Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for August, 2007

Khalifah Juga Manusia

Thursday, August 30th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Alumnus Vienna University
Peneliti Sejarah Islam.

Konferensi Khilafah Internasional (KKI) yang digagas oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus 2007 lalu mulai menuai bola salju.  Di harian Media Indonesia 24 Agustus 2007 lalu muncul dua tulisan yang mempersoalkan ide-ide HTI.

M. Hasibullah Satrawi (alumnus al-Azhar Kairo) mempertanyakan prosedur pemerintahan seperti apa yang hendak diciptakan?  Satrawi menganggap HTI mengalami kerancuan paradigma, yang di satu sisi ingin menegakkan pemerintahan khilafah (yang menurutnya pada masa awal Islam sarat dengan nilai-nilai demokrasi), tetapi di sisi lain HTI anti demokrasi.  Bahkan dia pertanyakan apakah HTI sama atau memang Khawarij baru – suatu hal yang juga dilontarkan oleh kelompok Salafi.

Sedang Zuhairi Misrawi (Direktur Moderate Muslim Society) menggunakan pendekatan hermeneutik.  Istilah khalifah dan khilafah dikatakan mengalami perkembangan dan partikularisasi, dari “mandat Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia apapun agamanya” menjadi “justifikasi dan legitimasi suatu klan politik”.  Kedaulatan Tuhan atau sistem khilafah menurutnya adalah kalimat mulia tapi maknanya bisa menjadi batil.

Lepas dari soal setuju atau tidak dengan isinya, keberadaan dua tulisan itu dapat bernilai positif, dan justru diharapkan oleh HTI untuk membuka perdebatan ilmiah yang mengandalkan kekuatan logika.  Sepanjang pergumulan saya dengan gerakan HT selama lebih kurang 17 tahun, saya melihat bahwa gerakan ini sangat concern dengan adu argumentasi ilmiah, dan bukan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengandalkan logika kekuatan.  Justru logika kekuatan ini yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh penguasa negeri ini, yang mencekal dan mendeportasi dua pembicara KKI dari Luar Negeri, serta melarang dan menekan beberapa tokoh Dalam Negeri agar tidak berorasi di forum KKI.

Sebenarnya apa yang dipersoalkan oleh dua penulis di atas, sudah terjawab oleh buku-buku HT sendiri.  Dalam buku Ajjihzah daulatih khilafah (Struktur Negara Khilafah) yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir (Internasional) tahun 2005, ditegaskan bahwa sistem khilafah adalah sistem manusia dan bersifat duniawi.  Khalifah juga manusia, dan negara Khilafah bukan negara teokrasi.

Meskipun istilah Khalifah dipakai secara umum di dalam Qur’an Surat al-Baqarah ayat 30 (Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”), namun Rasul telah dengan jelas membatasi istilah itu untuk pemerintahan pasca Nabi.  Nabi bersabda dalam hadits riwayat Muslim: “Dulu Bani Israel diurus dan dipelihara oleh para nabi. Setiap seorang nabi meninggal, nabi yang menggantikannya.  Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah, dan mereka banyak”.  Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang kau perintahkan kepada kami?”  Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka.  Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus”.

Di hadits yang lain Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara, sehingga melarang munculnya kepala negara tandingan.  Dalam hadits riwayat Muslim tersebut Nabi secara eksplisit menggunakan istilah khalifah untuk kepala negara kaum muslimin: Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya”.

Tentang mekanisme pemilihan khalifah, apa yang terjadi pada masa khulafaur Rasyidin, dan diamnya mereka melihat mekanisme pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa keempatnya adalah sah sebagai model.  Hal ini karena ada sabda Nabi: “Ummatku tidak akan sepakat dalam kemungkaran”.  HT menyimpulkan bahwa kesepakatan (ijma’) para sahabat (dan hanya berlaku untuk para sahabat Nabi) adalah sebuah sumber hukum.

Karena itu bagi HT mekanisme itu sangat jelas.  Khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar; atau dengan nominasi khalifah sebelumnya seperti Umar; atau dengan suatu komite pemilihan seperti Utsman atau dengan suatu pengambil alihan di saat terjadi vacuum of power seperti Ali.  Keempat model ini semuanya absah pada saat yang tepat.  Jadi keliru untuk mengatakan bahwa Islam atau sistem khilafah tidak memiliki model suksesi.

