Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for September, 2010

Austria, Tanah yang Sudah Diinjak Kuda Sultan

Thursday, September 30th, 2010
Islamic Centre di Vienna dengan latar belakang UN-City (Kantor PBB di Wina)

Islamic Centre di Vienna dengan latar belakang UN-City (Kantor PBB di Wina)

Memasuki Ramadhan kali ini membuat saya terkenang kembali pada puasa amat lama yang pernah saya alami 22 tahun yang lalu.  Di Innsbruck, sebuah kota kecil yang indah di tengah-tengah pegunungan Alpen Austria, puasa. Ya, Ramadhan 1408 H masuk bertepatan dengan pertengahan April 1988 M.  Itu di Innsbruck artinya, fajar menyingsing pukul 4:26 dan maghrib pukul 20:05. Di akhir Ramadhan yang sama dengan pertengahan Mei, fajar pukul 03:16 dan maghrib 20:44.

Apakah di Innsbruck ada Muslim?  Alhamdu-lillah banyak! Jumat pertama di Innsbruck saya langsung mencari informasi tentang masjid.  Alham-dulillah ketemu, walau mencarinya agak lama.  Bayangan semula masjidnya seperti lazimnya masjid di kita.  Ada bangunan tersendiri.  Ternyata masjid itu ada ruang bawah tanah. Di atasnya sebuah cafe.  Jadinya hawa masjid cukup lembab karena kurang sinar matahari. Ini ternyata hal yang wajar di kota-kota di Eropa, di mana harga sewa gedung sangat tinggi.

Sewa? Ya, sebagian besar masjid di Eropa itu statusnya sewa. Maka jangan heran kalau suatu saat bisa pindah. Termasuk masjid yang nama resminya adalah Türkischer Kultur Verein in Innsbruck – atau perkumpulan kebudayaan Turki. Ya, untuk secara resmi menyebut diri “masjid” atau dalam bahasa Jerman “Moschee” kadang-kadang mendapatkan perlawanan dari masyarakat atau pemerintah setem-pat. Alasan utamanya biasanya soal tata ruang.  Daerah itu tidak diperuntukkan untuk tempat ibadah, begitu katanya. Mungkin bayangan mereka tempat ibadah itu ya seperti gereja. Namun kalau “kebu-dayaan”, orang biasanya “willkomen”.  Padahal dalam Islam, istilah kebudayaan (culture, hadharah) itu menyangkut padangan hidup berikut segala hal yang muncul dari situ. Maka di masjid yang terletak di Meinhardstrasse 8a Innsbruck itu juga ada kantin, kursus bahasa Arab, kursus bahasa Turki, taman kanak-kanak Turki (semacam TPA/TPQ) dan sebagainya.  Jadi walaupun letaknya di bawah tanah dan kurang representatif, tapi output-nya maksimal.

Mayoritas jamaah masjid di Austria adalah komunitas Turki yang pasca Perang Dunia ke-2 didatangkan ke Austria terutama untuk bekerja sektor konstruksi.  Kini mereka telah memasuki generasi ke-2 atau bahkan ke-3.  Anak dan cucu mereka lahir di Austria, lebih fasih bahasa Jerman daripada Turki, bahkan sudah berwarga negara Austria, namun menghadapi kenyataan bahwa mereka tetap tidak diterima 100 persen sebagai orang Austria.  Setiap hari nasional Austria (26 Oktober) ada pameran militer, di dada seragam tentara nasional Austria itu banyak ditemukan nama-nama khas Muslim Turki seperti “Mehmet”, “Osman”, “Salim” atau “Fahmy”.

Belakangan saya tahu bahwa di kota Innsbruck yang penduduknya cuma 120.000 orang itu ada dua masjid lagi. Uniknya, dalam satu hari Jumat kita bisa sholat Jumat 3 kali, karena waktu memulai khut-bahnya berbeda.  Masjid pertama tepat pukul 13.  Masjid kedua pukul 13:20, dan masjid ketiga konsisten pukul 13:40. Mungkin ini untuk memu-dahkan jamaah yang jam istirahatnya berbeda-beda.  Biasanya, khutbah sangat pendek, sehingga khutbah dan shalat selesai dalam 15 menit. Kalau ingin mendapat banyak ilmu, datanglah 30 menit sebelum khutbah dimulai.  Di situ ada taklim.  Ketika pertama kali datang ke masjid di Innsbruck, saya sudah khawatir telat karena sepertinya khutbah telah dimulai.  Tetapi saya lalu bingung karena khatibnya duduk, dan jamaah duduknya tidak teratur, bahkan kemudian ada tanya jawab segala.  Baru kemudian pukul 13:40, muazzin adzan, jamaah merapikan shaf duduknya, lalu orang yang saya duga khatib tadi baru berdiri dan khutbah sangat singkat. Ini mungkin uslub yang baik juga. Jadi mereka yang waktunya sempit cukup menghadiri bagian ibadah jumat yang wajib saja.  Sedang yang waktunya lapang dapat ilmu dengan puas, tidak cuma ngantuk karena khutbah yang membosankan.

