Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Ekonomi dan Bisnis’ Category

Ekonomi Umat tak hanya Zakat

Saturday, August 22nd, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Menjelang pilpres lalu muncul gagasan ekonomi rakyat sebagai antitesis isu neoliberal yang menghinggapi salah satu cawapres.  Selain ekonomi rakyat, ada istilah “ekonomi umat” – yang berkonotasi ekonomi yang dekat dengan pemeluk agama mayoritas negeri ini, yaitu umat Islam, yaitu ekonomi rakyat yang memperhatikan aspek halal-haram.  Ekonomi umat juga sering disebut ekonomi syariah.  Sejak hampir dua dekade ini, ekonomi syariah mengalami booming.  Bank-bank syariah bermunculan.  Disusul asuransi syariah, dan kini bahkan ada gagasan membuat pasar modal syariah.  Namun volume perbankan syariah dalam realita baru sekitar 2% dari volume perbankan nasional.  Dan masih banyak orang yang memandang bahwa ekonomi syariah adalah ekonomi yang menjadikan norma-norma ahlaq sebagai basis, ekonomi yang bebas riba dan mendorong zakat, wakaf, infaq dan shadaqah.  Akibatnya ekonomi syariah dianggap sudah terbangun dengan adanya UU zakat, UU perbankan syariah, dan terakhir ini UU obligasi syariah (sukuk ritel).

Mungkinkah ekonomi umat tumbuh sempurna tanpa menjadikan syariah sebagai pilar peradaban semestanya? Bagaimana sebenarnya ekonomi umat di masa Daulah Islam mengalami kejayaannya?

Daulah Islam tidak tumbuh di ruang hampa.  Pada saat Rasul datang ke Madinah untuk memimpin negara baru itu, sudah ada produksi, sudah ada bisnis, sudah ada pasar, pendeknya sudah ada ekonomi.  Yang dilakukan Rasulullah adalah mendorong atau mendiamkan sebagian besar, dan melarang sebagian kecil.

Karena lebih mudah menghitung yang sedikit, maka kita mulai dari yang dilarang.  Di antara sebab kepemilikan yang dilarang adalah bisnis terkait maksiat, yang menutup “keberkahan umum”, semisal pelacuran, perdukunan, bisnis sarana penyembahan berhala, bisnis makanan atau minuman yang diharamkan, dan sejenisnya.

Sedang pengembangan harta yang dilarang antara lain penimbunan, pembiaran lahan tidur, judi dan riba.  Riba dilarang dengan tegas, baik riba itu sedikit ataupun banyak, baik untuk tujuan produktif maupun konsumtif, baik yang melakukan yahudi ataupun muslim yang baik-baik, karena riba pertama yang dihapuskan adalah dari Abbas bin Abdul Mutholib, paman Nabi sendiri, meski dia adalah penjaga sumur zam-zam yang paling ramah dalam melayani jama’ah haji.

Perkembangan Daulah Islam yang semula hanya kecil di Madinah namun kemudian bisa menjadi negara adidaya, tak lepas dari peran ekonomi syariah yang diembannya.  Tanpa sistem ini, mustahil ekonomi umat akan tumbuh, sehingga mereka mampu mengumpulkan kekuatan untuk menantang negara-negara adidaya yang telah berkuasa beberapa abad lamanya: Romawi dan Persia.

Nabi membiarkan mata uang dinar emas Romawi dan dirham perak Persia tetap digunakan.  Sepertinya Nabi memang dituntun wahyu untuk menggunakan mata uang yang tidak tergantung rezim yang sedang berkuasa.  Meski belakangan beberapa khalifah mencetak dinar emas yang memiliki ciri Islam seperti adanya kalimat tauhid, namun yang terpenting pada mata uang emas adalah berat dan kadarnya.  Dan itu berlaku universal.  Jauh sebelum dunia mengenal istilah globalisasi ataupun IMF.