Sedang apa yang terjadi di masa dinasti Umayah, Abbasiyah atau Utsmaniyah adalah penyalahgunaan sistem nominasi.  Namun bukan metode nominasinya sendiri yang salah.  Dalam sistem demokrasi juga ada nominasi.  Hampir semua penerus Perdana Menteri pada sistem demokrasi parlementer adalah dinominasikan oleh PM sebelumnya.  Toh nominasi ini hanya akan berjalan dengan baik kalau diterima oleh Parlemen dan diperkuat lagi oleh pemilu berikutnya.

Dalam sistem khilafah, nominasi ini baru akan sah ketika ada baiat.  Baiat adalah semacam kontrak antara umat (yang terwakili oleh tokoh-tokoh kunci kekuatan umat, yaitu di politik atau militer) yang siap taat dan membela seseorang agar menerapkan syariat Islam.  Orang yang menerima baiat itulah yang kemudian menjadi khalifah, atau amirul mukminin, atau sultan atau sebutan lain yang sah.

Sebaiknya kalau kita meneropong suatu sistem pemerintahan, kita jangan hanya terpaku pada sistem suksesinya.  Konstitusi negara manapun tidak hanya mengatur suksesi.  Di UUD 45 hasil amandemen, soal suksesi hanya ada pada 3 pasal dari 37 pasal. Maka, ketika kita menilai kualitas sebuah negara, jangan pula hanya dilihat suksesinya.  Kalau kita mau jujur, Indonesia ini meski sukses melakukan suksesi secara demokratis, tetapi kualitas kehidupan masyarakatnya justru semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita proklamasi.

Sementara, se-despot apapun para khalifah Islam di masa lalu, mereka masih melindungi rakyatnya, mencerdaskannya, menjadikannya sejahtera, dan menorehkan sejarah peradaban emas Islam.  Umar bin Abdul Azis dari bani Umayyah berhasil mensejahterakan rakyatnya dalam 2,5 tahun, padahal waktu itu kekuasaanya membentang dari Spanyol hingga Iraq.  Khalifah al Rasyid dan al Makmun dari bani Abbasiyah mensponsori aktivitas keilmuan yang luar biasa di masanya.  Al Mu’tashim Billah dengan tegas menindak suatu negara boneka Romawi yang serdadunya melakukan pelecehan seksual atas wanita muslimah di negeri itu.  Bayangkan dengan apa yang diperbuat Republik Indonesia yang sangat demokratis pemilunya ini pada ribuan perempuan buruh migran yang tidak cuma dilecehkan namun juga disiksa di luar negeri?   Al Qanuni dari bani Utsmaniyah berhasil menahan – untuk beberapa abad kemudian – laju imperialisme kekaisaran-kekaisaran Eropa saat itu (Habsburg Austria, Tsar Russia, dll).  Andaikata khilafah Utsmani ini tidak pernah ada, barangkali Islam belum berkembang di Indonesia seperti saat ini.

Menganggap sistem khilafah awal sarat dengan nilai-nilai demokrasi justru menunjukkan kebutaan kita terhadap demokrasi.  Demokrasi direduksi hanya dalam proses pemilu (demokrasi prosedural).  Orang-orang Islam liberal pun sangat paham akan hal ini, sehingga merekapun menentang kalau orang hanya menggunakan demokrasi sebatas prosedural.  Padahal dalam demokrasi itu juga ada asas sekulerisme (penetralan kehidupan publik dari acuan agama apapun), asas liberalisme (kebebasan berpikir, berpendapat dan berperilaku sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain) serta asas kapitalisme (pasar bebas dengan modal sebagai panglima).  Demokrasi boleh mempersoalkan apa saja (termasuk Islam), namun tidak boleh mempersoalkan ketiga asas pendampingnya.  Sementara itu ide khilafah yang diusung HT sebenarnya tidak pernah mempersoalkan demokrasi sebagai prosedur, namun menentang keras tiga asas pendampingnya.  Adakah demokrasi tanpa sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme?  Negara mana contohnya?  Kalau anda yakin jawabannya ada, mungkin anda masih bermimpi!

