Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for November, 2010

PENANGGULANGAN BENCANA; Persoalan Fokus, Organisasi dan Anggaran

Sunday, November 7th, 2010

Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Bakosurtanal

Indonesia adalah supermarket bencana.  Belum selesai longsor di Wasior Papua teratasi, Gunung Merapi meletus, Gempa dan tsunami terjadi di Mentawai, dan Jakarta justru tenggelam dalam banjir.  Sebenarnya, bencana (hazard) tidak harus menjadi malapetaka (disaster) selama kapasitas teknis maupun manusia di dalamnya cukup untuk mengantisipasinya.  Curah hujan yang tinggi tidak akan menjadi malapetaka bila sistem drainase bagus.  Longsor dan Gunung Meletus dapat dihindari dengan mengevakuasi atau memindahkan permukiman secara permanen ke daerah aman.  Gempa bisa dihadapi dengan bangunan tahan gempa.  Tsunami bisa diantisipasi dengan sistem peringatan dini dan pelatihan (tsunami drill) yang teratur.

Tetapi meski telah memiliki UU no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan telah dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tapi kapasitas bangsa ini dalam menanggulangi bencana nyaris belum banyak berubah.  Akibatnya upaya-upaya mengatasi bencana ini dikeluhkan banyak pihak masih jauh dari optimal.  Memang upaya penanggulangan bencana adalah juga tanggungjawab masyarakat – dalam bentuk edukasi dan gotong royong, namun tidak disangsikan bahwa pemerintah memiliki kemampuan yang paling besar.  Pemerintah memiliki organisasi yang paling besar.  Ada empat juta PNS dan setengah juta lebih anggota TNI dan POLRI.  Pemerintah juga memiliki APBN dalam orde Trilyun.  Ini semua jauh di atas seluruh LSM bersama-sama.

Penulis melihat ada tiga hal yang perlu lebih diperhatikan secara serius oleh Pemerintah agar upaya-upaya penanggulangan bencana ini ke depan lebih optimal.

Pertama masalah fokus.  Fokus ini nanti akan mempengaruhi pola organisasi dan anggaran.  Tidak pelak lagi, yang namanya bencana tidak bisa direncanakan seperti pesta pernikahan.  Oleh sebab itu, banyak pihak tidak sabar, dan akhirnya hanya fokus dalam tanggap darurat saja.  Padahal penanggulangan bencana memiliki setidaknya tiga siklus: pencegahan – tanggap darurat – pemulihan.  Selama tidak ada kejadian yang memerlukan tanggap darurat, seharusnya ada upaya-upaya permanen untuk pencegahan.  Memeriksa secara teratur sistem drainase, menguji kehandalan pencatat pasang surut, hingga melatih semua PNS, pelajar dan mahasiswa secara teratur dan sistemik untuk tanggap darurat – sesuai tipe bencana yang mungkin dihadapi di daerah itu, adalah contoh-contoh upaya pencegahan.

Kedua masalah organisasi.  Karena fokus penanggulangan bencana hanya pada tanggap darurat, tak heran bahwa organisasi BNPB ataupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hanya diisi dengan personel dan peralatan ala kadarnya.  Mereka lebih mengandalkan pada personil yang dipinjam dari instansi lain seperti dari Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, bahkan hingga BPPT atau Bakosurtanal dalam bentuk Tim Satuan Respon Cepat (SRC) atau Taruna Siaga Bencana (TAGANA).  Teorinya, personil pinjaman ini sudah sepakat siap dikerahkan sewaktu-waktu ada bencana.  Kenyataan di lapangan tidak semudah itu.  Kadang-kadang anggota SRC ataupun TAGANA sedang menghadapi tugas pokok sehari-hari di instansinya.  Dan tidak selalu mudah untuk setiap saat meninggalkan tugas pokoknya tersebut dan dikerahkan ke daerah bencana.  Apalagi kalau sudah menjelang akhir tahun, di mana tugas-tugas menumpuk dan harus ada laporan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan di depan auditor, yang tentu saja hanya akan menilai kinerja berdasarkan tupoksi tiap instansi.  Organisasi yang kurang fokus ini juga menyebabkan rekrutmen personel BNPB atau BPBD belum berdasarkan kompetensi – atau bahkan sertifikasi.  Personel PNS limpahan dari instansi lain masih ada yang “personel sisa”, bukan personel terbaik yang tahan banting.  Dari sisi organisasi ini, harus diakui bahwa TNI memiliki organisasi dan personel terlatih yang paling siap melakukan tanggap darurat.

