Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for January, 2010

Hizbut Tahrir – sebuah analisis politik

Wednesday, January 20th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Hizbut Tahrir (“Partai Pembebasan”) adalah sebuah fenomena politik Indonesia
yang unik. Dari seratus lebih parpol yang mewarnai pentas nasional sejak reformasi 1998, HT
adalah “partai” yang barangkali tertua. Didirikan 1953 di Jordania, HT dari
awal menyebut dirinya partai politik, bukan sekedar gerakan dakwah.
Sifatnya yang kosmopolit dan internasional, membuat HT berada di mana-mana.
Di Indonesia HT eksis dengan legalitas sebagai organisasi massa dengan nama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Untuk memahaminya, berikut sekilas “yang unik” dari HT.

1. Da’wah Group – but also Political Party
HT adalah kelompok dakwah, yang diperintahkan menasehati siapa saja (QS
3:104), sedang yang paling berhak dinasehati itu adalah penguasa, yang
mengurusi segala masalah ummat (tanpa dibatasi). Maka dakwah seperti ini
bisa disebut aktivitas politik, dan kelompoknya bisa disebut partai politik.

2. Politics – but smart & make the people smart
Namun aktivitas politik HT adalah “high-politics” atau “smart and smarting
politics”. HT mendidik masyarakat agar sadar hak dan kewajiban islaminya,
sehingga mereka bisa mengawasi penguasanya, agar memerintah sesuai dengan
Islam. Bagi HT sudah cukup bahwa masyarakat bersama penguasanya berjalan
islami, tanpa harus berkuasa sendiri.

3. Political party – but extra parlementary
Meski HT adalah partai politik, namun HT memilih berjalan di luar parlemen.
Karena itu HT juga tidak berminat turut dalam Pemilu, sekalipun memiliki
massa yang banyak. Ini karena HT memandang, parlemen dalam sistem demokrasi
tidak sepenuhnya kompatibel dengan Islam, dan tidak akan mampu memberi jalan bagi
tegaknya Islam di manapun. Dan fakta sejarah di berbagai negara menunjukkan
bahwa perubahan yang revolusioner tidak pernah, tidak bisa dan tidak perlu
melalui jalan parlemen.  Meski demikian HT membolehkan seorang muslim yang memperjuangkan Islam via parlemen untuk muhasabatul hukkam (menasehati penguasa) atau untuk menguak hukum-hukum atau perilaku penguasa yang bertentangan dengan Islam.

4. Revolutionary – but start in the mind
Meski HT mengidamkan perubahan revolusioner, namun itu bukan revolusi (ala)
sosialis. Revolusi yang dicitakan adalah revolusi pemikiran.
Pemikiran-pemikiran busuk di masyarakatlah yang menjadi sebab busuknya
sistem dan rusaknya para penguasa. Karena itu pemikiran busuk ini harus
digantikan dengan pemikiran Islam yang cemerlang, yang pada saatnya akan
mencerahkan masyarakat, sehingga mereka mampu memilih penguasa yang
tercerahkan. Pemikiranlah yang akan menggerakkan perubahan – bahkan
revolusi – di segala bidang (QS 13:11).

5. Social Change – but not forget Individu
Meski HT memperjuangkan perubahan masyarakat, namun ini tidak didrop dari
atas, ataupun didongkrak dari bawah (individu-individu). Masyarakat tidak
sekedar himpunan individu, namun individu-individu yang berinteraksi dan
diikat pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Karena itu HT mendidik
secara individual para kadernya, seraya bersama-sama melakukan interaksi ke
masyarakat untuk merubah opini umumnya. Bila kader-kader itu kebetulan
memiliki power, sementara opini umum juga sudah kondusif untuk Islam, maka
perubahan sistem akan berjalan mulus. Selanjutnya sistem baru yang islami
ini akan memacu islamisasi lagi, tanpa harus membuat semua orang menjadi
kader.

6. Fundamental – but not dogmatic
Sebagai gerakan yang merindukan tegaknya syariat Islam yang diyakini
satu-satunya alternatif mengatasi krisis multi dimensi, HT dapat dibilang
ada di kubu “fundamentalis”, atau “revivialis”. Namun demikian, HT bukan
gerakan dogmatis. Bahkan untuk masalah aqidah saja (untuk pertanyaan:
mengapa mesti percaya pada Islam?), HT menggunakan metode rasional semata.
Karena itu oleh sebagian gerakan lain -juga di kubu fundamentalis – HT
pernah disalahpersepsikan sebagai neo-mu’tazilah. Dalam fiqh, HT menelusuri
dalil secara mendalam, tanpa terbelenggu keharusan mengikuti madzhab
tertentu.

