Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for August, 2007

Insentif Riset

Sunday, August 12th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Suatu hal yang di negeri ini kita merasa paling terpuruk adalah ketertinggalan teknologi.  Kita punya banyak doktor lulusan universitas luar negeri, guru besar, peneliti utama dan juara olympiade sains tingkat dunia, namun teknologi kita hampir semuanya diimpor.  Teknologi impor itu mahal dan sering harus dibiayai dengan utang luar negeri.  Dan utang itulah yang kini membuat kita jadi makin terjajah.

Kita memang bangsa paling doyan membeli teknologi asing.  Sebagai contoh, jenis handphone Nokia tercanggih saja di seluruh dunia selalu mulai dijual dari Indonesia. Sayangnya, teknologi ini tidak bisa dikuasai dengan jalan sekedar membeli atau memilikinya.  Buktinya, ketika tak lama kemudian muncul model yang lebih baru lagi, kita mau tak mau harus membelinya lagi.  Jarang sekali terdengar cerita kita berhasil membuat produk teknologi lokal yang mampu menandingi produk impor.

Realitasnya teknologi hanya dapat benar-benar dikuasai bila faktor-faktor endogen (dorongan dari dalam) suatu bangsa mencukupi.  Upaya menyekolahkan anak bangsa ke luar negeri, atau mendatangkan pakar dari luar negeri dalam proyek-proyek di sini, realitasnya tak banyak menghasilkan. 

Karena itulah, kemudian pemerintah mencoba sejumlah insentif untuk meningkatkan faktor-faktor endogen yang akan mendorong para peneliti melakukan riset teknologi.  Insentif ini dapat berbentuk dana hibah riset yang diberikan dengan cara kompetitif.  Cara inilah yang paling bergengsi dan ”dilelang” ke seluruh lembaga penelitian pemerintah, perguruan tinggi hingga sejumlah LSM yang terkait riset.  Bentuk kedua dari insentif adalah dalam bentuk lomba-lomba ilmiah.  Sedang cara yang ketiga adalah dalam bentuk pengurangan pajak (tax-deduction), misalnya dari unit R & D perusahaan-perusahaan besar.

Di masa lalu, insentif yang paling terkenal adalah Riset Unggulan Terpadu, di mana bidang risetnya berorientasi pada taksonomi ilmu.  Karena itu dulu akan ada sejumlah proposal yang cukup spesifik dan canggih, yang orang perlu berpikir keras untuk membayangkan aplikasinya.

Kini, semua proposal insentif riset harus memilih satu dari enam bidang aplikasi real, yaitu (1) pangan; (2) energi; (3) kesehatan; (4) transportasi; (5) informasi & komunikasi; dan (6) hankam.  Bidang aplikasi hankam mencakup juga aplikasi untuk penanggulangan bencana.

Ini berarti bidang ilmu apapun harus diarahkan untuk mendukung enam bidang aplikasi tadi, termasuk ilmu-ilmu sosial atau bahkan ilmu-ilmu agama.  Artinya, seorang fisikawan nuklir boleh saja mengusulkan riset, tetapi harus diarahkan menurut aplikasinya misalnya (1) nuklir untuk memuliakan varitas tanaman padi; (2) aspek-aspek dalam pembangkitan energi nuklir; (3) nuklir untuk terapi kanker; (4) masalah pengangkutan bahan bakar nuklir; (5) sistem informasi keselamatan reaktor; dan (6) masalah-masalah nuklir dalam pertahanan. 

Sedang ahli geografi dapat meneliti misalnya (1) analisis kesesuaian lahan tanaman pangan; (2) GIS untuk optimasi lokasi pengembangan energi nabati (biofuel) skala besar; (3) mempelajari pola penyebaran flu burung secara spasial; (4) sistem informasi posisi bagi optimasi armada angkutan; (5) analisis spasial untuk optimasi posisi stasiun transceiver; (6) model spasial untuk evakuasi tanggap darurat.

Demikian juga, peneliti ilmu-ilmu sosial (termasuk agama) dapat meneliti misalnya (1) Masalah-masalah kultural dalam diversifikasi pola makanan; (2) Respon masyarakat dan dunia industri atas inisiatif energi pemerintah; (3) Korelasi pelayanan kesehatan dengan indeks kesehatan masyarakat; (4) Dampak makro kehadiran busway pada mobilitas warga Jakarta; (5) Hubungan densitas ponsel pada kualitas SDM; (6) Mengukur kepedulian masyarakat pada bencana.

