Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for October, 2012

Belajar Mengenali Hobby untuk dimiliki

Friday, October 19th, 2012

Apa hobby Anda?

Apa pekerjaan Anda?

Apa pendidikan Anda ?

Apa cita-cita Anda ?

Apakah hobby Anda relevan dengan pekerjaan Anda?  Sejauh apa?

Kadang orang sengaja mencari hobby yang sama sekali berbeda dengan pekerjaan.  Katanya biar bisa punya dunia yang berbeda.  Biar ada keseimbangan.  Pekerjaannya dosen matematika, hobbynya menciptakan puisi.  Pekerjaannya dokter spesialis kandungan, hobbynya karate.  Pekerjaannya peneliti kimia anorganik, hobbynya main piano, bahasa asing, dan olahraga menembak.

Sebaliknya ada yang sengaja mencari hobby yang dekat dengan pekerjaan.  Alasannya, sebenarnya dia tidak ingin merasa bekerja, dia ingin punya hobby yang menghasilkan.  Pekerjaannya survey, hobbynya fotografi.  Dia bisa mencari objek fotografi di manapun dia ditugaskan survey.  Pekerjaannya kolumnis media, hobbynya travelling.  Jadilah dia pengembara sambil membuat tulisan travelling.  Pekerjaannya pedagang, hobbynya berdakwah.  Jadilah setiap orang yang melihat-lihat barang dagangannya diajak ngobrol-ngobrol untuk menyebarkan pemahaman keagamaannya.

Hobby anak-anak

Hobby anak-anak

Asal muasal seseorang memiliki hobby memang beraneka ragam.  Dan hobby pun berubah-ubah tergantung peluang dan tuntutan keadaan, juga bacaan, teman-teman dan lingkungan.  Apa hobby pertama Anda, adik Anda atau anak Anda ?  Anak kecil kalau ditanya hobby biasanya menjawab “bernyanyi”, “menggambar”, atau “bermain bola”.  Agak besar sedikit akan menjawab “membaca”, “nonton kartun”, atau “main computer-games”.  Mungkin tidak banyak yang menjawab hobby “memasak”, “main sepatu roda akrobatik” atau “astronomi”.

Hobby adalah aktivitas “mengisi waktu senggang” yang ditekuni untuk beberapa lama, sehingga dalam beberapa hal menjadi habbit juga.   Batasan menekuninya adalah tiga tahun terus menerus.  Kalau aktivitas senggang itu dilakukan 1 jam per hari, maka tiga tahun kira-kira sudah 1000 jam.  Memang belum bisa melahirkan seorang expert (yang ini perlu 10000 jam! dan biasanya tak lagi kelas “hobby”, tapi “profi”), tetapi jelas hobbyist sudah lebih mahir dari orang yang mencoba sekali-sekali.  Hobbyist sepatu roda tidak hanya main sepatu roda ketika teman-temannya lagi musim main sepatu roda.  Dia akan mengembangkan kemampuannya sampai bisa melakukan banyak sekali hal dengan sepatu rodanya itu.  Ada hobby astronomi yang benar-benar memiliki reputasi tinggi di dunia astronomi, lebih dari orang yang memang profesinya astronom.  Pekerjaan tetapnya sendiri malah jualan di toko atau sopir.  Demikian juga ada hobby hacker (penjebol jaringan komputer), yang pendidikan dan profesinya malah astronom, bukan IT.  Dunia sudah campur aduk.

Ketika saya SD, saya memulai hobby koleksi perangko (filateli).  Dan ternyata hobby ini saya bawa sampai saya kuiliah di Luar Negeri.  Sekarang hobby ini sudah sangat jarang saya sentuh lagi, apalagi teknologi sekarang sudah berganti dengan sms dan email.  Tapi ada tahun-tahun ketika banyak orang yang saya kenal saya tanya apakah mereka memiliki perangko bekas?  Sebagian ternyata bahkan juga kolektor, sehingga kami barter koleksi.  Saya pernah memiliki sampai 20 album perangko dari seluruh dunia.  Hebatnya, nyaris tidak ada perangko yang beli.  Semua didapatkan dari tukar menukar dan dari hadiah.  Teman, saudara, atau temannya saudara yang tahu saya punya hobby filateli sering membawa oleh-oleh perangko bekas ketika mereka ke luar negeri.  Setiap melihat koleksi itu, saya teringat dengan sosok baik hati yang menjadi jalannya.  Saya belajar melepas perangko itu dari amplopnya dengan merendamnya di air lalu mengeringkannya di tempat teduh, merawatnya dengan memberi tepung, memasukkannya dalam album, atau membuatnya hiasan yang menarik, misalnya dalam sebuah pigura atau vas bunga.  Saya juga belajar banyak negara di dunia dari perangko.  Bahkan, ketika saya masih SD, saya sudah tahu bahwa OSTERREICH adalah Austria, HELVETICA adalah Swiss, CCCP adalah Soviet.  Dan perangko yang tidak ada nama negaranya hanyalah perangko Inggris!