7. Syariat Islam – but not just “Jakarta Charter”
Meski menyerukan penerapan syariat Islam, namun berbeda dengan lainnya, HT
tidak terjebak pada sekedar usaha memasukkan Piagam Jakarta ke amandemen UUD
45, atau pada jargon piagam Madinah. HT justru mengusulkan suatu rancangan
konstitusi baru yang seluruh pasalnya diambil dari Islam, dan memandang
piagam Jakarta maupun piagam Madinah baru sebagian kecil dari syariat itu
sendiri. HT memandang syariat Islam sebagai solusi integral
(politik-ekonomi-sosial-budaya-hankam). Karena itu syariat tidaklah sekedar
hukum (=sanksi) Islam, seperti hukum potong tangan bagi pencuri atau rajam
bagi pezina. Dalam masalah ekonomipun, ekonomi syariat tidak sekedar ekonomi
anti riba plus zakat, namun lebih jauh mulai dari paradigma, teori
kepemilikan, teori harga, peran negara dsb.

8. Islamic State – but not theocracy
HT memandang, suatu negara yang menjalankan syariat Islam, dan keamanannya
dijamin oleh kaum muslim, adalah negara Islam. Namun negara itu bukanlah
theokrasi yang dikuasai para padri yang memerintah atas nama Tuhan. Negara
Islam adalah negara dunia, yang dihuni orang sholeh maupun orang jahat,
muslim maupun bukan. Dalam negara Islam, meski kedaulatan ada pada syara’,
namun kekuasaan ada pada rakyat, sedang manfaatnya ditujukan ke seluruh
alam.

9. Unity of Umma – but not unity of party
Negara hanya tegak bila kaum muslim bersatu. Namun menurut HT, persatuan
ummat tidak berarti harus menyatukan partai. Keberadaan banyak partai itu
sunnatullah, karena memang ada banyak dalil yang bisa ditafsirkan beraneka.
Ketika ada khalifah, dialah yang memutuskan pendapat mana yang akan
dilegislasi dan mengikat semua orang, termasuk yang berbeda pendapat. Namun
ini hanya untuk persoalan kemasyarakatan. Dan pendapat yang berbedapun
boleh dipelajari. Inilah mengapa mazhab-mazhab fiqh tetap hidup, sekalipun
khalifah saat itu melegislasi pendapat satu mazhab saja.

10. Khilafah – but not just group leader
Dan tentang figur khalifah, HT memandang khalifah bukan sekedar pemimpin
jama’ah semacam yang ada pada Ahmadiyah atau Laskar Hizbullah. Namun
khalifah adalah kepala negara dan pemerintahan. Khalifah juga bukan jabatan
yang bisa diwariskan, karena ia semacam kontrak sosial. Adapun yang terjadi
di masa lalu, harus dikaji secara jernih, dan pula sejarah bukanlah dalil
hukum yang mengikat.

11. Orthodox – but with ijtihad
HT sangat teguh memegang dalil syara’. Namun demikian HT juga sangat peduli
pada ijtihad asal memenuhi syarat. Termasuk arena ijtihad yang subur adalah
konsep pembentukan dan kebangkitan masyarakat. Ini karena ulama terdahulu
tidak mewariskan sedikitpun kajian di sini, sebab saat itu tak ada yang
membayangkan bahwa khilafah Islam yang besar dan berperadaban tinggi bisa
runtuh.

12. Syura’ – but not democracy
HT membedakan syura’ dengan demokrasi. Proses pengambilan keputusan dibagi
tiga: (1) Untuk masalah hukum, syura dilakukan untuk memilih pendapat yang
terkuat argumentasinya – bukan terbanyak pendukungnya. (2) Untuk masalah
teknis, serahkan pada ahlinya, bukan pendapat mayoritas. (3) Yang
diserahkan pendapat mayoritas adalah hal-hal optional yang sama-sama mubah,
misalnya memilih pejabat yang paling akseptabel, setelah semua sama-sama
memenuhi syarat.

