Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for April, 2008

Satelit Surveillance

Tuesday, April 8th, 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Dari zaman dulu, hampir setiap manusia ingin mengamati lingkungan sekitarnya.  Setiap raja ingin memantau baik kondisi fisik maupun sosial wilayah kekuasaannya.  Ketika dunia memasuki era ruang angkasa tahun 1950-an, impian itu mulai menjadi kenyataan.  Sejak itu sudah ribuan satelit buatan yang diluncurkan ke orbit atau bahkan ke bulan dan planet-planet lain.  Meski semula menjadi dominasi dunia militer, lambat laun teknologi pemantauan bumi menjadi kebutuhan sehari-hari.  Dunia penerbangan, pelayaran dan pertanian tak bisa lepas dari ramalan cuaca yang sebagian besar datanya berasal dari satelit cuaca.  Dunia bisnis properti juga semakin akrab memakai citra satelit beresolusi tinggi.  Kemudian sejak beberapa tahun yang lalu, citra satelit bahkan dapat diakses semua orang lewat internet, sejak Google membuat layanan earth.google.com yang gratis.

Tak heran bahwa di tanah air, muncul obsesi memiliki satelit pemantau (surveillance satellite) sendiri untuk memantau seluruh penjuru Nusantara.  Dengan satelit ini diharapkan pelanggaran wilayah laut oleh kapal-kapal asing, baik penyelundupan maupun penangkapan ikan secara liar (illegal fishing), pembalakan hutan (illegal logging), penambangan liar (illegal mining) hingga bencana alam, kecelakaan transportasi dan kerusuhan dapat dimonitor secara terus menerus.

Pertanyaannya, masuk akalkah impian ini? Bagaimana sebenarnya sistem pengawasan melalui satelit saat ini?

Teknologi Satelit

Bila kita bicara satelit, kita mengenal setidaknya enam jenis satelit.  Yang paling awal adalah satelit untuk tujuan mempelajari ruang angkasa.  Inilah satelit pertama yaitu SPUTNIK yang diluncurkan Uni Soviet tahun 1959, juga satelit stasiun ruang angka internasional (International Space Station ISS) yang sekarang menjadi tempat kerja sejumlah astronot Amerika, Eropa, Rusia dan Jepang.

Yang kedua adalah satelit telekomunikasi, sebagai contoh adalah satelit Palapa yang dibeli Indonesia pada 1970-an dan sudah disusul berbagai generasi.  Satelit jenis inilah yang faktanya paling populer.  Di beberapa kalangan, bila bicara satelit, yang dimaksud adalah antena parabola penerima siaran televisi yang dipancarkan dari satelit.

Yang ketiga adalah satelit navigasi, yang kini semakin populer dengan semakin murahnya harga sistem penentu posisi global (Global Positioning System, GPS) yang mengandalkan satelit yang dipasang militer AS namun dapat dipakai kalangan sipil di seluruh dunia dengan akurasi lebih rendah.

Yang keempat adalah satelit militer yang dibekali dengan senjata laser.  Inilah proyek star wars Ronald Reagan, presiden Amerika tahun 1980-an di era Perang Dingin.

Yang kelima adalah satelit pemantau langit atau satelit astronomi, misalnya pembawa teleskop “Hubble”, radio-astronomy “Hyparchos” atau pemantau matahari “Soho”.

Dan yang terakhir adalah satelit pemantau bumi, sesuai missi NASA yang beralih dari misi ke planet lain ke “Mission to Planet Earth”.  Dan inilah yang akan dibahas pada tulisan ini.

Satelit Pemantau Bumi

Sebelumnya perlu diketahui bahwa untuk memantau bumi, satelit harus terbang pada ketinggian orbit tertentu.  Makin jelas objek yang ingin dipantau, makin rendah orbit itu.  Namun makin rendah orbitnya, area cakupannya makin sempit, dan kunjungan ulang (revisit) pada daerah yang sama makin lama.  Ini sesuatu yang saling bertentangan dengan keinginan kita.  Kita maunya melihat seluruh nusantara, detil, dan terus menerus sepanjang waktu.