Nabi juga membiarkan sejumlah praktek ekonomi yang telah ada, seperti beberapa jenis aqad kerjasama bisnis atau syirkah (mudharabah, musyarakah, murabahah) dan melarang beberapa aqad yang lain, yang memang ternyata dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan kezaliman.  Nabi juga memberikan kepada sahabat suatu sumberdaya alam untuk dikelola, namun mencabut kembali bila diketahui sumber daya alam itu sangat besar, ibaratnya tak habis tujuh turunan.

Sejak Nabi masih hidup, negara sudah memiliki beberapa fungsi yang di zaman modern ini ada di Departemen Keuangan (urusan penarikan zakat dan distribusinya), Departemen Perdagangan (urusan pengawasan pasar), Bulog (urusan penyangga pangan), Departemen Sosial (urusan santunan bagi fakir miskin), hingga Kementrian BUMN (urusan industri strategis terkait pertahanan).  Fungsi-fungsi ini terus terjaga sepanjang sejarah khilafah, bahkan makin diperkuat baik dalam bentuk organisasinya maupun fisiknya.  Kalau di masa Rasul, urusan keuangan negara masih diselesaikan di rumah beliau, di masa Umar bin Khattab sudah harus dibuat bangunan khusus Baitul Maal yang juga memiliki areal padang rumput khusus untuk menggembalakan ternak-ternak zakat.  Umar tanpa ragu mengadopsi sistem administrasi Diwan dari Persia guna mengurus Baitul Maal.  Bagaimana tidak, seorang Abu Hurairah yang diutus Umar ke Bahrain saja pulang membawa harta 500 ribu dirham, atau dalam nilai sekarang sekitar 15 Milyar Rupiah.  Padahal di masa Umar wilayah Islam sudah amat luas dan mencakup daerah-daerah subur di Iraq, Syams atau Mesir.

Sistem khilafah yang bersifat kesatuan memungkinkan peredaran kemakmuran tidak hanya di daerah yang kaya saja.  Sumber-sumber keuangan seperti zakat, kharaj (pajak atas tanah yang dibebaskan oleh tentara Islam), ghanimah (pampasan perang), jizyah (pungutan pada non muslim ahlul dhimmah) dan fa’i semua diadministrasikan ke pusat.  Pusat mendistribusikan harta itu kembali sesuai kebutuhan.  Karenanya bisa jadi ada daerah-daerah Islam yang menjadi pensubsidi netto (karena paling kaya) atau tersubsidi netto (karena paling miskin).

Khilafah menggerakkan mesin negara berupa sistem pendidikan dan kesehatan gratis, juga pembangunan infrastruktur transportasi dan irigasi, agar daerah-daerah miskin itu perlahan-lahan bangkit menjadi daerah kaya.  Jalan-jalan itu bahkan dilengkapi dengan tempat-tempat singgah untuk para musafir.  Yang menarik, musafir dari negeri-negeri kafirpun akan dijamu dengan cuma-cuma selama maksimum tiga hari, bila singgah di sana.  Ini dilaporkan antara lain oleh pengelana Eropa paling legendaris: Marco Polo, yang pada abad-13 Masehi pergi dari Venezia Italia ke Cina melewati “jalur sutra”, yang berarti sebagian besar perjalanannya adalah wilayah Daulah Islam.  Islam memberikan jaminan keamanan bagi warga asing yang masuk negeri Islam, agar mereka dapat mendengarkan ayat-ayat Allah, dan melihat langsung bukti kehebatan Islam yang diamalkan.  Hingga hari ini, sisa-sisa jalan atau saluran air yang dibangun di masa khilafah itu masih dapat dilihat, bahkan di tempat paling terpencil di Asia Tengah, di Andalusia Spanyol atau di selatan Sahara di Afrika.  Sementara itu di tempat yang lebih ramai, jalan atau saluran itu tentu saja sudah direnovasi berulang kali dan kini menjadi bagian dari jalan atau kanalisasi modern.

Ketika Daulah Islam tegak dan menerapkan ekonomi syariat, perdagangan global adalah salah satu sarana dakwah yang efektif.  Bahkan lewat para pedagang itulah antara lain dakwah Islam sampai ke Nusantara, sehingga Kerajaan Hindu terbesar di sana (yaitu Majapahit) dapat berganti menjadi beberapa kesultanan Islam, praktis tanpa pertumpahan darah yang berarti.