13. Radical – but not exclusive
Sebagai gerakan yang memperjuangkan perubahan yang mendasar, HT dapat
disebut gerakan radikal (radix = akar, mendasar). Namun HT jauh dari kesan
eksklusif. HT berbaur di masyarakat dan tidak berpretensi membentuk
perkampungan sendiri. Maka aktivis HT hanya bisa dikenali dari
pemikirannya, tidak dari lahiriahnya. Kalaupun wanita aktivis HT berjilbab,
itu bukan karena HT-nya, namun memang itu kewajiban Islam. Bahkan HT tidak
punya bendera. Bendera hitam bertulisan kalimat tahlil putih yang sering
dibawanya adalah bendera Islam. Dan ini boleh dibawa setiap muslim!

14. Substantive – but take also the symbols
HT memandang segalanya dari sudut hukum syara’, dan tidak dari dikotomi
substansi – simbol. Maka tak perlu menonjolkan satu dan mengabaikan
lainnya. Pengentasan kemiskinan atau pemberantasan KKN sama wajibnya dengan
menutup aurat atau sholat lima waktu. Keduanya harus didukung baik di
tingkat individu dan – bila perlu – di tingkat negara.

15. Jihad – but peaceful
HT mengakui bahwa jihad memiliki makna bahasa “usaha sungguh-sungguh”.
Namun syara’ telah memberi definisi spesifik, bahwa jihad adalah segenap
usaha mengatasi kekuasaan tirani asing yang merintangi dakwah secara fisik.
Jadi jihad tak hanya untuk mempertahankan diri, apalagi sekedar melawan hawa
nafsu. Sedang usaha mengoreksi penguasa / melenyapkan kemungkaran di negeri
Islam, tidaklah disebut jihad, melainkan dakwah atau nahi mungkar – dan ini
tidak dengan kekerasan, kecuali penguasa daulah Islam mengkhianati baiat
rakyatnya, yang mewajibkannya menerapkan Islam. Sedang usaha mendirikan
daulah Islam itu sendiri, sama sekali harus tanpa kekerasan. Rasulullahpun
saat di Mekkah, berjuang tanpa kekerasan, meski banyak pengikutnya disiksa.
Revolusi pemikiran tak bisa tidak selain dengan pemikiran juga, melalui
dialog, diskusi publik, media massa dsb.

16. Uncompromising – but no violence
Dalam aktivitasnya, HT tidak mengenal kompromi dalam masalah syara’,
sekalipun bagi gerakan lain itu adalah manuver politik. Namun sikap anti
kompromi ini tidak berarti HT pro kekerasan. Bahkan di Jakarta, HT mendapat
penghargaan Polda, sebagai penggelar demo paling tertib di Jakarta. Hal ini
karena HT memandang jalan raya sebagai milik publik dan haram menghalangi
orang untuk lewat. Selain itu HT melihat polisi hanya sebagai alat negara.
Dan preman, bahkan pelacur sekalipun bukanlah musuh, karena hakekatnya
mereka juga korban dari sistem yang tidak islami.

17. Liberating – but not liberal
Meski memperjuangkan syariat Islam, HT memilih nama universal “Hizbut
Tahrir” (Partai Pembebasan) – tanpa label “Islam”, karena ini mubah. Namun
pembebasan itu bukanlah liberalisme (bebas dari batasan apapun kecuali yang
bermanfaat baginya), melainkan pembebasan dari penghambaan pada sesama
manusia menjadi pada Allah saja.

18. Tolerance – but not pluralism
Dari pemahaman bahwa ada dalil-dalil syara’ yang bisa ditafsirkan berbeda,
HT toleran pada mereka yang masih punya “syubhatud dalil” (dalil tipis) yang
masih islami. Atas pemikiran dan aktivitas gerakan lain, HT berpendapat
bahwa gerakan lain itu islami, meski pendapatnya berseberangan dengan HT.

Namun tidak berarti HT setuju dengan doktrin yang mengharuskan kekuasaan
di-share ke kelompok dengan pemikiran yang berbeda-beda. Karena dalam
masyarakat tetap harus ada suatu pemikiran tunggal yang mempersatukan.

Untuk hukum yang menyangkut masyarakat luas (bukan soal Qunut atau rokaat
tarawih), mau tidak mau HT harus dan akan mengambil sikap untuk
memperjuangkan pendapat yang terkuat hujjahnya saja. Terhadap pendukung
pendapat islami lainnya, dikembangkan iklim dialog dan toleransi.

