Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Ekonomi dan Bisnis’ Category

Simulasi Hitungan Subsidi BBM

Wednesday, January 18th, 2012

Simulasi  Hitungan Subsidi BBM

Prof. Dr. Fahmi Amhar

Percayakah anda dengan pernyataan Pemerintah bahwa subsidi BBM sudah sangat besar, sehingga sudah saatnya membatasi BBM bersubsidi yaitu Premium hanya ke mobil pelat nomor kuning dan sepeda motor?  Sudahkah rasa ingin tahu anda begitu besar sehingga mendorong untuk menghitung ulang sendiri besaran subsidi BBM saat ini?  Tulisan ini hanya salah satu usaha seorang intelektual (meskipun boleh saja dianggap awam di bidang ekonomi perminyakan) yang ingin rasa tahunya terpuaskan.

Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu, tentu saja kita harus berangkat dari pengetahuan dasar dan data ekonomi perminyakan terakhir.

Sebagai pengetahuan dasar, kita harus paham satuan-satuan energi.  Untuk minyak mentah kadang dihitung dengan barrel, sedang minyak siap pakai (BBM) kadang dihitung dengan liter.  1 Barrel adalah sekitar 1 drum, dan untuk minyak mentah itu adalah 158,9873 liter, dan sebaliknya 1 kiloliter = 6,2893 barrel.  Untuk gas alam (LNG) kadang diukur dengan kaki kubic (cubic feet), atau trilyun standar kaki kubic (TSCF).  Satu CF adalah 28,3168 liter atau 0,1781 barrel.  Tapi karena kandungan energi gas berbeda dari minyak, maka untuk mudahnya digunakan satuan “Setara Barrel Minyak” (SBM) atau Barrel Oil Equivalent (BOE).  Ada juga satuan energi yang dihitung dengan Peta Joule, ini biasanya lazim di dunia fisika listrik.  1 Peta Joule = 10^15 Joule atau kira-kira sama dengan yang dihasilkan oleh 175074 SBM.

Pengetahuan dasar kedua adalah, dari minyak mentah itu setelah diolah akan menjadi banyak sekali produk, mulai gas (Liquid Petroleum Gas / LPG / elpiji), avtur, minyak tanah, gasoline atau bensin (premium, pertamax), minyak diesel (solar), minyak bakar, lilin hingga asphalt.  Dari 1 barrel minyak mentah akan didapat 74,7 liter bensin atau cuma 47% (http://en.wikipedia.org/wiki/Barrel). Jadi premium maupun pertamax hanya berbeda di pengolahan di kilangnya, yang menyebabkan nilai oktannya berbeda.

Pengetahuan dasar berikutnya adalah angka lifting, yaitu minyak yang diambil setiap hari.  Minyak diproduksi tiap hari, tetapi jumlahnya bisa bervariasi.  Kadang suatu sumur harus dirawat sehingga berhenti beroperasi.  Jadi angka lifting adalah angka rata-rata.  Kemudian harga minyak mentah juga bervariasi, baik di tingkat produksi maupun di pasar.  Di tingkat produksi, biaya instalasi sumur dan biaya operasi sehari-hari sangat bervariasi, tergantung tingkat kesulitan medan (hutan, pantai, laut), jarak dari kilang atau dermaga, dan jumlah cadangan yang ada.  Di pasar dunia juga harga bervariasi mengikuti musim.  Ketika musim dingin orang butuh lebih banyak bahan bakar sehingga harga minyak akan melambung.  Dan karena minyak diperdagangkan di bursa barang berjangka dunia, maka harga minyak untuk pengiriman sekian bulan ke depan sudah menjadi objek spekulasi.

Karena itulah pemerintah lalu mengambil asumsi-asumsi untuk APBN.  Ini karena di APBN kita, penghasilan dari minyak harus dimasukkan dahulu.  Jadi bagi Pertamina harga minyak mentah bukan Rp 0,-, tetapi sesuai asumsi APBN.  Yang Rp 0,- adalah minyak mentah yang masih di dalam tanah.  Untuk mengangkatnya perlu biaya juga.  Minyak bumi adalah komponen pendapatan negara yang signifikan selain dari Sumberdaya alam lainnya, Pajak dan PNBP seperti bea cukai, retribusi dsb.

