Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Pematian Ponsel secara Acak

Wednesday, November 22nd, 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar

dimuat di Suara Islam, minggu III-IV November 2006

 

Salah satu yang akan dikeluhkan oleh warga Bogor menjelang kunjungan Presiden Amerika George Walker Bush tanggal 20 November 2006 nanti adalah pematian ponsel selama 10 jam.  Aktivitas ini tidak dilakukan oleh provider ponsel melainkan merupakan SOP para pengawal Bush demi mengamankan sang penjagal umat Islam di Afghanistan dan Irak itu.  Untuk kunjungan 6 jam itu pemerintah menganggarkan minimal Rp. 6 Milyar, 18000 personil keamanan, menutup hampir seluruh jalan protokol di Bogor (yang memang hampir semuanya bersentuhan dengan Kebun Raya Bogor, tempat mendarat Bush) dan meliburkan sekolah-sekolah.  Biaya sosial dan ekonomi yang ditanggung masyarakat Bogor akan jauh berlipat-lipat.

Ketika lalu lintas macet karena berbagai penutupan jalan, maka komunikasi seluler adalah salah satu jalan keluar bagi orang-orang yang memiliki urusan.  Namun apa daya, saat kunjungan itu, telekomunikasi seluler (dan juga handy-talky) juga dimatikan.

Pematian ponsel adalah salah satu bentuk radio jamming.  Ponsel menggunakan suatu informasi terkode yang ditumpangkan (dimodulasikan) di atas gelombang radio pembawa (carrier).  Gelombang radio memiliki sifat dapat berinterferensi dengan gelombang radio lain yang fasenya berbeda.  Interferensi membuat kedua gelombang itu saling memusnahkan (bila beda fasenya persis setengah gelombang) atau minimal jadi sangat terganggu.  Walhasil kedua gelombang jadi “kacau” atau “mati”.

Untuk gelombang ponsel, ketika frekuensi pembawanya kacau, maka dapat dipastikan kode yang termodulasi di atasnya (baik TDMA seperti pada GSM maupun CDMA) tidak bisa lagi diterjemahkan.  Dan hasilnya, ponsel itu akan “mati.  Secara teknis dapat dibuat suatu pemancar multi-frekuensi untuk menginterferensi seluruh gelombang radio yang ada.  Khusus untuk mengganggu provider seluler, alat ini disebut cell phone jammer. 

Alat sejenis juga dipakai untuk mematikan seluruh pemancar radio atau televisi (broadcasting), handytalky, remote control yang menggunakan radio (bukan yang dengan inframerah) dan juga peralatan radar.  Konon pesawat siluman Stealth selain memiliki body yang tidak tertangkap oleh radar, juga mampu mematikan radar musuh.  Istilah mematikan sebenarnya tidak pas, karena alatnya sendiri sebenarnya tidak mati.  Hanya alat itu tidak efektif lagi karena pancaran gelombangnya praktis dimatikan dengan interferensi.

Cell phone jammer biasanya dipakai di area-area di mana komunikasi seluler dapat mengganggu atau bahkan berbahaya, misalnya di tempat ibadah, perpustakaan, gedung teater atau ruang operasi di rumah sakit.  Juga untuk membatasi spionase di gedung-gedung tertentu.  Alat ini jauh lebih murah daripada “sangkar Faraday” yang dulu dipakai untuk menolak seluruh gelombang radio masuk ke dalam ruangan tertentu.  Sangkar Faraday biasanya dipasang di dalam gedung, dan tak mudah dipindah-pindahkan.  Namun untuk keperluan khusus, misalnya menangkal peralatan yang dikendalikan dari jarak jauh dengan radio (bom, robot mata-mata) sangkar Faraday jelas masih lebih aman.

Di masa lalu, ketika telephon seluler masih analog, cukup suatu jammer sederhana buat mematikannya.  Namun dengan era digital, apalagi era 3G, perlu peralatan jammer yang juga lebih canggih.

