Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for April, 2009

Ilmu Sosial bukan Anak Tiri

Friday, April 24th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Masa keemasan peradaban Islam sering diindikasikan dengan berbagai kemajuan pada bidang ilmu-ilmu agama (ushuluddin, tafsir, hadits, fiqih dan tasawuf) dan ilmu-ilmu alam atau sains (astronomi, matematika, fisika, kimia, kedokteran dan sebagainya).  Pertanyaan yang kemudian muncul, di mana posisi ilmu-ilmu sosial?

Ilmu-ilmu sosial memang berbeda dengan sains maupun ilmu-ilmu agama.  Sementara sains relatif netral dan ilmu-ilmu agama jelas bersumber dari Islam, maka ilmu-ilmu sosial sering tercampur aduk, antara kajian ilmiah dengan pandangan hidup.  Ilmu sejarah atau sosiologi misalnya, sering hanya ditinjau dari sudut pemenang peradaban.  Dalam dunia saat ini yang didominasi Barat, ilmu ini praktis memandang segala hal dari standar liberalisme.  Demikian juga ilmu ekonomi.  Berbagai cara pandang kapitalisme terhadap masyarakat, kemakmuran ataupun kebahagiaan dianggap dalil yang tidak dapat ditolak lagi.

Karena itu lebih tepat bila umat muslim mengembangkan sendiri ilmu-ilmu sosial ini agar tidak menjadi “anak tiri”, baik dari sisi ilmu sosialnya maupun dari kemuslimannya.  Dan mereka memiliki sejumlah besar teladan di masa keemasan peradaban Islam.

Ilmu Sejarah termasuk yang paling awal dipelajari oleh para sarjana muslim.  Abu Muhammad Abdul Malik Ibnu Hisyam (wafat 834 M) sudah menulis “Sirah Nabawiyah” (sejarah Rasulullah) sekaligus memulai suatu tradisi ilmu sejarah yang tidak sekedar menceritakan suatu peristiwa dari sudut pandangnya, tetapi juga melengkapinya dengan metode periwayatan, suatu hal yang diadopsinya dari ilmu hadits.  Terobosan Ibnu Hisyam kemudian dilanjutkan sejarahwan muslim yang lain seperti Abul Hasan Ali ibn al-Husayn ibn Ali Al-Mas’udi (wafat 956 M) yang menulis karya agung “Muruj al-Zabab wa Muadin al-Jawhar” (Lahan Emas dan Tambang Mutiara) tentang kajian geografi sosial (termasuk sejarah, sosiologi dan ekonomi) bangsa-bangsa di dunia (dari Mesir, Romawi, Perancis, Persia, hingga India) yang pernah dikunjunginya.

Imam Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 903 H / 1498 M) menulis “Tarikhul Khulafa” (sejarah para khalifah hingga masanya).  Dalam kitabnya itu dia menulis bahwa rujukannya adalah “Tarikh” karya Adz-Dzahabi yang berakhir pada 700 H, lalu “Tarikh” karya Ibnu Katsir yang berakhir pada 738 H, kemudian “Kitab Anbaa’ Al Ghumr” karya Ibnu Hajar al Asqalani yang berakhir tahun 850 H sedang dari masanya dia merujuk “Tarikh Baghdad” karya  Khatib Al-Baghdadi sebanyak 10 jilid dan “Tarikh Dimasyq” karya Ibnu Asakir sebanyak 57 jilid.

Ilmu ekonomi, yang membahas berbagai hal teknis dalam urusan pertanahan, administrasi dan keuangan, sudah dimulai oleh Abu Hanifa an-Nu‘man (699-767 M), Abu Yusuf (731-798 M), Ishaq bin Ali al-Rahwi (854–931 M), al-Farabi (873–950 M), Qabus (wafat 1012 M), Ibn Sina (980–1037 M), Ibn Miskawayh (lahir 1030 M), al-Ghazali (1058–1111 M), al-Mawardi (1075–1158 M), Nasīr al-Dīn al-Tūsī (1201-1274 M), Ibn Taymiyyah (1263–1328 M) dan al-Maqrizi (1364-1442 M).