Ketiga masalah anggaran.  Bencana terjadi tidak mengikuti tahun anggaran.  Serapan anggaran untuk penanggulangan bencana tidak dapat linier seperti proyek-proyek normal.  Misalnya ada aturan Kementerian Keuangan yang mengharuskan tgl 15 Desember sudah “saldo besi”.  Bagaimana bila bencana terjadi setelah tanggal itu, seperti tsunami Aceh 26 Desember 2004 lalu?  Aturan umum dalam penyerapan anggaran yang linier membuat institusi yang menyiapkan SRC dan TAGANA tidak bisa berbuat banyak ketika bencana terjadi di penghujung tahun.  Ini menjadi lebih rumit ketika masih ada egoisme sektoral, sehingga banyak kantor BNPB / BPBD yang hingga kini masih numpang dan juga di lokasi yang kurang nyaman untuk didatangi.

Mudah-mudahan Pemerintah, dapat melihat persoalan ini secara jernih, sehingga kendala fokus, organisasi, anggaran, dan egoisme sektoral dapat diurai, korban bencana dapat lebih cepat ditolong dan masyarakat secara umum dapat ditingkatkan kapasitasnya menghadapi bencana.

Musik yang tidak melalaikan

Sunday, November 7th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Dewasa ini nyaris tidak ada orang yang tidak mengenal musik dalam berbagai bentuknya.  Musik hadir tidak cuma di acara seni, budaya atau pesta, namun juga di upacara kenegaraan, olahraga, berita televisi, hingga acara-acara keagamaan.  Kalau di agama Nasrani atau Hindu, musik memang dari dulu bagian integral dari ritual.  Namun meski tidak menjadi rukun ibadah, makin banyak acara keislaman yang diiringi dengan musik.  Alhamdulillah, belum perlu ada sholat atau khutbah yang diiringi musik.  Kalau seperti itu jelas bid’ah.  Namun cobalah tengok berbagai majelis dzikir, tabligh akbar atau istighotsah.  Makin banyak suara musik yang menjadi latar agar persiapan lebih syahdu, agar pergantian acara lebih segar, atau agar suasana do’a lebih berkesan.

Sebagian orang menyangka bahwa musik memang terkait hadharah, dan orang Islam tidak pantas ikut-ikutan.  Sebagian ulama bahkan dengan tegas mengharamkan musik.  Namun kalau kita merujuk kepada nash, akan ditemukan sejumlah dalil di mana Rasul membolehkan bahkan menganjurkan memainkan musik, seperti saat hari raya, atau saat ada pesta pernikahan.  Tentu saja, kehalalan ini bersyarat, yakni tidak ada isi lagu atau syair yang bertentangan dengan Islam, tidak ada aurat yang dipamerkan, tidak ada ikhtilat (campur aduk antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram) dan tidak menghabiskan waktu dengan musik sampai melalaikan berbagai kewajiban syar’i.  Kalau syarat ini tidak dipenuhi, niscaya musik itu akan melalaikan manusia dari cahaya iman, dari dakwah, dari jihad, bahkan dari memenuhi kewajiban fardhiyahnya.  Musik jadi isi hidupnya.  Musik bermetamorfosis menjadi agamanya.  Dan para musisi menjadi para Nabi atau bahkan Tuhan yang disembahnya.  Inilah yang terjadi di dunia Barat sekarang ini.

