Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘SosPol’ Category

POSTUR PENGELUARAN KELAS MENENGAH

Thursday, December 15th, 2011
Ini cerita tentang postur pengeluaran sehari-hari sebuah keluarga “kelas menengah” rata-rata yang saya dapatkan dalam suatu sesi training TSQ-Financial (atau dulu disebut FSR – Financial Spiritual Revolution).  Berdasarkan pengamatan dan pengalamannya bertahun-tahun, dia mendapatkan:

1. Operasional rumah (listrik, air, elpiji, sampah)   :    7%
2. Kebutuhan transportasi (bensin, angkot)          :   6%
3. Kebutuhan komunikasi (telpon, speedy, pulsa) :   7%
4. Kebutuhan pangan & keperluan MCK                :  28%
5. Pendidikan anak (spp, ngaji, kursus)                 : 18%
6. Uang saku / jajan anak-anak                             : 12%
7. Gaji pembantu                                                    :  8%
8. Keperluan kecil lainnya                                       :   2%
9. Shodaqoh & cadangan                                       : 12%

Setelah saya pelajari, berdasarkan informasi penghasilan ybs sekitar Rp. 5 jt / bulan, maka berarti pengeluaran bulanan dia untuk:

1. Operasional rumah (listrik, air, elpiji, sampah)   :   Rp.   350.000
2. Kebutuhan transportasi (bensin, angkot)          :   Rp.   300.000
3. Kebutuhan komunikasi (internet, pulsa)             :  Rp.   350.000
4. Kebutuhan pangan & keperluan MCK                :   Rp.1.400.000
5. Pendidikan anak (spp, ngaji, kursus)                 :  Rp.    900.000
6. Uang saku / jajan anak-anak                             :  Rp.    600.000
7. Gaji pembantu                                                    :  Rp.   400.000
8. Keperluan kecil lainnya                                       :  Rp.   100.000
9. Shodaqoh & cadangan                                       :  Rp.   600.000

Untuk operasional rumah sepertinya sudah sulit ditawar.  Konsumsi listrik, bayar PAM, beli air gallon, iuran sampah ya sudah segitunya.

Kebutuhan transportasi oleh satu keluarga dengan 2 anak yang sudah sekolah ini cukup mepet.  Dengan 300.000/bulan, berarti jatah transport sehari cuma Rp. 10.000 / keluarga.  Ini sama saja dengan naik angkot+ojeg sehari pp hanya untuk satu orang.  Maka sang kepala keluarga akhirnya membeli motor bekas … lumayan bisa lebih irit.  Tetapi anak-anaknya yang sekolah tetap harus naik angkot + jalan kaki.  Ya insya Allah lebih sehat.

Kebutuhan komunikasi ternyata lumayan juga.  Langganan telepon (apalagi hari gini harus internetan, apalagi kadang untuk kelancaran pekerjaan!) ditambah pulsa untuk 4 nyawa ini ternyata lumayan juga.  Mungkin masih bisa ditekan ya?

Untuk pangan, Rp 1,4 jt untuk 4 nyawa berarti perorang cuma Rp. 350.000/bulan, atau Rp. 11.000 per hari.  Alhamdulillah, karena nyaris tidak pernah makan di luar, cukuplah uang segitu.  Sang suami kalau ke kantor bawa bekal masakan istri tercinta.  Padahal agar hemat juga.

Untuk pendidikan ternyata lumayan besar.  Meski sekolah negeri sekarang gratis, tetapi karena ingin sekolah yang baik, anaknya dimasukkan ke Sekolah Islam.  SPP mereka masing-masing sudah Rp. 300.000,-  Kemudian ditambah les sempoa, komputer, beli buku, kegiatan macam-macam dll, jatuhnya dua anak Rp. 900.000,-  Wow.  Tapi nggak papa, ini kan investasi masa depan.