 

Operasional

Jammer akan mengisolir ponsel dengan mengirim keluar gelombang radio dengan frekuensi yang sama dengan yang dipakai ponsel.  Ini menyebabkan interferensi atau gangguan yang cukup sehingga komunikasi dari ponsel ke menara BTS praktis tidak bisa digunakan.  Pengguna akan merasakan seperti diluar jangkauan layanan. 

Mayoritas ponsel menggunakan band (kanal) yang berbeda untuk mengirim dan menerima informasi dari menara.  Maka jammer akan bekerja dengan mengganggu frekuensi dari ponsel ke menara atau sebaliknya.

Model Jammer kecil ukuran tangan akan memblok seluruh kanal dari 800 MHz hingga 1900 MHz di dalam radius 10 meter.  Jammer besar yang mahal seperti TRJ-89 dapat mencapai radius 8 kilometer.  Jammer yang kuat ini juga bisa berbahaya karena dapat mengganggu alat-alat kedokteran, misalnya alat pacu jantung.  Namun pada umumnya, alat-alat ini bekerja dengan power di bawah 1 Watt untuk mencegah beberapa masalah.

Di peperangan, penggunaan jammer baik untuk mematikan telekomunikasi, broadcast (radio/TV) maupun radar adalah termasuk bagian dari perang elektronik.  Orang memimpikan dapat melindungi negerinya dari serangan pesawat atau rudal musuh cukup dengan mengganggu gelombang radionya.  Rudal nuklir sekalipun, hanya dapat mencapai sasaran bila sistem navigasinya tetap berfungsi.  Bila sistem navigasi ini hanya mengandalkan GPS, radar dan kontrol radio, maka dia akan dapat mudah dipatahkan dengan jammer.  Ada dugaan bahwa peristiwa pesawat yang menabrak menara WTC tanggal 9 September 2001 adalah pesawat yang telah dijam seluruh sistem radionya, sementara radar Angkatan Udara juga telah dijam sehingga tidak melihat apa-apa di layar.  Pesawat itu hanya tinggal bisa dilihat langsung secara visual.

Karena itu para ilmuwan sistem kontrol kemudian mengembangkan navigasi mandiri yang tidak tergantung gelombang radio.  Navigasi ini memakai prinsip inersia dalam fisika, sehingga disebut inertial navigation system. 

Demikian juga, para pengawal Bush tentunya juga harus memakai sistem telekomunikasi yang lain ketika seluruh gelombang radionya sendiri di-jam.  Salah satu model yang akan selamat dari radio-jammer adalah menggunakan komunikasi inframerah atau ultrasonik.  Meski sama-sama gelombang elektromagnetik, namun sinar inframerah memiliki sifat cahaya, yang berbeda dengan gelombang radio.  Komunikasi inframerah dapat mencapai tempat yang jauh selama tidak ada penghalang yang berarti.  Sedang ultrasonik adalah gelombang suara pada frekuensi yang tak terdengar telinga manusia, dan tak berinteraksi dengan gelombang elektromagnetik.

Ketika seluruh gelombang radio yang operasional dijam oleh peralatan para pengawal Bush, maka para polisi biasa dan satpam Kebun Raya yang tidak dilengkapi alat komunikasi khusus juga tidak akan bisa berkomunikasi jarak jauh.  Kalau pramuka jaman dulu mungkin masih bisa pakai semaphore atau kode asap, atau Ki Gendeng Pamungkas mungkin bisa pakai telepathy.  Tapi sama siapa?

Begitulah teknologi yang ada saat ini.  Manfaatnya tergantung pada siapa yang menggunakan.  Dan untuk tujuan apa orang menggunakan, tergantung dari ideologi yang diyakininya.