Abū al-Rayhān al-Bīrūnī (973-1048 M) sering disebut sebagai “antropolog pertama”.  Dia menulis detail studi komparasi antropologi dari bangsa-bangsa, agama dan budaya di Timur Tengah, Mediteran dan Asia Selatan.  Al-Biruni juga bapak dari Indologi – ilmu tentang India.

Dari semua ilmuwan sosial muslim, tidak diragukan bahwa yang terbesar adalah Ibnu Khaldun.  Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami (1332 – 1406 M) dari Tunisia adalah seorang polymath yang menguasai banyak keahlian sekaligus; beliau adalah hafiz, fuqoha, astronom, geografer, matematikawan, sejarawan, sosiolog, ekonom dan negarawan.  Bukunya yang paling terkenal adalah “Muqaddimah” (di Barat dijuduli “Prolegomenon”), yaitu juz pertama dari tujuh juz buku sejarah dunia universalnya “Kitab al-Ibar”.

Sejarawan terkenal Inggris Arnold J. Toynbee menyebut Muqaddimah adalah karya terbesar dalam filsafat sejarah yang pernah dibuat pikiran manusia sepanjang masa.  Bahkan sejarawan Inggris lainnya, Robert Flint menulis bahwa Plato maupun Aristoteles belum mencapai jenjang keilmuan setaraf Ibnu Khaldun.

Di antara pemikiran jenius Ibnu Khaldun adalah ketika mendefinisikan pemerintahan sebagai “institusi pencegah kezaliman“ adalah teori terbaik dalam ilmu politik.  Sedang konsep Ibnu Khaldun dalam meramalkan kegagalan ekonomi pasar dinilai sebagai dasar-dasar sosionomi (sosiologi-ekonomi).

Menurut Ibnu Khaldun, ada semacam siklus perubahan sosial yang pada momentum tertentu dapat berubah secara tajam.  Idenya didasarkan pada tesis manfaat dari spesialisasi pekerjaan: semakin besar kohesi sosial, semakin berhasil pembagian kerja yang kompleks, maka ekonomi akan tumbuh semakin besar.  Dia juga mencatat bahwa pembangunan memberikan stimulasi positif baik untuk supply dan demand dan ini adalah penentu dari harga barang dan jasa.  Ibnu Khaldun juga mencatat kekuatan makro-ekonomi dari pertumbuhan populasi, pengembangan SDM dan perkembangan teknologi.  Ibnu Khaldun berpikir bahwa pertumbuhan populasi adalah fungsi dari kemakmuran.

Dari hasil penelitiannya atas sejarah bangsa-bangsa terdahulu, Ibnu Khaldun menyimpulkan ada lima fase peradaban yang dialami oleh hampir setiap bangsa.  Era pertama adalah era perintis, saat bangsa tersebut masih memiliki visi serta rela berjuang dan berkorban demi masa depan anak cucunya.  “Investasi” di era perintis ini adalah yang terbesar.  Era kedua adalah era pembangun, saat kesolidan bangsa tersebut telah menjadi modal untuk mengembangkan “asset”, baik dari segi cakupan pengaruh (wilayah, penduduk) maupun ekonominya.  Era ketiga adalah era konservasi, saat mereka menjaga apa yang telah diraih, namun “investasi” yang dilakukan hanya sekedar untuk menggantikan yang hilang.  Era keempat adalah era penikmat, saat “total asset” bangsa mulai berkurang dan “total investasi” negatif.  Dan era kelima adalah era penghancur, saat bangsa itu praktis kembali mundur dan tak diperhitungkan lagi.

