Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for June, 2012

Ketika Keterbatasan Energi menjadi Berkah

Sunday, June 10th, 2012

Oleh: Dr. Fahmi Amhar

Harga Bahan Bakar Minyak memang tidak jadi naik per tanggal 1 April 2012 ini.  Bagi sebagian kalangan, itu dianggap bukti keberhasilan berbagai demonstrasi di seluruh antero negeri.  Bagi sebagian yang lain, itu bukti bahwa masyarakat tidak lagi dapat dibodohi dengan argumentasi ngawur bin tidak akurat, yang diboncengi oleh agenda liberalisasi energi.   Tapi ada sebagian yang tetap kritis, apakah dengan ini berarti ada “hikmah” yang juga tak jadi diraih?

Dalam sejarah, respon manusia terhadap kesulitan selalu ada dua macam: pertama marah, kedua mengambil hikmah – bahkan “berkah”.  Dalam sejarah umat Islam yang panjang, ternyata mereka lebih sering mengambil hikmah.

Krisis energi sebenarnya sudah terjadi berkali-kali.  Di zaman purba, ketika manusia masih hidup dari berburu, dan energi paling banyak didapatkan dari tenaga manusia, pertumbuhan jumlah manusia berakibat cadangan hewan buruan di sekitarnya terus menipis sehingga akhirnya terjadi krisis pangan yang berarti juga krisis energi.  Namun krisis ini kemudian dijawab dengan beralihnya budaya berburu menjadi budaya pertanian dan peternakan, dan ketika tenaga manusia lalu digantikan dengan tenaga hewan yang telah dijinakkan.

Ketika jumlah manusia berikut kebutuhannya semakin meningkat, terjadilah krisis energi lagi.  Tenaga hewan tidak cukup lagi untuk menggerakkan industri yang makin menjamur di sekitar perkotaan.  Di situlah daya kreatifitas manusia ditantang lagi.  Muncullah penggunaan energi non hayati.  Rentang masa ini cukup panjang.  Dimulai dari penggunaan energi air sejak zaman Romawi kuno, hingga penggunaan energi fosil (batubara, minyak) di awal revolusi industri (abad 17-18 M).

Umat Islam bukanlah pengguna energi air yang pertama, tetapi mereka memberikan kontribusi yang luar biasa bagi penemuan mesin-mesin energi yang lebih efisien.  Dan meski umat Islam bukan penikmat revolusi industri, mereka telah memberikan kontribusi yang besar pada dunia pertambangan, sehingga membuka jalan untuk exploitasi dan pengolahan energi fosil.

Banu Musa bersaudara (abad 9 M) dan al Jazari (abad 12) adalah orang-orang yang mewariskan mesin-mesin yang sangat inovatif, baik dalam penggunaan energi air maupun untuk pertambangan.

Banu Musa terdiri dari tiga bersaudara, yang saat masih kecil ditinggal mati ayahnya, Musa bin Syakir, yang tewas ketika sedang menyamun!  Namun Khalifah al-Ma’mun yang melihat bakat kecerdasan anak-anak itu justru memerintahkan agar mereka diasuh oleh Yahya bin Abi Mansur, astronom Khalifah dan Mas’ul Baitul Hikmah (Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Khilafah).  Muhammad bin Musa tumbuh menjadi astronom, matematikawan dan meteorolog.  Adiknya, Ahmad bin Musa menjadi insinyur pencipta mesin.  Sedang si bungsu Hasan bin Musa besar di geometri dan ilmu konstruksi.

Sinergi tiga bersaudara itu antara lain menemukan desain lampu minyak yang tahan tiupan angin sehingga cocok dipakai di udara terbuka.  Mereka juga membuat alat ventilasi dan mesin keruk yang dirancang secara cerdas dan dimuat dalam buku mereka “Kitab al-Hiyal”.

Saat itu (bahkan di Indonesia hingga saat ini), banyak pertambangan liar yang tidak begitu peduli aspek-aspek keselamatan.  Orang berebutan untuk sampai ke posisi tambang yang diharapkan, sehingga dapat saja orang memulai harinya dengan kekayaan dan menjelang malam dia tak lagi memiliki apa-apa, akibat keduluan orang lain.  Atau dia memulai dengan kemiskinan di pagi hari, dan malamnya menjadi pemilik sumber kekayaaan yang tak terhingga besarnya.  Lokasi tambang bisa menjadi kuburan massal akibat gas beracun atau air bah yang memancar tiba-tiba dari sungai di dalam tanah.

