Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for December, 2007

Menangkal Bahaya di Kelud

Wednesday, December 19th, 2007

KR 15 November 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Hampir dua bulan Gunung Kelud dalam status awas. Masyarakat di sekitarnya, yakni di wilayah Blitar dan Kediri sudah dievakuasi.  Karena Gunung Kelud tidak juga meletus, mereka sampai bosan.  Karena evakuasi tidak mencakup hewan piaraan, beberapa pengungsi akhirnya nekad tiap siang pulang ke rumahnya untuk memberi makan ternaknya.  Namun ada juga yang terpaksa menjual ternaknya dengan harga yang sangat murah … mungkin dari pada repot.

Pemantauan Gunung Kelud

Pemantauan Kelud lebih banyak menggunakan metode visual, kimia, termik dan seismik.  Menurut Pusat Vulkanologi & Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), sistem pemantauan sehari-hari Gunung Kelud dipusatkan di Pos Pengamatan Margomulyo, meliputi pemantauan visual dari warna, ketebalan dan tinggi asap solfatara dan cuaca di sekitar puncak. Ada kamera CCTV yang dipasang khusus untuk itu.  Di samping itu dilakukan pengamatan langsung ke kawah meliputi pengukuran suhu air dan pengamatan perubahan warna air danau kawah serta pengamatan pergeseran gelembung-gelembung gas yang muncul yang dapat diamati pada permukaan air kawah.  Selain itu juga dilakukan dengan metoda seismisitas atau kegempaan.

Sebenarnya teknis pengamatan gunung api dapat juga menggunakan metode geometris, akustis dan biologis. 

Metode geometris biasa dilakukan di Gunung Merapi, yang kubah lavanya selalu membengkak.  Di atas kubah lava itu dipasang beberapa target signal atau reflektor yang diukur dengan pengukur jarak elektronik (electronic-disto-meter).  Dengan cara ini bisa dihitung perkembangan volume kubah lava dari waktu ke waktu.  Kelemahan cara ini adalah jika signal atau reflektor itu terkena material vulkanik.  Namun cara geometrik dapat pula menggunakan metode fotogrametrik dengan menggunakan kamera fotogrametri dari banyak pos pengamat di seputar gunung tersebut atau bahkan dari pesawat udara atau satelit.  Cara ini tidak seakurat cara dengan pengukur jarak elektronik, namun dapat berfungsi kapan saja.

Metode akustis menggunakan semacam microphone yang dipasang di tanah (disebut geophon) untuk mendeteksi suara gemuruh yang terjadi akibat aktivitas magma atau runtuhnya kubah lava. 

Sedang metode biologis memanfaatkan pengetahuan atas sifat-sifat binatang yang pada umumnya menjadi sangat gelisah (tidak seperti biasanya) sesaat sebelum gunung meletus.  Hewan piaraan – misalnya burung dalam sangkar pun akan terbang gelisah dan nabrak-nabrak sarang.  Ini diduga terjadi karena sifat material yang akan pecah mengeluarkan gelombang ultrasonik atau elektromagnetik dalam gelombang yang bisa dirasakan binatang.  Pada sebagian orang, efek biologis ini juga dirasakan dalam bentuk rasa ”merinding” secara tiba-tiba sebelum gunung meletus.

Gunung Kelud memang memiliki karakter yang berbeda dengan Gunung Merapi.  Setidaknya ada dua hal yang khas gunung Kelud yakni:

(1)    Kelud memiliki kawah yang terisi air menjadi danau kawah.  Volume air dalam danau kawah saat ini ditaksir mencapai 2,5 juta meter kubik.  Air inilah yang menekan magma sehingga sampai bisa keluar magma harus ”menabung” energi yang cukup besar dulu.  Namun beberapa hari terakhir ini, terjadi fenomena menarik di danau kawah, yakni lahirnya ”Anak Kelud”.  Ini terjadi karena kubah magma yang muncul dari tengah danau kawah menonjol cukup cepat, dan ditaksir suatu saat dapat menghilangkan danah kawah tersebut.