Satelit pemantau cuaca global seperti Meteosat, harus dipasang pada orbit geostasioner pada ketinggian 36000 Km di atas permukaan bumi.  Satelit ini praktis diam di atas satu titik dan dapat melihat sepertiga permukaan bumi terus menerus.  Namun titik elemen gambar (pixel) yang terlihat sangat kasar (sekitar 8 km x 8 km).  Satelit cuaca ini dapat memantau pergerakan awan, namun tidak bisa melihat kapal induk apalagi mobil.

Satelit yang agak lebih detil, misalnya NOAA, ada pada orbit kutub setinggi 870 Km dan pixel 1 km x 1 km.  Satelit ini biasanya dipakai untuk mengenali gunung es atau titik api (hotspot) pada kebakaran hutan.  Namun untuk kehalusan  seperti itu, NOAA sudah tidak geostasioner lagi.  Dia mengelilingi bumi sehari beberapa kali untuk selalu dapat memantau daerah yang sedang siang hari.  Akibatnya tempat yang sama baru dilintasi ulang setelah 101-102 jam (4 hari).

Untuk pemantauan sporadis, cukup banyak data satelit yang dapat kita beli, seperti LANDSAT dari NASA yang lazim dipakai Departemen Kehutanan untuk memantau perubahan landcover terutama kawasan hutan.  Satelit ini terbang pada orbit setinggi 185 Km dengan revisit tiap 16 hari.  Besar pixelnya adalah 30 x 30 m.

Selain LANDSAT ada juga satelit SPOT dari Perancis, Aster dan ALOS dari Jepang, dan IKONOS serta Quickbird dari Amerika.  Saat ini satelit sipil yang pixelnya paling halus adalah Quickbird, yakni 60 cm x 60 cm.  Sebuah mobil akan kelihatan cukup jelas pada satelit ini.  Namun tempat yang sama baru akan dikunjungi lagi kurang lebih setelah dua bulan!

Semua satelit di atas memiliki sensor optis, yang bilamana permukaan bumi tertutup awan atau asap mereka tidak mampu menembusnya.  Oleh sebab itu sangat sulit untuk memantau suatu daerah terus menerus, karena selain kunjungan ulang baru setelah 4-60 hari, juga ada kendala awan atau asap.

Yang mampu tembus awan adalah satelit dengan sensor radar, misalnya Radarsat (Canada), ERS (Eropa), ALOS-Palsar (Jepang) dan TerrasarX (Jerman).  Citra radar ini membutuhkan SDM dengan kemampuan interpretasi yang lebih canggih, karena sifat-sifatnya sangat berbeda dengan citra optis biasa.

Namun baik sensor optis maupun radar, semuanya tidak akan mampu memantau permukaan nusantara secara terus menerus sekaligus.  Mereka harus senantiasa mengelilingi bumi, sehingga rata-rata suatu lokasi di nusantara baru dapat dicitra ulang paling cepat 4 hari sekali.  Adapun bila akan dicitra seluruhnya, masih akan memerlukan waktu minimal 3-4 bulan karena kemampuan teknis satelit yang masih terbatas.

Menuju Kemandirian Satelit.

Untuk wilayah Nusantara, sistem pengawasan terus menerus yang ada hanyalah dari satelit cuaca internasional (Meteosat, NOAA-AS, atau FengYun-Cina).  Penerimaan data satelit ini dilakukan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).  Mereka menerima data ini dalam suatu kerjasama ilmiah, di mana BMG atau LAPAN wajib membiayai sendiri perawatan sistem penerima data dan membagi hasil analisisnya ke komunitas internasional.

Untuk Landsat atau SPOT, LAPAN pernah menggunakan sistem sewa tahunan (sekitar US$ 1 juta untuk Landsat).  Setelah itu LAPAN berhak menjual data Landsat yang diterimanya (yaitu hanya atas wilayah Indonesia) kepada pihak ketiga.

