Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
December 1st, 2013

Belajar Menjadi Anggota Keluarga Dokter

keluarga-dokterSaya pernah survei kecil-kecilan ke para finalis Lomba Penelitian Ilmiah Remaja Dikbud.  Saya menjadi juri lomba ini sejak tahun 2008.  Setiap tahun ada ratusan finalis yang diundang, dari seluruh Indonesia.  Mereka ada yang membuat penelitian tentang energi surya, alat otomatis pemadam kebakaran, kandang ayam combo dengan sensor, atau juga penelitian matematika-arkeologis.  Anehnya, lebih dari 50% mereka memiliki cita-cita yang sama: ingin jadi DOKTER !

Dokter hingga hari ini masih menjadi profesi idola.  Ini fakta!  Apakah karena stereotyp dokter di masyarakat masih bertahan: dihormati, kaya, dan bisa menolong siapa saja?

Faktanya boleh jadi tidak seindah itu.

Semua orang pernah jadi pasien.  Tetapi tidak semua orang pernah jadi dokter, atau anggota keluarganya.  Bukan sombong, saya hanya bersyukur, di keluarga besar saya ada 4 dokter.  Pertama kakak ipar saya dokter gigi; kedua istri saya, dokter umum; ketiga keponakan saya, dokter spesialis kandungan (SpOG); dan keempat juga keponakan saya, dokter spesialis orthodenti.

Tapi anak sulung saya tidak ingin jadi dokter.  Dia merasa lebih berbakat di matematika, dan saat ini kuliah ilmu komputer.  Sewaktu kecil, ketika semua orang menyangka dia akan ikut-ikutan bercita-cita jadi dokter, dia bilang, “Ogah ah jadi dokter, malam-malam dibangunin orang sakit yang minta pertolongan”.

Memang, anak-anak saya pernah sangat ketakutan.  Malam-malam terbangun, dan di kamar tidak ada orang!  Waktu itu, pukul 1 malam ada orang mengetuk pintu.  Dia minta pertolongan istri saya.  Tetapi pasiennya tidak dibawa, karena sudah tidak kuat berjalan.  Saya dalam dilemma.  Saya tidak mungkin melepas istri saya sendirian jalan ke rumah yang tidak dikenal, jam 1 malam !  Tidak mungkin juga dia menolak pasien itu sambil mengatakan, “sana ke klinik 24 jam saja”.  Orang tadi pasti tidak punya kendaraan.  Kalau punya, pasti pasien itu dibawa ke rumah saya.

Akhirnya saya tawakkal, saya mengantar istri saya ke pasien itu.  Rumah dikunci.  Kami berdoa semoga anak saya tidak terbangun.  Tadinya mau dibawa, tetapi takut nanti malah rewel di jalan.  Biasanya juga anak 4 tahun itu tidurnya pules sampai pagi …  Ternyata dugaan kami salah …

Peristiwa ini tidak sekali dua kali.  Kami sudah malas menghitungnya lagi.

Dulu, sewaktu istri saya wajib PTT di sebuah Puskesmas di Nyalindung, Sukabumi, pada area kerjanya yang membentang kira-kira 30 km, dia adalah dokter satu-satunya.  Pagi pukul 5 dia sudah harus mandi, karena pukul 5.30 pasien sudah mengantri di depan rumah dinasnya.   Hingga pukul 8, kira-kira sudah 20 pasien yang diurusi. Itu juga tiap pasien hanya kebagian sekitar 5 menit.  Masih banyak pasien, sehingga terpaksa dia agak sedikit keras, “Ayo bapak-ibu silakan ke puskesmas, sekarang jam dinas saya di Puskesmas”.  Mereka ada yang maksa, atau bahkan rela datang lagi sore nanti saja.  Dikiranya di Puskesmas pelayanan akan beda.  Di Puskesmas saat itu memang hanya ditarip Rp. 1000/orang.  Itu juga masuk PNBP Dinkes.  Untuk perawatan fasilitas Puskesmas.

