindakan yang komprehensif.  Teknologi bisa saja berguna untuk meredam dampak bencana.  Namun dalam jangka panjang perlu langkah-langkah rekondisi masyarakat agar mereka peduli bencana, termasuk hanya mengkonversi kawasan pantai dengan menyiapkan mitigasinya, tidak merusak atau menghilangkan alat-alat yang dipasang untuk sistem peringatan dini, juga tidak membuat politik ekonomi yang berakibat mangrove semakin cepat musnah.

Sementara itu hanya dengan penerapan syariat Islam yang mengatur masalah pantai sebagai kepemilikan umum (yang siapapun seharusnya memiliki akses dan menarik manfaatnya), sehingga tidak secara sembrono dikonversi menuruti keinginan para kapitalis, maka pantai kita akan lebih lestari, untuk dapat kita wariskan ke anak cucu kita.

 Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah Peneliti Utama dan Kepala Balai Penelitian Geomatika Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional.  Tulisan ini adalah pendapat pribadi.