Bagaimana mereka mendanai operasional masjidnya? Tidak ada keropak seperti di masjid-masjid Indonesia. Mereka mengedarkan “Erlags-chein”, jamaah langsung transfer via rekening masjid di bank.  Ada juga pilihan autodebet, sehingga orang tidak perlu lupa lagi dalam mengisi kas masjid dan masjid selalu optimis ada dana.

Sementara itu, di ibu kota Austria yaitu Wina, yang penduduknya 1,7 juta, ada lebih dari 30 masjid.  Kondisi umumnya hampir sama di lantai basemen yang lembab. Tapi ada juga Islamic Center yang megah di tepi sungai Donau.  Hanya saja, kalau musim panas, untuk ke masjid ini perlu kuat iman karena di dekat masjid adalah pantai sungai Donau yang orang banyak berjemur nir busana.

Di Austria Islam cukup bebas.  Guru-guru agama Islam yang mengajar di sekolah-sekolah umum digaji oleh negara. Setiap siswa yang beragama Islam berhak mendapatkan pendidikan agama Islam.  Kadang-kadang kalau di sekolah itu cuma satu-dua orang, digabung dengan sekolah lain. Ini berkat upaya Austrian Moslem Society, yang dalam Undang-Undang di Austria dianggap mewakili masyarakat Muslim Austria.  Kedudukan organisasi ini cukup kuat, sampai-sampai bisa intervensi ke militer dan penjara, agar semua tentara atau napi yang muslim men-dapatkan hak-haknya seperti makanan yang halal atau waktu untuk shalat.

Berbagai harakah Islam juga bebas bergerak di Austria.  Siaran televisi publik ORF juga kerap meliput aktivitas atau mengadakan wawancara dalam ber-bagai tema. Seorang syabab Hizbut Tahrir di Austria bahkan mengelola sebuah mushala di kampus dan sering menjadi rujukan kalau siswa-siswi sekolah menengah di Wina ingin mengenal Islam lebih dekat.

Memang tidak semua orang Austria bahagia dengan pertumbuhan Islam di Austria. Meski jumlahnya ditaksir masih di bawah 300.000 orang (4,2 persen jumlah penduduk), tapi di tengah masyarakat Katholik yang makin banyak menjadi atheis serta gereja-gereja yang kosong, tren Muslim ini dianggap mengkhawatirkan.

Apalagi ketika ada isu seperti di Timur Tengah lalu komunitas Muslim Austria melakukan aksi turun ke jalan. Gema takbir di jalan-jalan Austria membang-kitkan rasa gentar di dada penduduk asli yang mengenal sejarah Austria di masa lalu.  Tahun 1525 dan 1683 pasukan Khilafah Utsmani sudah menge-pung di luar benteng kota Wina.  Dan apa kata-kata Sultan Sulaiman al-Qanuni saat itu: “Tanah yang sudah diinjak oleh kuda Sultan, adalah bumi Islam!”.[]