Di Puskesmas Nyalindung saat itu, hanya ada 1 dokter merangkap Kepala Puskesmas dan kadang 1 dokter gigi. Selain itu hanya mantri, perawat dan bidan.  Di desa-desa di bawah naungan Puskemas itu juga ada bidan desa. Kalau seminggu sekali bidan desa itu dikumpulkan, mereka ada yang terpaksa menginap di Puskesmas, karena akses ke desa mereka sangat sulit.  Apalagi bila turun hujan.  Ini masih satu kecamatan, masih di Jawa Barat lagi !  Tidak terbayang mereka yang di luar Jawa, di Papua atau pulau-pulau terpencil lainnya.

Di Puskesmas Nyalindung ada satu mobil dinas, Kijang tahun 1980.  Mobil itu dicat putih layaknya ambulan.  Terkadang dia memang jadi ambulan, kalau ada pasien yang harus segera dilarikan ke Rumah Sakit di Kota Sukabumi, yang jaraknya 35 Km.  Meski cuma 35 Km, tetapi bisa ditempuh dalam 2 jam, karena jalannya jelek, bergelombang dan kelokannya ada lebih dari 150  (iseng amat ya saya sampai menghitungnya!).  Tapi ambulan itu juga jadi mobil dinas Kepala Puskesmas kalau penyuluhan ke desa-desa, membagikan makanan sehat tambahan untuk anak sekolah (bantuan suatu Pabrik Susu), atau bahkan membawa semen untuk perbaikan MCK di pelosok desa.  Mobil itu memang serbaguna.  Yang paling “serem” adalah saat mobil dipakai membawa mayat yang ditemukan mengapung di kolam desa.  Mayat dibawa ke RSUD untuk diotopsi.  Tiga hari bau mayat itu tidak hilang dari mobil, meski sudah dicuci, dikasih bubuk kopi, disemprot minyak wangi.

Sopir ambulan itu Pak Didin namanya.  Dia cuma lulusan SD.  Tapi puluhan tahun mendampingi dokter dan mantri, membantu sebisanya menghadapi kondisi darurat, membuatnya bisa menjahit luka!  Kadang ada kecelakaan, korbannya banyak, dokter dan paramedis kewalahan.  Atau bahkan dokter dan paramedis sedang tidak ada, lagi rapat dinas di kota, penataran atau cuti lebaran!  Apakah sopir diam saja?  Kalau dituduh malpraktek gimana? Dia tahu hukum, tetapi pilihannya adalah: dia dipenjara, atau pasien mati?  Dan Pak Didin pasang badan, biarlah dia dipenjara, asal pasien tetap hidup.  Alhamdulillah, dia tidak pernah sampai dipenjara.

Istri saya 3 tahun di Nyalindung.  Penghasilannya dari negara tahun 1995-1998 itu Rp. 500.000/bulan.  Itupun kadang dibayar 3 bulan sekali.  Biaya operasional Puskesmas sering ditomboki sendiri.  Jatah bensin mobil ambulans dari Dinas Kesehatan amat terbatas.  Kalau dia tidak praktik pagi dan sore hari di rumah, mungkin Puskesmasnya juga tidak berjalan optimal.

Tahun 1997 dia menjadi dokter teladan se Kab. Sukabumi.  Oleh dinas dia diminta melamar jadi PNS.  Test di Bandung.  Diterima.  Tetapi ketika ternyata ditempatkan di Kab. Lebak, dia akhirnya mengundurkan diri.  Dia memilih mendampingi saya yang dinas di Cibinong, Bogor.  Kami sebelumnya sudah kelamaan hidup terpisah. Saya sudah terbiasa S3 (setiap Sabtu setor).  Hal itu karena saat itu, dokter tidak akan mendapatkan ijin praktek sebelum menjalankan PTT.  Sebenarnya kami sudah mengajukan agar dia bisa ditempatkan mengikuti suami.  Tetapi mungkin terlalu banyak dokter yang menginginkan dinas di Bogor, supaya bisa dekat Jakarta – biar mudah kalau mau sekolah lagi.  Sementara itu, di pelosok Lebak sana masih banyak yang kekurangan dokter.  Yach, hidup memang tidak selalu seperti yang diinginkan.

