Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Press Release: Free Download Peta-peta Kawasan Bencana

Monday, October 5th, 2009

Menyusul gempa 7.6 SR yang meluluhlantakkan kota Padang dan sebagian wilayah Sumatera Barat dan Jambi, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) telah mengirim peta-peta kawasan bencana ke wilayah bencana.  Peta-peta yang terdiri dari peta rupabumi 1:10.000 sebanyak 41 nomor lembar peta, peta dinding Sumatera Barat, Bengkulu dan Jambi, Atlas Pariwisata dan peta Citra sebanyak 16 nomor ini akan digunakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam mengidentifikasi sebaran kerusakan untuk mempermudah tim penolong baik selama tanggap darurat maupun dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi nantinya.  Peta-peta tersebut juga telah diupload pada website BAKOSURTANAL (www.bakosurtanal.go.id) untuk free-download, sehingga para pemberi bantuan dari seluruh dunia dapat menggunakan data spasial yang standar, yang lebih akurat dari data-data sejenis yang telah ada di internet.  BAKOSURTANAL juga segera mengirim tim untuk membantu BNPB dalam menggunakan data spasial maupun Sistem Informasi Geografis untuk optimasi tanggap darurat.  Tim ini juga akan meninjau ulang berbagai infrastruktur data spasial yang telah ada selama ini, yang tentu saja mengalami kerusakan berat akibat gempa.  Tim juga akan mengukur ulang titik-titik kontrol geodetik yang kemungkinan telah bergeser beberapa puluh centimeter hingga beberapa meter akibat pergerekan lempeng bumi yang cukup signifikan dalam waktu beberapa detik selama gempa.  Biasanya pergerekan lempeng ini hanya 4-6 centimeter per tahun.

Berdasarkan pengalaman tanggap darurat kebencanaan sejak gempa-tsunami di Aceh pada Desember 2004, BAKOSURTANAL telah memetakan ulang kawasan Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara dan kawasan pantai Barat Sumatera selebar tiga kilometer dalam rangka membangun Tsunami Early Warning System (TEWS).  Namun rupanya, perhatian masyarakat selama ini terlalu tertuju pada tsunaminya, sedang antisipasi pada gempa berkekuatan besar, yang mestinya terwujud dalam bentuk penegakan aturan bangunan yang lebih ketat (Building Code) agak terabaikan.  Semestinya, bangunan-bangunan di kawasan-kawasan yang telah teridentifikasi rawan bencana segera dievaluasi.  Kalau bangunan itu terbukti belum memenuhi persyaratan dalam Building Code, maka bangunan itu segera direnovasi.  Mungkin proses ini memang memakan biaya.  Namun itu pasti lebih murah daripada ketika bangunan itu dirobohkan oleh gempa secara mendadak.

Perhatian pemerintah maupun masyarakat pada pemetaan kawasan bencana, baik selama masa pencegahan (mitigasi), masa tanggap darurat maupun masa rehabilitasi-rekonstruksi memang masih perlu ditingkatkan.  Ini terbukti bahwa peta kebencanaan dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana baru disebut dalam satu ayat tanpa penjelasan.  Dan kewajiban itupun dibebankan kepada Pemerintah Daerah.  Akibatnya, baru sebagian kecil daerah yang dapat berbuat sesuatu dalam memulai menyiapkan peta kawasan rawan bencana.  Dari sisi landasan hukum, UU ini memang perlu segera diamandemen.  BAKOSURTANAL beserta komunitas-komunitas geospasial, semisal RS-GIS-Forum, Ikatan Surveyor Indonesia dan Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia sedang berupaya keras agar masyarakat kita makin sadar spasial, sehingga juga makin sadar bencana.  Saat ini Pemerintah melalui BAKOSURTANAL juga sedang menggodok RUU Informasi Geospasial, yang diharapkan akan membuat data geospasial lebih memasyarakat lagi.

Contact Person:

Dr.-Ing. Fahmi Amhar (0816-1403109)
Sekretaris Tim Geospasial Tanggap Darurat BAKOSURTANAL
Fax: 021-87906041, email:
famhar@bakosurtanal.go.id, famhar@yahoo.com

Insentif Riset

Sunday, August 12th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Suatu hal yang di negeri ini kita merasa paling terpuruk adalah ketertinggalan teknologi.  Kita punya banyak doktor lulusan universitas luar negeri, guru besar, peneliti utama dan juara olympiade sains tingkat dunia, namun teknologi kita hampir semuanya diimpor.  Teknologi impor itu mahal dan sering harus dibiayai dengan utang luar negeri.  Dan utang itulah yang kini membuat kita jadi makin terjajah.