(2)    Karena faktor di atas, maka energi letusan Kelud jauh lebih besar, sehingga biasanya sekaligus berupa sebuah letusan vertikal.  Material vulkanik akan terhempas ke atas dan menyebar ke segala arah.  Ini berbeda dengan Merapi yang materail vulkanik keluar berupa awan panas melalui jalur-jalur tertentu dan tidak sekaligus dalam suatu letusan besar.

Dalam ilmu vulkanologi, dapat dikatakan tidak ada gunung api yang persis sama.  Setiap gunung punya karakternya masing-masing, walaupun ada yang mirip-mirip.  Adalah tugas besar bagi PVMBG bersama Bakosurtanal untuk menyiapkan peta gunung api di setiap gunung api yang ada.

 

 

Menangkal Bahaya

Hingga kini belum ada teknologi yang dapat menghentikan letusan gunung berapi.  Yang dapat dilakukan hanyalah membuat prediksi untuk peringatan dini serta mitigasi sehingga bila terjadi letusan, korban dan kerugian dapat ditekan serendah-rendahnya.

Dengan pengamatan yang baik, letusan gunung berapi termasuk dapat diprediksi dan peringatan dini dapat diberikan untuk waktu yang cukup.  Hanya saja, fenomena Kelud menunjukkan bahwa status awas berjalan terlalu lama.  Pada tahun 1990, letusan terjadi setelah suhu kawah mencapai 40° C.  Namun kini meski suhu kawah sudah di atas 70° C Kelud belum juga meletus.  Rupanya energi magma itu ”dipakai” dulu untuk melahirkan Anak Kelud. 

Prediksi mencakup juga pola sebaran material vulkanik pasca letusan.  Pola sebaran ini akan menentukan tempat dan route evakuasi.  Tempat dan route evakuasi ini dapat digambarkan di atas peta yang disebarkan ke masyarakat, dan di lapangan diberi tanda-tanda petunjuk yang memberi informasi ke mana orang harus menyelamatkan diri saat terjadi bencana.  Untuk membuat prediksi yang baik dapat dilakukan berbagai simulasi.

Namun penangkalan tidak berhenti hanya pada informasi untuk menyelamatkan diri.  Penangkalan juga dapat berupa mekanisme fisik.  Yang paling lazim adalah pembangunan tanggul dan cekdam (Sabo) yang akan memaksa lava atau lahar mengalir ke tempat yang tidak membahayakan siapapun.  Khusus untuk Kelud dengan danau kawahnya, mekanisme fisik yang perlu dan sebagian telah dilakukan adalah dengan terowongan yang dapat mengurangi volume air danau kawah secara signifikan setiap mencapai level tertentu. 

Yang harus optimal juga adalah bagaimana bentuk tempat evakuasi dan mekanisme evakuasi berjalan.  Tempat evakuasi haruslah sedemikian rupa sehingga selain benar-benar aman juga manusiawi.  Ada tempat untuk mengganti popok bayi, untuk menampung ternak, untuk bermain anak, untuk terapi mental-spiritual, bahkan perlu ada kamar khusus bagi suami istri untuk melakukan hubungan biologis.

Tentu saja pemerintah sebagai yang berkewajiban melayani masyarakat sudah saatnya segera mengadopsi teknologi terbaik yang dapat menangkal letusan gunung berapi, baik teknologi pengamatannya maupun menangkal letusannya.

 Lampiran: Gambar: peta gunung api di Indonesia.