Di Cibinong, istri saya selain praktek di rumah, pernah 10 tahun praktek di RS swasta.  Prakteknya cuma setengah hari.  Tetapi beda dengan profesi lain, dokter tidak bisa seenaknya pergi ketika tidak ada pasien.  Dia benar-benar harus standby pada waktu yang dijanjikan, meski tidak ada pasien.  Berbeda dengan dosen atau peneliti, yang boleh kabur kapan saja, asalkan jam mengajar ditepati, yang jumlahnya juga tidak banyak 🙂 Tetapi mungkin di Jabotabek ini dokter umum sudah terlalu banyak.  Ada saja dokter baru yang mau dbayar amat murah.  Ketika RS itu menerima pasien Jamsostek, istri saya mulai tidak betah.  Bayangkan bila setengah hari harus melayani 60 pasien!  Itu satu pasien tidak ada 5 menit!  Dan honor dokter juga tidak bertambah karenanya.

Berapa sih sekarang honor dokter di RS swasta seperti itu?  Banyak dokter baru yang mau dibayar Rp. 1,5 juta/bulan !  Lebih rendah dari UMR buruh pabrik …  Itulah kenyataan, yang tidak banyak diketahui oleh anak-anak belia yang bercita-cita jadi dokter.

Pernah juga istri saya membantu sebuah klinik komunitas.  Klinik ini dimiliki oleh yayasan sebuah masjid. Gagasannya bagus, daripada pasien di situ harus naik ojeg keluar, kan di situ lebih dekat.  Tetapi setelah dijalani 2 tahun, istri saya akhirnya menyerah.  Klinik itu terlalu sepi.  Ternyata lebih banyak pasien yang punya motor, dan memilih ke dokter yang lebih dulu populer, meski lebih jauh.  Klinik milik masjid itu belum dikenal, sekalipun dibuka dengan acara bakti sosial.  Setelah 2 tahun dijalani, dan lebih sering tombok,  ya sudahlah, sebuah gagasan sudah dicoba.

Bagi saya, tidak berarti karena menjadi suami dokter, maka biaya kesehatan jadi lebih murah.  Malah sebaliknya. Sebagai PNS saya memiliki askes untuk seluruh keluarga.  Mestinya, kalau sakit, saya tidak perlu bayar, bahkan obatnya juga gratis, asalkan ke klinik mitra askes.  Tetapi, karena istri saya dokter, saya sering tidak mau repot ke klinik.  Istri saya yang mengobati, pakai obat dia juga, yang dibelinya sendiri … 🙂

Dulu, waktu di Sukabumi, karena tidak ada apotek, maka istri saya juga sedia obat. Kan tidak mungkin menyuruh pasien pergi ke Sukabumi pp 4 jam, hanya untuk menebus paracetamol yang lebih murah dari ongkos jalannya. Maka, sebulan sekali saya mengantar istri saya kulakan obat.  Aneh, di grossir obat itu, kalau mau beli antibiotik selembar, harus pakai resep.  Tapi kalau mau beli satu dus isi 500 lembar, malah tidak perlu resep.  Mereka pikir, ini pasti yang beli dokter atau suruhan dokter.