Astronomi Islam

Thursday, August 30th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
 
(tulisan ini dimuat di tabloid Suara Islam edisi no. 28, minggu I-II September 2007)
 

Setiap awal atau akhir Ramadhan selalu terjadi perdebatan tentang teknik penentuannya.  Di Indonesia yang hangat adalah perdebatan kalangan ”ahli hisab” yang diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis, dan”ahli ru’yat” yang diwakili NU.  Ahli hisab meyakini bahwa masuknya bulan dalam kalender hijri tidak perlu lagi diamati, cukup dihitung saja, karena perhitungan astronomi dinilai sudah sangat akurat.  Sebaliknya ahli ru’yat menilai bahwa meski hisab sudah amat akurat, namun kesaksian empiris adalah disyariatkan.  Jadi kalangan NU juga tidak sependapat bila mereka dituduh tidak menguasai hisab.  Mereka menggunakan hisab untuk menseleksi laporan ru’yat yang bisa diterima dari yang tidak – mirip yang dilakukan para ulama hadits untuk menilai kesahihan sebuah hadits.  Jadi, kalangan NU yakin pahala mereka dua kali, karena memakai hisab dan ru’yat sekaligus.  Meski demikian ada juga ahli ru’yat yang sama sekali mengesampingkan hisab, dengan alasan, bisa saja Allah memperjalankan bulan dan matahari di luar yang telah dihitung oleh manusia, sebagaimana kelak menjelang hari kiamat, Allah akan membuat matahari terbit dari Barat.  Pendapat terakhir ini, meski menggunakan dalil yang benar, namun diaplikasikan secara kontraproduktif, karena ada pernyataan Allah di QS Yunus ayat 5:

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)….

Tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu yang tidak teratur menjadi alat penghitung waktu.

Di sisi lain, kalangan ahli hisab sendiri tidak sepakat tentang kriteria hisab yang digunakannya, meski mereka sama-sama menggunakan metode hisab dari astronomi modern.  Contoh: Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal yaitu bulan 0 derajat atau lebih di atas ufuk pada saat matahari terbenam.  Sedang Persis menggunakan kriteria 2 derajat.  Untuk 1 Syawal 1428H mendatang, persoalan kriteria ini menjadi kritis.  Pada hari Kamis 11 Oktober 2007, posisi hilal di Jakarta adalah 0.15 derajat (jadi sudah masuk kriteria Muhammadiyah, tapi belum masuk kriteria Persis).  Walhasil, Muhammadiyah akan berhari-raya pada Jum’at 12 Oktober 2007.  Sedang Persis dan para ahli ru’yat akan berhari-raya pada Sabtu 13 Oktober 2007, mengingat hilal setinggi itu masih mustahil dapat diru’yat.  Bulan terbenam hanya 2 menit setelah matahari terbenam, sementara kecerahan matahari yang hampir sejuta kali kecerahan hilal tentu menghalangi terlihatnya hilal.

 

 

 

Peta ketinggian hilal pada saat Maghrib di tiap tempat pada hari Selasa 11 September 2007

 

 


Peta ketinggian hilal pada saat Maghrib di tiap tempat pada hari Kamis 11 Oktober 2007.

Perhatikan bahwa bentuk garis kalender berbeda dengan sebulan sebelumnya.
Ini terjadi karena perubahan posisi lintang ekliptik bulan dan matahari.

 

 

Bagaimana dengan di Timur Tengah?  Menurut hisab hilal di sebagian besar negara Timur Tengah justru masih negatif.  Ini karena posisi bulan saat ini agak ke selatan.  Dengan demikian, menunggu ru’yat global dari kawasan itu sebenarnya sulit.  Hanya Amerika Selatan yang berpeluang meru’yat Kamis sore, itupun kalau cuaca mendukung.

Masalahnya, masih ada kriteria hisab lain.  Di masyarakat, termasuk di Timur Tengah, beredar pula kalender dengan kriteria ”ijtima’ qabla fajr” (konjungsi sebelum fajar) atau ”ijtima’ qabla ghurub” (konjungsi sebelum maghrib).  Pada Kamis 11-Oktober-2007, ijtima’ (atau miladul hilal) terjadi pada pukul 05:01 waktu GMT, atau pukul 08:01 waktu Makkah.  Ini artinya terjadi sebelum Maghrib di tempat tersebut, sehingga otomatis hari Jum’at sesudahnya masuk tanggal 1 (Syawal).  Kriteria ini populer berabad-abad, karena mudah dan praktis.  Perhitungan tinggi hilal di atas ufuk jauh lebih rumit dari itu.  Memang jelas bahwa kriteria ijtima’ qabla ghurub dapat bertabrakan dengan ru’yat empiris.  Namun justru di sinilah sering muncul laporan ru’yat yang seakan-akan sengaja dibuat untuk melegitimasi kriteria itu.  Secara ilmiah ini tentu tertolak, meski secara hukum dapat disahkan, selama ada yang berani bersaksi.