Untuk citra satelit lainnya (Ikonos, ALOS, TerrasarX, dsb), biasanya dilakukan by project (kasus), scene by scene.  Ada yang didapatkan dalam kerjasama ilmiah, namun pada umumnya suatu scene citra dibeli secara komersial (Ikonos sekitar US$ 26 / Km2 dan minimal US$ 2000, ALOS-avnir sekitar ¥ 5 / Km2 dan minimal ¥ 25000, sedang TerrasarX sekitar € 2.5 per km2, minimal 1 scene seluas sekitar 1800 Km2).  Bila pengguna di dalam negeri semakin banyak dapat kita hitung berapa devisa yang harus dikeluarkan untuk impor citra satelit resolusi tinggi.

Kalau kita asumsikan daerah darat dan laut nusantara yang akan dipantau itu seluas 5 juta Km2, maka pencitraan dengan TerrasarX minimal sekali setahun akan menghabiskan dana € 12,5 juta atau Rp. 175 Milyar.  Namun citra TerrasarX yang tembus awan ini mesti dilengkapi dengan misalnya ALOS atau IKONOS untuk beberapa analisis.  Kalau diasumsikan wilayah perkotaan kita adalah 10% daratan Indonesia harus “disapu” dengan I

Jembatan Selat Sunda

Tuesday, April 8th, 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.

 

Konon pada zaman es, pulau Sumatra, Jawa, dan Bali masih terhubung daratan dengan benua Asia.  Karena itulah hewan-hewan di wilayah ini ada kemiripan.  Kini, kondisi itu dimimpikan muncul lagi, setidaknya dalam wujud jembatan yang menghubungkan Malaysia dengan Riau melalui sejumlah pulau di Selat Malaka, kemudian jembatan Sumatra-Jawa melintasi Selat Sunda, jembatan Jawa-Madura (sedang dibuat dalam proyek Suramadu) dan jembatan Jawa-Bali.  Jadi nantinya, untuk ke Bali, turis dari Eropa dapat naik mobil saja, sekalipun ada kemungkinan lebih mahal daripada naik pesawat.

Ide jembatan Selat Sunda menghangat lagi ketika akhir-akhir ini cuaca buruk berkali-kali membuat kapal-kapal feri terlambat.  Akibatnya antrian penyeberangan mengular hingga 15 Km atau 2-3 hari, dari semula hanya 2-3 jam saja.  Kalau yang antri itu truk pengangkut ayam potong, bisa-bisa ayam-ayam tersebut sudah mati duluan karena lemas atau kelaparan.  Cuaca buruk juga sempat membuat pasokan batubara untuk PLTU Suralaya terganggu, dan Jawa mengalami krisis listrik.

Tahun 1960, Prof. Sediyatmo (yang namanya diabadikan untuk jalan tol bandara SukarnoHatta) sudah melontarkan gagasan jembatan Selat Sunda.  Tahun 1986 BPPT ditugaskan Presiden Soeharto mengkaji penghubung Tri-Nusa-Bima-Sakti (Sumatra-Jawa-Madura-Bali).  Waktu itu yang sempat mengemuka adalah terowongan.  Namun ide terowongan akhirnya disingkirkan dengan sejumlah alasan: adanya palung sedalam 150 meter dengan lebar hingga 4 Km yang membuat panjang terowongan menjadi 2x panjang jembatan (biaya lebih besar), terowongan hanya dapat dilalui kereta listrik (sehingga mobil atau truk harus dinaikkan keatas kereta seperti pada terowongan Selat Kanal yang menghubungkan Inggris-Perancis) dan terowongan tidak dapat menjadi landmark.

Jarak terpendek di Selat Sunda: 27 km, dengan pulau-pulau di antaranya: Sangiang, Rimau Balak, Sebuku, Sebesi, Ular, Tempurung dan Krakatau.

Jalur terpendek in menurut survei geologi dan vulkanologi sudah cukup aman.  Jalur subduksi Sunda yang rawan gempa ada jauh di selatan.   Demikian juga gunung Krakatau berada cukup jauh.  Namun demikian konstruksi jembatan harus dirancang tahan tsunami, yang diramalkan dapat terjadi bila Krakatau meletus lagi kurang lebih tahun 2300-an.  Memang masih lama, namun untuk ukuran jembatan, 300 tahun “relatif muda”.  Di Eropa ada sejumlah jembatan yang telah berdiri sejak zaman Romawi Kuno.