Filateli

Filateli

Selain perangko, saya pernah juga mengumpulkan kartu telepon (phonecard), uang coin, uang kertas yang sudah tidak laku, dan kertas surat.  Tetapi ternyata yang ini tidak berkembang seperti halnya perangko.  Mungkin karena ilmu yang didapat berbeda.   Waktu itu saya tidak berpikir bahwa boleh jadi, semua koleksi ini suatu saat akan menjadi investasi yang sangat mahal.  Saya melakukannya karena mengasyikkan saja.

Setelah itu, saya pernah punya hobby elektronika.  Ini sejak kelas 1 SMP.  Di sekolah memang ada pelajaran ketrampilan elektronika, tetapi yang membuat elektronika menjadi hobby adalah seorang teman saya.  Ternyata dia sejak SD sudah memiliki hobby itu.  Asyik sekali melihat seorang anak SMP sudah bisa membuat  alarm maling sendiri, handy talky sendiri, bahkan pemancar radio sendiri.  Pemancarnya bahkan saat itu begitu kuat, sehingga kalau mau, radio lain bisa di-jam di area satu desa.  Dan itu tahun 1980!  Saya meminjam buku-bukunya untuk disalin (karena saat itu fotocopy masih relatif mahal), lalu sejak itu tertarik mengklipping rubrik elektronika dari suatu surat kabar.  Kemudian mencoba sendiri.  Dengan sembunyi-sembunyi, saya membeli AVO-meter sendiri dengan tabungan saya seharga Rp. 10.000.  Kalau Ibu saya tahu uang sebanyak itu untuk beli AVO-meter, saya mungkin akan sangat dimarahinya.  Uang itu seharga emas 1 gram saat itu.  Kalau tak salah, saat itu gaji guru anyar masih Rp. 25.000 !

 

Elektronika

Elektronika

Rupanya hobby elektronika itu memupuk bakat saya sebagai peneliti.  Sepulang sekolah, saya betah asyik duduk berjam-jam merangkai berbagai komponen, menyoldernya, lalu mencobanya sambil ukur sana-sini.  Dan ini bisa saya lakukan sambil menjaga warung sembako ibu saya.  Saya terinspirasi kisah Thomas Alva Edison yang membuat “lab” di gerbong kereta api yang berjalan, tempat dia berdagang asongan.

Saya mencoba mengembangkan amplifier model baru, radio mini yang dimasukkan tempat sabun, lampu “peramal” (karena setelah dibacain “mantra” lalu bisa kelap-kelip), juga mencoba membuat kompor listrik efisiensi tinggi, alat stimulator ikan (dengan memasukkan strom aneka tegangan dan frekuensi ke akuarium), dan sebagainya.  Kendalanya saat itu, banyak komponen elektronik yang tidak bisa didapat di kota kecil Magelang.  Lebih dari itu, di Magelang sangat sulit mencari mahasiswa teknik elektro yang bisa ditanya-tanya …  Namun hobby itu bertahan cukup lama.  Sewaktu di Austria, saya sangat menyadari kalau tenaga service di sana sangat mahal.  Ketika komputer saya rusak, saya merasa lebih menguntungkan membeli buku dan perlengkapan service komputer, lalu perbaiki sendiri!  Sampai sekarangpun, meski akhirnya saya menjadi profesor sistem informasi spasial, saya masih terobsesi untuk kembali menciptakan alat-alat elektronik unik yang siapa tahu bisa dipatenkan dan lalu diproduksi massal oleh perusahaan elektronik kelas dunia milik umat … 🙂