Pada tahun 2007, dari sekitar 8000-an pejabat fungsional peneliti dan puluhan ribu dosen dan peneliti di perguruan tinggi di seluruh Indonesia, masuk sekitar 5000-an proposal.  Dari jumlah yang lumayan ini kemudian akan diseleksi dan nantinya mungkin hanya sekitar 10% yang akan dikabulkan untuk didanai. Secara nominal insentif riset ini memang tak terlalu besar, yakni hanya berkisar 100 – 500 juta Rupiah per judul per tahun.  Ini termasuk untuk honor, keperluan pengadaan alat dan bahan, perjalanan dan lain-lain. 

Anggaran riset di negeri ini memang masih teramat kecil dibandingkan APBN, apalagi dibandingkan Produk Domestik Bruto yang hanya 0,05 %.  Bandingkan dengan Malaysia (0,69%), Singapura (1,89%), atau Jepang (3,12%).

Secara umum perbandingan para peneliti dengan pekerja juga menunjukkan Indonesia sangat rendah.  Kita hanya memiliki 5 peneliti per 10.000 pekerja.  Bandingkan dengan Malaysia (8), Korea (64) dan Jepang (99).  Ini baru dari segi kuantitas.  Kualitasnya pun masih payah.

 Output

Selama ini program-program insentif riset masih belum menunjukkan output yang maksimal.  Output riset baru sebatas publikasi ilmiah saja – ini saja sering hanya publikasi lokal yang hanya diketahui kalangan terbatas.  Para peneliti hanya hidup di dunia mereka sendiri.  Jarang yang berusaha untuk juga membawa hasil-hasil temuannya agar dipakai masyarakat.  Atau mungkin mereka menganggap itu sudah tugas orang atau lembaga lain?  Repotnya bila orang atau lembaga yang dimaksud juga merasa tidak percaya diri untuk melakukan fungsi sosialisasi atau diseminasi produk hasil penelitian itu. Atau jangan-jangan hasil penelitian itu sendiri memang belum ”layak”?

Sebagai contoh Balai Besar Teknologi Tepat Guna milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan dari 60 penemuan TTG baru 5 yang dipakai luas di masyarakat (Kompas 19/6). Ada dugaan kuat bahwa ini semua karena ”mental inlander” yang masih menjamur di kalangan pengusaha ditambah hobby para penguasa yang hanya berburu rente (komisi proyek).

Di Indonesia ada ratusan Pusat, Balai Besar, Balai maupun Loka Penelitian berbagai ukuran dan tersebar di seluruh penjuru.  Namun gaung mereka kurang terdengar.  Meski pemerintah sudah membuat berbagai insentif riset, namun bila visi ilmiah ini tidak merata baik di pelaku penelitian, mahasiswa, pengusaha maupun para pejabat publik, maka sulit diharapkan teknologi kita akan berkembang.

Faktanya yang hidup di masyarakat justru budaya-budaya instan.  Orang lebih tergiur menjadi kaya mendadak dengan ikut ajang-ajang untuk menjadi selebriti.  Budaya mistik,  tahayul dan gaya hidup hedonis justru disebarkan media massa.  Dan para pejabat publik yang ”gaptek” tidak malu untuk bicara yang tidak didasari fakta ilmiah.

Walhasil meski ada insentif riset, banyak peneliti yang semi frustrasi, dan lalu lebih sering ”melacurkan diri” sebagai pengamat dan ”pengamen”, bukan sebagai pelaku riset yang menghasilkan karya-karya bermanfaat bagi ummat.