Namun pada penambangan-penambangan yang dikelola pemerintah, sudah digunakan ventilator karya Banu Musa dan pompa air karya Taqiyuddin.

Dengan alat-alat itu tak heran, ketika geografer al-Idrisi (abad 12 M) mengunjungi tambang air raksa di utara Cordoba Spanyol, ia diberitahu bahwa kedalaman lubang tambang dari permukaan tanah tidak kurang dari 250 fanthom (sekitar 457 meter).  Itu tidak mungkin tanpa ventilator, pompa air dan drainase yang memadai.

Tentang pengolahan tambang, Al-Biruni menulis: “Pencarian batu la’l (sejenis rubi) dilakukan dengan dua cara.  Pertama dengan menggali tambang di bawah gunung, dan yang lain dengan mencarinya di antara kerikil dan tanah yang berasal dari reruntuhan gunung akibat gempa bumi atau erosi karena banjir”.  Dalam kitabnya al-Jamahir, al-Biruni membahas tentang berbagai mesin pengolah mineral.  Mesin-mesin itu mirip penggiling kertas, tetapi yang dihancurkannya adalah batuan.  Setelah dihancurkan sampai halus, batuan itu kemudian dapat dipisahkan, misalnya emas dari tembaga.  Seluruh mesin-mesin ini pada abad ke-4 H (atau abad-10 M) telah digerakkan dengan tenaga air.

Meski pada saat itu batubara atau minyak bumi belum banyak diketahui manfaatnya, sehingga teknologinya pun belum berkembang, namun tanpa alat-alat pertambangan yang dikembangkan kaum muslimin saat itu, eksploitasi batubara dan minyak bumi saat ini tidak bisa dibayangkan.

Yang jelas, teknologi bagaimanapun hanyalah alat.  Tanpa tata energi dan sumberdaya mineral yang adil, teknologi itu hanya makin memperkaya mereka yang kuat dan bermodal yang umumnya konsorsium asing, dengan mengabaikan hak-hak pemilik sesungguhnya yaitu umat.  Hanya negara yang benar-benar merdeka, yang berani melawan tekanan asing, sehingga menerapkan syariat, mengembangkan teknologi dengan bersemangat dan menggunakannya sehingga bermanfaat bagi seluruh umat. Hanya dengan itu, keterbatasan energi benar-benar justru mendatangkan berkah![]

Saat Sistem Menjaga Orang

Thursday, June 7th, 2012

Dr. Fahmi Amhar

Pernahkah Anda terlambat shalat?  Sering?  Janganlah ya!.  Pernahkah Anda telat check-in pesawat?  Juga janganlah!  Masalahnya telat check-in sering berarti uang hilang, tapi bagaimana kalau shalat sampai telat?

Masalah waktu adalah contoh masalah perorangan yang ternyata bisa dijaga dengan suatu sistem.

Dulu, ketika belum ada jam, atau sudah ada jam tetapi belum ada standarnya, maka termasuk susah untuk menjaga ketepatan suatu acara.  Karena tiap orang punya waktu masing-masing.  Saat manusia mulai menggunakan kereta api jarak jauh, mau tidak mau standar waktu harus dibuat agar waktu keberangkatan atau kedatangan kereta bisa dipastikan.

Para ilmuwan memikirkan agar ada sebuah aturan tentang waktu yang dapat berlaku antara negara, dari soal yang mendasar seperti: sehari dibagi berapa jam, sejam berapa menit, semenit berapa detik, hingga tentang acuan meridian (sekarang di Greenwich), zona waktu, hingga lokasi garis batas tanggal internasional!

Aturan ini kemudian diadopsi dalam berbagai undang-undang di berbagai negeri.  Undang-undang ini adalah contoh sebuah sistem pada level yuridis.  Sebuah negara biasanya mengeluarkan banyak aturan baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan di bawahnya.  Karena diwajibkan oleh organisasi berupa negara, maka terjadilah perubahan sistemik.  Mau tidak mau semua dipaksa ikut “sistem” itu.

Sistem pada level yuridis ini sering harus didetilkan lagi dalam suatu sistem pada level teknis.  Misalnya, kapan jam belajar di sekolah mulai, kapan jam buka/tutup toko, kapan kereta berangkat, dsb.

Sistem pada level teknis ini pun sering harus dipaksakan lagi dalam bentuk sistem pada level mekanis, agar subyektifitas manusia bisa diminimkan lagi.  Dibuatlah bel otomatis yang akan berbunyi ketika sekolah akan dimulai, atau lampu yang akan menyala sendiri ketika toko akan buka/tutup, bahkan pintu kereta yang akan menutup sendiri ketika saatnya harus berangkat.  Semua orang yang berada di situ dipaksa oleh sistem agar mereka disiplin.