Di SMP pula, saya mendapat motivasi seorang guru Bahasa Indonesia yang inspiratif.  Guru itu menyuruh anak-anak bikin Majalah Dinding.  Isinya diharapkan orisinil, bukan klipping, bukan nyalin … Dan saya mulai merasakan asyiknya menulis sebuah “kisah-kisah lucu di kelas” atau “fantasi anak SMP”.  Saat di kelas 3 SMP, tulisan saya yang paling pertama, sebuah Cerpen Petualangan, muncul di Majalah Remaja Zaman (anak majalah Tempo).  Saya dapat honor Rp. 25.000.  Saya sujud syukur.  Kalau anak sekarang mungkin akan koprol sambil bilang Wow !  🙂   Uang itu hampir sama dengan gaji sebulan guru saya !   Saya jadi semakin punya keyakinan, bahwa menulis adalah sebuah hobby yang harus saya kuasai dengan baik, karena bisa untuk gantungan hidup saya kelak.  Saya menulis puisi, novel, features, reportase kegiatan sekolah, juga mengikuti puluhan lomba mengarang / menulis ilmiah.  Apalagi saat itu saya sudah lancar mengetik.  Lomba Karya Tulis Ilmiah yang pertama kali saya menangkan adalah Lomba tingkat Nasional yang disponsori Cerebrovit.  Hadiahnya Rp. 250.000 !   Itu tahun 1983, saya masih kelas 3 SMP.  Judul KTI saya “Pengaruh Hobby pada Kesehatan Mental Remaja”.  Sumber literaturnya: majalah-majalah “Dunia Hobby” yang dibeli di tukang loak.  Heran ya, kenapa majalah sebagus itu sekarang sudah tidak terbit lagi …

Tahun 1992, cerita bersambung saya muncul di Majalah Sabili.  Judulnya “Expedisi ke Bosnia”.  Waktu itu Perang Bosnia lagi ramai-ramainya.   Tetapi tokoh cerita saya belum syahid, majalah itu “syahid” duluan.  Tiarap, dan baru bangun lagi setelah Reformasi 1998.   Tetapi menurut Pemrednya, cerbung saya sempat mengangkat tiras Sabili cukup signifikan.  Itu salah satu jejak kesusasteraan saya … he he …  Sayang hingga 20 tahun setelahnya, ternyata masih banyak obsesi tulisan yang belum juga terwujud.  Banyak plot cerita yang telah saya susun sejak 30 tahun yang lalu yang ternyata belum jadi buku.  Pada kurun waktu yang sama, Hilman sudah membuat seratus atau lebih novel dan film LUPUS.  Andrea Hirata sudah menyalip dengan meluncurkan tetralogi Laskar Pelangi yang national best seller.  Dan J.K. Rowling sudah menjadi orang terkaya di Inggris setelah menyelesaikan 7 epics world bestseller Harry Potter.  Hidup memang tidak linear …

Di SMA saya mendapat mencoba mainan baru: sebuah kamera.  Ini berani beli karena saya sudah punya tabungan hasil mengarang.  Kamera saya pertama hanyalah Fujica M-1, kamera dengan lensa fokus fix 1 meter sampai tak terhingga, diafragma konstan pada angka 8 dan speed konstan pada angka 1/100 detik.  Artinya ya hasilnya tidak bisa tajam-cemerlang.  Harganya waktu itu Rp. 15.000.  Lumayanlah untuk main-main.  Walaupun mahal juga, karena mesti beli film, lalu cuci cetak foto.  Saya membaca buku-buku fotografi.  Bahkan sempat bikin kamar gelap untuk mengolah sendiri film dan mencetak foto.  Kadang bermain dengan film hitam putih atau film positif (slide).  Ternyata, meski kamera sederhana, kalau digunakan dengan cara-cara istimewa, hasilnya bisa istimewa pula.  Tetapi memang kamera ini ada keterbatasannya.  Akhirnya, dua tahun kemudian, saya membeli Ricoh RX-1 yang fokus, speeed dan diafragmanya bisa diatur, cuma lensanya belum bisa diganti.  Di sekolah dan di kampung, saya sering didapuk menjadi tukang foto acara atau seksi dokumentasi.  Banyak teman yang kakaknya menikah, mengundang saya menjadi fotografernya.  Jadi walaupun kameranya belum SLR, hasilnya sering bisa menjadi “alternatif”.  Pada berbagai acara di pesta di dalam ruangan, saya sering bereksperimen dengan pemotretan tanpa lampu blitz.  Hasilnya, lebih indah dari semua kamera yang lain.  Di sekolah, saya membuat kartu ucapan dengan latar belakang foto-foto unik bidikan saya.