Menaksir IT pada Militer AS

Friday, June 9th, 2006

Tulisan ini dipublikasikan di Republika, 1 April 2003

Dr. Fahmi Amhar
Dosen Pascasarjana Univ. Paramadina

Perang modern tidak lagi dilakukan secara berhadap-hadapan antara dua pasukan di medan terbuka. Begitu dimulai, perang ini akan lebih banyak dilakukan secara impersonal dengan teknologi, dipersiapkan jauh-jauh hari, dikendalikan dari jarak jauh, dan dilakukan malam hari. Pembantaian dibuat seperti play station, dan sang pembunuh tidak perlu mencium langsung bau anyir darah. Pada pembantaian di Iraq ini, perang sangat teroptimasi dengan teknologi informasi (IT) yang luar biasa.

IT pada pra-operasi militer

Jauh sebelumnya, intelijen AS akan memburu data dari semua penjuru. Satelit mata-mata AS membuat citra yang paling rinci yang pernah ada. Kalau satelit sipil seperti Ikonos atau Quickbird hanya mampu membuat citra dengan kehalusan pixel satu atau setengah meter, maka kita harus yakin bahwa satelit mata-mata akan mampu membaca tulisan koran.

Sementara itu shuttle radar topographic mission telah memetakan topografi seluruh dunia dengan pixel lima meter. Ini data yang di-release untuk sipil. Berapa akurasi militer yang dirahasiakan, tidak kita ketahui.

Dengan citra dan topografi ini, AS bisa membuat peta mutakhir daerah manapun tanpa perlu ijin atau sepengetahuan pemerintah manapun. Memang, dari peta ini beberapa ciri bangunan atau nama-nama geografis belum bisa diketahui. Untuk itulah AS akan mengirim spion untuk mengumpulkan informasi objek terutama yang dianggap vital dan tak “terbaca” dari angkasa. Juga tempat-tempat yang diduga berranjau. Mereka akan “berwisata” sambil merekam objek-objek “menarik” dengan piranti sistem posisi global (GPS). Piranti ini begitu mungil, bisa ditaruh dalam jam tangan, atau korek api. Begitu melihat objek menarik, wisatawan gadungan ini akan mengaktifkan GPS, sehingga objek itu terekam beserta posisinya. Kalau spion ini salah, petanya juga salah. Akibatnya fatal. Di Beograd jet AS pernah membom kedubes Cina, yang dikiranya markas Slobodan Milosevic. Di Iraq juga ada apartemen yang disangka mes militer. Malah Saddam sendiri tak diketahui ada di mana.

AS memiliki peta yang lebih rinci dari otoritas nasional manapun di dunia. Dengan data spasial tiga dimensi ini, pilot-pilot AS bisa melakukan simulasi terbang yang sangat realistis atas kota-kota di dunia. Mereka juga bisa optimalkan rute gerak pasukan, baik di darat maupun udara. Model elevasi digital (DEM) yang ada pada sistem ini juga yang menuntun rudal jelajah Tomahawk atau pesawat Stealth ke sasaran dengan efisien, tanpa takut menabrak gunung atau apapun.

Tapi itu semua belum cukup. AS juga ingin informasi tentang orang-orang yang perlu diawasi. Untuk itu intelijen AS menyadap informasi yang lalu lalang via jaringan telekomunikasi (dengan satelit AS), juga data perbankan dan data kartu kredit. Dengan analisis database, maka kebiasaan orang-orang yang disorot dinas rahasia AS bisa diikuti. Ostrovsky (1990) dalam By Way of Deception melukiskan, bahwa dengan analisis database kartu kredit saja, CIA atau Mossad bisa mempelajari penerbangan atau hotel apa yang sering dipakai seseorang, berapa pengeluarannya, apa yang suka dibelinya, siapa yang sering diteleponnya, siapa yang mengirim dana padanya, dan kapan dia ke mana. Tak heran bahwa dinas-dinas rahasia itu punya background & insider information yang sangat rinci tentang tokoh-tokoh di negeri Islam. Mungkin di antara mereka ada yang berbakat jadi pengkhianat.