Bakal ada 3 hari sholat Iedul Fitri 1431 ini …

Wednesday, September 8th, 2010

Prof. Dr. Fahmi Amhar
Praktisi Astronomi Islam, Bakosurtanal

Di Indonesia orang umumnya optimis, lebaran tahun 2010 (1431 H) ini bakal seragam, yaitu hari Jum’at 10 September 2010 lusa.  Ini tentu saja di luar Jama’ah an-Nadzir, yang sudah sholat Ied Rabu 8 September 2010 pagi tadi.
Mengapa saya katakan 3 hari?
Begini:
Meski kita mulai puasa pada Rabu 11 Agustus 2010, karena konon pada Selasa sore 10 Agustus 2010 itu hilal terlihat di wilayah Indonesia, namun hilal ini baru HILAL SYAR’IE.
Hilal syar’ie adalah hilal karena pengakuan / kesaksian seseorang atau beberapa orang
  (tentu saja muslim dan aqil baligh) yang telah disumpah dan disahkan oleh pengadilan agama (di Indonesia disahkan oleh sidang Itsbat Badan Hisab dan Rukyat Kementerian Agama).  Sebagai alat bukti hukum, sumpah adalah cukup dan sah.  Dan di Indonesia ada ketentuan, selama kesaksian itu terjadi pada saat tinggi hilal menurut ahli hisab sudah lebih dari 2 derajat, maka kesaksian ini wajib diterima.
Apakah ada hilal yang lain?  Ada, yaitu HILAL ASTRONOMI.  Ini adalah hilal yang memang teruji secara ilmiah keabsahannya oleh ilmu astronomi.  Uji ilmiah itu yang paling otentik adalah foto secara langsung, tentu saja tanpa rekayasa.  Dari pengamatan astronomi selama ini, belum pernah ada hilal dapat difoto saat tingginya kurang dari 5 derajat atau umur bulan kurang dari 17 jam setelah moon conjunction (ijtima’).
Jadi yang dilihat kemarin di Indonesia itu apa?  Wallahu a’lam.  Jelas dia hilal syar’ie, sah untuk dasar hukum menetapkan puasa, dan mengikat bagi orang yang berada di wilayah hukum Indonesia.  Namun kalau orang yang tidak merasa terikat dengan itu, dia boleh mengikuti boleh tidak.  Tergantung sejauh mana keyakinannya ….  Kalau dia menganggap para perukyat yang telah bersumpah itu keliru, ya sudahlah …  Dia tidak menganggap perukyat itu berdusta.  Tetapi kekeliruan adalah sesuatu yang wajar, karena hilal itu sangat tipis, sehingga perlu ada latihan (bila perlu ada sertifikasi) untuk mendapatkan kemahiran tersebut.  Boleh saja seseorang mengaku telah berpengalaman 20 tahun, tapi boleh jadi selama 20 tahun itu ia mengamati fenomena yang salah.  Siapa tahu, karena tidak ada foto?
Pada level global, para pengamat hilal yang punya latar belakang astronomi dan bergabung di ICOP (Islamic Crescent Observation Project), ternyata tak satupun melaporkan melihat hilal pada Selasa 10 Agustus 2010 lalu itu.  Di Indonesia juga para perukyat yang dilengkapi teleskop rukyat yang ada CCD-kameranya, juga tidak mendeteksi hilal.  Padahal CCD kamera biasanya lebih awas dari mata manusia biasa.
Karena itulah, dunia kemudian terbelah.  Banyak negara, termasuk Indonesia memulai puasa pada hari Rabu 11 Agustus 2010 itu, sebagian dengan dasar hilal syar’i, sebagian – seperti Muhammadiyah – dengan dasar hisab wujudul hilal.
Namun sebagian negara lain seperti Pakistan, Bangladesh, Oman dan Iran, telah mengistikmalkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, sehingga mereka memulai puasa pada hari Kamis 12 Agustus 2010.
Walhasil kalau yang kelompok pertama Rabu sore 8 September 2010 ini sudah akan melakukan ibadah Rukyatul Hilal – karena merasa sudah tanggal 29 Ramadhan, maka di kelompok kedua, baru akan melakukan hal yang sama Kamis besok, tanggal 9 September 2010.
Maka akan muncul 3 kemungkinan:
Pertama, mereka yang rukyat pada Rabu sore ini, yang sebenarnya dari Maroko sampai Merauke hilal masih negatif atau di bawah ufuk, mestinya tidak akan melihat hilal.  Namun boleh jadi akan ada yang mengaku melihat dan berani bersumpah.  Hilal Syar’ie juga jadinya. Maka mereka ini akan sholat Ied pada besok pagi, Kamis 9 September 2010.
Kedua, mereka yang rukyat pada Rabu sore ini, namun mengakui bahwa hilal tidak terlihat, dan bila ada yang mengaku melihat, kesaksian itu mereka tolak karena dimustahilkan secara ilmiah.  Sama mustahilnya seperti seorang perawi hadits yang mengaku mendengar dari Ibnu Abbas ra., padahal dia baru lahir setelah Ibnu Abbas ra. wafat.  Jadi kelompok ini akan istikmal, sehingga baru akan sholat Ied pada hari Jum’at pagi, 10 September 2010.
Di sisi lain, di negeri seperti Pakistan, Bangladesh, Oman atau Iran, mereka baru akan rukyatul hilal pada hari Kamis sore 9 September 2010.  Kalau mereka melihat hilal – dan ini secara astronomis cukup optimis – mereka juga akan sholat Ied pada hari Jum’at yang sama.
Jadi pada hari Jum’at itu orang sholat Ied dengan alasan yang berbeda-beda, satu karena istikmal, satu karena rukyatul hilal pada Kamis sore, dan satu karena hisab.
Ketiga, mereka yang rukyat pada hari Kamis sore, namun karena cuaca mendung tidak melihat hilal, boleh jadi mereka akan istikmal, sehingga Jum’at masih puasa, dan sholat Ied baru pada hari Sabtu pagi 11 September 2010.
Tetapi kelompok yang ketiga ini sebenarnya masih bisa tertolong kalau mereka mengikuti pendapat wihdatul matla (rukyat global), bukan ikhtilaful matla (rukyat lokal).  Yakni, kalau mereka mau mengikuti hasil rukyat (yang juga dilakukan Kamis sore) di negeri lain dan tidak tertutup mendung, sehingga hilal terlihat.  Walhasil perbedaan yang terjadi tidak sampai tiga hari, tetapi cukup 2 hari saja.  Dari 4 imam madzhab, hanya Imam Syafii yang mendukung pendapat ikhtilaful matla, di mana matlanya hanya radius sekitar 120 Km.
Jadi semuanya punya dasar, tidak perlu saling menjelekkan, apalagi menganggap yang lain telah melakukan keharaman, baik karena masih berpuasa di hari yang dianggap telah Iedul Fitri, ataupun telah makan minum di hari yang dianggap masih bulan Ramadhan.
Perbedaan ini akan ada terus, selama orang tidak berpegang pada kriteria hisab yang sama (yang menjadi dasar pembuatan kalender), minimal untuk menentukan hari rukyat awal Ramadhan pada tanggal 29 Sya’ban, serta kriteria kesaksian hilal yang dapat dipercaya, sehingga hilal syar’ie akan bertemu dengan hilal astronomi.
Namun sepertinya, kesatuan ini juga tergantung Imam yang dipercaya kaum muslimin secara global, yang akan mengadopsi kriteria hisab maupun rukyat yang terbaik, karena ada ijma shahabat “Amrul Imam Yarfa’ul Khilaf” (Keputusan Imam menghentikan perselisihan).  Sayangnya di dunia saat ini masih ada ratusan imam, baik yang imam jama’ah / ormas, imam partai, maupun kepala negara – kepala negara muslim.