Ketika Khilafah Islam jaya, musik tidak pernah menjadi sesuatu yang melalaikan.  Bahkan kaum muslimin pernah ikut berkontribusi dalam teknologi musik.

Sejumlah besar alat musik yang dipakai di musik klasik Barat dipercaya berasal dari alat musik Arab.  Lute  berasal dari “al-‘ud”, rebec (pendahulu dari violin) dari “rabab”, guitar  dari “qitara”, naker  dari “naqareh”, adufe  dari “al-duff”, alboka  dari “al-buq”, anafil  dari “al-nafir”, exabeba (flute)  dari “al-syabbaba”, atabal (bass drum)  dari “al-tabl”, atambal  dari “al-tinbal”, sonajas de azofar  dari “sunuj al-sufr”, dan masih puluhan alat musik lainnya yang ternyata berakar dari alat musik Arab.

Mengapa bisa demikian?  Apakah karena memang orang Arab dulu senang dengan musik?  Ternyata kalau cuma itu halnya, pastilah musik mereka tidak akan mendunia.

Penyebabnya ada dua: Pertama, adalah kenyataan bahwa musik Arab itu dimainkan oleh masyarakat dari negeri yang luar biasa.  Negeri Daulah Khilafah saat itu kenyataannya adalah negara paling kuat, paling adil, dan paling makmur di muka bumi.  Maka orang-orang asing, termasuk orang-orang Barat sangat ingin meniru apa saja yang mereka lihat di negeri itu.  Karena aqidah tidak kasat mata, yang kasat mata antara lain adalah alat musik, maka mereka meniru musik ini.  Fenomena ini mirip saat ini banyak orang-orang dari negeri muslim yang ingin meniru musik apa saja dari Amerika, yang diyakininya masih sebagai negara paling kuat, paling demokratis dan paling makmur di muka bumi.

Kedua, adalah kenyataan bahwa teori musik banyak ditemukan oleh orang Islam.  Meninski dalam bukunya Thesaurus Linguarum Orientalum (1680)  dan Laborde dalam tulisannya Essai sur la Musique Ancienne et Moderne (1780)  sepakat bahwa asal-muasal notasi musik Solfège  (do, re, mi, fa, sol, la, si) diturunkan dari huruf-huruf Arab sistem “solmization” Durar-Mufassalat (dāl, rā’, mīm, fā’, ṣād, lām, tā’) yang bermakna “mutiara yang terpisah”.  Setiap huruf memiliki frekuensi getar dalam perbandingan logaritmis dengan huruf sebelumnya.  Maka tak heran bahwa di zaman peradaban Islam, para penemu teori musik ini umumnya juga matematikawan.

Kehebatan musik dari negara Khilafah bertahan sampai abad-18 M, yakni ketika militer Utsmaniyah sebagai militer terkuat di dunia memiliki marching band yang hebat, bahkan ini dianggap marching-band militer tertua di dunia.  Orang Barat menyangka, bahwa semangat jihad yang menyala-nyala dari tentara Utsmaniyah ini ditunjang atau bahkan dilahirkan oleh musik militernya.  Padahal sejatinya, aqidah Islam dan semangat mencari syahidlah yang membuat militer ini jadi hebat.  Ketika belakangan aqidah dan semangat mencari syahid ini mengendur, militer ini tinggal marching-band-nya saja yang hebat L.

Marching-band ini dijuluki dengan istilah Persia “Mehler”.  Instrument yang digunakan oleh Mehler adalah Bass-drum (timpani), Kettledrum (nakare), Frame-drum (davul), Cumbals (zil), Oboes, Flutes, Zuma, “Boru” (semacam terompet), Triangle dan “Cevgen” (semacam tongkat kecil yang membawa bel).  Marching-band militer ini menginspirasi banyak bangsa Barat, bahkan juga menginspirasi para komponis orkestra Barat seperti Wolfgang Amedeus Mozart (1756-1791) dan Ludwig van Beethoven (1770-1827).