Lebih aneh lagi adalah kriteria ijtima’ qabla fajr.  Untuk kasus awal Ramadhan, ijtima’ terjadi pada Selasa 11 September 2007 pukul 12:44 GMT, atau pukul 19:44 WIB.  Jakarta tentu saja sudah Isya’, sehingga pada saat Maghrib mustahil ada laporan ru’yat.  Namun menurut kriteria ijtima’ qabla fajr, hari Rabu masuk tanggal 1, karena ijtima’ tadi terjadi sebelum fajar hari Rabu, yaitu pukul 04:40 WIB.  Celakanya, orang-orang yang ingin melegitimasi kriteria hisab ini, dapat mendasarkan keputusannya pada laporan seolah-olah hilal dapat diru’yat pada Selasa sore itu, padahal Selasa sore itu ijtima’ belum terjadi.

Idealnya memang para ahli berkumpul, merundingkan kriteria hisab yang didasarkan pada penelitian ru’yat empiris yang dapat diterima secara ilmiah (ada bukti foto / video), kemudian otoritas Islam yang dapat diterima sedunia (Khalifah) mengumumkan spesifikasi ru’yat yang benar, dan itu dilakukan dalam kampanye secara global.

Namun lepas dari itu, sesungguhnya astronomi Islam tidak sekedar aktual untuk urusan awal-akhir Ramadhan, atau jadwal sholat dan arah qiblat semata.  Kalau sekedar ini, umat Islam di masa Nabi juga sudah bisa melakukannya dengan baik, karena mereka orang-orang padang pasir yang akrab dengan langit, di saat dunia belum kenal listrik, kompas dan jadwal sholat.  Kaum muslim di masa lalu berburu ilmu astronomi ke Mesir, Romawi, Persia, India bahkan Cina, untuk sesuatu yang lebih besar.  Mereka belajar astronomi untuk menentukan posisi kapal laut dengan akurat, karena musuh-musuh mereka, terutama Romawi, sangat kuat armada angkatan lautnya.  Padahal Allah berfirman dalam QS Al-Anfaal:60

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. …

Karena paradigma astronomi Islam adalah untuk jihad, maka astronomi dikembangkan dengan sangat produktif.  Orang tidak menggunakan astronomi untuk berdebat soal ru’yat atau hisab yang tak menghasilkan apa-apa.  Saat itu ada khalifah yang berwenang memutus perkara kapan awal dan akhir Ramadhan yang dipakai negara.

Pada masa kejayaan Islam, astronomi menjadi salah satu sains dan teknologi primadona. Ahli-ahli mekanik dan optik bekerja bersama menghasilkan instrumen astronomi (seperti sextant) yang makin teliti.  Para hartawan belum merasa kaya jika belum shadaqah jariyah berupa observatorium beserta astronomnya.  Para Sultan mengabadikan dirinya dalam bentuk proyek penyusunan almanak astronomi yang akan dipakai untuk bernavigasi di laut berabad-abad.  Almanak ini pula yang belakangan dipakai Columbus menemukan benua Amerika, dan kapal Spanyol mencapai Filipina.

Sementara itu, ilmu ramalan bintang (astrologi) pelan-pelan tersisih, seiring dengan makin rasionalnya umat Islam, dan makin teguhnya keimanan mereka.

Dalam konteks sekarang ayat QS al-Anfaal:60 itu mestinya mengilhami kaum muslim untuk berusaha keras menguasai astronomi beserta teknologi antariksa saat ini, termasuk mengembangkan pesawat dan satelit-satelit ruang angkasa.  Dengan satelit-satelit di antariksa dapat dilakukan banyak hal seperti observasi bumi guna memetakan sumber daya alam, telekomunikasi dan siaran televisi antar benua, penentuan posisi global secara teliti, pengamatan objek langit terjauh yang bebas awan, percobaan ilmiah pada kondisi bebas gravitasi, hingga pengembangan senjata canggih berbasis antariksa (”starwars”).  Namun sejarah menunjukkan bahwa perkembangan astronomi dan teknologi antariksa selalu memerlukan peran negara yang kuat.  Umat Islam di masa lalu memiliki negara Khilafah.Bangsa Barat sekarang memiliki negara Amerika Serikat.