Hak Konsumen dan Hak Diperlakukan Adil

Thursday, June 4th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang ibu berusia 32 tahun, yang semula dirawat inap di sebuah rumah sakit swasta bertaraf internasional, namun pelayananannya tidak memuaskannya, karena hasil lab yang memaksanya rawat inap itu tidak dapat dia peroleh.  Maka dia curhat ke teman-temannya melalui email, sayang email ini kemudian bocor ke publik melalui milis, dan si ibu Prita ini lalu dituntut oleh Rumah Sakit itu dengan tuduhan pencemaran nama baik, melanggar pasal 310 dan 311 KUHP, dan pasal 27 UU 11/2008 ttg Informasi dan Transaksi Elektronik (“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemarannama baik) yang dalam pasal 45 UU tersebut diancam dengan penjara 6 tahun dan/atau denda 1 Milyar Rupiah.  Karena ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun ini maka si ibu yang malang ini langsung ditahan hingga 3 minggu, dan baru dilepas setelah kasusnya menjadi perhatian publik, bahkan perhatian para capres yang sedang kampanye.

Si ibu yang malang ini semula hanya ingin mengadukan nasibnya sebagai pasien, konsumen layanan medis.  Jutaan pasien di negeri ini dalam posisi lemah terhadap dokter dan rumah sakit yang jarang proaktif memberikan informasi yang lengkap kepada pasien, apalagi pilihan tentang jenis obat atau tindakan yang diperlukan pasien.  Pasien hanya sekedar menjadi objek, bukan subjek yang memiliki kehendak dan bisa diajak kerjasama memulihkan kesehatannya.  Perlakuan dokter atau rumah sakit ini makin menggila jika pasien ditanggung oleh asuransi swasta.  Dengan alasan memberi layanan terbaik, maka obat yang termahal pun diberikan, sekalipun mungkin tidak dibutuhkan oleh fisik pasien, atau bahkan dalam jangka panjang bisa merusak organ vital pasien.

Ketika pasien diperlakukan semacam ini, kepada siapa dia akan mengadu?  Meski ada UU no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan telah dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di Departemen Perdagangan, namun faktanya tidak banyak masyarakat yang tahu keberadaannya.  Akibatnya orang lebih suka mengeluh ke mana saja pihak yang dia percaya: ke LSM seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ke Komnas HAM, ke DPR, atau menulis surat pembaca ke media massa atau email ke dunia maya.  Ini terjadi karena BPKN hanya bertindak setelah ada pengaduan langsung kepadanya.  BPKN tidak diwajibkan bertindak proaktif dengan memonitor dunia perdagangan, sekalipun hanya dari surat pembaca di media massa.

Masalahnya, begitu menjadi konsumsi publik, keluhan konsumen ini dapat dengan mudah dibalikkan oleh yang merasa lebih kuat (yaitu produsen) dengan tuduhan pencemaran nama baik.  Polisi, Jaksa ataupun Hakim yang menangani pun bisa bertindak tidak profesional, baik karena alasan keyakinan tertentu (yang mungkin mitos), alasan politis maupun alasan kepentingan lain yang terkait dengan pihak yang lebih kuat itu.  Maka sang konsumen yang malang tadi tertimpa tangga dua kali: diperlakukan tidak adil dalam transaksi muamalahnya, lalu didzalimi oleh alat negara ketika mencari keadilan.

Solusi Islam

Islam memberikan solusi preventif yang luar biasa, tidak cuma sekedar secara individual dengan ketaqwaan dan ahlaq, namun juga secara kultural dan struktural, karena mustahil mengharapkan semua orang bertaqwa dan berahlaq mulia, sebagaimana di zaman Nabi pun tetap ada orang-orang fasik dan munafik.