Kebangkitan Teknologi

Sunday, August 12th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Sejak tahun 1995, tanggal 10 Agustus selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas).  Awalnya adalah keberhasilan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN, sekarang PT Dirgantara Indonesia) menerbangkan pesawat N-250, yang diklaim sebagai hasil karya asli anak-anak bangsa.  Saat itu memang Prof. Dr.-Ing. Baharuddin Jusuf Habibie sedang di puncak prestasinya sebagai Menteri Riset & Teknologi Republik Indonesia.  Dan beliau adalah ahli aeronautika dan pernah menjadi wakil presiden sebuah perusahaan pembuat pesawat terbang di Jerman yaitu Messerschmidt Bolkow Blohm (MBB).  Habibie mencoba mendorong kebangkitan teknologi nasional dari aeronautika, bukan sekedar karena dia pakarnya, namun karena (1) dia yakin jika aeronautika yang teknologi canggih bisa dikuasai, mestinya yang lain seperti teknologi mekanisasi pertanian atau otomotif akan lebih mudah lagi; (2) dia percaya kemajuan aeronautika akan menjadi lokomotif yang menarik maju sejumlah teknologi penunjangnya seperti teknologi mesin, kimia, material, elektronika, hingga teknologi informasi.  Oleh karena itu, di era 1980-an, Habibie tanpa ragu-ragu setiap tahun mengirim ratusan lulusan SMA terbaik dari seluruh Indonesia untuk belajar teknologi ke berbagai negara maju (AS, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, Belanda, Austria, Australia).  Untuk itu dia juga berani utang ke Bank Dunia agar seluruh program ini berjalan.  Setiap pelajar yang dikirim ini mendapat beasiswa minimal sejumlah 50.000 US-Dollar hingga menamatkan insinyurnya.  Jumlah ini baru untuk biaya hidup (living cost), belum biaya kuliah (tuition fee). Namun dengan pola ikatan dinas, Habibie yakin investasi negara ini tidak akan sia-sia.

Namun sejarah kemudian membuktikan bahwa seluruh rencana itu nyaris kandas.  Sejak awal para ekonom mengkritik teori Habibie (”Habibienomics”) sebagai utopia.  Kata mereka, yang dibutuhkan bangsa ini adalah teknologi tepat guna, yang dapat dipakai oleh petani di pedesaan, industri kecil dan menengah, serta sektor rumah tangga, yang jumlahnya sangat besar – dan selama ini tergantung impor.  Krisis ekonomi yang membuat Indonesia menjadi pasien IMF memaksa semua proyek-proyek teknologi ini ditinjau ulang.  IPTN yang kemudian jadi PTDI dibiarkan bangkrut.  Ribuan karyawannnya dirumahkan, dan ratusan tenaga profesional yang dulu disekolahkan ke Luar Negeri dengan hutang Bank Dunia ramai-ramai hengkang ke Luar Negeri.  Sekarang saja masih ribuan ex karyawan PTDI yang menuntut pesangonnya.  Lobby-lobby internasional membuat pesawat N250 tidak diberi sertifikat terbang oleh otoritas dunia, sehingga pemasarannya seret.  Habibie sendiri kemudian semakin terseret dalam politik, menjadi Presiden RI yang melepas Timor Timur dan membuka keran liberalisasi, dan kemudian terpaksa turun dari kancah politik karena pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.

Sekarang gaung Hakteknas sudah jarang terdengar, meski tetap diperingati.  Tahun ini, Kementrian Ristek menggelar antara lain Pameran Ristek, Ristek-Medco Award (untuk orang-orang yang dianggap berjasa mengembangkan energi alternatif), Ristek-Telkom Award (untuk mereka yang dianggap berjasa mengembangkan software Open Source) dan Ristek-Martha Tilaar Award (untuk yang diangap berjasa mengembangkan obat / herbal tradisional).

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kebangkitan teknologi hampir mustahil diciptakan atau dikendalikan oleh para teknolog itu sendiri.  Ada interaksi yang kuat dengan dunia ekonomi, politik, legislasi, dan juga kultur masyarakat.  Semua aspek ini harus turut berbenah agar terjadi kebangkitan.  Pada saat yang sama, kebangkitan itu nanti tak sekedar kebangkitan teknologi, tetapi juga kebangkitan ekonomi, politik dan sosial-budaya masyarakat.

Kekeliruan yang mungkin terjadi di masa lalu adalah terlalu mendewakan teknologi.  Teknologi dianggap obat mujarab atas segala penyakit.  Padahal dalam implementasinya, tanpa kepercayaan dunia keuangan, tanpa selembar surat dari otoritas pemberi ijin, tanpa komitmen kuat para politisi, dan tanpa akseptansi dari masyarakat luas, teknologi hanya akan berada di puncak menara gading.  Tidak membumi.  Tidak digunakan.  Dan akhirnya hilang tertelan sejarah.