Gambar  Peta vulkanik dengan erupsi sejak tahun 1900

Mencari Pequrban yang Revolusioner

Tuesday, December 18th, 2007

Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar

Penulis “Buku Pintar Calon Haji”, Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina

 Setiap tahun, ribuan – bahkan mungkin ratusan ribu kambing, domba dan sapi yang diserahkan umat Islam sebagai hewan qurban.  Namun kita perlu introspeksi, jangan-jangan selama ini kita terjebak dalam rutinitas ritual – atau rutinitas bisnis – sehingga dari ibadah qurban itu yang tersisa hanya ”baunya dan kolesterolnya saja” …

Bagi Allah, yang penting memang bukan darah dan daging hewan ternak itu.  Dalam surat al-Hajj, Allah berfirman:

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (Qs. 22:37)

Memang akan tampak terlalu ”murah” bila qurban cukup sekali setahun.  Itupun sebenarnya hukumnya bukan wajib, namun sunnah, serta tidak ada nishobnya sebagaimana zakat, lalu si pequrban masih boleh ikut menikmati sebagian dagingnya lagi.

Makanya kita harus lebih menghayati makna di balik qurban, agar qurban kita tidak sia-sia.

 Qurban berakar dari kata qa-ra-ba, artinya mendekat dan yang dimaksud ialah taqarrub ilallah, mendekat kepada Allah.  Di surat Al-Kautsar, Allah berfirman:

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membeci kamu dialah yang terputus. (Qs. 108:3).

Setiap manusia wajib merenungkan betapa banyak nikmat yang telah diberikan Allah.  Nikmat berupa organ tubuh seperti mata, telinga, lidah, tangan, kaki, ginjal, jantung, atau otak, yang entah berapa harganya dan di mana belinya kalau organ ini rusak; nikmat oksigen yang kita hirup setiap saat tanpa sadar apalagi membayar; nikmat orang-orang terdekat yang sebenarnya menyayangi kita, hanya kita mungkin baru akan sadar kalau mereka sudah tiada; nikmat ditutupnya aib kita oleh Allah swt sehingga banyak orang hormat kepada kita; dan segunung nikmat yang lain. 

Karena kita selama ini hanya menghitung nikmat yang berupa materi, dan jarang memasukkan hal-hal yang non materi seperti ilmu atau pengalaman, teman, tetangga dan saudara, kesehatan serta ketenangan batin, maka kita jadi jarang bersyukur.

Namun bersyukurpun harus dibuktikan dengan shalat dan berkorban.  Shalat yang dimaksud tidak cuma shalat dalam arti ritual, namun juga shalat dalam arti menegakkan syari’at, tunduk kepada hukum-hukum Allah, menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana sabda Nabi:

Shalat itu tiang agama, barangsiapa menegakkannya maka dia menegakkan agama, dan barangsiapa merobohkannya dia merobohkan agama.

Namun menegakkan syari’at tidak cukup itu saja.  Harus ditambah dengan banyak berkorban.  Puncak dari pengamalan syari’at adalah amar ma’ruf nahi munkar, dakwah, dan mahkotanya adalah jihad.  Sedang tentang jihad, nabi bersabda:

Sebaik-baik jihad adalah kata-kata yang benar di depan penguasa yang zalim.

Kata-kata benar artinya nasehat, atau bisa juga kritik atau kesaksian yang benar dari seseorang yang memang mengetahui duduk persoalan suatu hal.

Untuk berani bersaksi seperti ini diperlukan pengorbanan yang besar.  Pengorbanan yang tidak semudah membeli seekor domba lalu menyembelih dan membagikannya ke fakir miskin.  Namun pengorbanan yang lebih tinggi lagi, pengorbanan tenaga, pikiran, waktu, kehormatan, harta, dan jiwa.

Sejarah mencatat betapa banyak orang-orang yang karena keteguhannya membela membela prinsip-prinsip kebenaran di depan penjajah atau penguasa tirani, kemudian difitnah, diteror keluarganya, dikucilkan di tempat kerja, dipekerjakan secara tidak manusiawi, dibekukan rekeningnya, digusur rumahnya, dirampas hak-hak sipilnya, dipenjara, bahkan dibunuh dengan cara-cara mengerikan.