Kaum Muslim memiliki kontribusi yang luar biasa dalam teknologi sistem pada level mekanis ini.

Teknologi jam dimulai oleh para astronom. Ini karena pengamatan obyek langit sangat tergantung penunjuk waktu yang akurat.  Berbagai jam telah dibuat, namun secara umum terdiri dari tiga prinsip penunjuk waktu: fenomena astronomi (jam matahari), aliran air (jam air), dan fungsi mekanik (komputer analog).  Pada era modern, ditemukan jam quartz dan jam atom.

 

Jam Astronomi

Penunjuk waktu ini tergantung dari gerak matahari.  Sebuah paku aku melempar bayangannya ke sebuah permukaan lengkung yang berisi garis dan kurva, dan dengan sedikit latihan kita akan dapat membaca tanggal dan jam.  Di beberapa pesantren dan masjid di Indonesia, masih bisa dijumpai jam semacam ini.  Di masa lalu, astronom Muslim bahkan membuatkan jam-jam matahari untuk penghias taman istana-istana di Eropa.

am astronomi yang lebih portabel (bisa dibawa kemana-mana) adalah astrolab.  Pada abad-10, al-Sufi menuliskan lebih dari 1000 macam penggunaan astrolab, termasuk untuk menghitung waktu shalat dan awal Ramadhan.

Jam matahari di taman istana Schoenbrunn, Wina dibuat dengan konsep dari Ibnu As-Syatir  Astrolab saku

Jam matahari di taman istana Schoenbrunn, Wina
dibuat dengan konsep dari Ibnu As-Syatir
Astrolab saku

 

Jam Air

Jam air ditulis pertama kali oleh Ibn Khalaf al-Muradi dalam “Kitab Rahasia-Rahasia” pada tahun 1000 M.  Kitab ini disimpan pada Museum of Islamic Art di Doha, Qatar.  Namun banyak desain jam air yang spektakuler dilakukan Al-Jazari (1206 M).  Salah satu di antaranya memiliki tinggi sekitar satu meter dan lebar setengah meter. Jam ini menunjukkan gerakan dari model matahari, bulan dan bintang-bintang.  Inovasinya adalah, sebuah jarum yang ketika melewati puncak perjalanannya akan membuat pintu terbuka setiap jam.  Jam asli al-Jazari ini berhasil direkonstruksi dan dipamerkan di Science Museum London pada tahun 1976.  Selain jam ini al-Jazari juga membuat jam air yang berbentuk gajah.

Jam gajah dari Kitab karangan Al-Jazari pada 1206.  Ia menggunakan regulator aliran, suatu loop tertutup

Jam gajah dari Kitab karangan Al-Jazari pada 1206. Ia menggunakan regulator aliran, suatu loop tertutup

Jam Mekanik

Jam mekanik menggunakan prinsip gerak yang dapat diatur perlahan dan teratur, misalnya pegas atau bandul.  Yang menarik, pada tahun 1559, Taqiuddin as-Subkhi, seorang astronom Utsmani saat itu sudah mendesain berbagai jam mekanik yang dilengkapi dengan suatu alarm, misalnya untuk penggerak teleskop, sehingga akan sangat memandu astronom dalam mengamati obyek langit, misalnya yang mendekati meridian.  Dia menulisnya dalam bukunya “Al-Kawākib al-durriyya fī wadh’ al-bankāmat al-dawriyya” (The Brightest Stars for the Construction of Mechanical Clocks).

Ada juga jam mekanik yang sudah digabung dengan kalender lunisolar (gabungan bulan dan matahari).  Ini adalah embrio dari komputer analog.  Ibn as-Syatir pada awal abad-14 membuat jam yang menggabungkan penunjuk hari universal dan kompas magnetik untuk menentukan jadwal shalat dalam perjalanan.  Semakin hari jam karya insinyur Muslim semakin teliti.  Abad-15 M, mereka sudah mampu menghasilkan jam yang dapat mengukur sampai detik.  Presisi dalam penunjuk waktu berarti akurasi dalam navigasi, dan ini adalah modal keunggulan dalam jihad fi sabilillah, terutama di lautan.

