Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for August, 2009

Studi Komparasi Mazhab Riset Teknologi

Saturday, August 22nd, 2009

Perbandingan ilmuwan, saintek dan produknya dalam sistem Islam vs sistem lainnya

Dr. Fahmi Amhar

Benarkah saintek bebas nilai sehingga dapat diambil dari mana saja?  Ataukah tidak, sehingga demi kehati-hatian semuanya harus difilter dan “diislamkan” lebih dulu?

Mereka yang menganggap saintek bebas nilai, memberi contoh bagaimana Rasulullah menyuruh para sahabat belajar sampai ke Cina, yang tentunya bukan belajar ilmu agama tetapi saintek, hingga mereka dapat menguasai matematika, pembuatan kertas hingga cara membuat mesiu.  Saintek ini kemudian juga dikembangkan lebih lanjut secara sangat kreatif oleh para ilmuwan muslim.

Sedang yang menganggap saintek tidak bebas nilai menyebut teori evolusi Darwin, determinisme Newton yang menolak peran Tuhan dalam mekanisme alam hingga penggunaan senjata pemusnah massal.  Lahirnya teori-teori ekonomi komunis maupun neoliberal pun dianggap bukti bahwa saintek tidak bebas nilai.  Saintek yang bersandar pada sesuatu di luar Islam terbukti bermasalah, dan ilmuwan yang menekuninya lebih sering dihitung sebagai ilmuwan sekuler, yakni ilmuwan yang memandang bahwa agama tidak perlu dilibatkan dalam pengaturan urusan kehidupan publik.

Fakta, dua kelompok tadi berikut contohnya memang ada.  Kekeliruan menaruh suatu objek saintek pada suatu kelompok dapat berakibat fatal.  Masih di masa sahabat, kaum muslim sudah menuliskan mushaf al-Quran di atas kertas yang teknologinya baru saja dipelajari dari Cina.  Namun mereka menunda beberapa abad untuk mencetak al-Quran dengan mesin cetak yang ditemukan Guttenberg dari Jerman.  Kehadiran mesin cetak disambut dengan curiga seperti menghadapi masuknya teori evolusi.  Memang saat itu, kemajuan saintek dinisbatkan pada sekulerisme. Akibatnya penolakan terhadap sekulerisme dianggap juga penolakan terhadap saintek Barat yang berkembang setelah munculnya ideologi sekuler.

Tampak di sini bahwa selepas abad-10 H (abad-17 M) taraf berpikir kaum muslim mulai mundur sehingga tak dapat lagi membandingkan secara jernih saintek mana yang bebas nilai dan mana yang tidak.   Tulisan singkat ini berupaya memberi pencerahan agar kaum muslim dapat secara jernih membandingkan dua mazhab riset sains & teknologi – yakni Islam vs sistem lainnya, terutama sistem sekuler yang dominan di masa sekarang.

Untuk melakukan komparasi mazhab ristek tersebut memang perlu diperjelas parameter yang dibandingkan.  Salah satu parameter yang paling menyeluruh adalah telaah menurut tiga aspek filsafat ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi.  Ontologi membahas hal-hal yang terkait mengapa suatu penelitian atas objek tertentu perlu dilakukan.  Epistemologi membahas tentang tata cara suatu penelitian harus dilakukan. Sedang aksiologi membahas sejauh mana hasil penelitian dapat digunakan.

Ilmuwan Muslim

Ilmuwan muslim akan berontologi dengan (1) kebutuhan yang merupakan hajatul udhowiyah atau kewajiban syar’iyyah, tetapi dapat juga (2) terinspirasi suatu ayat Quran yang bermuatan pertanyaan yang dapat dikaji lanjut secara ilmiah, atau (3) termotivasi oleh suatu ayat Quran yang memberikan tantangan, yang mau tak mau berarti pengembangkan saintek terkait.

Contoh:

(1)      Seorang ilmuwan muslim akan tergelitik untuk meneliti sehingga seluruh kebutuhan yang termasuk hajatul udhowiyah (atau disebut kebutuhan asasi seperti sandang-pangan-papan) dapat dipenuhi dengan baik.  Selain itu juga agar seluruh kewajiban syar’iyah dapat terlaksana.  Konon Imam Al-Khawarizmi mengembangkan aljabar karena ingin membantu membagi waris dengan akurat.

(2)      Ada ratusan ayat-ayat Qur’an yang seharusnya memberi inspirasi riset saintek pada ilmuwan muslim. Ayat tentang surga saja masih dapat memberikan inspirasi riset, misalnya:

وَيُسْقَوْنَ فِيهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنْجَبِيلًا

Di surga itu mereka diberi segelas minum yang campurannya adalah jahe. (QS. 76:17).