Fotografi

Fotografi

Ketika saya ikut seleksi beasiswa ke Luar Negeri, semula saya berminat pada jurusan Fisika Nuklir atau Teknik Elektro.  Tetapi kemudian saya dipindah ke Teknik Geodesi.  Hal yang semula tidak begitu saya tahu.  Tetapi ketika saya temukan bahwa salah satu yang dipelajari di geodesi adalah ilmu fotogrametri, maka saya jadi tertarik.  Hobby fotografi saya akan tersalurkan!  Dan benarlah.  Fotogrametri adalah fotografi yang diolah secara matematis yang dieksekusi dengan programming komputer tingkat tinggi.   Saya lalu membeli kamera Yashica SLR dengan 2 lensa tele dan banyak varian filter.  Mantap.  Benar-benar seperti profi lah.  Kalau pergi-pergi survei ke atas gunung, meski sudah berat membawa instrumen survei (teodolit, statif), masih ditambah kamera SLR satu tas!  Ketika zaman beralih ke digital, rasa-rasanya hobby ini mau meledak.  Terlalu banyak yang sekarang bisa difoto tanpa keluar biaya lagi !!!  Tapi membawa SLR kemana-mana memang kurang praktis.  Akhirnya saya membawa kamera pocket yang cukup bagus (sekarang Canon, sebelumnya Nikon) yang hampir selalu ada di ikat pinggang atau di ransel saya.  Saya membuat koleksi foto tempat-tempat unik yang pernah saya kunjungi, juga flora, wajah anak-anak yang lucu, kuliner, bahkan ujud teknologi atau poster di pinggir jalan yang jarang kita lihat. Kalau saya ada urusan ke suatu kantor, lalu ada dokumen yang menarik, saya dengan cepat akan memutuskan memotretnya.  Walaupun itu 100 halaman!  Jauh lebih cepat daripada pergi ke tukang foto copy, dan belum tentu dokumen itu boleh dibawa keluar kantor.  Bahkan, kalau saya sedang didaulat untuk jadi pembicara seminar, sambil mendengarkan peserta bertanya, saya sering iseng memotret wajah audiens.  Orang-orang sering heran melihat seorang penceramah memotret audiensnya … 🙂  Ingin saya menyeleksi isi gudang foto jepretan saya itu untuk mendapatkan foto-foto terunik buat diikutikan kontes fotografi.  Tetapi rupanya aktiivitas saya yang lain masih banyak menyita perhatian.

Terus sejak kapan saya hobby “ngomong” ?  Hobby saya berbicara di depan publik, saat ini sangat membantu saya dalam berdakwah maupun mengajar.  Dan ini ternyata juga bermula di masa SMP.  Sesungguhnya ketika saya masih duduk di SD, saya cenderung pemalu dan penakut.  Teman-teman suka “mem-bully” saya, dan saya kadang mengadu kepada guru sambil menangis.  Tetapi di masa SMP, di masjid kampung, saya bertemu seorang mahasiswa yang inspiratif.  Dia yang aktivis HMI ini memprovokasi anak-anak ababil (anak baru labil) ini untuk jadi lebih militan, dengan dasar Islam, “awas, Islam sedang dipinggirkan”.  Mungkin mahasiswa ini kalau sekarang bisa dianggap “provokator Rohis & pintu masuk Teroris” … Waktu itu Orde Baru sedang perkasa-perkasanya, dan Ali Murtopo adalah intel yang menjadi Menteri Penerangan “Yang Maha Kuasa” … :-).