Yang menjadi pertimbangan juga adalah arus laut (0.95 m/s) dan kecepatan angin (15-18 knots).  Desain konstruksi harus memiliki kekuatan yang tahan 3x arus dan angin tersebut.  Memang belum ada pengukuran dalam skala yang diperlukan untuk elevasi pasang surut, tinggi dan perioda gelombang, arah/kecepatan angin dan arus, curah hujan, kelembaban, suhu, tekanan udara dan penyinaran matahari.

Model jembatan yang didesain adalah kombinasi jembatan cancang dan jembatan gantung.  Karena Selat Sunda ada pada jalur internasional (Alur Laut Kepulauan Indonesia), maka Organisasi Hidrografi Internasional (IHO) maupun Organisasi Maritim Internasional (IMO) meminta bahwa di bawah jembatan utama harus bebas (clearance) setinggi 100 meter!  Dengan demikian kapal tanker atau kapal induk terbesar di dunia pun dapat melintas dengan aman di bawahnya. Untuk itu bentang jembatan utama kira-kira akan sepanjang 3300 m.  Jembatan gantung terpanjang di Indonesia saat ini baru 350 m!   Namun di dunia saat ini jembatan dengan bentang 3300 m sudah ada, yakni yang menghubungkan Italia dengan pulau Sicilia di Messina.

Menurut Dr. Pariatmono, Asisten Deputi Menristek urusan Promosi dan Komersialisasi Iptek, BPPT melalui Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Industri dan Sistem Transportasi telah melakukan kajian yang cukup intensif atas jembatan-jembatan antar pulau. Sebagian yang telah dilaksanakan adalah jembatan Suramadu (dalam proses) dan jembatan Batam-Rempang-Galang (Barelang) yang telah selesai dan beroperasi.  Kajian yang perlu dilakukan sebelum jembatan antar pulau dibangun meliputi kondisi alam (topografi darat, geologi, geomarine, geofisik, geoteknik), teknis struktur (aerodinamika, getaran) dan sosial ekonomi (lalu lintas, perkembangan wilayah).

Kompleksitas pembangunan jembatan Selat Sunda membuat prediksi biaya yang dibutuhkannya sangat tinggi.  Hitungan dari Prof. Wiratman (guru besar teknik sipil ITB) biayanya sekitar US$ 8 Milyar.  Sedang hitungan konsorsium dari AS, Korea dan Jerman, sekitar US$ 15 Milyar, namun dengan desain multiguna, jadi jembatan bukan hanya untuk lalu lintas jalan raya (tol), namun juga untuk kereta api, kabel-kabel listrik, fiber optik, pipa BBM, pipa gas dan bahkan untuk pengendara motor, sepeda dan pejalan kaki.  Dengan saat ini sekitar 4 juta motor per tahun yang menyeberangi selat Sunda, jelas rancangan multiguna ini cukup menarik.  PLTU besar bahkan dapat dibangun di dekat tambang batubara di Sumatera, sedang yang ke Jawa cukup kabel listrik saja.

Meski benefit secara nasional cukup besar, namun dengan kemampuan APBN yang ada sekarang, beranikah pemerintah segera membangun jembatan ini?  Kalau jembatan ini dibangun dalam 5 tahun, maka setiap tahun harus dianggarkan dana sekitar Rp 25 Trilyun?  Ini sudah 70% anggaran Departemen Pekerjaan Umum untuk membangun dan merawat jalan negara, jembatan dan infrastruktur lainnya di seluruh Indonesia.

Karena itu Presiden SBY menyambut baik inisiatif group Artha Graha (milik Tommy Winata) dan Media Group (milik Surya Paloh) untuk membangun jembatan Selat Sunda ini dengan prinsip Building – Operation – Transfer (BOT). Jadi jembatan dibangun oleh swasta, dioperasikan dengan sistem konsesi selama 30 tahun, baru kemudian diserahkan kepada negara.  Namun tentu saja swasta cerdik juga.  Dia tidak hanya meminta konsesinya seperti lazimnya membangun jalan tol, namun juga meminta kompensasi lahan di Banten dan Lampung masing-masing 10.000 hektar dan bagian dari sumberdaya alam di kedua provinsi itu.