Solusi pertama adalah Mahkamah Hisbah (Muhtasib), yang berfungsi menjaga kepentingan umum.  Mahkamah ini dalam menegakkan hukum bertindak proaktif, tidak menunggu adanya pengaduan, karena realitasnya orang yang terganggu sering malas mengadu karena tidak cuma dia yang terganggu.  Dalam sistem sekuler, pengaduan orang banyak harus melalui class action.  Namun Rasulullah pernah memberi contoh yang lebih simpatik: mensidak pasar dan mengecek apakah kualitas gandum yang di bawah sama dengan yang dipajang di atas.  Di zaman modern ini, sebagian fungsi mahkamah muhtasib ada yang dijalankan oleh polisi (misalnya merazia SIM di jalanan, agar umum tidak dirugikan pengemudi yang tidak berhak), oleh metrologi (yang menera takaran di SPBU), oleh Badan POM (merazia makanan illegal, berracun atau kedaluarsa) atau oleh pemda yang merazia bangunan tidak ber-IMB yang bisa membahayakan atau merugikan kepentingan umum.  Namun masih banyak yang dapat dijadikan kewenangan Mahkamah Hisbah.  Mahkamah ini bisa merazia sekolah-sekolah palsu yang hanya menjual ijazah, layanan medis yang tidak menghargai hak pasien maupun pengobatan alternatif yang tidak syar’i, bisnis investasi atau MLM yang hanya bersifat money-game dan masih banyak lagi.  Rasulullah telah memberi teladan tentang sikap proaktif dalam melindungi rakyat.  Kita memerlukan birokrat-birokrat proaktif, inilah birokrat syariah yang sesungguhnya, bukan syariah yang hanya mempersoalkan pakaian atau ibadah semata.

Solusi kedua adalah Mahkamah Madzalim yang berfungsi menghilangkan kedzaliman dari alat negara, termasuk kedzaliman polisi, jaksa, hakim dan bahkan kedzaliman dari Undang-undang yang telah disahkan pemerintah.  Mahkamah ini berwenang memecat semua pejabat negara, bahkan memakzulkan Khalifah (Kepala Negara) bila mereka terbukti melakukan kedzaliman.  Bentuk-bentuk kedzaliman ini seperti mengambil harta rakyat tanpa landasan hukum, tidak tabayyun mendengarkan kedua pihak yang berperkara, tidak menerapkan hukum yang sesuai (semisal hukuman zina diterapkan pada orang yang nikah siri) hingga menerapkan hukum kufur seperti menghalalkan riba atau judi atau peredaran minuman keras pada masyarakat muslim.

Tentu saja, berjalannya struktur atau sistem ini sangat tergantung kepada kualitas budaya kritik sosial di masyarakat.  Imam Ghazali dalam kitab “Ihya Ulumudin” mengatakan, “Rusaknya rakyat adalah akibat rusaknya para pemimpin; Rusaknya para pemimpin adalah akibat rusaknya para ulama; dan Rusaknya para ulama adalah karena mereka cinta dunia (haus harta dan tahta)”.

Para ulama dan para ilmuwan harus menjadi mudzakkir (pemberi peringatan) baik pada para pemimpin, pebisnis maupun masyarakat umum.  Rasulullah menyatakan bahwa “Jihad terbaik itu adalah memberi peringatan di depan orang kuat / penguasa yang ja’ir (dzalim)”.

KISAH MARTABAK SPECIAL

Thursday, December 11th, 2008

Di sebuah komplek perumahan PNS tinggallah empat orang anak, sebut saja namanya Lalas Simalas, Eep Episien, Ran Aturan, dan Aam Amtenar.

Suatu hari, Ibu-ibu mereka sepakat untuk makan martabak.  Karena itu setiap ibu menyuruh anaknya beli martabak dan membekali mereka masing-masing dengan uang Rp. 50.000,-.

Lalas dari awal sebenarnya tidak begitu selera dengan martabak.  Dia lebih suka KFC atau McDi.  Tapi karena didesak-desak ibunya, ketika sudah cukup malam akhirnya dia keluar juga, namun sayangnya semua penjual martabak sudah kehabisan.  Akhirnya dia pulang dan mengembalikan uang Rp. 45.000.  Dia hanya pakai Rp. 5000 untuk sekali naik ojeg pp.