19. International – but work local
Sedari awal HT sadar bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Karena
itu, seluruh manusia pantas dijadikan sasaran dakwah. Maka HT ada di seluruh
dunia, juga di negara-negara Barat.

Dakwah memang harus dimulai dari entitas yang bisa diakses. Karena itu
prioritas dakwah tetap pada kaum muslim dulu. Dan karena bangsa Arab adalah
komponen muslim terbesar dengan ikatan emosional tertinggi, maka pada mereka
dakwah lebih intensif

20. Local – but not nationalism
Namun meski bekerja secara lokal, tidak berarti HT setuju dengan
nasionalisme atau patriotisme. Bahwa HT akan berdiri di garis depan bila
negerinya diserang orang-orang kafir, itu pasti. Namun ini bukan karena
merasa pengabdian tertinggi adalah pada bangsa dan negara, melainkan karena
HT yakin membela negeri Islam dari serangan orang-orang kafir adalah
kewajiban syara’.

HT berpikir lebih kosmopolit dan globalisasi, karena syara’ setiap bicara
tentang ummat Islam, tidaklah spesifik hanya untuk muslim di negeri tertentu
saja. Demikian juga, cita-cita mendirikan khilafah Islam sebagai cikal
bakal suatu “superstate” tidak tertuju hanya di wilayah teritorial tertentu
saja, melainkan di mana saja yang memang paling kondusif untuk itu, di
sanalah cita-cita itu akan mulai direalisasi. Tidak oleh HT, namun oleh
ummat yang telah berubah cara berpikirnya.

Referensi:

Abdul Qadim Zallum: Nizhamul Hukum
Hizbut Tahrir: Ta’rif Hizbut Tahrir
Taqiyyudin An-Nabhani: Mafahim Hizbut Tahrir

Strategi Marketing Informasi Spasial

Sunday, January 3rd, 2010

Dr.-Ing. Fahmi Amhar

Peneliti Teknologi Pemetaan Digital Bakosurtanal

Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong

Telp/fax. 021-87901254  email: famhar @telkom.net

 Abstrak

Strategi marketing menurut Hermawan Kartajaya (one of “Marketing Guru”, who shaped the world of marketing) dapat dringkas dalam 9 prinsip.  Prinsip-prinsip ini ternyata bisa diterapkan dalam berbagai aplikasi, baik di perusahaan besar, BUMN, jasa konsultasi, professional, bahkan hingga sampai ke personal (misalnya bagi seseorang yang ingin menjalani satu karier tertentu). 

Pada tulisan ini 9 prinsip itu dicoba diterapkan untuk meningkatkan “daya jual” kemampuan penyediaan data, informasi dan solusi spasial dari dunia data spasial, khususnya Bakosurtanal.

 

Gambar 1. Sketsa model 9 prinsip dalam marketing

 

Prinsip 1 – 3: Explore MIND SHARE

 

Prinsip-1 (mapping strategy) : Segmentation
– View Your Market Creatively

Bagi suatu institusi publik LPND seperti Bakosurtanal, market mereka adalah masyarakat.  Masyarakat ini dari sisi latar belakang ada yang telah melek peta (data spasial) dan ada belum (map illiteracy); yang melekpun ada yang telah menggunakan produk Bakosurtanal ada yang belum.  Dari sisi respon terhadap produk, ada yang negatif, positif dan netral.  Dari sisi sosiologis didapatkan berbagai latarbelakang:  dari aspek kelembagaan (Bappeda, Dinas, BUMN, swasta, akademik, LSM), finansial (kurang, rata-rata, mampu), pendidikan (rendah, rata-rata, tinggi), lingkungan (rural, urban, metro), budaya (tradisional, modern, liberal), serta kedekatan kepada peta (jauh, standar, kental).

Apa yang perlu dibidik oleh Bakosurtanal khususnya dan dunia data spasial umumnya secara spesifik?  Mungkin di suatu tempat, prioritas ditujukan ke Bappeda, sementara di tempat lain ke mahasiswa atau LSM. 

Ibaratnya kita tidak boleh melihat semua pihak sebagai hutan, namun sebagai pohon, yang masing-masing bisa berbeda.  Maka kita perlu kelompokkan yang karakternya kurang lebih sama – agar diakses dengan “bahasa” yang sama, atau oleh person dengan karakter sama.  Kita juga akan tahu sikap dan perilaku yang tepat ketika berinteraksi dengan tiap segmen itu, sehingga marketing akan sampai, tidak belum-belum sudah ditolak, hanya karena ketaksesuaian metode pendekatan komunikasi kita, misalnya karena bahasa yang kita gunakan terlalu teknis, terlalu “spasial” – belum empati kepada calon konsumen.