Di masjid itu bersama sejumlah anak-anak sebaya, saya ditantang untuk berani pidato di mimbar.  Apa yang saya dapat di luar sekolah itu seakan berresonansi dengan aktivitas di sekolah.  Saya didaulat untuk mengikuti latihan Patroli Keamanan Sekolah (PKS) di Polres, lalu menularkan ke sejumlah adik kelas di sekolah.  Jadi, masih di kelas 3 SMP, saya sudah “mengajar”.  Akhirnya sikat aja  …  Di SMA ini berlanjut.  Yang namanya hobby tidak bisa dibendung.  Terus sampai kuliah bahkan sampai kerja.  Meyakinkan orang atau berbicara di muka umum dengan ide yang lebih segar sudah menjadi panggilan.  Kalau tak ada yang berani maju mengisi kultum, ya saya maju saja!  Kalau yang khutbah mendadak absen, ya saya menyediakan diri jadi “Khatib tembak” …  Pokoknya kita terus mengupgrade diri dan mempersiapkan diri.  Lama-lama, bagaimana mengartikulasikan pikiran dengan runtut, tertata, sistematis, menjadi habbit.  Akhirnya kalau mengajar juga rapi.  Seminar juga rapi.  Training juga rapi.  Tema boleh gonta-ganti apa saja, isi semua rapi.  Kecuali kalau pesanannya salah atau miskomunikasi.  Pesan nasi uduk, eh yang dihidangkan malah bubur ayam.  Heran juga itu, nasi sudah menjadi bubur, koq malah dijual  … he he … 🙂

Jadi, hidup yang memang yang ideal itu memang harus menggabungkan antara HOBBY, PROFESI, dan OBSESI menjadi satu rangkaian.  Semua saling mendukung.  Apalagi kalau ditambah MENGHASILKAN … he he … Kalau sekedar profesi tanpa obsesi, monoton, tidak ada strongwhy untuk bersabar meraih kemajuan.  Sedang tanpa hobby, profesi apapun lama-lama benar-benar bikin bete.  Apalagi tidak menghasilkan, wah apes bener … 🙂

Belajar Mengetik 10 Jari karena ditipu

Tuesday, October 16th, 2012

Segalanya bermula dari sebuah tipu-tipu.

Suatu hari ada iklan KURSUS GRATIS dari sebuah sekolah bernama Institut Wiraswasta.  Tempat kursusnya bangunan semi permanen. Ada jurusan mengetik, jurusan elektronika, jurusan bahasa Inggris dsb.  Saya waktu itu masih kelas 2 SMP.  Saya iseng-iseng daftar kursus mengetik.  Bahasa Inggris atau Elektronika sudah dapat di sekolah.  Oya, ini tahun 1981.  Saat itu di kota saya di Magelang saya kira belum ada computer satupun !

Kursus dimulai.  Ternyata saya murid satu-satunya.  Tidak ada guru.  Ada asisten, tetapi dia ternyata murid kursus juga yang sudah lebih dulu.  Saya disodori diktat, suruh menyalin.  Setelah selesai, kursus berikutnya mulai pakai mesin ketik jadul.  Karena tidak ada pita, maka diketik pada dua lembar kertas buram yang diselipi karbon.  Ketikan akan terbaca di kertas yang di bawah.  Di atasnya tidak terlihat apa-apa.  Saya ingat saya mesti menulis sebuah kalimat “The quick brown fox jumps over the lazy dog” 1000 kali (kira-kira 15 lembar kertas).  Kalimat ini mewakili seluruh huruf latin yang ada. Kemudian setelah itu, sesuai diktat, ada sekian macam tulisan lagi yang harus diketik.  Dan semua sesuai aturan, huruf a pakai jari kelingking, huruf s pakai jari manis dsb.  Karena tuts mesin ketik manual kuno itu sangat berat, kuku jari kelingking saya sampai pecah!

mesin ketik jadul

mesin ketik jadul

Dua minggu kemudian, pemilik kursus datang.  Ketika melihat saya sudah latihan mengetik, dia tanya, “Sudah ujian teori belum?”.  Saya jawab, “belum”.  “Oh, gak bisa langsung latihan praktek begini, harus ujian teori dulu!”.  Ternyata untuk ujian teori harus bayar cukup mahal.  Wah saya merasa ditipu. Akhirnya saya tidak datang lagi.  Tapi saya sudah dapat ilmu.  Biarin saja gak dapat sertifikat. Saya ingin membuktikan bahwa saya bahkan bisa lebih lancar mengetik dari mereka yang menggondol sertifikat.