Contoh asumsi itu adalah, untuk APBN 2011:

Lifting                : 970.000 barrel/hari
Harga minyak     :US$ 80 / barrel
Nilai tukar 1 US$ = Rp. 9300,-

Dari ketiga asumsi ini, didapat angka sebagai berikut:

Produksi tahunan minyak mentah adalah 970.000 x 365 = 354,1 juta barrrel / tahun dan pendapatan negara dari minyak mentah adalah 354,1 juta barrel x US$ 80 x Rp. 9300 = Rp. 263,4 Trilyun.  Angka inilah yang harus dibayarkan oleh siapapun yang akan membeli minyak mentah tersebut, baik Pertamina maupun dari Luar Negeri.

 Tetapi di APBN 2011, pendapatan dari minyak bumi hanya ditulis 104,8 Trilyun (40% dari harga lifting).

Mungkin penjelasannya, angka US$ 80 / barrel atau total Rp. 263,4 Trilyun/tahun itu masih brutto, sementara ada “biaya produksi” untuk mengangkat minyak itu dari dalam tanah, sehingga netto jatuh Rp. 104,8 Trilyun.  Tetapi, untuk sebuah “ongkos”, Rp. 158,6 Trilyun (60%) memang sangat besar.  Mungkin ini termasuk cost-recovery di hulu (selain cost-recovery di hilir), biaya bagi hasil dengan kontraktor minyak asing, dan keuntungan pertamina hulu.

Lalu dengan produksi minyak mentah 354,1 juta barrel / tahun dan asumsi yang menjadi bensin hanya 47%, maka ini akan menjadi 26,4 juta kiloliter.

Tetapi data di harian Kompas 10 Februari 2011, volume BBM bersubsidi pada APBN 2011 adalah 38,2 juta kiloliter.  Ini pasti mencakup seluruh BBM, termasuk solar dan minyak tanah, karena yang premium hanya 60% atau sekitar 23 juta kiloliter.  Kalau ditambah pertamax yang selama ini pasarannya sangat kecil, tidak ada 5%, maka semestinya belum mencapai 26,4 juta kiloliter yang diproduksi di dalam negeri!.

Masalahnya data prosentase produk-produk kilang minyak di dalam negeri cukup sulit dijampai.
Yang ada adalah data dari Kementrian ESDM tentang Arus minyak nasional pada tahun 2007.

Dari sini bisa disimulasi sembilan hal (dalam juta barrel):

A. Minyak mentah sendiri yang diproduksi (348)
B. Minyak mentah sendiri yang diekspor (135)
C. Minyak mentah sendiri yang diolah (204)
D. Minyak mentah impor yang diolah (116)
E. BBM yang dihasilkan kilang dalam negeri (244)
F. Hasil non BBM (89)
G. BBM yang diimpor (150)
H. Total BBM yang dijual (392)
I. BBM bersubsidi untuk transportasi & rumah tangga (276)

 

Harga A dan C mengikuti asumsi APBN (US$ 80/barrel atau US$ 0,503/liter).  Harga B, D, F, G mengikuti fluktuasi pasar dunia (misalnya saat ini US$ 100/barrel atau US$ 0,629/liter untuk minyak mentah dan Rp. 9000/liter atau US$ 0,968/liter untuk BBM).  Harga E merupakan komposit asumsi APBN dan pasar dunia karena ada komponen minyak mentah impor, menjadi US$ 0,527/liter.  Harga H karena merupakan totalitas, sebagian mengikuti harga eceran yang ditetapkan pemerintah dan sebagian mengikuti harga BBM pasar dunia karena dijual ke industri, sehingga dengan memperhatikan komposisinya menjadi US$ 0,790/liter.  Hanya harga I yang mengikuti harga eceran pemerintah, yang disebut juga harga bersubsidi, yaitu Rp. 4500/liter atau US$ 0,715/liter.  Dengan demikian kita sudah membawa seluruh arus minyak dalam satuan yang sama.

Yang diinginkan negara masuk ke APBN adalah harga besaran A, setelah dikalikan asumsi harga minyak mentah dengan efisiensi yang hanya 40% (=Rp. 102,99 T).

Yang didapatkan negara dari penjualan adalah B+F+H dengan asumsi harga minyak mentah dunia, harga pasar BBM dunia, dan komposisi produk bersubsidi dan non subsidi = Rp. 571,79 T.

Kemudian yang mesti dikeluarkan adalah penyisihan untuk APBN (A) Rp 258,9 T ditambah untuk impor minyak mentah dan impor BBM (E+G = Rp 322,5 T) menjadi Rp. 581,44 T.

