Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for July, 2012

Ramadhan kapan ya?

Thursday, July 19th, 2012

Assalaamu’alaikum wr.wb.

Mohon maaf, tidak usah repot-repot telepon, ym, sms, inbox, email atau sejenis ke saya untuk menanyakan kapan Ramadhan dimulai.  Insya Allah saat-saat seperti ini mailbox saya overload, jadi mohon maklum tidak sempat balas !!! 😀

Kalau Anda mengikuti metode rukyat, maka tunggu saja tanggal mainnya, yang kebetulan jatuh Kamis sore 19 Juli 2012 ini.  Anda boleh mencoba rukyat sendiri.  Kalau tidak ada kesempatan, silakan buka website ini http://bosscha.itb.ac.id/hilal/  dan ikuti rukyat secara online dari 5 kota Indonesia.

Kalau Anda mengikuti metode rukyat global, maka ikuti website ini http://www.icoproject.org/default.aspx?&l=en atau moonsighting.com  dan ikuti laporan dari seluruh dunia, sampai ke Amerika, yang barangkali di Indonesia sudah keburu pagi, dan Anda tidak keburu untuk niat puasa.  Bagaimana mau niat puasa kalau belum ada informasi hilal?

Tapi perlu Anda tahu, kalau Anda nanya ke saya sebelumnya, ya berarti Anda tidak sepenuhnya mengerti rukyat murni, karena rukyatul hilal murni berarti inpredictable, tidak bisa dihitung sebelumnya, karena ada faktor yang tidak bisa dihitung, yaitu cuaca!  Astronomi bisa dihitung.  Baiknya pengamatan bisa dipersiapkan.  Tetapi Cuaca tergantung Iradah Allah.  ABC harus klop.  Karena itu, kalender Islam selama memakai rukyatul hilal murni, akan sangat sulit digunakan untuk urusan sipil, seperti jadwal penerbangan.  Bagaimana kalau Anda sudah beli tiket pergi hari Jum’at atau 1 Ramadhan, bila tiba-tiba 1 Ramadhannya tiba-tiba digeser menjadi Sabtu, karena Sya’ban istikmal?

Kalau syarat A, maka dapat dipastikan bahwa Kamis sore ini, hilal mestinya tidak kelihatan kecuali di Amerika Latin.  Jadi di Timur Tengahpun tidak.  Lihat gambar di http://www.icoproject.org/icop/ram33.html.

Bahwa bisa saja ada orang di wilayah yang mustahil melihat hilal, tetapi mengaku dan bersumpah telah melihat hilal, ya bisa saja.  Namanya juga klaim.  Kalau dia membawa bukti seperti foto dan sejenisnya, maka ini akan mengoreksi teori visibilitas hilal.  Tapi biasanya tidak ada bukti seperti itu.  Bahkan sebagian dari mereka malah menolak menggunakan alat, baik teleskop atau kamera, karena dinilai bid’ah, sedangkan rukyatul hilal adalah ibadah yang “tauqifi” (harus persis tatacaranya seperti di zaman nabi).  Secara syar’i, fiqih yang selama ini diadopsi oleh beberapa negeri Islam juga tidak mensyaratkan yang neko-neko, cukup seorang muslim aqil baligh, baca syahadat, lalu bersaksi, khalas, selesai.  Mahkamah Tinggi Saudi biasanya langsung meloloskan berita rukyat itu.  Andaikata Imam Bukhari menerapkan hal sejenis pada kesaksian hadits, maka akan banyak hadits dhaif yang lolos.  Oleh karena itu Imam Bukhari “menambah” beberapa syarat periwayatan.  Mungkin boleh juga, atau bahkan semestinya, penerima berita rukyat juga menambah beberapa syarat, misalnya test mata, test bentuk hilal dsb.  Selama ini sangat banyak pelaku rukyatul hilal, yang ternyata melihat ke arah yang keliru, atau menganggap hilal itu bentuk yang sama sekali lain.  Jadi, kalau mereka melaporkan sesuatu yang bukan hilal sebagai hilal, mereka tidak bohong, cuma keliru saja, saking rindunya pada bulan Ramadhan … 🙂