Tinggal pemerintah sebagai pengurus dan pelindung masyarakat harus lebih cerdik lagi.  Jangan sampai nanti lahan 20.000 hektar sudah diberikan dan oleh mereka sudah dijadikan real estate dengan total nilai lebih dari Rp. 100 Trilyun, namun jembatannya tidak jadi-jadi.  Sekarang saja, jembatan Suramadu mengalami hal sejenis.  Biaya membengkak terus dengan berbagai alasan.  Di Jakarta bahkan proyek monorel yang jauh lebih sederhana juga terbengkelai.  Di banyak tempat di Kalimantan atau Sumatra, proyek pertambangan atau perkebunan tidak sukses, karena pengusahanya sebenarnya hanya mengincar kayu yang akan digundulinya dulu dari area hutan yang konon potensial untuk perkebunan atau pertambangan tersebut.  Kata Nabi, tidak boleh seorang muslim itu terperosok dalam lubang ular dua kali

Berbagi dengan Smart Card

Tuesday, April 8th, 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.

 

Kalau ditanyakan ke siswa Sekolah Dasar, apa dari kemampuan aritmetika dasar yang tersulit: penambahan, pengurangan, perkalian atau pembagian, jawabannya jelas: pembagian.  Dan ini ternyata berlanjut sampai siswa tadi menjadi para pejabat publik.  Mereka tak mengalami kesulitan untuk menambahkan (menaikkan) harga BBM, mengurangi subsidi, atau mengalikan tunjangan anggota Dewan dengan jumlah kursi yang dimiliki.  Namun mereka seperti kesemutan ketika harus membagi keuntungan dari asset-asset publik kepada para pemiliknya, yaitu rakyat.

Selama ini, pembagian tersebut banyak diserahkan pada mekanisme pasar, sebagaimana prinsip kapitalisme.  BBM dengan harga yang relatif murah (dibandingkan harga di pasar dunia) dijual di SPBU, dan siapapun dapat membelinya, berapapun banyaknya.  Walhasil, pemilik mobil Cherokee (yang seliter premium hanya untuk tiga kilometer) dapat menikmati subsidi BBM jauh lebih banyak dari pemilik motor (seliter premium untuk tigapuluh kilometer).  Mereka yang tak punya kendaraan bermotor, tinggal di gunung, dan jarang pula bepergian, tidak mencicipi sedikitpun subsidi BBM itu.

Memang ada pembagian yang bersifat langsung, tidak dengan mekanisme ekonomi.  Contohnya dulu dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau yang sering kita saksikan: operasi pasar minyak goreng atau pembagian zakat / daging Qurban.  Pembagian ini biasanya diawali dengan pendaftaran rumah tangga miskin atau mustahiq melalui RT.  Mereka ini lalu diberi kupon untuk mengambil BLT, membeli minyak goreng sesuai kupon atau jatah zakat.  Meski sebenarnya sudah pasti kebagian, acara pembagian ini hampir selalu dihiasi dengan antri panjang, kacau atau orang-orang yang pingsan karena kecapaian.  Mereka yang tidak sabar menunggu giliran ada yang lalu menjual kuponnya ke orang lain dengan harga miring.

Salah satu teknologi yang diusulkan dalam pembagian BBM adalah smartcard.  Idenya, dengan smartcard dapat diidentifikasi secara cepat orang yang akan menerima pembagian (dalam hal ini jatah BBM) termasuk jatah yang telah digunakan.  Hanya pemilik smartcard (yaitu yang secara teori dianggap pantas menerima subsidi BBM) yang dapat membeli BBM dengan harga bersubsidi pada volume tertentu.  Lebih dari limit volume itu, BBM harus dibeli dengan harga komersial.