CIA-World-Fact-Book yang sering jadi referensi, adalah versi sipil dari bank data yang sangat lengkap. Di situ tersimpan data logistik di tiap daerah, yang di masa perang akan penting. Misalnya, bahwa di suatu desa ada sekian penduduk, sekian yang bisa perang, sekian janda (mungkin disiapkan untuk “hiburan” tentara AS), sekian ton pangan, dan sebagainya. Informasi itu penting untuk manuver pasukan, evakuasi, ataupun menduga lokasi musuh dalam perang gerilya. Di Indonesia, data seperti ini dikelola Direktorat Topografi TNI-AD dengan memanfaatkan organnya sampai ke desa, yaitu Babinsa. Bedanya, AS mengumpulkan Laporan Geografi Militer dari seluruh dunia.

Dengan data yang begitu lengkap, AS bisa membangun sistem informasi geografis (GIS) yang luar biasa. Mereka bisa simulasi berbagai skenario perang, berapa korban yang akan jatuh dan kerugian yang ditimbulkan jika suatu senjata canggih seperti gelombang mikro ataupun nuklir digunakan. Mereka juga bisa berhitung tentang “keuntungan” perang dalam jangka panjang.

Andaikata diijinkan dipakai untuk sipil, sistem semacam ini sangat optimal untuk mempelajari pola bencana alam seperti banjir, gempa tsunami atau kebakaran hutan. Kapasitas komputasi sistem ini bisa membantu mengetahui dengan akurat, apa action yang tepat untuk misalnya mencegah banjir Jakarta: apa benar dengan reboisasi Puncak?; dengan kanal banjir senilai 15 Trilyun?; dengan pompanisasi?; dengan pembersihan tepi Ciliwung dari pemukiman liar?; atau apa? Sayang sistem tadi justru dipakai untuk optimasi pembantaian kaum muslimin.

Perangkat ini dilengkapi sistem pakar (expert-system) yang akan membantu pengambilan keputusan. Bisa jadi keputusan kapan perang dimulai, atau suatu rudal diluncurkan, tidak di kepala George Walker Bush, apalagi PBB, melainkan pada sistem pendukung keputusan (decission support system), yang tentu hanya mesin pintar berkapasitas besar, tanpa nurani.

IT pada saat perang

Ketika perang, pasukan di garis depan akan dilengkapi alat GPS-telemetri, inframerah dan telematika. GPS akan memandu ke sasaran. Komando di belakang bisa memantau posisi dan kondisi pasukannya dari laptopnya. Kalau ada prajurit yang terluka atau tertangkap, posisinya langsung bisa diketahui.

Sementara itu alat inframerah berguna untuk melihat di kegelapan. Alat ini bisa mendeteksi manusia, yang tubuhnya memancarkan panas pada spektrum tertentu, meski bersembunyi di balik semak-semak atau dinding dengan ketebalan tertentu.

Mereka juga dilengkapi piranti telematika, yang akan memasok data-data terakhir ke front, baik dari satelit, atau analisis komputer atas data intelijen mutakhir. Agar jaringannya tidak disusupi hacker musuh, maka dilakukan enkripsi cryptografi yang sangat rumit.

Sementara itu senjata yang dipakai pun memiliki kandungan IT yang makin tinggi. Kini ada robot-robot mungil (dragon-runner) yang memiliki kecerdasan buatan (artificial intelligence). Robot ini bisa mengambil keputusan mandiri dan terus mengupdate diri dengan “pengalamannya”. Ia dilengkapi kamera dan sejumlah sensor suara, panas atau bau. Dengan software pengenal pola, maka robot ini bisa mengenali musuh dan secara mandiri menyerangnya.

Sementara itu ada jenis robot lain yang dilengkapi bom dan piranti GPS. Bom itu diprogram untuk hanya meledak di lokasi yang koordinatnya ada pada daftar. Bom ini bisa juga dicurahkan dari “mother bomb” sebagai “bom satelit” atau diluncurkan sebagai ”position guided missile” (PGM).