Apakah rukyatul hilal mestinya dikerjakan tiap bulan?  Rasulullah tidak memerintahkan seperti itu.  Fakta bahwa Rasul mensyariatkan rukyat untuk awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, berarti bahwa bulan yang lain tidak perlu dirukyat.  Justru karena rukyat itu, maka dalam 9 kali Rasul shaum Ramadhan, bulan Sya’bannya terpaksa diistikmalkan.  Sya’ban yang sebelumnya biasa 29 hari, jadi lebih sering 30 hari.  Akibatnya Syawalnya yang 29 hari.  7 dari 9 kali shaum Rasul itu cuma 29 hari.

Bagaimana kalau Anda menjadi penganut hisab?

Hisab semestinya dihasilkan juga dari rukyat jangka panjang.  Akan tetapi, karena rukyat sebelumnya mungkin kurang akurat, makin hari makin tipis syarat minimum “hilal mestinya bisa dirukyat”.  Jaman Al-Biruni 1000 tahun yang lalu, syarat hilal bisa dirukyat adalah 9 derajat!  Tetapi makin ke sini makin kecil, karena ada kesaksian hilal, saat menurut hisab masih 2 derajat.  Depag, NU dan beberapa ormas Islam memakai 2 derajat.  Mereka menggunakan 2 derajat untuk hisab kalender.  Dengan kalender hasil hisab itu, tanggal 29 sya’ban ditentukan.  Kalau kriterianya beda, kadang-kadang bisa beda 1 hari, meski di satu tempat.  Tetapi kalender hisab juga tergantung parameter tempat yang dihitung.  Jadi bisa saja, kalender di dua lokasi yang berjauhan, tgl 29 sya’bannya beda, meski kriterianya sama.  Ada yang jatuh hari Kamis, ada yang hari Jum’at.

Di Indonesia, yang pakai hisab mutlak tidak cuma Muhammadiyah.  Persis, Hidayatullah dan Al-Washliyah pakai hisab juga, tetapi hisab imkanur rukyat 2 derajat.  Sebenarnya secara astronomis, belum ada bukti ilmiah yang mendukung 2 derajat ini.  Tapi ya itulah faktanya.

Tapi itu masih mending daripada Muhammadiyah, yang pakai Wujudul Hilal (0 derajat), atau kalender Ummul Qura Mekkah tempo dulu, yang pakai ijtima’.  Supaya kelihatan legitimate secara syar’i, di Mekkah dan sekitarnya sering ada klaim rukyatul hilal — yang ini sering dibantah oleh astronom Saudi sendiri.  Tapi ya secara syar’i, sah diikuti, walaupun tidak wajib.  Di dunia ini saat ini kaum muslimin tidak punya Ulil Amri yang wajib diikuti, cuma boleh diikuti.  Soalnya, para Ulil Amri itu tidak ada yang punya komitmen untuk menegakkan syariat Islam secara total, semua baru parsial, bahkan sebagian malah memusuhi syariat Islam.

Jadinya ya kembali ke masing-masing.  Tiap diri bertanggungjawab kepada Allah atas keputusannya, mau ikut yang mana.  Yang penting kita berjuang bersama, agar khilafah yang menerapkan kembali syariat Islam segera tegak kembali, dan ada khalifah yang memutus perbedaan pendapat dalam persoalan publik di antara kaum muslimin ini.  Agar hanya ada 1 kriteria hisab, ada 1 kriteria laporan rukyat yang boleh diterima, 1 jalur informasi dan bahasa komunikasi yang akurat, dan ada 1 makna “rukyat global” yang operasional untuk seluruh dunia, yang faktanya setiap saat selalu ada 2 hari yang berbeda.

Mohon Maaf atas Semuanya, dan Selamat meningkatkan ibadah & amal sholeh di bulan Ramadhan!Salam!

