Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for March, 2010

TSQ Stories

Monday, March 29th, 2010

Al-Azhar Press
isbn: 979-3118-80-6

Buku ini saya sebut “TSQ-stories”, karena berisi kisah-kisah tentang kecerdasan ilmiah dan kreativitas teknologi yang berbasis spiritual (technoscience-spiritual-quotient).  Kisah-kisah ini digali dari sejarah keemasan peradaban Islam, era di mana diyakini ada keseimbangan yang luar biasa antara budaya rasional dan transendental, antara dunia “aqli” dan “naqli”, dan antara kemajuan dunia dan keselamatan akherat.

Kisah-kisah ini “dipulung” dari banyak sekali sumber.  Saya amat berhutang budi kepada Wikipedia, Sigrid Hunke (“Allahs Sonne ueber dem Abendland”), Ahmad Y Al-Hassan & Donald R. Hill (“Islamic Technology: An Illustrated History”), suami istri Ismail Roji & Lois Lamya al-Faruqi (“The Cultural Atlas of Islam”), Francis Robinson (“Atlas of the Islamic World since 1500”), Geoffrey Barraclough (“The Times Atlas of World History”), dan masih banyak lagi sumber-sumber yang berserakan.  Meski akurasinya dijaga, buku ini tidak dimaksudkan sebagai karya ilmiah yang harus mencantumkan sumber referensi di setiap pernyataan, namun buku ini ditulis lebih untuk dijadikan inspirasi.

Dengan kisah-kisah ini kita tidak ingin bernostalgia dan selalu menengok masa lalu.  Apalah artinya uang segudang tapi adanya di masa lalu dan sekarang dengan kantong kosong dan perut lapar kita menjadi pengemis pada rentenir-rentenir dunia?  Namun dengan kisah-kisah ini kita ingin menunjukkan, bahwa kita pernah memiliki kakek dan nenek orang-orang hebat nan mulia.  Di dalam tubuh kita mengalir darah mereka.  Dan kita juga masih memiliki apa yang pernah membuat mereka hebat dan mulia, yakni ajaran Islam, yang bila dipraktekkan secara sinergis baik di level individual, level sosial-kultural, maupun level sistemik-struktural pasti akan memberikan “ledakan peradaban” yang sama.  Dalam bahasa yang lebih gamblang, pada masa keemasan Islam itu tak cuma ada kesalehan individual, tetapi juga ada kesalehan kolektif, dan kesalehan negara.  Untuk itulah pada awal setiap kisah selalu diberikan refleksi untuk menghubungkan masa kini dengan dengan masa lalu.

Tentunya akan muncul pertanyaan lanjutan yang sangat absah: mengapa peradaban tinggi yang pernah membuat generasi hebat nan mulia itu kemudian tenggelam?  Lalu apa saja yang dapat kita perbuat untuk menarik peradaban itu dari dasar samudra agar dapat tegak kembali berlayar menuju tanah impian?  Untuk pertanyaan-pertanyaan ini sudah tersedia jawabannya, namun bukan di buku ini.

Buku ini didesain agar ringan, dapat dibawa ke sekolah di level apapun, dijadikan materi diskusi oleh guru pelajaran apapun.  Sengaja, hampir seluruh pelajaran yang ada di SD hingga SMA dapat dicarikan contohnya di satu atau lebih judul tulisan dalam buku ini.  Kita ingin, Islam tidak cuma dikenal dan diinternalisasi oleh guru agama saja, tetapi juga oleh guru-guru dari segala mata pelajaran.  Guru matematika mengetahui kisah-kisah matematikawan muslim di masa lalu, sebagaimana guru olahraga atau guru kesenian juga mendapatkan perkenalan yang serupa.  Bahkan lulusan SMA yang ingin meneruskan ke perguruan tinggi dapat mendapatkan inspirasi – dan juga motivasi – tentang jurusan apa di perguruan tinggi yang dapat mengikat emosinya dengan kehebatan dan kemuliaan nenek moyang kaum muslim.