Adjie Suradji dapat Lailatul Qadar?

Tuesday, September 7th, 2010
Yang dapat Lailatul Qadar itu tidak harus i’tikaf 10 hari di masjid,
karena Surat al-Qadar adalah suatu hal,
sedang tuntunan i’tikaf adalah hal yang lain.
Boleh jadi mereka adalah para penjaga palang perlintasan kereta api,
Yang berjasa menyelamatkan puluhan ribu orang setiap siang dan malam,
meski gajinya hanya bisa bikin meringis ….
Boleh jadi mereka adalah ibu-ibu yang rela tak tidur semalaman,
demi merawat anak-anaknya yang sakit atau kurang gizi,
sementara suaminya mengais rizki halal yang tak seberapa ….
Boleh jadi mereka adalah para prajurit yang ditempatkan di pulau-pulau terluar kita,
disuruh menjaga kedaulatan negeri ini dari para maling ikan,
dengan fasilitas minim dan belum boleh cuti ….
Boleh jadi mereka adalah para pemimpin yang cerdas, jujur dan berani,
yang semalaman tidak tidur karena menekuni sebuah RUU atau Draft Kontrak,
yang akan berdampak luas bagi rakyatnya  ….
karena Rasulullah bersabda,
“Adilnya seorang pemimpin, itu lebih utama daripada qiyamul lail 70 tahun”
Dan boleh jadi dia adalah Adjie Suradji,
bila dia lebih takut kepada Allah, sehingga berani menasehati panglima tertingginya,
daripada takut kepada hierarki komando, sehingga tak berbuat apa-apa …

http://www.maiwanews.com/berita/tulisan-lengkap-adjie-suradji-di-harian-kompas/