Model hitungannya begini: Pada APBN-P 2007, subsidi BBM adalah Rp 61,84 Trilyun dari total subsidi 102,92 Trilyun.  Subsidi lainnya meliputi subsidi listrik, pangan, pupuk dll.  Menurut data BPS-2004, jumlah rumah tangga ada 52.904.295 rumah tangga.  Sedang menurut Indonesia Energy Outlook & Statistics 2006 (Pengkajian Energi UI), komposisi konsumsi BBM 2007 adalah: Industri 98,93 MB, Komersial 7,59 MB, Rumah Tangga 67,68 MB, Transportasi 225,40 MB dan Listrik 51,08 MB.  MB adalah Juta Barrel per tahun.  Dari komposisi tersebut yang langsung ke rakyat adalah sektor Rumah Tangga (minyak tanah) dan transportasi (SPBU).  Pada sektor ini pula saat ini subsidi BBM ada.  Dengan demikian, bila 61,84 Trilyun subsidi BBM dibagi rata ke jumlah rumah tangga, didapatkan angka Rp. 1.168.846 / rumah tangga. Nilai subsidi inilah yang akan disimpan dalam setiap smartcard yang dibagikan ke seluruh rumah tangga.  Bila minyak tanah atau bensin dihargai pasar dunia yaitu Rp. 7500, maka nilai subsidi di tiap smartcard ini mencukupi untuk membeli 90 liter minyak tanah dan 144 liter bensin seharga Rp. 2500/liter.  Jumlah 90 liter minyak tanah cukup untuk memasak setahun bagi rumah tangga kecil, dan 144 liter bensin cukup untuk naik motor ke tempat kerja sejauh 12 Km pp setiap hari selama setahun.

Tentu saja hitungan tadi mengabaikan kenyataan bahwa tarif angkutan umum atau angkutan sembako akan naik, kecuali kalau untuk angkutan tersebut ada suatu “smartcard khusus”.  Yang jelas, SPBU yang dapat melayani pembelian dengan smartcard harus lebih dulu dilengkapi dengan komputer pembaca smartcard.  Ini tentu saja memerlukan biaya baru, yang bila dibebankan kepada pemilik SPBU tentu jadi alasan penolakan mereka.  Memikirkan kerumitan ini, tak heran bila asosiasi pemilik SPBU lebih suka harga BBM dinaikkan saja.  Mereka tidak mau pusing, karena tujuan bisnis mereka yang penting dapat untung.

Tentu saja, teknologi smartcard tidak dapat mencegah jika smartcard dipinjamkan, disewakan atau bahkan dijual dari pemiliknya yang asli ke orang lain.  Kalau orang memang tidak butuh BBM karena energinya dapat dipenuhi sendiri, ya tak ada salahnya dia “menukarkan” subsidi dalam smartcard itu secara cash.  Kita ingat pada era Bantuan Langsung Tunai (BLT), ada sejumlah orang yang ingin dapat duit segera sehingga menggadaikan kupon BLT-nya.  Smartcard BBM memang tidak akan diikat dengan identitas biometrik (seperti sidik jari) supaya tidak membuat orang terlalu repot dengan harus selalu hadir sendiri setiap membeli BBM, padahal seharusnya bisa diwakilkan ke anggota keluarganya yang lain.  Namun ini dapat menyebabkan sasaran meleset.

Kalau diikat dengan biometrik, ya tidak perlu smartcard lagi.  Langsung saja sidik jari itu yang dipakai kemana-mana guna mendapatkan pelayanan apapun.  Namun dengan 220 juta penduduk, saat ini bukan tugas ringan bagi suatu jaringan superkomputer untuk setiap saat mengidentifikasi jutaan sidik jari yang harus dilayani.  Jadilah saat ini teknologi smartcard yang dilirik.

Namun secara umum, teknologi smartcard sebenarnya luar biasa, terutama bila diintegrasikan dengan sistem informasi penduduk.  Setiap orang dibuatkan smartcard sejak lahir, dengan nomor unik (single identity number) yang akan terus dipakai sampai mati.  Smartcard anak yang belum dewasa akan dipegang orang tuanya.  Pada saat pembuatan, data smartcard dikunci dengan biometriknya, sehingga bila hilang atau rusak, bisa dibuatkan lagi.