 

rukyat di Tj. Kait …

Ketika Bumi Mengeluarkan Berkah

Tuesday, July 3rd, 2012

oleh: Dr. Fahmi Amhar

Hari-hari ini para pemimpin dunia berkumpul di Rio de Janeiro (Brazil) untuk membahas suatu agenda yang disebut “Rio Post-20”.  Dua puluh tahun yang lalu (1992) di tempat yang sama, para penguasa dunia saat itu juga berkumpul memikirkan langkah-langkah menyelamatkan bumi dari krisis lingkungan yang semakin serius.  Sayang, banyak rekomendasi yang ditelurkan saat itu justru tidak diratifikasi oleh negara pemboros sumber daya alam dan pembuat pencemaran terbesar di dunia saat ini, yaitu Amerika Serikat!

Padahal bumi ini memiliki mekanisme sendiri.  Dia akan terus mengeluarkan berkah tanpa henti, selama dikelola dengan syariah.  Dan umat Islam dalam sejarah telah membuktikan.  Mereka juga tidak berhenti hanya dalam bentuk pengaturan syariah, tetapi juga mengembangkan segala teknologi untuk menjadikan bumi makin berkah.

Para ilmuwan Islam terdahulu telah menjadikan ilmu bumi (geografi) sebagai ilmu yang menghubungkan langit (yakni pengamatan astronomi dan meteorologi) dan bumi (geodesi dan geologi).  Juga ilmu yang menghubungkan dunia hidup (biotik) dan mati (abiotik).  Yang hidup pun mencakup flora, fauna dan manusia beserta interaksinya.

Dan yang lebih penting: geografi tidak cuma ilmu untuk memetakan dan memahami alam semesta di sekitar kita, namun juga untuk mengubahnya sesuai kebutuhan kita.  Berbeda dengan filsafat, geografi memiliki kegunaan praktis, baik di masa damai maupun di masa perang.  Sampai hari ini, geografi mutlak diperlukan baik oleh wisatawan, perencana kota hingga panglima militer.

Dari sisi sejarah, para geografer pertama muncul hampir bersamaan dengan mereka yang dianggap filosof pertama.  Anaximander dari Miletus (610 – 545 SM) dikenal sebagai pendiri geografi.  Anaxagoras berhasil membuktikan bentuk bulat bumi dari bayangan bumi saat gerhana bulan.  Namun dia masih percaya bahwa bumi seperti cakram.  Yang pertama mencoba menghitung radius bumi sebagai bola adalah Eratosthenes.  Sedang Hipparchus menggagas lintang dan bujur serta membaginya dalam 60 unit (sexagesimal) sesuai matematika Babylonia saat itu.  Penguasa Romawi-Mesir Jenderal Ptolomeus (83-168) membuat atlas yang pertama.

Setelah kejatuhan Romawi, terjadi migrasi dari geografi Eropa ke dunia Islam.  Alquran memerintahkan untuk melakukan penjelajahan demi penjelajahan (QS Ar Ruum: 9).  Para geografer Muslim ternama dari Abu Zaid Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), Ibnu Sina (980-1037), Muhammad al-Idrisi (1100–1165), Yaqut al-Hamawi (1179-1229), Muhammad Ibn Abdullah Al Lawati Al Tanji Ibn Battutah (1305-1368) dan Abū Zayd ‘Abdu r-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami, (1332-1406), menyediakan laporan-laporan detail dari penjelajahan mereka.

Namun tentu saja selembar peta sering berbicara lebih banyak dari jutaan kata-kata.  Fenomena juga harus ditafsirkan dengan teori atau informasi yang dikenal sebelumnya.  Untuk itulah para ilmuwan Islam menafsirkan ulang karya-karya sebelumnya baik dari Romawi, Yunani maupun India dan mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad untuk tujuan itu.  Al-Balkhi bahkan mendirikan “Mazhab Balkhi” untuk pemetaan di Baghdad.