Di sini kita melihat bahwa ada yang lebih mendasar dari kebangkitan teknologi, yaitu kebangkitan cara berpikir seluruh elemen masyarakat, baik di level bawah (grassroot) mapun elit: pengusaha, penguasa, politisi, ilmuwan hingga pemuka agama.  Kita memerlukan orang-orang yang benar-benar memiliki visi kebangkitan.  Dan Islam menyediakan visi itu, ketika Allah berfirman dalam QS Ali-Imran:110

Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.

Jadi setiap muslim harus punya visi menjadi yang terbaik, karena dengan itu misinya di dunia untuk menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah dapat berjalan optimal.

Pada masa lalu, visi ini begitu mendarahdaging di dalam umat Islam.  Umat Islam di Madinah di masa nabi belum memiliki teknologi secanggih yang dimiliki orang-orang Romawi, Persia, India atau Cina.  Tetapi karena mereka begitu menghayati pesan Allah agar menjadi yang terbaik, mereka siap untuk berjalan ribuan mil ke Cina, demi mendapatkan teknologi kertas, kompas dan mesiu.  Mereka ke India menyerap ilmu aritmetika dan angka India, yang kemudian diadopsi sehingga menjadi lebih terkenal sebagai angka Arab.  Mereka belajar serius beberapa bahasa asing agar dapat secepat mungkin mentransfer teknologi dari Barat dan Timur, untuk dikembangkan lebih lanjut.  Dan dengan teknologi itu mereka dalam waktu kurang dari seabad sudah lebih unggul dari Persia dan Romawi, sehingga dakwah mereka menjadi berwibawa dan jihad mereka hampir selalu meraih kemenangan.

Ini menunjukkan cara berpikir yang bangkit dengan didasari keimanan.  Maka seluruh politik pada masa itu akan sinergi.  Tidak seperti sekarang, teknologi dicoba dibangkitkan hanya dengan motivasi ekonomi atau kebanggaan nasional.  Padahal para pemain ekonomi sering hanya berburu rente atau keuntungan jangka pendek.  Para politisi berpikir hanya sampai pemilu mendatang, dan bagaimana investasi politiknya cepat kembali.  Sedang massa konsumen dibuai dengan mimpi dari media tentang kehebatan produk asing.  Tidak mungkin kebangkitan apapun bisa terjadi dengan cara ini.  Teknologi juga terbukti bukan lokomotif kebangkitan, namun hanya salah satu efek dari sesuatu yang lebih mendasar tadi, yaitu kebangkitan berpikir.

Adalah tugas para pemimpin umat di segala lini, baik ulama maupun ilmuwan, birokrat maupun teknolog, yang sedang berkuasa maupun yang di luar kekuasaan, agar bersama-sama mewujudkan kebangkitan berpikir berlandaskan keimanan, agar yang didapat adalah kebangkitan yang benar dan sempurna.

Infrastruktur Data Spasial Nasional

Sunday, August 12th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Pada 25-26 Juni 2007 ini, di Jakarta berlangsung Rapat Koordinasi Nasional Infrastruktur Data Spasial Nasional (Rakornas-IDSN).  Makhluk apa sesungguhnya IDSN ini?

Data Spasial adalah data hasil pengukuran, pencatatan, dan pencitraan terhadap suatu unsur keruangan yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi dengan posisi keberadaannya mengacu pada sistem koordinat nasional.   Infrastruktur berarti semua yang diperlukan guna mengelola data spasial, baik itu si data sendiri (fundamental data set), format bakunya, perangkat teknologi jaringannya, aturan main dengan data, lembaganya hingga orang-orangnya.

Istilah IDSN mulai dipopulerkan di Amerika Serikat sejak sekitar satu dekade  Ide dasarnya adalah sebagian besar urusan masyarakat itu terkait dengan suatu data keruangan, yang lokasi atau posisinya itu signifikan dalam pengambilan kesimpulan.

Contoh: ketika kita memilih tempat tinggal, pekerjaan, sekolah anak hingga pilihan berlibur, semua ini pasti terkait dengan data spasial.  Kita ingin tinggal di lokasi yang air atau udaranya masih baik, tidak terlalu bising, namun infrastrukturnya siap dan aksesnya mudah.  Kita juga ingin bekerja di tempat yang strategis namun tidak terlalu jauh dari rumah.  Demikian juga untuk yang lain.  Untuk itulah kita perlu data atau informasi seperti peta, buku alamat, rute angkutan umum, kode pos dan sebagainya. 