Dari sini terbaca bahwa Pendapatan dikurangi Pengeluaran adalah defisit Rp 9,65 T.  Defisit ini mungkin karena kebutuhan impor BBM yang sudah cukup tinggi akibat tingkat motorisasi yang semakin besar.  Mungkin inilah subsidi yang sesungguhnya, pendapatan dikurangi pengeluaran (atau kita sebut biaya produksi), setelah ada kebutuhan memasukkan pendapatan minyak bumi ke APBN dengan asumsi harga tertentu.  Yang mengejutkan, cukup hanya dengan menaikkan harga eceran BBM menjadi Rp. 4720/liter (hanya naik Rp. 220,-), defisit ini sudah nol Rupiah.

Meski arus minyak di atas adalah dari tahun 2007, tetapi volume BBM bersubsidi (huruf I) sudah diasumsikan 43,9 juta kiloliter, lebih tinggi dari data yang dimuat di Harian Kompas 10 Februari 2011.  Namun tidak sulit juga memproyeksikan bila ada kenaikan kebutuhan BBM sebanyak 1 juta kiloliter (= 6,3 juta barrel) yang kita impor semua (G=156,3), dan yang dijual dengan harga eceran semua (H=398,2, I=282,3), maka defisitnya menjadi Rp. 14,15 T.  Bila harga eceran dinaikkan menjadi Rp. 4815/liter, maka defisit sudah kembali 0.  Kalau kebutuhan BBM naik lagi 1 juta Kiloliter, maka defisit dapat dijaga 0, kalau harga eceran kembali naik Rp. 95/liter.

Namun kalau subsidi ini dihitung dengan selisih harga eceran (Rp. 4500) dengan harga BBM pasar dunia (Rp. 9000) dikalikan angka huruf I yaitu jumlah BBM bersubsidi untuk transportasi & rumah tangga (276 juta barrel/tahun), muncul angka Rp (9000-4500) x 276 x 159 / 1000 = Rp. 197,5 T.  Jadi pada model ini, subsidi baru 0 bila harga eceran BBM = harga BBM pasar dunia.

Hitung-hitungan ini boleh jadi kurang tepat, kurang akurat, bahkan keliru.  Semoga bahkan data ongkos produksi minyak mentah salah, tidak setinggi itu.  Maklum penulis relatif awam di bidang ekonomi perminyakan.  Tetapi tolong, tunjukkan hitung-hitungan yang lebih akurat, cermat dan lengkap.  Agar kami kaum intelektual tidak terus bertanya-tanya, meraba-raba dan berburuk sangka.

Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah peneliti utama dan pengamat sumberdaya alam dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.

 

 

 

flow migas nasional dari KemESDM 2007

Mengukur Kinerja Aparat Birokrasi

Monday, December 19th, 2011

Pertanyaan paling mendasar: bagaimana mengukur kinerja aparat birokrasi?

Banyak kantor yang konon telah melakukan reformasi birokrasi dan memberikan tunjangan / remunerasi sesuai kinerja. Namun ternyata, kinerja yang dimaksud baru diukur melalui satu instrumen, yaitu: mesin absen fingerprint!

Kinerja birokrasi sangat berbeda dengan kinerja lembaga swasta pencari laba. Di sana kinerja lebih mudah diukur, yaitu cost/profit ratio. Makin kecil angka ini, makin bagus kinerja orang tersebut.   Kalau profit tidak dapat diukur, maka cost-nya dibandingkan dengan cost orang lain, jabatan serupa di lembaga sejenis, atau jabatan serupa di masa lalu.  Jabatan satpam misalnya, tentu tidak terkait langsung dengan profit.  Tetapi cost-nya dapat dibandingkan dengan satpam di perusahaan lain, atau satpam di perusahaan yang sama di masa lalu.  Jika untuk memenuhi SOP yang sama, seorang satpam bisa melakukannya dengan upah dan biaya yang lebih rendah, maka kinerja satpam itu lebih baik.  Hal yang sama juga terjadi pada pekerjaan rutinitas lainnya, seperti sekretaris, teknisi, resepsionis dsb.  Mungkin hanya tenaga produksi dan tenaga sales yang paling jelas cara mengukurnya secara langsung dari profit.

Sementara itu Kementerian dan Lembaga Pemerintah bukanlah lembaga pencari laba.  Mereka dibayar dari APBN untuk memberikan manfaat (benefit) maksimal kepada rakyat yang merupakan pemilik hakiki negara ini.  Karena itu ukurannya bukanlah cost/profit-ratio, tetapi cost/benefit-ratio.  Persoalannya, bagaimana mengukur benefit ini?