Jadi andaikata umat Islam menghendaki lagi unggul dalam astronomi dan teknologi antariksa, sudah selayaknya negara Khilafah yang dulu memperkuat mereka itu ditegakkan kembali.  Dan sudah selayaknya pula, kalau nanti negara itu membangun stasiun antariksa, stasiun ini tidak hanya dimanfaatkan untuk penentuan awal dan akhir Ramadhan, namun yang jauh lebih besar dari itu.

Energi Terbarukan

Sunday, August 12th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Bahwa BBM kini mahal, tidak ada orang yang membantah.   Tahun 1997, seorang PNS gol III-A berpenghasilan 350.000 Rupiah.  Kecil memang, tapi ini cukup untuk membeli 500 liter premium yang seliter hanya Rp. 700.  Kini, ketika premium yang sama seliter Rp 4500,-, meski gaji PNS III-A sekitar Rp. 1 juta, yang didapat hanya 222 liter premium.

Mahalnya BBM terjadi karena energi ini memang terbatas, sedangkan konsumsi dunia terus naik.  Ini juga fakta yang tidak bisa dibantah.  Negara kaya minyak seperti Iran pun paham, bahwa suatu ketika minyak mereka akan habis.  Untuk itulah mereka merasa perlu mengembangkan nuklir.

Nuklir memang efisien, dan tidak menimbulkan gas rumah kaca (CO2) yang berdampak pemanasan global.  Problema nuklir adalah skalanya yang besar, perlu teknologi tinggi dan peran negara yang kuat, yang sanggup menahan tekanan asing yang ketakutan nuklir itu akan digunakan untuk senjata.  Selain itu limbahnya juga masih bermasalah, di samping risiko kecelakaan yang dapat fatal, seperti kasus Chernobyl 1986.  Untuk Indonesia yang masyarakatnya terkenal ceroboh dan birokratnya tidak transparan, wajar jika ”bermain-main” dengan PLTN agak mengkhawatirkan.

Sebenarnya bahan bakar nuklir (Uranium) juga terbatas.  Cadangan di dalam negeri amat kecil, sehingga kalau kita punya PLTN, bahan bakarnya harus impor.  Ketergantungan pada asing tentu saja tidak kita inginkan.

Maka yang layak dikembangkan di negeri ini adalah energi terbarukan.  Berbeda dengan energi baru yang bermakna non konvensional (seperti nuklir), energi terbarukan adalah energi yang di alam praktis tidak akan habis atau selalu diperbarui.  Sumber asal energi ini ada tiga: (1) matahari / surya, (2) magma / panas bumi, (3) efek pasang surut.

Energi surya adalah energi yang terluas aplikasinya, baik langsung maupun tak langsung.  Yang langsung adalah berupa panas (misalnya untuk menjemur pakaian atau hasil pertanian) atau dikonversi ke listrik melalui sel-surya (solar-cell) dan kebun-surya (solar-fram).  Sel-surya menggunakan silikon yang langsung mengubah cahaya menjadi listrik.  Bahan ini relatif mahal karena memproduksinya perlu teknologi tinggi yang dipatenkan.  Efisiensinya juga masih rendah.  Adapun ladang-surya biasanya menggunakan satu lapangan cermin untuk memantulkan sinar matahari ke suatu fokus, yang di situ air dipanaskan sampai menguap, dan uap ini dipakai memutar turbin generator listrik.

Cara lain pemanfaatan surya adalah melalui turunannya berupa energi air, angin, gelombang laut, perbedaan panas laut dan bahan nabati.

Energi air diambil langsung misalnya untuk menghanyutkan kayu atau dengan kincir air penumbuk padi, atau untuk pembangkit listrik dengan PLTA, atau dalam ukuran kecil disebut PLTM – Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro.  Ibu Tri Mumpuni berhasil menerangi 60 desa dengan PLTM yang dibuat bersama masyarakat (Kompas 15/7/2007).