Setelah itu saya mulai suka mengetik.   Kebetulan tak lama kemudian kakak saya beli mesin ketik Brother, karena mulai banyak tugas kuliah.  Saya menawarkan diri mengetikkan, agar saya dibolehkan meminjam untuk mengetik karangan saya sendiri.   Saya memang sejak itu rajin menulis dan mengirimkan karangan ke berbagai media serta mengikuti banyak sekali lomba mengarang / karya ilmiah.  Jadilah makin lama saya makin mahir mengetik.  Benar-benar 10 jari, tanpa melihat keyboard.  Kecepatan bisa mencapai  40 word per minute. Dan saya bahkan bisa mengetik saat lampu mati dengan hasil relatif bersih dari kesalahan !

mesin ketik Brother

mesin ketik Brother

Pas awal kuliah di Luar Negeri, saya sempat berniat rutin mengirim karangan ke sebuah majalah remaja.  Karena belum punya mesin ketik, beberapa karangan terpaksa ditulis tangan dan dikirim via pos.  Saya lalu sempat beli mesin ketik elektrik yang bisa menyimpan teks.  Tapi memorynya cuma 8000 bytes !  Cuma sehalaman !!  Yang bikin repot, kertasnya harus kertas thermal.  Wah ternyata mahal di ongkos.  Tetapi ketika kemudian di campus ada akses computer, mesin ketik baru itu akhirnya nyaris tidak pernah saya pakai.  Sepuluh tahun kemudian, mesin ketik yang masih tampak baru itu saya hadiahkan orang.  Gak tahu terpakai apa tidak.

Tahun 1987 itu computer (PC) masih sangat mahal.  Sebuah computer dengan prosesor 80287, RAM 640 KBytes, dan harddisk cuma 20 MB !!!, harganya hampir US$ 4000. Mungkin anak sekarang akan koprol sambil bilang “Wow”.  Jadi sementara saya hanya mengetik kalau di campus saja.  Alhamdulillah, asal tidak lagi ada praktikum, semua PC di lab bebas dipakai mahasiswa.  Ternyata mengetik di komputer memang jauh lebih mudah.  Semua bisa diedit.  Semua bisa diformat ulang. Tetapi ternyata, dengan keahlian mengetik 10 jari, saya bisa jauh lebih cepat mengetik dengan komputer dari orang lain.  Saya berani adu cepat mengetik dengan semua sekretaris kantor saya saat ini  he he  (kalau dengan sekretaris di kantor berita Antara atau di sekretariat jenderal DPR RI ya gak lah) … :-).  Kelemahan saya cuma satu: tidak punya sertifikat!  Saya bisa mengikuti rapat, bahkan memimpin rapat, sambil menulis apa yang dibicarakan orang.  Jadi selesai rapat, notulen rapat juga selesai.  Gara-gara ini saya pernah dimarahi boss saya.  “Sdr. Fahmi konsentrasi rapat saja, jangan sambil mengetik!”.  He he … soalnya beliau tidak bisa seperti itu.

Ketika saya kuliah di Austria, saya sempat pula cari uang dengan mengetikkan skripsi.  Lumayan juga, di sana dibayar sekitar 2 Euro per halaman.  Padahal kalau sudah lancar, kita bisa dapat 8-10 halaman per jam, tergantung tingkat kerumitan yang ditulis.  Namun ada juga bedanya mengetik pikiran sendiri dengan mengetikkan pikiran orang.  Kadang-kadang, kalau yang saya ketik itu ada kesalahan bahasa, saya “gatel” juga untuk langsung mengoreksi.  Padahal mestinya ya biarin saja ya?  Kan kita cuma “copy-typist”.  Tapi bisa sih diatur dalam kontrak, apakah kita sekedar mengetikkan coretan tangan cakar ayam, atau sekaligus mengetikkan yang baik dan benar …

Jadi kadang-kadang saya bersyukur … untung dulu ada tempat kursus ngetik gratis, walaupun tipu-tipu … 🙂

posisi jari di keyboard

 

Belajar Menyelamatkan Dunia, meski sendirian !!!

Monday, October 15th, 2012

Pada Oktober 1962, dunia di ambang kehancuran, karena memanasnya hubungan AS dan Soviet berpotensi besar memicu Perang Dunia 3. Namun, pria ini berhasil menghentikannya, seorang diri !!!

Vasili Arkhipov

Vasili Arkhipov

Sebuah dokumenter yang dipublikasikan pada Selasa (25/9/2012) ini menyatakan, tindakan seorang pria menyelamatkan bumi dari perang nuklir seorang diri. Ia bukan Supermen ataupun Ultraman, ia adalah Vasili Arkhipov, awak kapal selam Soviet.