Anak-anak juga diberi uang saku, karena sekolah mereka sampai jam 3 sore.  Nah, tiap anak dijatah sebulan Rp. 300.000 (sudah sama dengan SPP-nya).  Kadang sih mau makan bekal dari rumah, tetapi sering ikut makan siang di kantin bareng temannya.  Kadang juga uangnya utuh, ditabung kata mereka.  Bener sih, kadang-kadang pas ibunya ulang tahun, mereka memberi “kejutan”.  Baguslah, ini untuk pendidikan finansial anak-anak.

Pembantu yang cuma datang pagi pulang sore untuk bantuin mbersihin rumah, masak dan setrika (kalau nyuci sudah pakai mesin), dikasih Rp. 400.000/bulan — wah ini sudah “saling memuaskan”.  Hari gini tidak mudah cari pembantu mau dibayar Rp. 100.000 / minggu.

Kemudian ada keperluan kecil-kecil, ini ada recehan sejumlah 100 ribu … mungkin kalau ada yang hajatan atau ada pengamen.

Yang menarik adalah pos terakhir: ada shodaqoh dan cadangan Rp. 600.000,-  Yang fix mereka mencadangkan Rp. 100.000 untuk infak ke masjid dan dhuafa yang membutuhkan.  Kadang juga lebih.  Tetapi pos ini juga untuk berjaga-jaga kalau suatu ketika ada kebutuhan yang cukup besar, seperti keperluan mudik (sekali mudik bisa habis Rp. 2-3 juta), beli pakaian baru (karena yang lama sudah usang banget), atau kalau ada perabotan rumah yang harus diperbaiki, atau ada seminar pengembangan diri yang perlu didatangi (seperti TSQ-Financial ini), atau ada yang sakit.  Walaupun ada askes, tetapi tetap saja akan ada biaya tambahan seperti akomodasi untuk yang nungguin.

Jadi ternyata penghasilan 5 juta ini pas-pasan juga.  Tetapi kalau bijaksana masih cukup lah.  Untung mereka tidak perlu lagi ngontrak rumah.  Biarpun sederhana, rumah mereka sudah milik sendiri dan lunas.

Bagaimana kalau yang penghasilannya cuma 2 juta, tetapi sudah berani ngutang lagi, karena ingin punya Blackberry (biarpun seken, yang penting keren), apalagi  masih berani nambah anak terus, atau nambah istri terus 🙂

Ada pengalaman lain?  Bagaimana postur pengeluaran keluarga Anda?
Atau ada saran agar keluarga tadi dapat menghemat lagi pengeluarannya?

Salam

FA.-(Coach TSQ-Financial)

ISLAM YANG DIKEHENDAKI MUSUH-MUSUHNYA

Friday, August 19th, 2011

Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya
adalah Islam yang tinggal ahlaq, tanpa jihad,
adalah Islam yang tinggal ibadah, tanpa syari’ah,
adalah Islam yang boleh menyinari rumah-tangga,
namun bukan industri atau niaga,
adalah Islam yang boleh ada di masjid dan mushola,
tapi bukan kantor pemerintah dan swasta,
adalah Islam yang boleh bicara tentang akherat,
tapi tidak tentang cara melayani rakyat,
adalah Islam yang diamalkan para pertapa shufi,
dan bukan para umara’ yang peduli,
bukan alim ulama’ yang hati-hati,
bukan kaum aghniya’ yang zuhdi
bukan pula mujahidin yang tak takut mati.

Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya
adalah Islam yang mengemis pada Barat,
bukan yang mampu menolong sendiri ummat,
di Bosnia, di Palestina, atau di Iraq,
di manapun ummat berkhidmat,
apalagi menolong dunia dari laknat,
future schock, disorientasi kehidupan,
kerusakan ekosistem, AIDS, narkoba,
dan kesewenang-wenangan kapitalis keparat.

Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya
adalah Qur’an dibacakan di masjid dan arena tilawah,
bukan di sidang kabinet atau mahkamah,
adalah Qur’an disampaikan ke orang mati atau sekarat,
bukan pada orang hidup yang sehat,
adalah Qur’an diajarkan di madrasah dan pesantren,
bukan di sekolah bisnis yang keren,

Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya
adalah Rasul sebagai panutan fatamorgana,
sedang selebriti kondang tetaplah idola,
bahkan terkadang Rasul pun sekedar,
tokoh historis yang juga bisa salah dan dosa.