Orang yang menyambungkan nafas

Sunday, November 7th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Apakah anda termasuk tipe orang yang sehat, yaitu yang berpandangan hidup positif, cukup gizi, dan cukup gerak?  Dewasa ini makin banyak orang yang kurang gerak.  Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di atas kursi atau kendaraan.  Bahkan untuk jarak tak sampai seratus meter saja, ada yang memilih naik kendaraan bermotor.  Walhasil mereka lebih mudah tersengal-sengal ketika harus berjalan kaki saat tak ada kendaraan, apalagi berlari-lari mengejar pesawat.  Karena itu makin banyak pula yang mengalami keluhan pada organ pernafasannya, baik yang ringan seperti tenggorokan, maupun yang berat seperti jantung.  Serangan jantung menjadi pembunuh nomor satu.  Dan operasi jantung menjadi rutinitas.

Namun jarang orang tahu, bahwa tanpa seorang ilmuwan muslim abad 13 M, operasi jantung itu mungkin masih jadi angan-angan.  Orang itu adalah Alauddin Abu al Hassan Ali ibn Abi Hazm al-Quraisyi al Dimashqi atau lebih dikenal dengan nama Ibn an-Nafis, yang lahir 1213 M di Damaskus dan kemudian bekerja di Cairo.

Ibn an-Nafis, seperti banyak ilmuwan di masa Daulah Khilafah, adalah seorang polymath (pakar berbagai ilmu), yaitu ahli hadits, faqih madzhab Syafi’i, ahli bahasa, astronom, dokter bedah, ahli mata, dan ahli jantung.

Ibn an-Nafis adalah orang pertama yang menggambarkan sirkulasi darah di jantung dengan benar.  Penemuannya ini membatalkan teori yang telah berusia 1000 tahun dari Galen, sang filsuf Yunani.  Ibn an-Nafis menyatakan bahwa darah di jantung bilik kanan akan menuju bilik kiri hanya melalui paru-paru, dan bukan lewat pori-pori antar bilik sebagaimana diteorikan Galen.  Teori Ibn an-Nafis ini menurut sejarawan ilmu George Sarton, jauh mendahului William Harvey, yang dianggap penemu peredaran darah dari abad 17.

Namun tidak hanya soal peredaran darah di jantung.  Ibn an-Nafis juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam memahami peredaran darah ke otak, cara kerja otot, syaraf dan mata.  Kaitan antara peredaran darah, otak dan syaraf sangat penting dalam penanggulangan serangan stroke.

Dalam kaitan dengan syaraf ini, dia membedakan antara jiwa (soul) dan ruh (spirit) seraya menolak ide Ibnu Sina maupun Aristoteles yang menganggap bahwa jiwa berada di jantung.  Ibn an-Nafis berargumentasi bahwa jiwa terkait dengan keseluruhan, bukan satu atau beberapa organ.  Kesimpulannya “jiwa berhubungan dengan segala zat yang temperamennya disiapkan untuk menerima jiwa”, dan “jiwa tidak lain adalah kemampuan manusia untuk menyadari dirinya”.  Sedang tubuh adalah terkait kemampuan pengenalan (cognition), perasaan (sensation), khayalan (imagination) dan naluri (animal locomotion), dan ini bukan berasal dari jantung melainkan dari otak.

Selain itu Ibn an-Nafis mengkritik habis teori embriyologi (pembentukan janin) baik dari Galen, Aristoteles maupun Ibnu Sina.  Dia berpendapat bahwa sperma laki-laki maupun sel telur perempuan memiliki peluang yang sama untuk mendominasi sifat-sifat janin, tidak selalu laki-laki selalu mendominasi seperti teori sebelumnya.