Eep sudah tahu martabak special yang sangat enak di warung dekat pasar.  Harganya Rp. 25.000.  Ongkos ojeg ke sana pulang pergi Rp. 5000,-  Eep memutuskan naik sepeda, beli martabak special, kemudian menyerahkan martabak special itu ke ibunya beserta uang kembalian Rp. 25.000,-

 

Ran Aturan tahu martabak special harganya cuma Rp. 25.000.  Tapi daripada uangnya sisa banyak, dia gunakan sekalian untuk beli bakso dan es campur kesukaannya di warung sebelah martabak, sambil nunggu martabaknya jadi.  Dia hanya minta agar bonnya disatukan dengan martabaknya.  Pulang ke ibunya, dia serahkan martabak special dan uang kembalian Rp. 5000,-  Katanya harga martabaknya Rp. 40.000.  Kemudian di dapur dia berbagi bakso + es campurnya dengan adiknya.

Aam sebenarnya juga sudah tahu warung martabak special itu.  Namun dia perlu pergi beberapa kali.  Yang pertama katanya buat survei untuk membandingkan berbagai jenis martabak yang ada di pasar.  Pulang laporan dulu.  Lalu pergi lagi untuk memastikan spesifikasi dan harganya.  Pulang laporan lagi.  Baru ketiga kalinya dia pergi untuk membeli martabak itu.  Kali ini ia minta ditemani adiknya.  Dia bagian beli, adiknya bagian yang membawa.  Masing-masing sewa ojeg sendiri.  Total dia perlu sewa ojeg empat kali pp.  Ketika dia pulang ke ibunya, dia hanya menyerahkan martabak biasa yang Rp. 10.000-an.  Tidak ada uang kembalian karena tiap kali naik ojeg katanya habis Rp. 10.000

Keempat anak itu tidak tahu, kalau ibu-ibu mereka sering ketemu dalam arisan.  Jadi ibu-ibu itu tahu berapa harga martabak special atau tarif ojeg yang riel.  Apa komentar ibu-ibu mereka?

Ibunya Lalas (bernada kesal): Anakku ini jika sudah punya prinsip, susah.  Bakatnya jadi demonstran.

Ibunya Eep: Anakku gak bakat jadi birokrat, jadi PNS-pun sepertinya susah.  Ntah mau jadi apa dia ?

Ibunya Ran: Anakku berbakat jadi birokrat.  Dapat meraih target dan masih untung lagi.

Ibunya Aam: Oh Anakku lebih berbakat jadi birokrat.  Daya serap anggarannya 100%!

Tiga puluh tahun kemudian:

Menteri Keuangan mengeluhkan daya serap APBN Kabupaten Anu yang bupatinya adalah Lalas.  Sudah November, ada proyek infrastruktur di sana yang belum juga dimulai.  Konon karena kemauan bupati yang aktivis suatu parpol ini berseberangan dengan DPRD yang didominasi parpol lain.

 

Eep jadi pengusaha sukses.  Dia sempat menjadi salah satu pembayar pajak terbesar.  Meskipun krisis ekonomi melanda, perusahaan Eep tetap bertahan karena efisien.  Ketika ada Pilkada, Eep diminta maju oleh banyak orang sebagai calon independen, dan terpilih.  Akhirnya Eep dikenal orang sebagai Bupati yang gigih melakukan reformasi birokrasi.  Pemerintahannya bergaya enterpreneur, pelayanannya prima dan index pembangunan manusia di daerahnya meningkat pesat.

Ran juga menjadi bupati di suatu daerah, tetapi sepertinya index pembangunan manusia selama pemerintahannya masih seperti tiga puluh tahun yang lalu.  Yang berubah cuma rumah Ran yang kini tampak megah, mobilnya yang mewah dan dan anak-anaknya yang bisa kuliah di Luar Negeri.

Aam jadi bupati juga, setelah sebelumnya lama jadi birokrat.  Tetapi kemudian ia berurusan dengan KPK, karena selama jadi birokrat biasa memarkup anggaran, seakan-akan seisi dunia tutup mata.