Seorang ilmuwan muslim pantas untuk tergelitik untuk meneliti jahe, ada apa di dalam jahe sehingga disebut sebagai campuran minuman ahli surga?

(3)      Seorang muslim – apalagi ilmuwan – akan merasa tertantang oleh ayat-ayat Qur’an seperti ini:

Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. … (QS. 3:110)

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak tahu; sedang Allah mengetahuinya …. (QS. 8:60)

Dua ayat di atas mendorong kaum muslim untuk menjadi yang terbaik, yakni yang mampu menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar di dunia, sedang untuk itu diperlukan kekuatan apa saja.  Ketika musuhnya memiliki senjata nuklir, maka berarti ilmuwan muslim wajib mengembangkan saintek nuklir yang lebih hebat.

Kemudian secara epistemologi, ilmuwan muslim akan melakukannya dengan cara-cara yang dibatasi syariat: (1) tidak menolak suatu pernyataan yang harus diimani secara aqidah (yang tentu saja memerlukan dalil qath’i), dan (2) berjalan sesuai koridor perintah dan larangan.

Contoh:

(1)     Seorang ilmuwan muslim tak akan meragukan bahwa malaikat itu ada.  Maka dia akan mengarahkan penelitiannya tidak untuk menjawab apakah malaikat itu ada atau tidak (yang memang bukan domain riset saintek), tetapi mungkin dia dapat meneliti korelasi antara keimanan kepada malaikat dengan integritas pada kelompok sample masyarakat tertentu.

(2)     Seorang ilmuwan muslim tak akan membiarkan suatu maksiat terjadi sekalipun demi kemajuan ilmu pengetahuan.  Oleh karena itu percobaan cloning pada manusia harus dilarang, karena bila berhasil berkonsekuensi melahirkan manusia tanpa nasab (yang akan menimbulkan berbagai masalah syara’), dan bila manusia itu ternyata memiliki sifat monster sehingga harus dibunuh, maka ini juga maksiat.

Sedang secara aksiologi, produk saintek ilmuwan muslim dikembangkan atau didesain sedemikian rupa sehingga dapat bermanfaat sebesar-sebesarnya sesuai syariat dan tidak disalahgunakan untuk aktivitas yang tidak syar’i.

Contoh:

  1.  Dalam sejarah, hampir seluruh produk saintek Islam telah dijadikan public domain.  Negara atau orang-orang kaya telah mengganti seluruh investasi dari riset yang memang bermanfaat itu lalu mewakafkannya untuk dipelajari dan dimanfaatkan siapa saja.  Hanya sedikit saintek yang dirahasiakan karena alasan keamanan.  Namun kalaupun ilmuwan muslim dapat mengembangkan senjata nuklir, senjata itu hanya untuk menggetarkan musuh, untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih baik, tidak benar-benar dipakai melakukan pembunuhan massal.
  2. Seorang matematikawan muslim yang mempelajari teori permutasi ataupun neuronal network untuk melakukan prediksi kejadian, tak akan menggunakan ilmu itu untuk memenangkan perjudian.

 

Ilmuwan Sekuler

Sementara itu ilmuwan sekuler akan berontologi pada (1) kepuasan batin peneliti atau (2) kebutuhan dalam masyarakat kapitalis.  Mereka akan tertarik untuk meneliti apa saja yang memberikan kepuasan batin, memenuhi selera konsumsi atau menjaga agar mereka tetap dalam standar hidup yang telah diraih.  Walhasil banyak usaha yang dikeluarkan untuk suatu riset yang tidak menjawab masalah apa-apa kecuali keingintahuan sang peneliti, atau riset yang justru memperbudak manusia pada teknologi, atau memperbudak (menjajah) suatu masyarakat pada pihak yang menguasai teknologi.