 

Prinsip-2 (fitting strategy) : Targeting
– Allocate Your Resources Effectively

Karena kita memiliki sumberdaya yang terbatas, baik dari sisi jumlah orang, waktu maupun dana, maka mau tak mau harus ada skala prioritas.  Inilah targeting.  Mana yang akan kita bidik duluan, meski tidak berarti melalaikan segmen yang lain.

Sebelumnya kita mesti melihat dulu di mana potensi dan kekuatan kita.  Target memang sedikit banyak tergantung pada kompetensi kita.  Kita harus memastikan bahwa pada segmen yang kita tuju itu kita mempunyai possibility yang besar untuk diterima.  Kalau kita menyapa target itu, dan kemudian timbul respon atau diskusi, maka itu berarti kita akan mendapatkan kemajuan.  Namun sebagaimana sniper, kita memang perlu mengalokasikan waktu, tenaga dan pikiran, terutama untuk target utama kita.  Baru sisanya untuk target berikutnya.

 

 

 

Gambar 2. Posisi Bakosurtanal (sebagai company) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

 

 

 

Dalam hal ini, Hermawan memberi ide analisis TOWS – kebalikan dari SWOT (lihat gambar-2).  Dalam TOWS ini, yang dilihat pertama-tama adalah Threat (tantangan).  Tantangan muncul dari 3C (Customer, Competitor dan Change). 

Customer memiliki permintaan yang beraneka ragam (dari mulai keinginan membuat peta yang setiap rumah kelihatan, sampai yang satu kabupaten bisa muat dalam selembar untuk ditaruh di meja rapat). 

Competitor meliputi berbagai institusi yang mengklaim diri mampu menyediakan data hingga solusi spasial dengan cepat (LAPAN, BPPT, Perguruan Tinggi, swasta) selain “clasic competitor” (Dittop-AD, Dishidros-AL, BPN, DKP). 

Change meliputi perubahan-perubahan teknologi (hadirinya 4S – GPS, GIS, RS dan e/m-BussinesS), regulasi (UU Akses Informasi, UU Perlindungan Konsumen, RUU Rahasia Negara) dan perubahan sosial budaya yang inkremental (seperti penggunaan PDA dan GPS yang makin luas).

Namun tantangan inipun diimbangi dengan Opportunity – peluang menjadikan Bakosurtanal sebagai content-provider berbagai jenis location based service.  Walaupun kita juga tahu bahwa untuk itu masih ada banyak Weakness (kelemahan) yang masih harus diatasi, terutama SDM yang benar-benar cakap manajemen dan melek informatika. 

Namun kita tetap harus berbesar hati dengan apa yang telah dimiliki, terutama data yang begitu besar dengan kualitas terbaik yang mencakup seluruh Indonesia, juga dengan SDM yang berpengalaman dan berpendidikan tinggi.  Selain juga jangan dilupakan posisi quasi-monopolistik yang masih ada, serta intangible assets berupa jaringan kerjasama yang telah dirintis selama ini.

 

Prinsip-3 (being strategy) : Positioning
– Lead Your Customers Credibly

Kalau kita mendatangi suatu lembaga dan menawarkan produk atau jasa kita, mereka akan bertanya, siapakah kita ini? 

Karena itu agar aktivitas Bakosurtanal ini menancap dengan baik di dada customer, maka Bakosurtanal harus kredibel di mata customernya.  Kredibilitas ini akan didapat ketika orang percaya bahwa kita ini unik dan membuktikan keunikan itu dengan produk dan jasa yang berkualitas nomor satu.  Bahkan Bakosurtanal tidak hanya siap dengan produk unik sebagai sekedar komoditas, namun juga siap dengan produk yang memuaskan, bahkan memberi “sensasi” dan solusi. Kalau perlu tunjanglah hal itu dengan track-record selama ini, agar positioning itu kuat dan kita memang punya kredibilitas untuk itu.

Positioning bukan sesuatu yang bisa didapat dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan dan dipupuk dengan differentiating dan branding.