Untuk kantor-kantor yang langsung melayani masyarakat (seperti KTP, SIM, perijinan, dsb), benefit ini bisa diukur dari kecepatan waktu pelayanan, atau jumlah orang yang terlayani.  Makin cepat, makin banyak orang, makin baik.

Namun tidak semua pelayanan dapat diukur secara kuantitatif seperti ini.  Ada hal-hal yang kualitasnya berbeda. Soal perijinan saja misalnya, ada IMB rumah sederhana, yang dapat diselesaikan secara massal, dan ada pula IMB gedung besar nan jangkung yang penyelesaiannya tentu perlu kajian yang lebih dalam.

Secara umum, pekerjaan-pekerjaan yang dihadapi birokrasi dapat dibagi dalam lima hal:

1. Human-intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang lebih memerlukan kehadiran manusia berkualitas, misalnya guru atau tenaga kesehatan.  Mereka tidak mudah digantikan oleh mesin otomatis, dan jumlah orang yang dilayani tidak menunjukkan kinerja.  Seorang guru yang harus mengajar 3 kelas dengan total 120 siswa tidak berarti lebih baik kinerjanya dibanding guru yang hanya memegang 1 kelas dengan 20 siswa.  Solusinya bukan memberi tunjangan kinerja yang lebih tinggi bagi guru dengan 120 siswa tadi (walaupun ini adil), melainkan dengan menambah jumlah guru di sekolah tersebut sampai tercipta rasio guru:siswa yang ideal.  Tenaga kesehatan juga mirip.  Tidak bisa diukur dari jumlah pasien yang dilayani.  Bagaimana kalau di daerah itu memang tingkat kesadaran hidup sehat sudah tinggi, sehingga jarang ada yang sakit?  Namun walaupun tidak ada yang sakit, tenaga kesehatan tetap harus standby di pos-nya masing-masing, agar sewaktu-waktu ada pasien dapat segera terlayani. Jangan dilupakan, bahwa jumlah terbesar PNS di Indonesia didominasi oleh guru dan tenaga kesehatan.

2. Kapital-intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang outputnya akan sebanding dengan jumlah uang yang dikeluarkan.  Misalnya pekerjaan pemotretan udara atau pembangunan jalan.  Tentu saja, makin banyak anggaran yang dimasukkan, makin luas area yang dapat dipotret, atau makin panjang jalan yang dapat dibangun.  Sebagian besar anggaran di sini akan dibelanjakan untuk bahan atau barang modal di pasar, bukan untuk menambah kesejahteraan pegawai.  Jadi kinerja mereka yang ditugaskan di jenis pekerjaan ini adalah sejauh mana mereka dengan jumlah anggaran yang sama dapat menghasilkan output yang lebih banyak.  Kalau anggaran ditambah, mereka akan menghasilkan lebih banyak lagi.

3. Teknologi-intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dapat lebih mengandalkan kemajuan teknologi.  Di masa lalu, ketika teknologi informasi dan komunikasi belum maju dan murah seperti sekarang, ada ribuan pegawai di kantor telepon yang tugasnya hanya menyambungkan panggilan.  Kini semua panggilan dapat dilakukan otomatis dan akurat. Maka ribuan petugas telepon tadi dapat dirasionalisasi dengan cara dipindahkan ke bagian lain (tentu saja melalui diklat ulang) atau dipensiunkan lebih cepat.  Di dunia birokrasi sekarang, tampak masih banyak sekali pekerjaan yang dapat digantikan dengan teknologi.  Kurir surat (caraka) misalnya.  Sekarang e-mail dan mesin fax sudah dipakai di mana-mana, sehingga pekerjaan antar-mengantar surat sebenarnya dapat dikurangi.  Demikian juga beberapa pekerjaan rutin dapat digantikan dengan mesin otomatis atau sistem komputer dan internet yang sekarang juga lebih murah.  Anehnya, banyak pengadaan teknologi ini tidak juga menghemat biaya organisasi.  Atau ada aturan keuangan atau kepegawaian yang belum dapat mengakomodir berbagai bukti elektronik (misalnya surat undangan via e-mail).  Dan masih ada pandangan yang memandang birokrasi sebagai lapangan kerja, sehingga kehadiran teknologi dianggap musuh.