Era Rasulullah dan para shahabat dapat dianggap era perintis.  Era khilafah hingga awal dinasti Abbassiyah adalah contoh era pembangun, dengan ditandai berbagai capaian-capaian besar dalam politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan.  Masa yang panjang setelah itu adalah era taqlid.  Tak banyak lagi futuhat maupun prestasi ilmu yang dapat dilihat.  Abad terakhir Abassiyah adalah era penikmat, yang diikuti era kehancuran oleh datangnya pasukan Tartar ke Baghdad.  Setelah itu kepemimpinan dunia berpindah ke bangsa Turki (Utsmaniyah).  Mereka juga mengalami fase-fase yang sama.  Dan apa yang diramalkan oleh Ibnu Khaldun yang hidup di awal dinasti Utsmaniyah ini, kemudian benar-benar terjadi.

TIGA DOSA TAK TERMAAFKAN

Thursday, April 2nd, 2009
Dalam Epos Harry Potter, dikenal tiga kutukan tak termaafkan.
Siapapun menggunakan kutukan itu, dia akan langsung dikirim ke penjara sihir “Azkaban” di Laut Utara, yang dijaga oleh para Dementor.
Kutukan itu adalah:
1. Kutukan Imperio – yaitu kutukan pengendalian, sehingga orang yang terkena melakukan semua yang diinginkan penyihir, termasuk perbuatan kriminal.
2. Kutukan Cruxiatus – yaitu kutukan penyiksaan.  Sihir dalam epos Harry Potter hanya boleh digunakan untuk membantu pekerjaan yang positif, tidak boleh untuk menyakiti orang lain.
3. Kutukan Avada Kedavra – yaitu kutukan pembunuh.  Dalam dunia sihir, tidak ada yang mampu melawan kutukan pembunuh.  Hanya sebuah keajaiban bahwa Harry Potter tidak terbunuh oleh Avada Kedavra yang dilontarkan Lord Voldemort, konon karena perlindungan cinta yang sempurna dari ibunya.
Tentu saja dalam dunia sihir, ada para pelahap maut pengikut Lord Voldemort yang gemar menggunakan tiga kutukan tadi.  Harusnya mereka diseret ke Azkaban, namun para polisi penegak hukum sihir kewalahan, karena yang harus ditangkap juga menguasai sihir …
Nah dalam dunia ilmiah ada juga TIGA DOSA YANG TAK TERMAAFKAN.
Seorang peneliti yang melakukan salah satu (apalagi ketiga-tiganya) dari dosa tersebut, bisa langsung dikirim ke “penjara ilmiah”, yaitu pengucilan dari komunitas ilmiah.
Dosa tersebut adalah:
1. Dosa “Plagiarism” – yaitu mengklaim pekerjaan orang lain seolah-olah pekerjaannya, sekalipun orang lain itu adalah istrinya atau anak buahnya.  Ini adalah dosa yang sangat berat.  LIPI berhak menurunkan pangkat peneliti hingga dua tingkat, bahkan sampai memecat dari jabatan peneliti, bila seorang peneliti terbukti melakukan plagiarism.
2. Dosa “Tidak-Menyebut-Riwayat” – yaitu mengutip statement, data, tabel, gambar atau rumus yang bukan buatannya sendiri, dan juga belum jadi pengetahuan umum, lalu “lupa” atau “pura-pura lupa” tidak menuliskan sumbernya, atau menuliskan sumber tetapi tidak bisa dilacak orang lain, misalnya bilang “sumber dari internet”. Kalau untuk tulisan populer boleh-boleh saja, tetapi tulisan ilmiah fardhu ain menyebut riwayat dari semua data yang tidak dibuat sendiri.
3. Dosa “Copy-Paste-doank” – meski menyebut sumber dan riwayat, tetapi kalau dalam satu paper, sumbernya hanya satu dua (sekalipun itu tulisannya sendiri yang sudah dipublish di tempat lain) dan itu merupakan 80-90 persen isi paper, dengan pembahasan yang asal jadi, ini juga tidak layak.  Sebenarnya hampir mirip dengan plagiarism, meski agak halus (karena menulis sumbernya),  tetapi berapa dong Angka Kredit yang bisa diberikan untuk karya seperti ini?
Tentu saja ada peneliti yang “lolos” meski sering melakukan dosa-dosa tadi, sehingga bahkan sampai ke jenjang peneliti tertinggi …
Mungkin pembaca bisa menambahkan dosa-dosa yang lain … atau dosa-dosa yang bisa mengganti kedudukan ranking 1-3 di atas …