Ya Allah, Islam seperti inikah yang kau janjikan sebagai rahmat bagi seluruh semesta?
Dan ummat seperti inikah yang Kau hadirkan sebagai yang terbaik ke tengah manusia?

(Wina, 1997)

Prof. Sofian Siregar harusnya tidak membodohi-bodohi ummat

Monday, August 1st, 2011

Pernyataan Prof. Sofian Siregar bahwa “Sidang isbat malam ini [31 Juli 2011] merupakan pembodohan umat dan cuma seremoni buang-buang anggaran”, karena “Perintah agama untuk melakukan ru’yatul hilal (mengamati bulan baru, red) dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban, bukan pada 30 Sya’ban atau 31/8/2011 malam ini” (detiknews.com, 31/7/2011) menunjukkan keawaman seseorang pada fakta falakiyah (astronomi), sekalipun orang itu adalah guru besar syariah.

Yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa sejak dunia Islam tidak memiliki pemimpin umum (khalifah), maka setiap negeri dan bahkan nyaris setiap ormas menyusun sendiri kalender hijriyah dengan metode, kriteria dan parameter yang berbeda-beda. Karena itu kalender Islam yang ada di dunia tidak seragam.

Sebagai contoh, kalender Ummul Qura yang dipakai di Makkah Saudi Arabia, dan sepertinya diikuti di institusi tempat Prof. Sofian Siregar bekerja, menggunakan kriteria ijtima’ qabla ghurub (moon-conjunction sebelum maghrib). Karena ijtima’ sya’ban jatuh pada tgl 1 Juli pukul 15:54 WIB, akibatnya, tgl 1 Sya’ban 1432H jatuh pada 2 Juli 2011.. Sedang Kementerian Agama RI dan juga negara-negara ASEAN menggunakan kriteria imkanur rukyat 2 derajat, sehingga 1 Sya’ban 1432H jatuh pada 3 Juli 2011. Karena startnya sudah berbeda, maka tanggal 29 Sya’bannya juga berbeda. Di Indonesia, 29 Sya’ban jatuh pada Ahad 31 Juli 2011.

Manakah dari kriteria itu yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Karena ini soal fakta, maka semestinya menanyakan kepada para ahli-ahli astronomi yang menekuni falakiyah Islam, terutama masalah rukyatul hilal. Hingga hari ini, para ahli falak yang melakukan rukyat secara teratur tiap bulan dan terdokumentasikan dengan baik (difoto), mendapatkan bahwa hilal baru dapat dirukyat kalau terpenuhi tiga syarat: (1) Astronomi, (2) Baiknya pengamat dan lingkungan pengamatan, dan (3) Cuaca yang mendukung (atau disebut juga syarat ABC). Dari hasil sekian ratus rukyatul hilal yang terdokumentasi dengan baik, didapatkan beberapa kriteria astronomi yang dikenal dengan kriteria Danjon, atau kriteria LAPAN (yang diusulkan Prof. Thomas Djamaluddin), atau kriteria Odeh (Prof. Mohammad Odeh dari Jordanian Astronomical Society). Kriteria itu menyebutkan misalnya tinggi hilal minimal, umurnya, prosentase pencahayaan dan sebagainya, agar tidak ada kekeliruan rukyat.

Namun demikian, meski secara astronomi sudah mungkin terlihat, tidak otomatis bisa diamati, karena kalau syarat B dan syarat C tidak terpenuhi, tetap saja hilal tersembunyi. Untuk itulah pengamatan hilal harus tidak dibatasi tempat tertentu, tetapi dilakukan secara global (rukyat global).

Jadi melalui FB  ini saya mengajak Prof. Sofian Siregar untuk bersama-sama mencerdaskan ummat, mengajak ummat bersatu, dan tidak sepihak menganggap bodoh mereka yang saat ini masih berbeda. Maklumilah, inilah buah tidak adanya Khilafah yang mempersatukan kaum muslimin saat ini.

Salam, dan Selamat Berpuasa