 

 

 

 

Gambar 3. Produk yang unik dan “beda” dan relevan pada kebutuhan pengguna

 

 

Prinsip 4-6: Engage MARKET SHARE

 

Prinsip-4 (core tactic) : Differentiation
– Integrate Your Content and Context

Dalam berlomba-lomba bersama para “competitor”, kita harus menentukan kuat di mana dan mendiferensiasi di content atau context.  Paling tidak satu dari ini harus beda dengan competitor.  Akan lebih baik kalau content memang informatif, akurat atau berkualitas, dan context juga cantik, sistematik, pokoknya menarik orang untuk menyimak.

Content dan context harus terintegrasi dengan baik.  Karena kita bergerak dalam informasi spasial ya contentnya harus spatially.  Dan karena kita mass data provider – bukan sekedar riset, atau malah presentasi belaka – ya contextnya harus benar-benar memberikan apa yang dibutuhkan orang dalam mengatasi problemnya, bukan sekedar wacana ilmiah atau seminar tiada akhir (lihat gambar-3).

 

Differentiation of Bakosurtanal

 

We don’t make any map,
but 3D-topographic map

We don’t map just a garden or a city,
but national wide

We don’t map for specific purpose,
but for all purposes

We don’t offer just map,
but spatial data infrastructure

We are not just a mapping institute,
but also a “university of mapping”

We are not just a spatial data factory,
but we do also advance research in spatial data

We are not the only or the first in mapping,
but we are the most experienced in Indonesia

 

 

 

Prinsip-5 (creation tactic) : Marketing Mix
– Integrate Your Offer and Access

Marketing mix meliputi 4P yakni Product, Price, Place dan Promotion.  Dalam merancang marketing mix ini kita harus kembali pada diferensiasi.  Kita mau different di bidang apa?  Kita misalnya ingin menjadi provider infrastruktur data spasial, maka orang harus mengingat kita sebagai penyedia yang paling ahli atas infrastruktur data spasial.  Kita harus bicara mengenai data spasial dengan segenap aspeknya.  Apapun persoalannya, harus kembali ke infrastruktur data spasial yang dalam tataran praktis baru akan sempurna bila diimplementasikan oleh semua stakeholder.  Jadi diferensiasi harus diingat dulu agar tidak salah arah.

Kemudian kita harus susun product, price, place dan promotion agar cocok dengan diferensiasi tadi.  Produk kita jelas yakni infrastruktur data spasial, mulai dari titik-titik kontrol, data gaya berat, pasut, foto-foto udara, peta dasar rupabumi dan wilayah cetak maupun digital dalam berbagai formatnya, gasetir toponimi, hingga ke berbagai atlas. 

Pricenya adalah apa yang perlu diberikan oleh customer?  Secara makro, masyarakat adalah customer yang membayar Bakosurtanal melalui mekanisme pajak dan APBN.  Sedang secara mikro, berbagai pihak membeli data, informasi atau solusinya secara langsung dalam bentuk PNBP.

Gabungan antara product dan price ini disebut Offer.  Offer adalah apa yang kita tawarkan kepada orang.  Kita punya “servis”.  Kita juga memasang “harga”.

Selain itu kita juga harus bisa diakses melalui place dan promotion.  Kita bisa diakses lewat channel mana?  Kalau orang mau produk ini, dia harus kemana?  Bagaimana kita bisa diakses juga sebaiknya direncanakan, misalnya melalui suatu website, kartunama standar yang lengkap dengan nomor telepon atau HP. 

 

Prinsip-6 (capture tactic) : Selling
– Build Long-term Relationship with Customer

Kita harus berani melakukan selling, tapi jangan hard selling atau menjual secara frontal.  Tapi kalau terlalu pasif juga salah.  Jadi ”seling is about art”.

Kita bisa menjual feature selling dengan menjual apa yang kita ada, benefit selling dengan menjual manfaat yang akan didapat customer bila “beli” kita.  Namun yang terbagus adalah menjual solusi.

Ini artinya, jangan terpaku pada PNBP dari penjualan data.  Andaikata seluruh data atau peta habis terjual pun, revenuenya tidak akan menutup investasi (yang untungnya ditanggung negara melalui APBN).  Produk pemetaan tidak seperti produk industri rekaman.  Investasi satu nomor lembar peta dapat mencapai Rp. 100 juta; sementara berapa exemplar peta yang akan terjual dengan harga Rp. 30.000/hardcopy atau Rp. 500.000/softcopy? 