Tinggal apakah sistem mekanis ini dioperasikan atau tidak, tergantung yang mengendalikan, “man behind the gun”.  Seorang kepala sekolah dapat saja dengan suatu alasan menonaktifkan bel sekolah otomatisnya.  Demikian juga dengan pemilik toko atau masinis kereta.  Dampaknya tentu saja juga sistemik, meskipun lokal.  Ini adalah sistem pada level praktis (pelaksana).  Sistem pada level ini biasanya paling mudah diubah, begitu ganti orang, sistem bisa dengan cepat ikut diganti.

Namun di atas sistem pada level juridis, itu sebenarnya ada sistem pada level politis.  Kenapa khilafah pada tahun 1884 ikut hadir dan menyetujui Konferensi Meridian yang mengadopsi Greenwich sebagai acuan?  Ini tidak lepas dari pribadi Sultan Abdul Hamid II yang memiliki pemahaman yang tajam, bahwa Konvensi itu hanya kesepakatan tentang aturan teknis, bukan soal syar’i.  Demikian juga mengapa kaum Muslimin belajar membuat berbagai jenis jam dari bangsa Yunani, Persia atau Cina, juga tak lepas sistem politis khilafah yang mendorong kaum Muslimin untuk mencuri teknologi dari manapun.  Sistem politis yang tepat akan menjaga agar teknologi tetap dikembangkan dan digunakan secara syar’i.

Ketika sistem pada level politis membusuk, maka berbagai level sistem di bawahnya ikut membusuk.  Undang-undang tidak dimutakhirkan, atau dimutakhirkan tetapi malah jadi tidak syar’i, akibatnya aturan teknisnya juga tidak punya payung yang tepat.  Selanjutnya mau dibuat mekanis juga malah menzalimi orang.  Dan sudah dapat dipastikan, pelaksananya akan bimbang.  Pada kondisi ini, maka sistem harus diganti.  Tetapi kita wajib tahu, pada level mana masalah yang dihadapi, agar penggantian sistem ini dapat dilakukan dengan tepat dan cepat.

Sistem pada level politis kadang-kadang sangat kompleks, karena tak hanya menyangkut perkara di dalam negeri tetapi juga luar negeri, tidak hanya soal pejabat negara namun juga pandangan hidup rakyat yang membelanya.  Kalau harus sudah pada tataran ini yang harus diubah, maka kita bicara sistem pada level ideologis.

Dalam sejarah panjang khilafah, perubahan-perubahan yang ada baru sampai ke sistem level politis.  Perubahan sistem secara ideologis hanya terjadi sekali ketika khilafah dibubarkan oleh Mustafa Kamal pada tahun 1924.

Apakah Tuhan Menciptakan Kejahatan?

Tuesday, June 5th, 2012

Seorang profesor yg atheis berbicara dalam seminar dikampus.
Prof: “Apakah Tuhan menciptakan segala yg ada ?”
Mahasiswa semua : “Betul, Dia yg menciptakan semuanya.”
“Tuhan menciptakan semuanya?” tanya prof sekali lagi.
“Ya prof, semuanya,” kata mahasiswa itu.
Prof: “Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan.”
Mhs itu terdiam & kesulitan menjwb hipotesis prof tsb.
Suasana hening dipecahkan oleh suara mahasiswa lainnya, “Prof, boleh saya bertanya sesuatu?”
“Tentu saja,” jawab si Prof.
Mhs : “Prof, apakah dingin itu ada ?”.
“Pertanyaan macam apa itu ?  Tentu saja dingin itu ada.”
Mhs itu menyangkal, “Kenyataannya, Prof, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yg kta anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -273 C adalah ketiadaan panas sama sekali & semua partikel menjadi diam & tidak bisa bereaksi pada suhu tsb. Kita menciptakan kata dingin utk mendeskripsikan ketiadaan panas”.
Mhsw itu melanjutkan, “Prof, apakah gelap itu ada ?”.
Prof menjawab, “Tentu saja itu ada.”
Mhsw itu menjawab, “Sekali lagi anda salah, Prof. Gelap jg tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tdk ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bsa menggunakan prisma Newton utk memecahkan cahaya jadi beberapa warna & mempelajari brbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dgn berapa intensitas cahaya di ruangan tsb. Kata gelap dipakai manusia utk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”
Akhirnya mhsw itu bertanya, “Prof, apakh kejahatan itu ada ?”
Dgn bimbang prof itu menjwb, “Tentu saja !”
Mhsw itu menjawab, “Sekali lagi anda salah, Prof. Kejahatan itu TIDAK ADA. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan di dalam diri seseorang seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yg dipakai manusia utk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan di dalam diri. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tak adanya Tuhan di hati manusia.”

Profesor itu terdiam …

Konon mahasiswa itu adalah Albert Einstein