Tentu saja, sebagai perkenalan, buku ini teramat singkat.  Sesungguhnya tulisan-tulisan ini pernah dipublikasikan di tabloid Media Umat dari tahun 2008 hingga 2010.  Setelah mengarungi nyaris seluruh jenis ilmu, tiba saatnya bahasan di tabloid tersebut diperdalam.  Kalau tidak, niscaya kisah-kisah singkat yang bersifat overview semacam ini lekas kehabisan bahan.

Sebagai catatan terakhir, kalau di buku ini disebut “ilmuwan Islam”, maka maksudnya adalah “ilmuwan negara Khilafah”.  Ilmuwan yang bersangkutan boleh jadi non muslim, atau kemurnian aqidahnya diragukan oleh sejumlah ulama ushuluddin.  Kita tidak perlu berdebat tentang itu.  Yang penting, selama seorang ilmuwan mengabdikan hidupnya dalam negara Khilafah dan karyanya memuliakan Islam dan kaum muslim, maka dia adalah “ilmuwan Islam”.  Ini karena Islam adalah suatu tatanan atau suatu ideologi yang khas.  Masyarakat Islam dibangun di atas tatanan itu, mulai dari cara pandangnya atas kehidupan dan metode mereka menyelesaikan segala persoalan kehidupan itu, yang semuanya khas.

Hal ini sebenarnya mirip dengan kalau kita menyebut “ilmuwan Amerika” untuk para saintis atau teknolog di Amerika, mulai yang bekerja di NASA atau di Microsoft hingga yang membangun Disneyland atau membuat animasi untuk Hollywood.  Mereka tak semuanya warga negara Amerika dan secara individual juga tidak semua setuju dengan ideologi ataupun politik luar negeri Amerika.  Tetapi kita tidak salah menyebut mereka “ilmuwan Amerika”, karena mereka, meski berasal dari Cina, India ataupun Timur Tengah, bekerja di Amerika, dan ikut memakmurkan, membuat jaya, dan mengharumkan citra Amerika di dunia.

Saya memohon kepada Allah, semoga langkah yang kecil ini dapat mendorong ribuan langkah kecil lainnya, hingga menjadi langkah-langkah raksasa yang cukup demi menarik peradaban Islam keluar dari dasar samudra, kembali memimpin zaman, merahmati seluruh alam.

Saya memohon kepada Allah, agar mempertemukan kita dengan orang-orang yang amat kita rindukan, yaitu baginda Nabi dan para sahabatnya, serta para ilmuwan Islam yang shaleh, yang perjalanannya mencari ilmu adalah jihad fii sabilillah, dan goresan tintanya lebih mulia dari darah para syuhada.

Daftar Isi:

1.  Ketika Agama bukan sekedar Dogma dan Busana
2.  Belajar Bahasa untuk Negara Adidaya
3.  Olahraga Para Mujahid
4.  Ketika para Seniman Orang-orang Beriman
5.  Matematika Islam bukan Numerologi
6.  Astronomi Islam tak sekedar Hisab & Ru’yat
7.  Fisikawan Islam Mendahului Zaman
8.  Terbang tanpa karpet ajaib
9.  Ketika Kimiawan tak lagi Tukang Sihir
10. Teknologi Militer Islam
11. Kedokteran Islam pakai Uji Klinis
12. Ketika Sehat bukan Misteri
13. Islam Pernah Merevolusi Pertanian
14. Ketika geografi induk segala ilmu
15. Ilmu Sosial bukan Anak Tiri
16. Psikologi tak harus ikut Freud
17. Tata Negara yang tidak membosankan
18. Ekonomi Umat tak hanya Zakat
19. Industri Islam tak hanya Perangkat Ibadat
20. Negeri Kincir Angin pertama bukan Belanda
21. Arsitektur Islam tak hanya Masjid Sentris
22. Kota Islami Kota Terrencana
23. Ketika Bencana tak hanya diratapi dengan doa
24. Krisis Energi bagi sebuah Negara Merdeka
25. Ketika Jarak bukan Penghalang Komunikasi
26. Teknologi Kelautan untuk Negara Adidaya
27. Teknologi untuk Menutup Aurat
28. Menjadi Cerdas dengan Kertas
29. Ketika Perpustakaan Jadi Identitas
30. Manajemen Riset para Mujtahid

Total 204 halaman.