 

Mencari Sinergi

Berbagai lembaga membuat, mengumpulkan, mengelola, menetapkan dan menyebarkan data spasial, misalnya:

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dengan jaringan kontrol geodesi, geoid nasional, cakupan foto udara, hipsografi (matriks elevasi atau peta kontur), batimetri dasar laut, garis pantai, utilitas, penutup lahan, sistem lahan, dan liputan dasar laut (sea bed cover) dan sebagainya.

Badan Pertanahan Nasional dengan kerangka dasar kadastral dan bidang tanah, aspek legalitas atas tanah, penggunaan tanah, zona nilai tanah / nilai aset kawasan, karakteristik tanah dan sebagainya.

Departemen Keuangan dengan data pertanahan yang terkait dengan perpajakan, tanah yang dijaminkan untuk keperluan perbankan dan sebagainya.

Departemen Dalam Negeri dengan data batas wilayah NKRI, wilayah administrasi kepemerintahan, nama-nama tempat (toponimi) dan sebagainya.

Departemen Perhubungan dengan data rute dan izin trayek transportasi umu, volume lalu lintas dan sebagainya.

Departemen Komunikasi dan Informatika dengan data wilayah kode pos, kode area telepon, posisi antene BTS telekomunikasi seluler dan sebagainya.

Departemen Pekerjaan Umum dengan data jaringan jalan, tubuh air/hidrologi lingkungan bangunan (termasuk data kawasan rawan banjir), jaringan air bersih, instalasi limbah, rencana tata ruang dan sebagainya.

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan data lingkungan budaya, posisi-posisi tempat atau fasilitas wisata, volume wisatawan dan sebagainya.

Badan Pusat Statistik dengan data wilayah pengumpulan data statistik, hasil kegiatan statistik dan sebagainya.

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dengan data kuasa pertambangan, geologi, sumberdaya mineral, seismik eksplorasi, gayaberat, sumur pemboran dan hidrogeologi, vulkanologi, peta rawan bencana geologi dan sebagainya.

Departemen Kehutanan dengan data kawasan hutan (termasuk lokasi-lokasi HTI dan HPH), sumberdaya hutan, keanekaragaman hayati, taman nasional dan sebagainya.

Departemen Pertanian dengan data klasifikasi tanah, lokasi lahan pangan, perkebunan dan sebagainya.

Departemen Kelautan dan Perikanan dengan data oseanografi, potensi sumberdaya laut, kondisi wilayah pesisir dan sebagainya.

Departemen Perdagangan dengan data lokasi pasar atau toko yang telah terdaftar, gudang Bulog, dan sebagainya.

Departemen Kesehatan dengan data lokasi fasilitas medis, gudang obat, daerah epidemi dan sebagainya.

Departemen Sosial dengan data lokasi masyarakat adat, kawasan pengungsian, daerah rawan sosial dan sebagainya.

Badan Meteorologi dan Geofisika dengan data iklim dan geofisika, informasi cuaca, gempa dan sebagainya.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan data cakupan citra satelit, posisi daerah yang terliput gerhana dan sebagainya.

Sebenarnya bila semua pelaku di atas mengerjakan dengan baik tugas pokoknya serta saling berkoordinasi, semua akan baik-baik saja.  Realitasnya, kemampuan SDM-nya amat beragam, jumlah uang yang terlibat juga tidak sama, ditambah masyarakat sering menginginkan jalan pintas – karena jalan resminya kurang jelas atau terlalu panjang.  Akibatnya, baik secara pribadi maupun kelembagaan, terjadi tumpang tindih pekerjaan.

Kalaupun pekerjaannya an sich tak tumpang tindih, namun dalam pengumpulan data masih mungkin tumpang tindih.  Misalnya, suatu lembaga pemerintah telah mengadakan citra satelit yang mahal, namun lembaga lainnya membeli lagi citra yang sama, karena ketidaktahuan atau aturan main yang tidak kondusif.  Celakanya, kedua pembelian tadi sama-sama harus ditanggung oleh rakyat melalui APBN.