Jebakan-Jebakan Demokrasi Bagi Partai-Partai Islam

Wednesday, April 1st, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Siapapun yang pernah merasakan hidup di bawah penguasa yang tiranik, sewenang-wenang, serta buta dan tuli pada penderitaan rakyat, tentu sepakat bahwa pemerintahan diktator otoriter seperti itu harus dihentikan, dilawan dan dicegah agar jangan pernah muncul kembali.

Di dunia, ada beberapa tipe diktator.  Ada diktator aristokrasi, yakni diktator para bangsawan.  Hukum dibuat hanya untuk melindungi kepentingan bangsawan yang seakan-akan pemilik negara seluruhnya. Kemudian ada diktator teokrasi, yaitu diktator para pendeta.  Mereka menciptakan hukum dengan hawa nafsunya, namun diklaim bahwa itu adalah ilham dari Tuhan.  Mereka juga mengklaim dirinya tidak bisa salah (maksum).  Lalu ada diktator militer, yang memerintah dengan asas “yang kuat menguasai yang lemah”.  Dan dalam negara, siapa yang lebih kuat dari angkatan bersenjata?

Demokrasi dicitrakan di Barat sebagai anti tesis dari diktatur, dan memang begitu sejarahnya.  Manusia cenderung untuk melakukan pembagian dikotomis: besar-kecil, baik-buruk, benar-salah, demokratis-diktatur.  Jarang yang memikirkan pihak di tengah, yang tidak besar maupun kecil, yang tidak dapat disifati baik-buruk (karena bukan persoalan etika), yang tidak dapat disifati benar-salah (karena bukan persoalan logika).  Demikian juga, jarang yang berpikir adanya sistem kekuasaan yang bukan demokratis namun juga bukan diktatur.

Maka setelah 32 tahun diperintah rezim Soeharto yang otoriter, anti kritik dan korup, masyarakat menyambut gembira reformasi yang ditandai sejumlah perubahan demokratis.  Demokrasi dipahami dengan adanya keterbukaan yang akan mencegah korupsi, dengan kebebasan dari rasa takut untuk berpendapat, berdemonstrasi, membangun media massa, membentuk partai, hingga mencalonkan diri menjadi presiden.

Sejumlah aktivis Islam yang di era Orde Baru harus mendekam di penjara karena vocal mengritik Soeharto maupun yang harus bergerak di bawah tanah, sejak era Reformasi tidak ragu-ragu lagi untuk bergerak terbuka.  Muncullah berbagai partai-partai baru, baik yang berasas Islam maupun Pancasila.  Mereka berkompetisi memperebutkan kepercayaan rakyat via Pemilu.  Mereka mencoba berjuang melalui koridor yang diberikan demokrasi, yaitu mendirikan partai, melakukan kaderisasi dan sosialisasi, ikut pemilu, meraih kursi di parlemen, jabatan kepala daerah atau bahkan presiden, kemudian memodifikasi peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan syariat Islam.

Sejauh ini, itu adalah teori yang dinilai cukup meyakinkan, karena selama ini TNI/POLRI terbukti netral.  TNI/POLRI mendukung siapapun yang terpilih di negeri ini.  Maka kemudian negeri ini disebut sebagai negeri muslim dengan demokrasi terbesar di dunia, dan negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia dilihat dari jumlah populasinya (setelah India dan AS).