Ketika Perpustakaan Jadi Identitas

Friday, March 5th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Kenalkah anda dengan satu perpustakaan di kota anda?  Pernahkah anda mengunjunginya?  Apakah anda merasa betah di dalamnya dan meraup manfaat darinya?  Berapa buku yang pernah anda baca dari perpustakaan?  Berapa orang yang biasanya anda jumpai di perpustakaan?  Apa yang biasanya mereka kerjakan?

Bagi banyak orang, jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas adalah jelas: geleng-geleng atau angkat bahu.  Perpustakaan yang lazim dikenal barangkali cuma perpustakaan sekolah atau kampus.  Orang ke sana karena ada tugas dari dosen dan harus mencari literatur.  Selain itu karena ingin belajar pada suasana yang nyaman, sambil sekali-sekali membaca koran hari itu.  Jarang orang datang ke perpustakaan, apalagi perpustakaan non kampus, untuk membaca buku-buku bermutu yang ada di dalamnya.  Perpustakaan menjadi tempat yang sepi, agak berdebu dan “angker”.  Hanya peneliti yang memerlukan singgah ke sana.  Para penjaganya juga kesepian, sehingga ada perpustakaan yang buka hanya kalau ada permintaan saja.

Beberapa perpustakaan lalu ganti strategi.  Mereka menjaring pembaca remaja dengan menyediakan lebih banyak bacaan populer, komik, teen-lit, dan multimedia.  Perpustakaan pelan-pelan beralih fungsi menjadi tempat penyewaan komik dan DVD.  Namun bertahan menjadi perpustakaan semacam ini tentu tidak mudah.  Dalam waktu singkat, koleksi populer itu pasti akan termakan zaman.  Tidak murah untuk terus mengupdate koleksi itu sesuai penerbitan terakhir yang jumlahnya makin banyak.  Ada yang terpaksa mengambil jalan pintas dengan membeli buku atau DVD bajakan.  Namun inipun tidak juga selalu menutup biaya operasional.  Perpustakaan adalah proyek rugi, cost center, bukan profit-center.

Ini berbeda dengan seribu tahun yang lalu.

Tahun 1000 M, di Bagdad pedagang buku Ibn an Nadim mempublikasikan al-Fihrist (“Katalog Pengetahuan”).  Buku ini terdiri dari 10 Jilid dan memuat judul seluruh buku dalam bahasa Arab yang terbit hingga saat itu, baik dari ilmu ushuluddin, astronomi, matematika, fisika, kimia, dan kedokteran.  Buku-buku yang masuk dalam katalog itu seperti sudah terjamin mutunya dan menjadi buruan para pengelola perpustakaan, berikut ahli salinnya, juga para cerdik cendekia yang tidak ingin ilmunya dikatakan orang “di bawah standar”, hanya karena tidak mengenal buku yang ada dalam katalog itu.  Buku yang saat itu masih ditulis tangan tentu saja sangat mahal.  Untunglah, bagi yang tak mampu membelinya tersedia perpustakaan.

Maka tertariklah mahasiswa dari timur dan barat pada perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam.  Perpustakaan Universitas Cordoba memiliki koleksi setengah juta buku.  Di Kairo ada beberapa ratus pustakawan yang melayani perpustakaan khilafah dengan koleksi dua juta buku.  Ini duapuluh kali lipat perpustakaan Mesir kuno di Alexandria sebelum dihancurkan oleh Romawi.  Pernahkah anda menghitung berapa buku yang dapat dimuat dalam rak buku anda?  Satu rak buku standar yang banyak terdapat di rumah-rumah dapat memuat rata-rata 100 buku.  Jadi di perpustakaan Kairo kira-kira terdapat 20.000 rak.  Kalau satu rak berikut ruang untuk orang lewat perlu area 1 meter persegi, maka berarti luas lantai perpustakaan itu kira-kira dua hektar!