 4. Knowledge intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang outputnya tergantung knowledge pada SDM yang ada.  Biasanya ini adalah pekerjaan di dunia pendidikan tinggi dan riset, tetapi bisa juga pekerjaan kreatif di unit yang melakukan sosialisasi / kehumasan, unit yang membuat perencanaan atau unit yang melakukan pengawasan.  Jumlah produk mereka tidak dapat begitu saja ditingkatkan dengan memberi anggaran yang lebih besar, karena meski anggaran bertambah, kalau pakar yang mengerjakan tidak ada, ya pekerjaan itu tidak dapat dilaksanakan.  Kadang-kadang kinerja mereka ingin diukur dengan jumlah S1-S2-S3 yang diluluskan, atau publikasi ilmiah yang ditulis atau paten teknologi yang didapat. Tetapi ini tidak selalu linier.  Jumlah S1-S2-S3 yang diluluskan bukan semata-mata ada dalam kendali mereka, karena itu juga tergantung minat masyarakat yang akan menggeluti bidang ilmu itu serta kualitas calon mahasiswa.  Demikian juga, tidak semua hal yang diteliti layak untuk publikasi ilmiah atau paten. Bagaimana kalau penelitian itu untuk mengefisienkan proses kerja (yang teknologi-intensif atau kapital-intensif) di lembaga itu sendiri?  Misalnya, peneliti kementerian agama ingin meningkatkan proses layanan haji, apakah ini bisa sekedar konsumsi di jurnal ilmiah atau lebih baik dia menjadi kebijakan yang diambil Menteri?  Yang jelas, riset di kementerian agama tidak bisa dipatenkan, karena bukan teknologi.

 5. Wisdom-intensif – ini adalah pekerjaan para pejabat yang outputnya adalah keputusan atau kebijakan publik, yang kualitasnya tergantung dari wisdom yang ada pada mereka.  Sebuah Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah adalah contohnya.  UU hingga Perda itu tentunya disiapkan oleh sebuah tim yang bekerja tidak sebentar.  Kualitasnya tidak ditentukan oleh berapa anggaran yang dikucurkan, tetapi pada kecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual mereka.  Karena itu mengukur kinerjanya juga tidak mudah.  Dampak dari kebijakan itu sering baru dapat diukur jangka panjang di masyarakat, bahkan ada yang baru terukur setelah pejabat yang mengambil keputusan itu sudah tidak lagi menjabat.

Dari lima jenis pekerjaan ini, tentunya mengukur kinerjanya tidak bisa sama.

Apa usulan anda?

POSTUR PENGELUARAN KELAS MENENGAH

Thursday, December 15th, 2011
Ini cerita tentang postur pengeluaran sehari-hari sebuah keluarga “kelas menengah” rata-rata yang saya dapatkan dalam suatu sesi training TSQ-Financial (atau dulu disebut FSR – Financial Spiritual Revolution).  Berdasarkan pengamatan dan pengalamannya bertahun-tahun, dia mendapatkan:

1. Operasional rumah (listrik, air, elpiji, sampah)   :    7%
2. Kebutuhan transportasi (bensin, angkot)          :   6%
3. Kebutuhan komunikasi (telpon, speedy, pulsa) :   7%
4. Kebutuhan pangan & keperluan MCK                :  28%
5. Pendidikan anak (spp, ngaji, kursus)                 : 18%
6. Uang saku / jajan anak-anak                             : 12%
7. Gaji pembantu                                                    :  8%
8. Keperluan kecil lainnya                                       :   2%
9. Shodaqoh & cadangan                                       : 12%

Setelah saya pelajari, berdasarkan informasi penghasilan ybs sekitar Rp. 5 jt / bulan, maka berarti pengeluaran bulanan dia untuk:

1. Operasional rumah (listrik, air, elpiji, sampah)   :   Rp.   350.000
2. Kebutuhan transportasi (bensin, angkot)          :   Rp.   300.000
3. Kebutuhan komunikasi (internet, pulsa)             :  Rp.   350.000
4. Kebutuhan pangan & keperluan MCK                :   Rp.1.400.000
5. Pendidikan anak (spp, ngaji, kursus)                 :  Rp.    900.000
6. Uang saku / jajan anak-anak                             :  Rp.    600.000
7. Gaji pembantu                                                    :  Rp.   400.000
8. Keperluan kecil lainnya                                       :  Rp.   100.000
9. Shodaqoh & cadangan                                       :  Rp.   600.000

Untuk operasional rumah sepertinya sudah sulit ditawar.  Konsumsi listrik, bayar PAM, beli air gallon, iuran sampah ya sudah segitunya.