Simplifikasi

Namun semua itu ternyata hanya simplifikasi.  Orang menganggap mudah (simple) sesuatu yang sebenarnya tidak sesederhana itu.  Ketika demokrasi hanya diartikan sebagai tangga meraih kekuasaan: partai, pemilu, parlemen, maka demokrasi ini oleh para ideolog demokrasi, dianggap hanya prosedural, belum substansial.  Apalagi ketika tujuan akhir dari proses ini adalah untuk menegakkan syariat Islam.  Sebagian kalangan liberal menilai, cara ini adalah cara Hitler, sang pemimpin NAZI yang berkuasa di Jerman dari tahun 1933-1945 dan menyeret Jerman dalam malapetaka Perang Dunia II.  Hitler meraih kekuasaannya dalam proses pemilu yang demokratis.  Masa awal pemerintahannya diisi dengan politik pembangunan yang sangat populis (“setiap keluarga Jerman mendapatkan satu pekerjaan, satu rumah dan satu mobil”), sehingga pada pemilu berikutnya dia meraih mayoritas mutlak.  Ini kemudian digunakannya untuk merubah konstitusi Jerman sedemikian rupa sehingga dapat dinilai justru membunuh asas-asas demokrasi itu sendiri (yaitu politik diskriminasi dan bahkan pemusnahan bagi para lawan-lawan politiknya).  Karena itu tak heran bila kalangan liberal tetap curiga bahwa prosedur demokrasi di tangan para aktivis Islam suatu hari nanti akan dipakai untuk membunuh demokrasi itu sendiri.

Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa prosedur demokrasi ini tidak selalu mulus.  Minimal ada empat hal yang menjadi hambatan:

Pertama, bagaimana meraih kemenangan suara terbanyak, ketika suara rakyat jelata yang pendidikannya rendah dan awam terhadap politik sama beratnya dengan para politikus yang cerdas?  Bagaimana berkompetisi dengan partai lain yang benar-benar mengandalkan keawaman massa?  Kita melihat bahwa pada pemilu 1999 dan 2004, suara pendukung tokoh reformasi Amin Rais dan partainya tidak sebanyak suara ke tokoh dan partai yang lain, yang sebenarnya tidak punya citra reformasi yang kental!  Mengapa?  Salah satu alasannya: mesin keuangan mereka tidak sekuat kompetitornya.

Kedua, pihak yang mendapat suara terbanyak, tidak otomatis akan didukung dalam segala sikap politiknya.  Ini berlaku juga bagi partai yang ingin menegakkan syarat Islam via jalur demokrasi.  Akibatnya, partai Islam yang terpilih tidak otomatis akan dibela para pemilihnya itu ketika mereka dalam kesulitan, sebagaimana kasus FIS di Marokko atau Refah di Turki.  Pada tahun 1991, FIS memenangkan 188 dari 231 kursi parlemen Aljazair.  Tetapi kemudian militer yang direstui Perancis menganulir pemilu dan menangkapi para pemimpin FIS.  Tahun 1996 partai Refah yang memenangkan pemilu di Turki bahkan telah memerintah dengan Najmudin Erbakan sebagai perdana menteri.  Namun pada 1997  terjadi kudeta militer dengan alasan Refah memiliki agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi.  Pada 1998, Mahkamah Agung Turki menyatakan Refah menjadi partai terlarang.  Pada kedua kejadian ini, mayoritas para pemilih ternyata memilih bersikap pasif (diam)!

Ketiga, pemegang kekuasaan yang sesungguhnya di negara manapun adalah siapa yang dapat mengendalikan kekuatan bersenjatan (militer).  Pengendali ini bisa tokoh informal yang tidak duduk di kekuasaan, bisa pula kekuatan asing.  Merekalah yang hakekatnya mampu melakukan apapun, termasuk membekukan konstitusi.  Ini terjadi di negeri-negeri yang pernah merasakan kudeta.  Siapapun yang memenangkan pemilu, baik dengan jujur maupun curang, tidak akan mampu berbuat apa-apa bila militer tidak netral atau tidak bersama mereka.  People power yang sebesar apapun juga hanya akan berhasil bila militer mendiamkannya.

Untuk melakukan kudeta, bagi militer adalah cukup mudah.  Cukup merebut pusat-pusat komunikasi, menahan rumah para politisi termasuk memutus semua alat komunikasinya, lalu mengumumkan di televisi bahwa telah terjadi kondisi darurat.  Untuk melakukan semua ini hanya dibutuhkan sekitar 1000 orang tentara.  Inilah yang terjadi di Thailand tahun 2006.