Namun sejarah juga mencatat, bahwa tanpa pengorbanan orang-orang seperti itu, mustahil ada kemerdekaan, ada kebangkitan, ada revolusi.  Tanpa darah dan airmata mereka, mustahil ada Indonesia.  Tanpa Nelson Mandela yang rela dipenjara 27 tahun mustahil ada Afrika Selatan yang bebas rasisme.  Tanpa Lech Walensa yang dikejar-kejar karena memimpin Serikat Buruh Solidarnosc yang terlarang, mustahil komunis bisa hilang dari Polandia.

Hanya dengan pengorbanan kita, maka makar orang-orang yang membenci kita, kaum Kuffar yang ingin menjajah dan menjarah negeri kita, akan gagal (terputus).  Tanpa kita siap berkorban, kita akan menjadi korban.  Maka berkorbanlah, sebelum anda dikorbankan!

IEDUL ADHA SETENGAH HATI

Tuesday, December 18th, 2007

Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar

Aktivis pro syariah & pecinta astronomi

Iedul Adha tahun 2007 (1428H) saya hadapi dengan setengah hati.  Setengah karena taat kepada sebuah hukum syara’, dan setengah lagi karena tahu bahwa hukum itu telah diterapkan tanpa mengindahan sebuah keniscayaan ilmiah.

Mahkamah Agung Saudi telah menerima dan menetapkan keabsahan sebuah klaim rukyatul hilal (melihat bulan sabit baru) pada hari Minggu sore 9 Desember 2007.  Artinya Senin 10 Desember 2007 menjadi 1 Zulhijjah, dan seterusnya Selasa 18 Desember 2007 menjadi 9 Zulhijjah, hari di mana para jama’ah haji akan wukuf di Arafah (dan yang lainnya puasa Arafah), dan akhirnya Rabu 19 Desember 2007 menjadi 10 Zulhijjah, hari Iedul Adha, saat hewan-hewan qurban disembelih.

Syara’ telah menetapkan bahwa masalah penentuan hari wukuf menjadi wewenang penguasa Makkah, yang saat ini adalah penguasa Saudi Arabia.  Raja Saudi telah mendelegasikan kewenangan ini kepada Mahkamah Agungnya.

Syara’ juga mengatur bahwa penentuan 1 Zulhijjah cukup didasarkan kesaksian dua muslim yang terpercaya.  Riwayat dari Nabi menunjukkan bahwa ketika ada orang Badui mengaku melihat hilal, Nabi hanya memintanya bersyahadat saja.  Nabi tidak memeriksa hal yang lain.

 

Persoalan kesaksian ini yang membuat Iedul Adha ini menjadi setengah hati.

Karena kesaksian hilal ini terjadi pada saat yang mustahil.  Hilal hanya mungkin terjadi setelah ijtima’ (moon-conjunction).  Dan di Mekkah ijtima’ baru terjadi pada Minggu 9 Desember 2007 pukul 20:40, setelah matahari terbenam (Maghrib) yang terjadi pukul 17:42 waktu setempat

Sebagian orang mempertanyakan keabsahan data astronomis ini:  “Dari mana tahu bahwa prediksi ijtima’ ini tepat?”  atau membantah kemungkinan si perukyat yang salah: “Bagaimana memastikan bahwa si perukyat itu tidak dapat dipercaya?”.

Prediksi astronomis untuk peristiwa ijtima’ tidak didasarkan hanya dari kesaksian satu atau dua orang.  Tetapi adalah hasil riset ribuan orang selama berpuluh tahun yang dilakukan secara sistematis dan terdokumentasikan dengan baik.  Selama ini prediksi ijtima’ yang terkadang bertepatan dengan gerhana matahari, selalu akurat sampai ke detik terdekat.  Prediksi bulan untuk fase-fase lain saat bulan sudah tinggi, juga sangat akurat.  Di bulan terdapat reflektor yang dipasang oleh misi-misi angkasa Amerika Serikat dan Rusia yang dapat memantulkan sinar laser yang dikirim dari berbagai stasiun Lunar-Laser-Ranging (LLR) dari bumi.  Dan semuanya OK.  Kesalahan fatal data ijtima’ tertutup.  Data astronomis bisa saja dikoreksi, namun tentunya hanya oleh pengamatan ilmiah yang juga berakurasi tinggi.  Kalau memang hilal itu benar-benar ada pada hari Minggu 9 Desember 2007, dan ada foto atau pengukuran LLR yang memvalidasinya, pasti semua rumus astronomi akan dikoreksi.