Contoh:

  1. Banyak penelitian terdepan di bidang matematika, kosmologi, palaeobiologi atau juga ilmu-ilmu sosial yang sudah kabur hubungannya dengan realitas kehidupan saat ini.  Setidaknya, para ilmuwan yang menggelutinya kesulitan menjelaskan kepada orang awam akan manfaat risetnya itu selain memenuhi rasa ingin tahu.  Memang di zaman Yunani kuno ada penelitian geometri yang saat itu hanya olah pikir dan baru diketahui aplikasinya 2000 tahun kemudian ketika fisika mekanika telah berkembang.  Tetapi mungkin sulit untuk menyebut manfaat dari penelitian untuk memastikan apakah agama dibawa oleh UFO; di mana posisi mendarat kapal Nabi Nuh; apakah penyebab pasti punahnya Dinosaurus; atau bagaimana cara minum anggur yang benar.
  2.  Riset-riset yang dibiayai korporasi besar terus ingin mendapatkan saintek yang makin efisien untuk menghasilkan keuntungan besar.  Maka diciptakan mesin-mesin raksasa yang makin efisien untuk mengeruk sumberdaya alam.  Dampak lingkungannya tidak dikaji karena tidak terkait keuntungan.  Di dunia pertanian, pabrik-pabrik benih raksasa menciptakan berbagai bibit unggul yang menjanjikan keuntungan besar bagi petani, tetapi benihnya tetap harus dibeli dari pabrik.  Demikian juga di dunia farmasi, riset obat instan didorong sedemikian rupa, semakin jauh dari kenyataan bahwa seharusnya kesehatan dijaga secara integratif dengan pola makan, pola pikir, pola hidup dan lingkungan yang sehat.

Epistemologinya juga pada dasarnya bebas, tidak ingin diatur, sekalipun oleh hukum.

Contoh:

  1. Di masa NAZI dulu, Hitler memerintahkan melakukan riset anthropologi terapan untuk mengenali secara cepat etnis non Arian murni pada masyarakat Jerman.  Riset ini bertujuan mengidentifikasi “bibit musuh dalam selimut” dalam masyarakat Jerman.  Riset dilakukan dengan melakukan pengukuran biometris secara paksa pada orang-orang yang dijadikan sampelnya.  Terkadang riset ini dibumbui dengan penyiksaan, perlukaan hingga pembunuhan atas nama kemajuan ilmu pengetahuan.
  2.  Peristiwa penjatuhan bom atom atas Hiroshima dan Nagasaki sebenarnya juga sekedar metode untuk mengetahui dampak ledakan nuklir pada sebuah kota berpenduduk, bukan untuk mengakhiri perang, sebab saat itu sebenarnya Jepang sudah siap menyerah.
  3. Ada sejumlah ilmuwan Barat yang tetap ingin mengetahui manusia seperti apa yang akan dihasilkan dari proses cloning.  Ketika sejumlah negara seperti Amerika Serikat melarang riset cloning pada manusia, mereka mencari negara lain yang hingga saat ini belum memiliki aturan melarangnya.

Sedang aksiologinya adalah yang memberi keuntungan sebanyak-banyaknya.

Contoh:

  1.  Rezim paten di dunia Barat di satu sisi memang telah melindungi inventor dari kesewenangan pemilik modal.  Namun di sisi lain telah menyebabkan jutaan penemuan tidak atau lambat termanfaatkan karena kendala paten.  Kalau kita buka database paten Amerika (www.uspto.gov) atau database sejenis di Eropa (bisa juga menggunakan mesin pencari patents.google.com), akan kita dapati begitu banyak penemuan yang sudah berpuluhtahun ada dan diumumkan dalam dokumen paten namun tidak pernah kita jumpai pada kehidupan sehari-hari.  Akibatnya, investasi inventornya tidak kembali, dia tetap miskin karena penemuannya tidak bernilai komersial, dan dia juga tidak mendapat nilai moral karena tidak ada orang yang memakai penemuannya itu.  Di sisi lain, barangkali ada persoalan di lapangan yang mestinya bisa diatasi dengan sesuatu yang telah ditemukan, tetapi tidak jadi diatasi karena penemuan itu dilindungi paten.
  2. Di dunia Barat, semua penemuan saintek boleh dipakai – sepanjang selaras dengan hukum yang berlaku – tentunya hukum sekuler yang merupakan hasil kesepakatan belaka masyarakat sekuler, yang menolak agama dalam pengaturan urusan publik.  Karena itu akan didapati saintek yang makin canggih untuk optimalisasi maksiat: saintek di dunia perjudian, pelayanan seks komersial, pembuatan khamr, dsb.  Di Technical Univesity Munich Jerman bahkan ada program studi teknologi pembuatan bir.

 

Kesimpulan

Dengan demikian jelas bahwa memang ada bedanya antara saintek yang dikembangkan dalam sistem Islam dari sistem selain itu.  Ada produk saintek yang tidak kompatibel dengan Islam.  Dan uji ontologi, epistemologi maupun aksiologi ternyata dapat digunakan untuk memilah saintek mana yang kompatibel dari yang tidak.