Keempat adalah hambatan konstitusi.  Di beberapa negara, sekulerisme menjadi harga mati yang ditanam dalam konstitusi.  Segala upaya apapun yang akan menggoyang asas ini, dapat dinyatakan melanggar konstitusi oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.  Di UUD 1945 hasil Amandemen para hakim konstitusi ini diberi kewenangan menguji undang-undang apapun terhadap UUD, menyatakan presiden telah mengkhianati negara karena melanggar konstitusi hingga dapat dimakzulkan, membubarkan suatu partai yang agendanya dianggap bertentangan dengan konstitusi, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.  Karena itu, pada negara-negara sekuler, selain para komandan militer, posisi para hakim konstitusi adalah strategis yang harus dijaga agar tetap ditangan orang-orang sekuler.

Jebakan Demokrasi

Jalan untuk menegakkan syariah pastilah bukan jalan yang mudah dan ringan, tetapi jalan yang sukar dan mendaki.  Namun manusia memang secara naluriah lebih cenderung mencari jalan yang mudah dan ringan.  Benarkah kata Qur’an:

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.  (QS Al-Balad [90]: 10-11)

Demokrasi dengan one-man one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah.  Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan.  Yang termudah adalah dengan menjual “sesuatu” yang gampang diterima oleh massa.  Terkadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya “sembako murah” atau citra “bersih”), terkadang berupa public-figure seperti da’i kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer, dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti bantuan uang atau materi lainnya.  Semua hal mudah ini jelas berakibat lunturnya ideologi partai.  Para pemilih bahkan tim sukses pun tidak lagi melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak di benak mereka.  Mereka terpaku pada yang “gampang diterima massa”.

Demokrasi prosedural juga memberikan waktu yang terbatas pada siapapun yang terpilih.  Para legislator dan kepala daerah umumnya hanya diberi waktu lima tahun.  Setelah itu kartu akan dikocok ulang.  Khusus para kepala daerah bahkan hanya dapat dipilih ulang sekali saja.  Waktu lima tahun tentulah bukan waktu yang cukup untuk perubahan dalam skala ideologi.  Revolusi di manapun membutuhkan masa transisi cukup panjang yang biasanya dirasakan cukup berat.  Rasulullah yang merevolusi kaum Muhajirin dan Anshar pun dalam sepuluh tahun pemerintahannya dapat dikatakan era transisi, ditandai dengan puluhan perang yang harus mereka alami.  Tentu saja tidak mudah untuk mengukir tonggak keberhasilan dalam lima tahun dan menunjukkannya ke para pemilih agar mereka memperpanjang mandatnya.  Karena tidak mudah ini, maka dalam masa lima tahun itu terjadilah politik pragmatisme, yakni mengejar kemanfaatan jangka pendek.  Dibuatlah berbagai aturan yang dapat memperkokoh kedudukan partai, baik dari segi dana, SDM maupun organisasi.  Upaya ini dapat berasal dari pundi-pundi lembaga yang dikuasainya (legislatif, eksekutif, yudikatif) maupun dari unsur-unsur eksternal seperti bantuan dari pihak swasta ataupun bantuan non pemerintah dari Luar Negeri.  Semuanya tentu ada kompensasinya.  Tidak heran bahwa banyak partai yang semula sangat sederhana, tiba-tiba jadi memiliki gedung kantor yang megah lengkap dengan fasilitas kendaraan mewah dan perlengkapan lainnya setelah kadernya ada yang duduk di parlemen atau pemerintahan.

Dan ketika mereka telah duduk di pemerintahan, tampaklah bahwa ada 1001 persoalan bersamanya.  Ada aturan-aturan yang saling menopang dan membelit, yang tidak dapat diubah satu persatu begitu saja.  Kadang-kadang seorang menteri atau kepala daerah berpikir bahwa jika suatu aturan dibuat di instansinya, maka dia dapat berinisiatif untuk merubah atau bahkan mencabutnya.  Namun ternyata, banyak aturan yang terkait dengan peraturan lain, atau bahkan terkait dengan perjanjian internasional.