Sementara itu bagaimana memastikan bahwa si perukyat tak dapat dipercaya?  Tidak ada caranya!  Kita tidak ingin membuktikan bahwa si perukyat berbohong.  Dia hanya keliru meneruskan fakta.  Seorang yang paling shalehpun bisa salah menjawab soal ujian.  Dia tidak berbohong, dia hanya keliru.  Ada sejumlah test yang bisa dilakukan, misalnya menunjukkan berbagai foto hilal dan foto placebo hilal (yang sebenarnya hilalnya tidak ada).  Test mata juga bisa dilakukan untuk melihat kesehatan mata yang bersangkutan.  Demikian juga informasi kondisi lingkungan saat pengamatan.  Tentu aneh mengaku melihat objek langit bila di tempat yang bersangkutan tertutup awan.

Tentu saja semua ini tidak dilakukan di masa Nabi.  Namun tidak semua hal yang tidak dilakukan di masa Nabi itu haram dilakukan di masa sekarang.  Ketika itu dapat menjaga agama, menjaga (kesatuan) negara, menjaga hidup, menjaga akal dan sebagainya, apakah lantas tidak boleh dilakukan.  Atau seharusnya berlaku kaidah “Maa la yatimul waajib illa bihi fahuwa waajib”  (Apa yang tanpa dengannya suatu kewajiban tak dapat disempurnakan, hukumnyapun menjadi wajib juga).

Di masa Nabi belum ada kompas untuk mengetahui arah kiblat, karena itu pasti Nabi tidak pernah menggunakan kompas untuk mengetahui arah kiblat.  Apakah lantas dengan alasan sholat itu ibadah “tauqifi” terus kita harus menentukan arah kiblat persis seperti di zaman Nabi, tidak boleh pakai kompas?

Tentu saja, siapapun yang ada di Mekkah mau tidak mau harus tunduk pada keputusan wukuf Saudi.  Mustahillah wukuf sendirian menuruti keyakinannya sendiri.

Menjadi rumit tatkala itu dibawa ke negeri yang jauh seperti Indonesia.  Memang, sebelum ditemukan alat telekomunikasi, tidak ada riwayat yang menceritakan bahwa otoritas Mekkah mengirimkan berita ke seluruh dunia Islam tentang penentuan 1 Zulhijjah.  Secara teknis, pengiriman berita ke negeri yang jauh seperti Indonesia saat itu juga mustahil.  Karena itu perbedaan hari Iedul Adha saat itu mungkin juga dimaklumi – karena juga mungkin tidak disadari.

Berbeda dengan sekarang.  Globalisasi membuat kita menjadi setengah hati.  Akhirnya ada juga yang ambil jalan minimal.  Rabu dia tidak puasa dan juga tidak sholat Ied.  Toh puasa dan sholat Ied hukumnya sunnah.  Tapi kalau puasa di hari Iedul Adha kan haram.  Dan sholat Ied di hari yang salah, tulalit juga …  Kita ingin persatuan.  Namun otoritas Saudi yang saat ini menentukan hari wukuf bukanlah penguasa kita.

Andaikata ia adalah khalifah kita, demi persatuan dan demi menghindari kekeliruan, tentu sangat bijaksana jika di masa depan otoritas ini mengadopsi ilmu & teknologi ketika menerima kesaksian hilal.  Agar Iedul Adha dan haji kita tidak setengah hati lagi.  Allahu Akbar.