Smartcard ini mirip kartu ATM, memiliki chip yang dapat menampung berbagai informasi pribadi pemiliknya.  Informasi yang dapat dimasukkan hanya dibatasi imajinasi sang penyelenggara sistem.  Karena dapat terhubung ke berbagai sistem komputer dengan satu identitias tunggal, maka dari satu layar terminal saja kita dapat mengetahui riwayat kesehatannya, pendidikannya, pekerjaannya, pernikahannya, tempat tinggalnya, catatan kepolisiannya, keluarganya, rekeningnya di Bank, status langganan PLN, PAM dan teleponnya, dan seterusnya.  Jadi smartcard ini adalah akte kelahiran sekaligus KTP, SIM, ID-kantor, kartu askes, kartu kredit dan sebagainya.

Catatan-catatan ini, bila berada di tangan lembaga yang tepat dan orang yang berwenang, tentu akan sangat memudahkannya dalam melayani yang bersangkutan.  Bila seseorang melamar kerja atau meminta bantuan sosial, pihak pemberi keputusan dapat dengan cepat melihat apakah yang bersangkutan “tidak bermasalah” dan “layak diberi bantuan”.

Namun bila catatan ini jatuh di lembaga yang salah atau orang yang tidak berwenang, keberadaan smartcard bisa menjadi bumerang yang menjadikan hidupnya sempit.

Ada suatu illustrasi sebagai berikut: Suatu hari seseorang menelepon suatu warung Pizza untuk pesan.  Si pelayan pertama-tama menanyakan nomor smartcard nya.  Maka begitu dijawab, si pelayan langsung tahu, siapa orang tersebut dan di mana alamatnya.  Ketika orang tadi pesan jenis pizza tertentu, si pelayan langsung menjawab bahwa itu bukan ide baik, karena jenis pizza tersebut memiliki kandungan kolestrol yang cukup tinggi, sedang di komputer ketahuan catatan medis orang tersebut.  Saat orang tadi tanya, terus apa yang direkomendasikan, si pelayan menjawab “pizza Hokkian:.  Dari mana dia tahu?  Dari komputer ketahuan bahwa si pemesan baru saja meminjam buku tentang “Diet Hokkian” dari perpustakaan.  Ketika akhirnya pesan, si pelayan minta agar cash, tidak bisa kredit, karena di komputer ketahuan juga bahwa limit kreditnya telah terlampaui.  Si pemesan mengalah, dia akan bayar cash kalau pesanan sampai.  Si pelayan mengatakan, kalau ditunggu, baru 45 menit pizza akan diantar, tetapi kalau datang langsung paling cuma 5 menit. Si pemesan heran, darimana tahu cuma 5 menit?  Si pelayan tahu, si pemesan punya motor berikut nomor polisinya.  Mendengar itu si pemesan memaki-maki si pelayan yang “sok tahu”, karena mungkin motornya lagi dipakai orang lain.  Si pelayan dengan sabar menjawab agar si pemesan lebih hati-hati bicara, karena dari komputer juga ketahuan bahwa si pemesan pernah berurusan dengan polisi dengan pasal penghinaan …

Kita tahu bahwa smartcard-BBM tidak akan secanggih cerita itu.  Idenya hanya untuk membagi hak atas BBM pada rakyat, sehingga semua rakyat tercukupi kebutuhan asasinya akan energi, tanpa menghalangi mereka untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya dengan harga pasar.  Namun di lapangan tentu ini tidak mudah.

Barangkali lebih mudah membagikan kekayaan publik itu dalam totalitas layanan: listrik dan gas ke rumah-rumah, sarana pendidikan, kesehatan dan ibadah yang gratis dan sarana transportasi umum yang murah.  Untuk memasak di rumah ada gas, walaupun terbatas.  Untuk bepergian ada angkutan umum murah.  Untuk sekolah anak dan berobat juga sudah gratis.  Kalau sudah begitu, BBM mau naik ikut harga dunia, mungkin rakyat kecil sudah tidak begitu mikirin …