Al-Biruni menyediakan kerangka referensi dunia pemetaan.  Dialah yang pertama kali menjelaskan tentang proyeksi polar-equi-azimutal equidistant, yang di Barat baru dipelajari lima abad setelahnya oleh Gerardus Mercator (1512-1594).   Al-Biruni dikenal sebagai sosok yang paling trampil dalam soal pemetaan kota dan pengukuran jarak antar kota, yang dia lakukan untuk banyak kota di Timur Tengah dan anak benua India.  Dia mengombinasikan antara kemampuan astronomis dan matematika untuk mengembangkan berbagai cara menentukan posisi lintang dan bujur.  Dia juga mengembangkan teknik mengukur tingginya gunung dan dalamnya lembah.  Dia juga mendiskusikan tentang habitabilitas planet (syarat-syarat planet yang dapat didiami) dan menaksir bahwa seperempat permukaan bumi dapat didiami manusia.  Dia juga menghitung letak bujur dari kota Khwarizm dengan menggunakan tinggi matahari dan memecahkan persamaan geodetis kompleks untuk menghitung secara akurat jari-jari bumi yang sangat dekat dengan nilai modern.  Metode al-Biruni ini berbeda dengan pendahulunya yang biasanya mengukur jari-jari bumi dengan mengamati matahari secara simultan dari dua lokasi yang berbeda.  Al-Biruni mengembangkan metode kalkulasi trigronometri berbasis sudut antara dataran dan puncak gunung yang dapat dilakukan secara akurat oleh satu orang dari satu lokasi saja.

John J O’Connor dan Edmund F Robertson menulis dalam MacTutor History of Mathematics archive: “Important contributions to geodesy and geography were also made by Biruni. He introduced techniques to measure the earth and distances on it using triangulation. He found the radius of the earth to be 6339.6 km, a value not obtained in the West until the 16th century. His Masudic canon contains a table giving the coordinates of six hundred places, almost all of which he had direct knowledge.”

Seiring dengan al-Biruni, Suhrab pada abad ke-10 membuat buku berisi koordinat-koordinat geografis serta instruksi untuk membuat peta dunia segi empat dengan proyeksi equi-rectangular atau cylindrical-equidistant.  Sedang Ibnu Sina berhipotesa tentang sebab-sebab munculnya pegunungan secara geologis, apa yang sekarang disebut ilmu geomorfologi.

Dengan kerangka tersebut Al-Idrisi membuat peta dunia yang detil atas permintaan raja Roger di Sicilia, yang waktu itu dikuasai Islam.  Peta al-Idrisi ini disebut di Barat “Tabula Rogeriana”.  Peta ini masih berorientasi ke Selatan.  Al-Hamawi menulis Kitab Mu’jam al-Buldan yang merupakan ensiklopedi geografi dunia yang dikenal hingga saat itu.  Ibn Battutah membuat laporan geografi hingga pulau-pulau di Nusantara, yang Majapahit atau Sriwijayapun tidak meninggalkan catatan.  Sementara itu Ibnu Khaldun menulis dalam kitab monumentalnya “Muqadimah” suatu bab khusus tentang berbagai aspek geografi, termasuk klimatologi dan geografi manusia.

Peta Eropa & Timur Tengah buatan al-Idrisi (“Tabulla Rogeriana”), orientasi ke selatan (gambar ini sudah dirotasi).

Peta Eropa & Timur Tengah buatan al-Idrisi (“Tabulla Rogeriana”), orientasi ke selatan (gambar ini sudah dirotasi).

Geografer Muslim dari Turki Mahmud al-Kasygari (1005-1102) menggambar peta dunia berbasiskan bahasa, dan ini pula yang dilakukan oleh Laksamana Utsmani Piri Rais (1465–1555) agar Sultan Sulayman I (al-Qanuni) dapat memerintah daulah khilafah dengan efisien.

Geografi di kalangan kaum Muslimin masih bertahan ketika Khilafah masih menegakkan jihad.  Begitu era jihad mengendur, antusiasme pada geografi pun mengendur.  Kaum Muslimin jadi kehilangan “kompas” dan wawasan mereka dalam peta geopolitik dunia.  Akibatnya satu demi satu tanah air mereka lepas atau sumber dayanya diperas atau dicemari penjajah kafir.  Maka keberkahan dari bumi pun lenyap sudah.