Jenis senjata lain adalah senjata radio yang bisa merebut kontrol atas piranti elektronik. Pesawat-pun bisa dibajak secara elektronik (electronic hijacked) – hal mana diduga kuat terjadi pada pesawat yang menabrak WTC 11 September 2001. Masih dengan radio adalah gangguan frekuensi (jamming) sehingga seluruh piranti telekomunikasi musuh terganggu.

Namun teknik jamming ini bisa pula digunakan musuh untuk melawan. Kalau ada ahli elektronik muslim yang mampu membuat pemancar yang kuat, bisa jadi pasukan AS yang dipandu GPS akan kehilangan arah, karena sistem GPS-nya ngaco. Karena itu pasukan AS juga dilengkapi sistem navigasi inersia (INS), yang tidak tergantung pada gelombang radio.

IT kaum muslimin

Apakah Iraq mampu mengatasi keunggulan IT AS itu? Boro-boro. Jangankan membungkam sistem GPS AS, pasokan listrik saja mungkin sudah byar pet. Dalam perang modern, instalasi listrik dan telekomunikasi adalah objek yang sering dihantam dulu. Iraq bahkan sebelumnya sudah melatih rakyatnya untuk biasa “bekerja seperti di zaman Khalifah Harun Al Rasyid”, tanpa listrik, tanpa komputer, tanpa radio.

Maka di atas kertas, Iraq atau negara manapun yang mencoba “berani” melawan AS sudah akan keok. Meski demikian, dalam perang manapun, yang terpenting bukanlah senjata, tapi “man behind gun” atau bahkan “God behind gun”. Di Vietnam dan Somalia pun AS tak begitu sukses. Jadi kalau Allah menghendaki bisa saja, seluruh sistem IT AS itu ternyata ditanami virus oleh programmernya, yang kesal dengan arogansi Bush. Atau Chief Information Officer (CIO) Pentagon sendiri – sebagai orang yang de facto paling berkuasa atas sistem IT ini – terketuk nuraninya, lalu menembak ke “gawang” sendiri. Atau di lapangan, serdadu AS yang stress pada mabuk, lalu ribut sendiri. Yang jelas, makin canggih teknologi, ia makin rentan, dan “kecerdasan bertahan hidup” (survival quotient) dari pasukan akan turun. Sementara rakyat Iraq yang bertahan dengan ruh jihad siap menghabisi pasukan AS di perang kota. Banyak yang bisa terjadi. Allah juga pernah mengirim burung Ababil untuk menghancurkan pasukan Abrahah.

Kenyataan ini seharusnya membuka mata kita, bahwa untuk melawan negara sekuat Amerika, kaum muslimin tidak bisa mengandalkan Iraq, apalagi yang dipimpin seorang tiran, dan setelah diembargo dan dilucuti. Kaum muslimin memerlukan sebuah negara yang lebih kuat dari Amerika, negara yang mempersatukan seluruh potensi kaum muslimin di dunia. Negara seperti itu adalah Daulah Khilafah, yang pernah meruntuhkan adidaya Persia dan Romawi, namun sayang telah tiada sejak pasca Perang Dunia I. Untuk itulah, respon kita terhadap serangan AS atas Iraq tidak cukup hanya jangka pendek seperti aksi protes, boikot, bantuan kemanusian atau pun qunut nazilah.

Kita harus punya agenda jangka panjang, membangun kembali persatuan ummat Islam sedunia, dalam wadah Daulah Khilafah, karena hanya negara ini yang pernah menjadi adidaya. Dan negara ini pula yang nanti akan mengembangkan teknologi yang lebih kuat berdasarkan syariat, sehingga tak hanya menandingi arogansi AS, tapi bahkan menundukkannya, dan lalu menjadikan teknologi itu sarana mewujudkan keadilan, kemakmuran dan rahmat di seluruh alam.