Kebutuhan transportasi oleh satu keluarga dengan 2 anak yang sudah sekolah ini cukup mepet.  Dengan 300.000/bulan, berarti jatah transport sehari cuma Rp. 10.000 / keluarga.  Ini sama saja dengan naik angkot+ojeg sehari pp hanya untuk satu orang.  Maka sang kepala keluarga akhirnya membeli motor bekas … lumayan bisa lebih irit.  Tetapi anak-anaknya yang sekolah tetap harus naik angkot + jalan kaki.  Ya insya Allah lebih sehat.

Kebutuhan komunikasi ternyata lumayan juga.  Langganan telepon (apalagi hari gini harus internetan, apalagi kadang untuk kelancaran pekerjaan!) ditambah pulsa untuk 4 nyawa ini ternyata lumayan juga.  Mungkin masih bisa ditekan ya?

Untuk pangan, Rp 1,4 jt untuk 4 nyawa berarti perorang cuma Rp. 350.000/bulan, atau Rp. 11.000 per hari.  Alhamdulillah, karena nyaris tidak pernah makan di luar, cukuplah uang segitu.  Sang suami kalau ke kantor bawa bekal masakan istri tercinta.  Padahal agar hemat juga.

Untuk pendidikan ternyata lumayan besar.  Meski sekolah negeri sekarang gratis, tetapi karena ingin sekolah yang baik, anaknya dimasukkan ke Sekolah Islam.  SPP mereka masing-masing sudah Rp. 300.000,-  Kemudian ditambah les sempoa, komputer, beli buku, kegiatan macam-macam dll, jatuhnya dua anak Rp. 900.000,-  Wow.  Tapi nggak papa, ini kan investasi masa depan.

Anak-anak juga diberi uang saku, karena sekolah mereka sampai jam 3 sore.  Nah, tiap anak dijatah sebulan Rp. 300.000 (sudah sama dengan SPP-nya).  Kadang sih mau makan bekal dari rumah, tetapi sering ikut makan siang di kantin bareng temannya.  Kadang juga uangnya utuh, ditabung kata mereka.  Bener sih, kadang-kadang pas ibunya ulang tahun, mereka memberi “kejutan”.  Baguslah, ini untuk pendidikan finansial anak-anak.

Pembantu yang cuma datang pagi pulang sore untuk bantuin mbersihin rumah, masak dan setrika (kalau nyuci sudah pakai mesin), dikasih Rp. 400.000/bulan — wah ini sudah “saling memuaskan”.  Hari gini tidak mudah cari pembantu mau dibayar Rp. 100.000 / minggu.

Kemudian ada keperluan kecil-kecil, ini ada recehan sejumlah 100 ribu … mungkin kalau ada yang hajatan atau ada pengamen.

Yang menarik adalah pos terakhir: ada shodaqoh dan cadangan Rp. 600.000,-  Yang fix mereka mencadangkan Rp. 100.000 untuk infak ke masjid dan dhuafa yang membutuhkan.  Kadang juga lebih.  Tetapi pos ini juga untuk berjaga-jaga kalau suatu ketika ada kebutuhan yang cukup besar, seperti keperluan mudik (sekali mudik bisa habis Rp. 2-3 juta), beli pakaian baru (karena yang lama sudah usang banget), atau kalau ada perabotan rumah yang harus diperbaiki, atau ada seminar pengembangan diri yang perlu didatangi (seperti TSQ-Financial ini), atau ada yang sakit.  Walaupun ada askes, tetapi tetap saja akan ada biaya tambahan seperti akomodasi untuk yang nungguin.

Jadi ternyata penghasilan 5 juta ini pas-pasan juga.  Tetapi kalau bijaksana masih cukup lah.  Untung mereka tidak perlu lagi ngontrak rumah.  Biarpun sederhana, rumah mereka sudah milik sendiri dan lunas.

Bagaimana kalau yang penghasilannya cuma 2 juta, tetapi sudah berani ngutang lagi, karena ingin punya Blackberry (biarpun seken, yang penting keren), apalagi  masih berani nambah anak terus, atau nambah istri terus 🙂

Ada pengalaman lain?  Bagaimana postur pengeluaran keluarga Anda?
Atau ada saran agar keluarga tadi dapat menghemat lagi pengeluarannya?

Salam

FA.-(Coach TSQ-Financial)