Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for January, 2013

Trilogi Kedaulatan dalam Otokrasi, Demokrasi dan Islam

Thursday, January 31st, 2013

Upaya memahami fenomena “demokrat islamis”

Makalah Seminar di Fakultas Ushuluddin & Filsafat- UIN Syarif Hidayatullah, 28 Mei 2005.

Dr. Fahmi Amhar

alumnus Vienna University of Technology, Austria

Abstrak

Kelompok “demokrat islamis” adalah kelompok muslim yang menerima sistem demokrasi sebatas prosedural pemilu, namun di satu sisi tetap memperjuangkan agenda syari’at Islam, bukan agenda sekuler.  Sebagian pihak khawatir bahwa kelompok di atas hanya akan memanfaatkan demokrasi untuk mewujudkan sistem otoriter atas nama agama.  Kekhawatiran ini tidak beralasan bilamana kita memahami trilogi kedaulatan.  Dalam demokrasi, trilogi itu ada dalam slogan “dari rakyat – oleh rakyat – untuk rakyat”.  Meski tampak indah, slogan ini dari awal sudah cacat, dan dalam realita oleh para kapitalis serakah telah diperalat, untuk memperbudak seluruh jagad.  Pada sistem khilafah, trilogi itu adalah “dari Allah – oleh rakyat – untuk rahmat seluruh alam”.  Maka tidak ada yang perlu khawatir atas fenomena “demokrat islamis”, kecuali musuh-musuh kemanusiaan.  Bila non muslim saja tak perlu khawatir akan termarjinalisasi, apalagi bila seseorang masih mengaku dirinya muslim.

illution-of-democracy-fahmiamhar-dot-comFenomena “demokrat islamis”

Fenomena “demokrat islamis” menurut survei PPIM UIN 2004 memiliki karakteristik sebagai berikut:

– Diperkirakan ada sekitar 1 juta muslim yang terlibat dalam aktivitas islamisme.

– Meski berpartisipasi dalam proses demokrasi (pemilu) kelompok ini hanya “memanfaatkan” demokrasi sebagai ruang persaingan bebas bagi “kudeta Islamnya” – demokrasi hanya dimaknai sebatas pemilu (electoral democracy) sementara nilai-nilai sekulernya ditolak habis-habisan; demokrasi sebagai nilai hanya ada di lapisan elite muslim yang telah terbaratkan.

Sebagai indikator penolakan itu adalah:

– Boikot produk dan jasa AS yang dianggap bertentangan dengan ahlak/syari’at Islam atau solidaritas Islam (Palestina, Iraq, Afghanistan!).

– Intoleransi terhadap Kristen (dan kristenisasi).

– Dukungan terhadap isu-isu syari’at seperti perempuan tidak boleh menjadi presiden, rajam bagi pezina, potong tangan bagi pencuri, pembagian waris yang tidak equal, pelarangan bunga bank, pembolehan poligami, marjinalisasi kaum perempuan karena fiqh yang bias jender, dan sebagainya.

Indikator-indikator ini menjadikan sebagian orang khawatir, karena:

– Islamisme akan membenarkan tesis Huntington atas adanya clash of civilization antara Barat dan Islam, dan ini akan mengganggu hubungan antar bangsa, sekaligus legitimasi aksi unitarian George W. Bush di Iraq dan Afghanistan.

– Negeri-negeri Islam dewasa ini memberi prosentase yang sangat besar dalam daftar negara yang tidak bebas dalam hal kebebasan sipil dan kesetaraan akses politik.

– Penyebab utama langkanya demokrasi di dunia Islam adalah kultur politik muslim, seperti anggapan adanya kesucian sakral pada para pemimpin Islam untuk menegakkan sistem islam di muka bumi dan oleh sebab itu otoritas tertinggi tetap diberikan kepada ulama sebagai penerjemah hukum Tuhan.

– Fatwa para ulama itu “disalahgunakan” untuk pembenaran aksi kekerasan, seperti sweeping tempat maksiat atau teror bom atas nama jihad.

Setelah era otoriter yang cukup lama selama rezim Orde Lama dan Orde Baru, kemudian muncul rezim yang lebih demokratis, di kalangan umat Islam muncul dua fenomena: (more…)

Belajar Menjadi PNS

Wednesday, January 23rd, 2013

pns-indonesia-fahmiamhar-dot-comApakah Anda punya pendapat stereotip tentang PNS?

Misalnya “PNS itu pemalas”, “PNS itu bergaji kecil”, “PNS itu enak, gaji kecil tapi sabetan banyak” dsb.

Apakah Anda sendiri, anggota keluarga Anda atau teman baik Anda PNS?