Para pustakawan di masa itu wajib memiliki ilmu yang terkait dengan koleksi yang diurusnya.  Ia bukan hanya seorang yang tahu judul buku, pengarang dan di rak mana letaknya.  Namun seorang pustakawan yang mengurus buku-buku fiqih harus pula seorang faqih, seperti halnya pustakawan yang mengurus karya-karya al-Biruni atau al-Haitsam harus pula seorang astronom atau matematikawan.  Para pembaca dapat berkonsultasi tentang isi buku-buku itu pada para pustakawan.

“Aneh, bahwa di Roma tidak ada seorangpun, yang memiliki pendidikan yang cukup, bahkan sekedar untuk menjadi penjaga pintu perpustakaan itu”, keluh orang yang mestinya paling tahu, yaitu: Gerbert de Aurillac, yang pada tahun 999 M menjadi Paus di Roma!  Demikian Sigrid Hunke dalam Allahs Sonne ueber dem Abendland.

Pada tahun tersebut, Abulkasis menyelesaikan ensiklopedi bedah.  Al-Biruni menunjukkan kejeniusan layaknya “Aristoteles-nya dari Arab”, dengan karya-karya tentang peredaran bumi mengelilingi matahari.  Al-Haitsam menulis prinsip-prinsip optika serta bereksperimen dengan kamera obscura dan berbagai bentuk lensa dan cermin.

Pada tahun tersebut, saat dunia Islam sedang menikmati zaman keemasannya, dunia Barat ketakutan akan segera datangnya hari kiamat.  Anak lelaki Kaisar Otto III yang berusia duapuluh tahun berziarah ke Roma dan berpidato dalam penuh suasana sakral, “Sekarang Kristus akan segera datang untuk mengadili dunia dengan api, karena kedurjanaan sudah merajalela di Roma”.

Pada saat yang sama dan di usia yang sama, Ibnu Sina sedang memulai mengisi dunia dengan karya-karya intelektualnya yang hebat.

Dua dunia yang sangat berbeda.  Berawal dari padangan hidup yang juga amat berbeda.  Masyarakat Islam dituntun oleh sabda Nabinya, yang antara lain berbunyi, “Barang siapa meninggalkan kampung halamannya untuk mencari ilmu, dia seperti sedang pergi jihad fisabilillah”, “Tinta seorang pembelajar adalah lebih mulia daripada darah seorang syuhada”, dan “Ilmu itu ternak kaum muslim yang hilang, maka di mana saja kamu dapatkan, ambillah, sekalipun dari lisan seorang kafir”.

Sementara itu masyarakat Barat terpaku pada kata-kata Paulus, yang berbunyi, “Apakah Tuhan tidak menyatakan bahwa pengetahuan dunia ini sebagai hal tercela?”.  Satu-satunya sumber kebenaran untuk kaum Nasrani adalah kitab suci.  Karena itulah, meski Romawi mewarisi banyak peradaban tua seperti Yunani ataupun Mesir, mereka lalu membuangnya sejak beralih ke agama Nasrani.  Perpustakaan Alexandria yang sangat tua dibakar habis.  Andaikata tidak ada kaum muslim yang rajin memungut kembali ilmu pengetahuan Yunani, menerjemahkannya, dan mengkoleksinya di perpustakaan-perpustakaan, barangkali kita sekarang ini tak pernah lagi mengetahui tentang hukum hidrostatika Archimedes atau geometri Euklides.

Sementara itu orang-orang kaya se antero dunia khilafah menjadikan wakaf perpustakaan sebagai salah satu cara menunjukkan identitas.  Di Baghdad saja ada 200 perpustakaan pribadi yang diwakafkan untuk umum.  Dan tidak main-main, banyak yang mewakafkannya berikut suatu asset produksi untuk membiayai operasional perpustakaan selamanya.  Sayang, saat serbuan tentara Mongol, nyaris seluruh perpustakaan itu dihancurkan, sampai air sungai Tigris menjadi hitam warnanya.