Energi angin (atau disebut juga energi bayu) diambil secara langsung misalnya dengan kapal layar atau kincir angin, baik yang langsung untuk menggiling gandum seperti di Belanda, atau untuk menghasilkan listrik.  Beberapa negara maju punya ”kebun-angin” (wind-farm), yakni lahan luas tempat ratusan kincir angin penghasil listrik (PTLB).  Lahan ini biasanya ditaruh di tepi pantai, tempat angin bertiup kencang secara konstan.  Indonesia yang bergaris pantai terpanjang di dunia jelas memiliki potensi yang luar biasa.

Demikian juga dengan gelombang laut yang terjadi antara lain oleh angin.  Dengan alat yang tepat, gelombang laut dapat dikonversi menjadi energi.  Hanya saja lokasinya tergantung topografi pantai.  Pertimbangan serupa juga untuk pasang surut, yang muncul dari interaksi bumi-bulan.

Perbedaan panas laut di permukaan dan kedalaman juga dapat untuk membangkitkan listrik dengan apa yang disebut Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), yakni dengan zat yang dapat diuapkan dengan beda suhu seperti itu. 

Yang termenarik saat ini adalah energi nabati (bioenergy).  Hal ini karena energi nabati adalah energi kimia, yang dapat disimpan dan praktis untuk keperluan transportasi.  Energi lain, termasuk nuklir, tidak memiliki sifat seperti ini. 

Energi nabati dihasilkan dari fotosintesis yang kemudian melalui rantai makanan dibawa ke energi akhir.  Secara filosofis, energi hewan atau manusia adalah nabati.  Bahan bakar fossil (minyak dan batubara) pun adalah energi nabati yang terpendam jutaan tahun.  Namun kalau orang bicara bioenergy, umumnya yang dimaksud adalah kayu bakar, bahan nabati yang dibuat bahan bakar cair (biofuel) atau gas methan hasil pembusukan limbah organik (biogas).  Biofuel yang didesain untuk mesin diesel disebut biodiesel.  Dan biodiesel yang dicampur solar olahan minyak bumi disebut biosolar.

Saat ini pemerintah menggalakkan tanaman jarak pagar (Jatropa) untuk biofuel.  Kandungan minyak dalam jatropa adalah sekitar 1400 liter/hektar/tahun.  Kandungan ini cuma seperempat kelapa sawit (6000 liter/hektar).  Pantas ada dugaan bahwa langkanya minyak goreng akhir-akhir ini karena sebagian dijual sebagai bahan biodiesel. 

Jika energi nabati diharapkan memenuhi kebutuhan sehari-hari menggantikan minyak bumi (sekitar 1,2 juta barrel/hari atau 69 Milyar liter/tahun), maka diperlukan lahan 49 juta hektar.  Sayangnya dari 107 juta ha lahan pertanian Indonesia, lahan kritisnya cuma 21,9 juta ha (BPS 2003)!

Tak heran, sebagian orang keberatan untuk menanam jarak pagar dan memilih menanam palawija atau hortikultura.  Kalaupun lahan kritis dianggap berpeluang, maka ada masalah teknis di lapangan ketika seorang petani ingin mengolah lahan yang luas dan sulit diakses.  Di samping itu terkadang masih ada persoalan hukum tentang kepemilikan tanah tersebut, sekalipun terkategori lahan kritis.  Kalaupun akhirnya jadi menanam, proses pasca panen dan penjualan minyak jarak juga masih tanda tanya.

Sebenarnya ada bahan nabati yang lebih efisien yaitu mikroalga.   Tanaman mikroorganik ini sangat efisien hidup di kawasan tropis, baik pada air tawar maupun air laut.  Dari satu hektar tanaman mikroalga dengan teknik raceway ponds atau photobioreactor dapat dihasilkan sekitar 58.000 liter minyak dengan asumsi hanya 30% dari biomassanya yang mengandung minyak! (Chisti, 2007).  Selain itu masa panennya juga jauh lebih singkat.

Karena itu mikroalga sebagai alternatif menjadi sangat menarik untuk dikembangkan.  Sayangnya saat ini baru Puslit Bioteknologi LIPI di Cibinong yang mengembangkan. 

Semestinya, demi kemandirian energi kita di masa depan, umat Islam bekerja keras menghemat energi sekaligus mengembangkan sumber energi terbarukan.  Masalah umat Islam tidak hanya sekedar kemaksiatan atau pemurtadan.  Persoalan produksi dan distribusi energi hakekatnya adalah masalah umat Islam juga.