 

Idealnya

Kita memang harus memiliki data spasial yang dibangun dan diselenggarakan dengan baik, dikelola secara terstruktur, transparan dan terintegrasi dalam suatu jaringan nasional.  Ini akan sangat penting dalam upaya memberikan kemudahan pertukaran dan penyebarluasan data spasial antar lembaga pemerintah dan antar lembaga pemerintah dengan masyarakat.  Kemudahan pertukaran dan penyebarluasan data spasial akan memberikan manfaat untuk meningkatkan efisiensi baik anggaran pemerintah, maupun masyarakat sekaligus mendorong pengembangan ekonomi.

Di level masyarakat kita membayangkan suatu aplikasi seperti berikut:

Pak Haji Ahmad bermaksud membangun sebuah pesantren terpadu, yang menggabungkan pendidikan, dakwah dan agrobisnis.  Untuk itu, dia cukup menyalakan komputer, mengaktifkan koneksi internet dan membuka portal IDSN.  Dia akan disambut oleh peta dasar Indonesia yang dapat diperbesar dan diklik.  Aplikasi semacam ini sudah ada di internet misalnya Google Earth (http://earth.google.com).

 

 

Contoh tampilan Google-Earth – tinggal ditambah dengan aplikasi multi sektoral dalam IDSN

 


Salah satu aplikasi di portal impian ini adalah mencari lahan bebas masalah.  Tiga masalah saja yang akan dicek: bebas bencana – bebas sengketa – dan sesuai tata ruang.

Setelah pak Haji Ahmad memilih perkiraan lokasi, dia menjalankan aplikasi untuk mencek bebas bencana – misalnya untuk bencana longsor.  Sebuah modul akan mencari data hipsografi ke server Bakosurtanal – yang secara simultan (on-fly) akan diolah menjadi data lereng.  Lalu modul yang sama akan mencek kondisi geologisnya ke server Badan Geologi, mencari informasi curah hujan tahunan ke server BMG, dan melihat kondisi vegetasi dari citra satelit aktual di server LAPAN.  Setelah itu modul tersebut akan segera menghitung apakah daerah itu rawan longsor berdasarkan kaidah-kaidah yang diprogramkan di dalamnya.  Hal serupa juga dapat dilakukan untuk bencana yang lain, dengan data pada server yang berbeda.

Kemudian setelah itu, pak Haji Ahmad mengaktifkan modul untuk mencek legalitas, yang dalam hal ini akan mencari tahu ke server BPN.   Dapat ditambahkan juga pengecekan ke server Depdagri untuk mencari tahu tanah itu persisnya ikut wilayah administrasi mana.  Juga ke server Depkeu untuk mencari tahu status perpajakannya.

Terakhir, agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, pak Haji Ahmad mengaktifkan modul tata ruang.  Modul ini akan ”lari” ke server Departemen PU dan Bappeda.

Setelah semua informasi itu terkumpul, barulah pak Ahmad mendapat ”saran” dari komputer, untuk memutuskan apakah rencana tersebut bisa diteruskan atau dikaji ulang.

Semua ”mimpi sorga” di atas hanya akan terwujud dan efektif bila (1) semua lembaga terkait memang berniat untuk membuka data yang dimilikinya; (2) semua data yang ditawarkan itu dalam kualitas (akurasi, kemutakhiran) yang memadai serta disajikan dalam format yang dapat dibuka bersama-sama; (3) semua lembaga menyetor metadata yang berisi informasi singkat atas data spasial yang dikelolanya sehingga pencariannya mudah; (4) ada software bebas (free & open source) yang didedikasikan untuk pertukaran data dan berbagai aplikasi bersama; (5) terdapat server dan jaringan internet yang aman, lancar dan handal – tidak sering terganggu.

Beberapa informasi mungkin sama sekali bebas, sementara informasi lain dikenakan biaya – maka untuk itu perlu ada mekanisme pembayaran elektronik (e-cash) yang aman.

Suatu mekanisme pelayanan publik yang mudah, murah, aman dan berkualitas adalah kewajiban negara yang diamanahkan oleh syariah.  Sejauh mana kesiapan setiap pihak yang terlibat dalam mewujudkan pelayanan publik semacam ini menjadi ”indikator kesiapan syariah” yang sesungguhnya dari setiap pelaku pelayanan publik.