Menjadi Cerdas dengan Kertas

Friday, March 5th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Pameran buku (Book Fair) adalah ajang yang ditunggu-tunggu baik oleh para penerbit, distributor maupun penggemar buku.  Meski demikian konsumsi buku per orang di Indonesia masih tergolong sangat rendah.  Bagi sebagian besar masyarakat kita, harga buku masih tergolong tinggi dibanding tingkat penghasilan.  Jadilah masyarakat kita bukan masyarakat pembaca.  Minat baca mereka rendah dibanding menonton televisi.  Sebenarnya tidak jadi soal bila siaran televisinya bermutu.  Namun semua orang tahu bahwa siaran televisi kita belum cukup edukatif, apalagi inspiratif.  Televisi kita sarat dengan tayangan gossip, pornografi, kekerasan ataupun mistik.  Bisa dinikmati bebas tanpa membayar.  Yang jelas hasilnya tidak membuat penonton bertambah cerdas.

Lain dengan buku.  Mahalnya buku antara lain disebabkan oleh tingginya harga kertas.  Kebutuhan kertas kita masih harus dipenuhi dengan kertas impor.  Meski kita memiliki sumber daya alam yang cukup untuk menghasilkan kertas, namun realitanya kita lebih suka mengekspor bahan mentah seperti kayu dan membeli hasil olahannya berupa kertas, dengan harga berlipat-lipat.  Padahal generasi awal kaum muslim telah bersusah payah pergi ke Cina untuk dapat merebut teknologi pembuatan kertas.

Tidak ada yang menyangkal bahwa kertas ditemukan dan lalu diproduksi massal pertama kali di Cina pada tahun 105 M, ketika kertas dibuat dari semak murbei.  Juga diriwayatkan bahwa tentara Cina sering menghancurkan pusat-pusat pembuatan kertas non Cina untuk tetap memegang monopoli pabrikasi kertas di dunia.  Namun akhirnya pabrik kertas muncul di dunia Islam yakni di kota Samarkand pada abad ke-2 H (ke 8 M).  Meski rahasia pembuatan kertas secara manual telah diketahui di era sahabat sejak sejumlah orang nekad mencarinya ke Cina, namun dalam skala industri, pabrik kertas itu baru dimulai setelah ada sejumlah orang Cina yang menjadi tawanan perang di Sungai Talas tahun 750 M.  Al-Qazwini mengabarkan bahwa sejak itu terjadilah revolusi pengetahuan di dunia Islam.  Bahan-bahan tulis-menulis bebas dari monopoli dan kertas menjadi barang yang sangat murah.

Di Baghdad saja di akhir abad-3 H (abad-9 M) terdapat lebih dari seratus kompleks tempat pembuatan buku.  Perpustakaan pribadi berlimpah, sementara perpustakaan umum tersedia di mana-mana.  Baghdad memiliki tak kurang dari tigapuluh enam perpustakaan umum pada waktu penghancuran oleh Tartar Mongol tahun 1258.

Sejarahwan George Sarton mengutarakan bahwa asal kata paper  kemungkinan besar dari bahasa Arab.  Dalam bahasa Arab tidak ada kata tunggal untuk kertas, termasuk antara lain ‘papyrus’.  Jejak lain bahasa Arab dalam industri kertas adalah kata ream  (dalam bahasa Inggris) atau risma  (dalam bahasa Italia) yang dipastikan berasal dari bahasa Arab rismah, yang artinya setumpuk atau sebundel kertas, biasanya terdiri dari 500 lembar.