Pengetahuan Ibn an-Nafis yang luar biasa tak lain juga karena dia adalah pelopor kedokteran eksperimental, termasuk dari bedah mayat.  Dengan itu dia berhasil mengembangkan pemahaman yang lebih akurat atas berbagai proses metabolisme, sistem anatomi, fisiologi, psikologi dan pulsology, yang sebagian menggantikan teori penduhulunya, termasuk dari Ibnu Sina.

Pada 1242 M, saat usianya baru 29 tahun, Ibn an-Nafis mempublikasikan karyanya yang paling terkenal, yaitu Syarah Tasyrih al-Qanun Ibn Sina atau komentar atas buku Ensiklopedi Kedokteran Ibnu Sina.  Setelah itu dia praktis menulis buku tandingan, The Comprehensive Book of Medicine, yang mencapai 43 jilid saat usianya 31 tahun.  Sepanjang hidupnya, dia menulis sekitar 300 jilid, meski hanya 80 yang sempat dipublikasikan sebelum wafatnya.  Inilah ensiklopedi kedokteran terbesar hingga saat itu.

Pada jilid 33, 42 dan 43 dari ensiklopedi ini, dia merinci tatacara operasi bedah yang untuk kuliahnya dibagi dalam tiga “ta’lim”.  Ta’lim pertama tentang prinsip-prinsip bedah.  Di sini dia merinci tahapan-tahapan operasi dan peran serta dari pasien, dokter maupun perawat di setiap tahap.  Ta’lim kedua tentang peralatan bedah.  Sedang ta’lim ketiga membahas segala jenis operasi yang telah dikenal hingga saat itu.

Selain yang bersifat pengobatan, Ibn an-Nafis juga menulis kitab diet untuk membantu penyembuhan dan mencegah sakit.  Kitab ini berjudul Mukhtar fil-Aghdhiya (The Choice of Foodstuffs).  Dia lebih suka bila pasien mengontrol makanannya daripada memberi resep obat.

Selain di profesi keilmuwannya ini, Ibn an-Nafis juga menulis beberapa novel sastra.  Salah satu karyanya berjudul Al-Risalah al-Kamiliyyah fil Sirah an-Nabawiyyah (Kehadiran Kamil pada Sejarah Nabi).  Ini adalah novel pertama yang tergolong “novel-teologis” dan sekaligus ber-genre “fiksi ilmiah”.  Novel ini telah diterjemahkan ke bahasa latin dengan judul “Theologus Autodidactus”.  Novel ini bercerita tentang protagonis bernama Kamil, seorang pembelajar autodidak yang tiba-tiba hidup di sebuah pulau terpencil.  Dia baru kontak dengan dunia luar setelah kedatangan kapal yang terdampar di pulau itu dan membawanya kembali ke dunia berperadaban.  Plot cerita ini berkembang menjadi fiksi ilmiah ketika klimaksnya adalah bencana dahsyat yang mendekati hari kiamat (idenya mirip film 2012).  Melalui novelnya ini Ibn an-Nafis menyampaikan berbagai pemikiran filosofisnya terkait keharusan adanya Tuhan, kehidupan, peran para Nabi, asal usul manusia, prediksi masa depan, hari kebangkitan dan sebagainya.   Penguasaannya yang baik atas bahasa dan pengetahuannya yang luas tentang biologi, astronomi dan geologi membuat novel ini ramuan yang sangat menarik antara agama, sastra dan sains.

Ibn an-Nafis hidup di masa kemelut politik yang melanda Daulah, terutama Perang Salib dan Serangan Tartar atas Baghdad yang mencapai Suriah.  Inilah yang membuat dia hijrah ke Mesir.  Kehancuran Baghdad yang juga memusnahkan jutaan buku mendorong Ibn An-Nafis dan banyak ilmuwan Islam lainnya untuk menulis kembali semua pengetahuan mereka untuk menyelamatkan khazanah pengetahuan dunia Islam.  Mereka telah “menyambungkan nafas” ilmiah dunia Islam, hingga kejayaannya masih bertahan enam abad kemudian.