Karena itu lebih baik bermain pada benefit-selling.  PNBP bisa didapat dari customization, memberikan solusi pada pengguna, termasuk juga memberikan update atau training. Dan untuk memperluas pasar ini, tidak ada salahnya untuk mencoba membagikan data secara gratis (pada segmen pasar tertentu), dan kemudian melihat peluang bisnis derivatifnya.  Jadi rugi (sedikit) pada feature selling namun untung banyak di benefit selling.

Setelah itu kita harus terus menjaga relationship dengan pelanggan.  Hubungan ini berlanjut terus, meski pelanggan sudah (pernah) membeli kita.

Kita bisa mengingatkan pelanggan dengan suatu newsletter atau mailing-list yang menginformasikan produk baru kita atau kemungkinan update data yang mereka miliki.  Kita perlu mengadakan semacam “Bakosurtanal User Meeting” secara teratur sehingga hubungan dengan customer terus berlanjut.

 

 

Prinsip 7-9: Execute HEART SHARE

 

Prinsip-7 (value indicator) : Brand
– Avoid the Commodity-Like Trap

Jangan anggap nama sekedar nama.  Nama itu penting dan orang harus mengetahui asosiasi apa yang melekat dengan nama kita.  Kita punya kewajiban membangun brand kita sendiri, baik sebagai individu professional maupun sebagai “kru Bakosurtanal”.  Walau awalnya adalah secara “kecil-kecilan” hanya di forum-forum “klasik” seperti Bappeda (Tata Ruang) atau Tata Pemerintahan (Tata Batas), tapi harus meningkat sehingga juga merambah ke dunia bisnis atau infotainment (informasi yang dikemas sebagai entertainment), sehingga makin banyak yang mengenal kita.  Menulis di media, tampil di acara publik, atau muncul di televisi adalah salah satu usaha melakukan branding.

Setelah itu jaga nama baik kita.  Jangan sampai kita keseringan mengumbar janji tapi tidak mampu memenuhinya (promise under delivery). 

Lebih baik kita rugi materi, tidak apa asal jangan sampai nama kita jatuh.  Sekali nama tercemar, kerugiannya akan lebih besar daripada yang diperkirakan.

 

 

Brand image Bakosurtanal

 

Spatial information

Sistematics – Nationwide

Quality – Accurate

 

 

Prinsip-8 (value enhancer) : Service
– Make Service as Your Way of Life

Dalam tingkatan intelektual, ilmu-ilmu servis memang harus dipelajari dengan baik, bagaimana memperlakukan orang yang butuh pelayanan, bagaimana melakukan orang dengan empati, bagaimana menghadapi orang yang tidak tahu namun sok tahu, dan sebagainya.

Namun kita juga harus belajar mengenali mood kita sendiri, dan mengindentifikasi mood orang lain.  Dengan ini kita bisa menyesuaikan servis kita secara tepat, dengan empati yang lebih besar.

Dan supaya pelayanan menjadi mantap, kita harus berusaha menganggap servis sudah menjadi tugas kita di dunia.  Artinya, bagi staf Bakosurtanal, jangan sampai mencurahkan perhatian kepada masalah pemetaan hanya dilakukan ketika ada tugas saja atau ketika ada kompensasi materi (UPK) saja.  Di sinilah perlunya spiritual commitment, sehingga aktivitas marketing akan makin bersifat spiritiual.

 

Prinsip-9 (value enabler) : Process
– Improve Your Quality, Cost and Delivery

Menjadi terkenal atau memberikan servis yang baik tidak cukup, tetapi harus diperhatikan bahwa kita memberikan servis yang sesungguhnya.  Dan ini sebuah proses.  Di dalam segala proses ini kualitas harus dijaga, cost harus efisien dan bisa diberikan tepat waktu.  Ada tiga proses, yaitu : 1) proses pekerjaan kita sehari-hari; 2) proses menangani keluhan atau permintaan “pelanggan”; dan 3) proses penciptaan suatu servis baru yang kreatif.

Demikianlah, Branding yang baik ini akan menaikkan Positioning Bakosurtanal, sehingga posisi tawarnyapun akan jauh lebih baik dari sebelumnya.

 

 

 

Gambar 4. Spiral peningkatkan posisi suatu institusi dengan marketing yang tepat

 

 

Daftar Pustaka:

Kartajaya, H. (2004): Marketing Your Self.  Markplus.

Agustian, A.G. (2001): ESQ Power.