Orang awam juga pinginnya kalau dikenal baik oleh dokter, digratiskan.  Karena istri saya praktek di rumah, maka tentu saja hampir semua pasiennya kenal baik, karena satu perumahan.  Ada juga sih yang dari luar.  Bahkan ada ibu-ibu yang sudah pindah rumah yang cukup jauh, kalau sakit masih juga datang ke rumah, katanya sudah “jodoh” 🙂   Yang ajaib, ada saja yang datang minta surat sakit, tapi pasiennya tidak ikut.  Rupanya itu untuk alasan mbolos.  Padahal dari perusahaan sering menelpon kami, bertanya, sebenarnya sakit apa?  Karena sudah terikat sumpah, istri saya tidak mau melayani permintaan rese begitu.  Dibayar berapapun tidak.  Ada juga pasien yang maunya konsultasi berlama-lama lewat telepon.  Mungkin takut kalau tatap muka disuruh bayar 🙂

Tapi saya setuju, bahwa ada dua jenis jiwa yang agak sulit menyatu di satu orang, yaitu: jiwa dokter dan jiwa dagang.  Karena istri saya itu menghayati profesinya, dia pasti rugi kalau dagang.  Dulu pernah ada teman mengajak jualan herbal dan madu.  Sekalipun istri saya tidak masalah dengan produknya, tetapi kalau ada orang yang beli dan telat membayarnya, dia pasti tidak tegaan untuk menagihnya.  Lha yang utang terus terang saja banyak yang hingga kini tidak bisa ditagih.  Ah sudahlah, semoga setiap hari keterlambatan bayar utang itu, dibalas kebaikan sedekah seharga utang yang tersisa.

Pernah ada suatu RS yang tiba-tiba mengirim utusan untuk memberikan komisi, karena ternyata ada pasien yang harus dirujuk ke spesialis dan ternyata pergi ke RS itu.  Tetapi istri saya tidak terpengaruh.  Di Cibinong sekarang ada 1 RSUD, 3 RS swasta bertaraf internasional, dan beberapa RS swasta yang lebih kecil.  Ah kita mah sebisa mungkin mencarikan solusi yang terbaik dan termurah bagi pasien.  Beberapa pasien malah kami antar sendiri sampai RS, bahkan biaya awal juga dari kami.  Tentunya kami sedih, kami belum bisa maksimal dalam menolong mereka.  Bahkan, kami yakin, direksi RS itu juga sangat ingin menolong semua pasien, tetapi mereka juga memiliki banyak keterbatasan.  Ada pasien yang kami bantu carikan Jamkesda, eh ternyata KTP-nya masih KTP domisili lama beda provinsi.  Padahal dia sudah pindah bertahun-tahun.  Ah negeri ini kenapa kusut begini.  Saatnya kita memang bersama-sama berusaha merubah sistemnya.  Dari dasarnya. Kalau kita mau bersama-sama, saya optimis!

Tags: , , ,

.

One Response to “Belajar Menjadi Anggota Keluarga Dokter”

  1. Dokter itu pekerjaan mulia. Aku juga ingin punya istri dokter, apalagi dokter yang sering memberikan pengobatan gratis buat masyarakat miskin. dokter tuh punya jiwa sosial yang tinggi. kalau kata orang punya istri dokter harus siap berbagi dengan banyak orang, harus siap-siap kehilangan waktu bersama keluarga apalagi dokter spesialis. menurut aku itu kan pekerjaan mulia, silahkan saja asalkan jangan selingkuh, percaya aja. lagian aku juga hidup di dunia proyek, kadang harus bekerja sampai malam, kadang tak pulang, istri dokter ini sangat ideal buatku, aku kan ngak perlu mikirkan nasib istriku dirumah, ahh paling-paling masih sibuk mengobati pasien di rumah sakit. paling senang kalau dapat istri dokter spesialis bedah organ dalam jantung. biasanya kan sibuk banget tuh. bagiku istriku tuh cukup ada waktu sabtu/minggu hari besar keagamaan. aku kan punya kerjaan & tugas, berharap punya istri dokter agar dia bisa menyibukkan diri dengan mengobati orang. Amin 🙂

Leave a Reply