Contoh: aturan bunga bank (yang sudah difatwa haram oleh MUI).  Kalau suatu kepala daerah ingin membuat perda, misalnya hanya bank-bank dengan sistem syariah yang boleh beroperasi di daerahnya, pasti akan digugat oleh bank-bank konvensional dengan alasan persaingan usaha, dan perda tersebut pasti akan kalah saat Judicial Review, karena menyalahi Undang-undang.  Dan kalau Menteri Keuangan bersama Gubernur BI akan mensyariahkan Undang-undang perbankan, pasti digugat oleh IMF, Bank Dunia dan WTO, sebab Indonesia punya kesepakatan-kesepakatan internasional bidang moneter dan perdagangan.  Hal ini juga terjadi dalam perkara pertanahan, pertambangan, kehutanan, pendidikan, hukum pidana, hukum perdata, dan sebagainya.  Adanya globalisasi makin mempersulit posisi tersebut.  Kalau bukan disentil oleh IMF, Bank Dunia atau WTO, kita akan didemo oleh LSM-LSM asing, atau diberitakan miring oleh jaringan pers internasional.  Para aktivis syariah akan distempel fundamentalis, radikal, dan teroris!

Hanya revolusi yang dapat mendobraknya, namun revolusi adalah jalan yang mendaki dan sukar.  Tidak banyak yang berani menanggung resikonya.  Walhasil banyak dari politisi yang masuk dalam legislatif atau eksekutif ini yang menyerah pada situasi, suka tidak suka jadi terlibat dalam sistem perundang-undangan yang tidak lagi melihat halal-haram.  Padahal sistem perundang-undangan semacam itu hakekatnya adalah sistem kufur.  Akhirnya karena mereka tidak sanggup lagi mengubahnya, mereka menyatakan kondisi saat ini sebagai kondisi darurat.  Mereka akan mengatakan bahwa masih lebih baik mereka yang duduk, bukan politisi sekuler yang kejam, bukan pula diktator korup.

Kita tidak ingin mengatakan bahwa para aktivis partai Islam tersebut telah terjebak.  Mereka berjuang, dan tidak dinafikan bahwa sebagian dari mereka betul-betul berjuang dengan ikhlas, mengorbankan harta, waktu, tenaga dan pikirannya.  Kita menyebut fenomena di atas adalah jebakan sebagaimana seorang prajurit yang gagah berani di medan perang dapat juga tanpa sengaja terkepung pada medan penuh ranjau yang sangat sulit, sehingga dia dengan sadar memutuskan untuk memilih jalan yang dalam pertimbangannya ranjaunya paling sedikit.

Jalur Alternatif

Namun kalau dipikir jernih, ada cara yang lebih aman secara syar’i, meskipun tentu saja lebih sukar.  Tidak ada “nikmatnya demokrasi” di sana, karena jalan ini tidak menjanjikan jabatan, tidak menjanjikan “perubahan” yang cepat ataupun segala indikator duniawi lainnya.

Jalan itu adalah jalur yang ditempuh Rasulullah, melalui dakwah ideologis baik ke level akar rumput maupun ke level elit.  Di Makkah, hanya level akar rumput yang dapat diakses, itupun dalam 13 tahun hanya berhasil merekrut sekitar 100 orang.  Namun di Madinah, dalam setahun, hampir seluruh lapisan elit dapat dipegang, sehingga revolusi berjalan mulus.  Tentu saja revolusi ini hanya akan tercatat dengan tinta emas sejarah bila dapat dipertahankan.  Dan itu tergantung kesiapan akar rumput menanggung beban revolusi.  Namun Rasulullah telah memberikan contoh yang luar biasa bagaimana proses yang alami ini dapat berlangsung manusiawi dan sempurna.