Ibnu Badis di Kitab ‘Umdat al-Kuttab (Buku Penunjang untuk para Penulis) menjelaskan metode pembuatan kertas dari rami dengan proses perendaman di air kapur selama beberapa hari, diselang dengan peremasan dan penjemuran.  Rami yang telah memutih lalu dipotong-potong, direndam di air tawar lalu digerus dengan mortar.  Hasilnya llau dicetak, diratakan, lalu dibiarkan kering. Kertas yang telah setengah jadi dilewatkan dalam larutan tepung kemudian digosok dengan bambu.

Tentu saja proses ini bukan satu-satunya cara, namun Ibnu Badis sepertinya ingin mengajarkan teknik membuat kertas yang bisa dikerjakan sendiri di rumah.  Bukunya juga memuat cara membuat tinta sampai cara menjilid buku.  Untuk skala industri tentu saja dibutuhkan perlengkapan yang lebih besar dan mekanik.

Sejarahwan Dard Hunter mengatakan bahwa inovasi utama orang Islam dalam teknologi kertas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Penemukan cetakan bambu di mana lembaran kertas basah ditempatkan untuk dikeringkan.  Metode ini masih digunakan hingga sekarang, tentu saja tidak lagi dengan bambu namun dengan silinder logam atau karet yang sangat besar.
  2. Penggunaan bahan rami, katun serta perca linen dalam pembuatan kertas.  Ini adalah penemuan yang amat penting, karena orang Cina membuat kerrtas dari kulit batang pohon murbei yang tidak terdapat di daerah muslim.
  3. Untuk pembuatan beberapa jenis kertas, orang-orang Islam mengurai perca linen dengan menempatkannya dalam tumpukan, menjenuhkannya dengan air lalu membiarkan fermentasi terjadi.  Ini alternatif dari proses air kapur yang dijelaskan Ibnu Badis.
  4. Orang-orang Islam mencoba meniru kertas perkamen yang kuat (namun mahal) dengan menajin (mengkanji) kertas menggunakan tepung terigu, suatu inovasi yang menyebabkan permukaan kertas lebih menyenangkan untuk ditulis dengan tinta.
  5. Penggunaan roda martil untuk menghancurkan kertas sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih sedikit daripada proses yang dipakai di Cina.
  6. Pemakaian kincir air untuk menjalankan roda pabrik kertas.  Sejarahwan Robert Forbes menyebutkan bahwa pada abad-10 M pabrik kertas terapung banyak dijumpai di Sungai Tigris di Baghdad.  Kincir memang telah dikenal sejak zaman Romawi, tetapi hanya digunakan menggiling makanan.  Orang Islamlah yang pertama kali memakai kincir untuk membuat kertas.

Berbagai jenis kertas dibuat.  Ada yang untuk dokumen dan surat-surat resmi, untuk buku, bahkan untuk bungkus.  Al-Qalqasyandi mengatakan bahwa kerrtas Baghdad (al-Baghdadi) merupakan yang terbaik mutunya dan digunakan untuk menulis risalah kekhalifahan.  Syami (kertas Syria) juga tersedia dalam berbagai tingkatan mutu, salah satanya Hamwi dari kata Hama (kota di Syria) yang lazim digunakan di lembaga pemerintahan.  Ada juga kerta yang amat ringan, dipakai untuk mengirim surat yang diantar burung merpati pos, sehingga disebut ‘Kertas Burung’.

Kertas dibuat dalam berbagai warna.  Pada suatu manuskrip dapat dibaca berbagai ramuan tentang cara membuat warna seperti merah, hijau, tosca, dan bahkan petunjuk bagaimana membuat kertas terlihat usang.

Adalah hal yang ironis bahwa saat ini kaum muslim tak lagi berada di jajaran terdepan dalam teknologi kertas.  Kertas untuk mencetak kitab suci al-Qur’an dan kertas untuk mencetak uang negara-negara muslim pun banyak diimpor dari negara kafir, lengkap dengan mesin cetak dan tintanya.  Tanpa kertas, bagaimana mau cerdas?

 

 

Relik mesin pabrik kertas zaman dulu

 

 

Mesin-mesin di pabrik kertas modern