Kisahnya dimulai pada 1960-an, di tengah kekhawatiran Perang Dingin, saat hubungan Washington dan Moskow benar-benar rusak. Di Amerika, rakyat mulai mengumpulkan ransum dan membangun bunker antibom di kebun mereka.

Ketegangan meningkat karena terjadi revolusi di Kuba. Soviet pun memiliki sekutu komunis yang bisa membantu menggempur Amerika. Rudal-rudal Kuba sudah diarahkan ke Amerika, meratakan Washington dan New York dalam waktu 10 menit. Satu-satunya hal yang menghentikan mereka dari saling serang ketika itu adalah kebijakan yang menyatakan serangan hanya boleh dilakukan jika satu pihak terbukti merusak teritori pihak lainnya.

Satu torpedo saja diluncurkan, maka lainnya akan membalas dengan hal yang sama. Tentunya, hal ini akan memicu serangan-serangan yang amat menghancurkan. Apalagi melibatkan nuklir, umat manusia bisa saja punah ketika itu.

“Semua pihak mengantungi nuklir. Satu saja serangan, perang nuklir terjadi,” ujar Direktur Arsip Keamanan Nasional AS, Thomas Blanton.

Di tengah atmosfer saling curiga dan takut ini, empat kapal selam diesel Soviet diam-diam diberangkatkan. Hanya pejabat penting di kapal selam saja yang tahu mereka membawa torpedo berhulu ledak nuklir.

Kekuatannya besar, setara bom atom Amerika yang dijatuhkan ke Kota Hiroshima dan Nagasaki pada 1945 lalu. Kapal selam ini berangkat menuju Kuba. Mereka dikawal helikopter, jet tempur dan kapal perang.

Amerika pun memburu mereka, bak permainan tikus dan kucing. Tak lama, Amerika menemukan kapal-kapal selam itu. Kapal selam yang ditumpangi Arkhipov, B59, ikut terpaksa menyelam, bersembunyi dari pantauan Amerika.

Saat itulah kondisi memburuk karena mereka harus bertahan di bawah air selama sepekan, dalam suhu dan kelembaban tinggi, serta air minum yang dibatasi satu gelas per hari. Di atas permukaan, Amerika memang sengaja menanti kapal-kapal selam ini menyerah.

Tak ada yang tahu, kapal selam itu membawa senjata maut. Amerika terus menunggu awak kapal selam yang kepanasan dan kehausan, menyerah. Tak sabar, Amerika menjatuhkan granat peringatan ke laut, yang oleh Soviet disangka serangan. Valentin Savitsky, kapten B59, yakin perang nuklir sudah dimulai. Komunikasi radio dari bawah laut susah.  Dia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.  Maka ia memerintahkan peluncuran torpedo nuklir untuk menyelamatkan kehormatan Soviet. Dalam kondisi normal, sudah pasti perintah ini segera dijalankan dan kedua negara bakal berperang. Namun, Savitsky tak memperhitungkan Arkhipov, satu dari tiga perwira di kapal selam.  Penggunaan torpedo nuklir hanya dapat dilakukan jika tiga perwira di kapal selam itu sepakat!  Hanya Arkhipov yang bersikeras mereka tak boleh menembakkan senjata itu dan harus menyerah kepada Amerika.

Langkah memalukan bagi Soviet, namun menyelamatkan seluruh dunia. Begitu muncul di permukaan, kapal-kapal selam itu hanya disuruh pulang ke Soviet. Arkhipov yang tak sadar dirinya pahlawan dunia, dipermalukan di negaranya.

Bertahun-tahun kemudian baru apa yang sebenarnya terjadi di dalam B59 diketahui publik. Sayang, saat itu Arkhipov sudah meninggal dunia. Bagi Olga, jandanya, Arkhipov adalah seorang pahlawan.

“Dari kapal selamnya, ia mencegah pecahnya perang nuklir. Saat itu saya bangga, dan saya akan selalu bangga dengan suami saya,” ujarnya. Kisah Arkhipov akan ditayangkan dalam dokumenter bertajuk “The Man Who Stopped World War III: Revealed”.

Sumber:

http://en.wikipedia.org/wiki/Vasili_Arkhipov

http://forum.viva.co.id/sejarah/541765-pria-ini-berhasil-cegah-perang-dunia-iii.html