Stereotip tadi tidak salah-salah amat, tetapi juga tidak benar 100%.  Sewaktu kecil dulu saya juga tidak bercita-cita jadi PNS.  Orang tua saya pedagang & guru ngaji partikelir.  Penghasilannya memang tidak teratur seperti PNS, tetapi totalnya lebih besar.  Saya pernah punya cita-cita jadi pengusaha berbasis teknologi.  Tapi nasib mengharuskan saya mengambil ikatan dinas agar bisa dapat beasiswa ke luar negeri.  Dan jadilah saya PNS sejak Februari 1987, dimulai dengan modal ijazah SMA dan pangkat II/a.  Tujuh tahun kemudian (1994), ketika saya sudah mengantongi ijazah yang disamakan dengan S1, pangkat saya dinaikkan menjadi III/a.  Dan empat tahun sesudahnya (1998), dengan ijazah S3, pangkat saya dinaikkan menjadi III/b.  Kemudian saya mengajukan diri menjadi fungsional peneliti.  Tahun 1998, ijazah Doktor dan sejumlah paper saya cukup untuk menjadi “Ajun Peneliti Muda” (atau sekarang istilahnya “Peneliti Muda III/c”).  Karena jabatan peneliti saya lebih tinggi dari pangkat saya, maka saya mendapat Kenaikan Pangkat Pilihan 2 tahun, sehingga tahun 2000 pangkat saya menjadi III/c juga.  Demikian seterusnya, dan tahun 2007 jabatan peneliti saya sudah “Peneliti Utama IV/e”, sehingga setiap dua tahun saya otomatis mendapat Kenaikan Pangkat Pilihan.  Jadi tahun 2012 saya sudah mencapai pangkat tertinggi IV/e.  Pangkat saya bahkan lebih tinggi dari pangkat Kepala Lembaga … 🙂

Tetapi meski demikian, saya belum dapat dikatakan mengumpulkan semua pengalaman PNS.  Saya memang pernah menjadi pejabat fungsional (sebagai peneliti), pejabat struktural (kepala Balai/eselon-3, pelaksana harian kepala Pusat/eselon-2), surveyor, widyaiswara luar biasa, panitia seminar & pameran, penulis pidato pimpinan, penilai prakualifikasi, pembuat spesifikasi & RSNI, pembuat RUU, RPP, dan Raperka, pembuat Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK), koordinator supervisi, sekretaris pokja penanggulangan bencana, anggota tim seleksi CPNS, anggota tim reformasi birokrasi, dsb.  Tetapi saya belum pernah – dan pernah menolak – untuk dijadikan Pimpro (atau sekarang disebut “Pejabat Pembuat Komitmen”).  Saya cuma menjadi pengamat “yang sangat dekat dengan objek” … 🙂 (more…)

Belajar Berkontribusi dalam Mengatasi Bencana

Saturday, January 19th, 2013

Ada saat-saat di mana kita bersyukur tidak menjadi seorang pejabat publik.  Coba bayangkan bila kita menjadi gubernur DKI atau Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam situasi darurat banjir seperti saat ini?  Kita akan berhari-hari kurang tidur, badan meriang, tidak punya waktu untuk pribadi, dan sudah begitu dicaci-maki orang lagi, dan lagi…

Akhir 2010, secara informal saya ditawari untuk menggantikan posisi seorang pejabat Eselon-2 di BNPB yang akan dipromosikan menjadi Eselon-1.  Waktu itu saya menjabat Eselon-3, tetapi karena saya peneliti yang merangkap jabatan di unit riset, saya sudah berpangkat IV/C, sudah terlalu tinggi untuk Eselon-3.  Sedangkan konon Eselon-2 yang kosong ya di BNPB itu.  Apalagi sebelumnya saya dikenal sering terlibat dalam aktivitas mengatasi bencana.

Saya memang akhirnya memutuskan untuk balik jadi fungsional peneliti saja, untuk memberi kesempatan orang lain merasakan memimpin unit riset.  Saya membayangkan, menjadi Eselon-2 di BNPB itu sangat berat.  Memang bencana tidak terjadi setiap hari.  Tetapi konon, telepon genggam pejabat teras BNPB itu harus selalu ON, meski malam hari dan hari libur !  Kalau pas ada bencana lalu ditelepon koq tidak diangkat, besok handphonenya bisa dipastikan akan dibanting boss besar.   Wah saya sepertinya bukan orang yang tepat untuk duduk di sana.  Apalagi hari libur saya sudah terisi oleh banyak agenda saya yang lain, yang saya kira juga bernilai untuk rakyat, tetapi belum dijadikan tugas oleh lembaga manapun di negara ini.

Tetapi saya bisa bicara serba sedikit tentang bagaimana kita memberikan kontribusi untuk mengatasi bencana.

Upaya penanggulangan bencana itu dapat dibagi tiga: pencegahan tanggap daruratpemulihan.  Pada umumnya orang fokus kepada tanggap darurat saja, karena inilah yang paling hangat dan selalu diliput pers.  Kadang kejadiannya terasa heroik, karena soal menyelamatkan jiwa, atau menolong para pengungsi yang terlantar beberapa hari dengan kekurangan makanan, selimut atau popok bayi.  Pemulihan juga kadang masih menarik perhatian, tetapi sering lebih fokus pada upaya pencegahan korupsi selama upaya rekonstruksi dan rehabilitasi itu.  Tetapi pencegahan yang bisa meliputi upaya struktural (pembangunan fisik) dan non struktural (pembangunan budaya siap bencana) nyaris selalu luput dari perhatian sehingga jarang diikuti atau ditanggapi serius dari pihak manapun.

Saya bekerja di lembaga negara yang bertanggungjawab soal pemetaan.  Karena itu, setiap upaya penanggulangan bencana, bagi kantor kami selalu dikaitkan dengan apa yang dapat dilakukan dengan peta.  Pihak lainpun berharap, pekerjaan mereka bisa dioptimalkan dengan peta atau data geospasial. Yang jelas, setiap ada kejadian bencana yang luar biasa, kantor kami selalu termasuk dalam daftar yang diundang untuk rapat darurat di kementerian yang bertanggungjawab soal kebencanaan.  Ini tergantung jenis dan skala bencananya. (more…)