Kita memang bangsa paling doyan membeli teknologi asing.  Sebagai contoh, jenis handphone Nokia tercanggih saja di seluruh dunia selalu mulai dijual dari Indonesia. Sayangnya, teknologi ini tidak bisa dikuasai dengan jalan sekedar membeli atau memilikinya.  Buktinya, ketika tak lama kemudian muncul model yang lebih baru lagi, kita mau tak mau harus membelinya lagi.  Jarang sekali terdengar cerita kita berhasil membuat produk teknologi lokal yang mampu menandingi produk impor.

Realitasnya teknologi hanya dapat benar-benar dikuasai bila faktor-faktor endogen (dorongan dari dalam) suatu bangsa mencukupi.  Upaya menyekolahkan anak bangsa ke luar negeri, atau mendatangkan pakar dari luar negeri dalam proyek-proyek di sini, realitasnya tak banyak menghasilkan. 

Karena itulah, kemudian pemerintah mencoba sejumlah insentif untuk meningkatkan faktor-faktor endogen yang akan mendorong para peneliti melakukan riset teknologi.  Insentif ini dapat berbentuk dana hibah riset yang diberikan dengan cara kompetitif.  Cara inilah yang paling bergengsi dan ”dilelang” ke seluruh lembaga penelitian pemerintah, perguruan tinggi hingga sejumlah LSM yang terkait riset.  Bentuk kedua dari insentif adalah dalam bentuk lomba-lomba ilmiah.  Sedang cara yang ketiga adalah dalam bentuk pengurangan pajak (tax-deduction), misalnya dari unit R & D perusahaan-perusahaan besar.

Di masa lalu, insentif yang paling terkenal adalah Riset Unggulan Terpadu, di mana bidang risetnya berorientasi pada taksonomi ilmu.  Karena itu dulu akan ada sejumlah proposal yang cukup spesifik dan canggih, yang orang perlu berpikir keras untuk membayangkan aplikasinya.

Kini, semua proposal insentif riset harus memilih satu dari enam bidang aplikasi real, yaitu (1) pangan; (2) energi; (3) kesehatan; (4) transportasi; (5) informasi & komunikasi; dan (6) hankam.  Bidang aplikasi hankam mencakup juga aplikasi untuk penanggulangan bencana.

Ini berarti bidang ilmu apapun harus diarahkan untuk mendukung enam bidang aplikasi tadi, termasuk ilmu-ilmu sosial atau bahkan ilmu-ilmu agama.  Artinya, seorang fisikawan nuklir boleh saja mengusulkan riset, tetapi harus diarahkan menurut aplikasinya misalnya (1) nuklir untuk memuliakan varitas tanaman padi; (2) aspek-aspek dalam pembangkitan energi nuklir; (3) nuklir untuk terapi kanker; (4) masalah pengangkutan bahan bakar nuklir; (5) sistem informasi keselamatan reaktor; dan (6) masalah-masalah nuklir dalam pertahanan. 

Sedang ahli geografi dapat meneliti misalnya (1) analisis kesesuaian lahan tanaman pangan; (2) GIS untuk optimasi lokasi pengembangan energi nabati (biofuel) skala besar; (3) mempelajari pola penyebaran flu burung secara spasial; (4) sistem informasi posisi bagi optimasi armada angkutan; (5) analisis spasial untuk optimasi posisi stasiun transceiver; (6) model spasial untuk evakuasi tanggap darurat.

Demikian juga, peneliti ilmu-ilmu sosial (termasuk agama) dapat meneliti misalnya (1) Masalah-masalah kultural dalam diversifikasi pola makanan; (2) Respon masyarakat dan dunia industri atas inisiatif energi pemerintah; (3) Korelasi pelayanan kesehatan dengan indeks kesehatan masyarakat; (4) Dampak makro kehadiran busway pada mobilitas warga Jakarta; (5) Hubungan densitas ponsel pada kualitas SDM; (6) Mengukur kepedulian masyarakat pada bencana.

Pada tahun 2007, dari sekitar 8000-an pejabat fungsional peneliti dan puluhan ribu dosen dan peneliti di perguruan tinggi di seluruh Indonesia, masuk sekitar 5000-an proposal.  Dari jumlah yang lumayan ini kemudian akan diseleksi dan nantinya mungkin hanya sekitar 10% yang akan dikabulkan untuk didanai. Secara nominal insentif riset ini memang tak terlalu besar, yakni hanya berkisar 100 – 500 juta Rupiah per judul per tahun.  Ini termasuk untuk honor, keperluan pengadaan alat dan bahan, perjalanan dan lain-lain. 

Anggaran riset di negeri ini memang masih teramat kecil dibandingkan APBN, apalagi dibandingkan Produk Domestik Bruto yang hanya 0,05 %.  Bandingkan dengan Malaysia (0,69%), Singapura (1,89%), atau Jepang (3,12%).

Secara umum perbandingan para peneliti dengan pekerja juga menunjukkan Indonesia sangat rendah.  Kita hanya memiliki 5 peneliti per 10.000 pekerja.  Bandingkan dengan Malaysia (8), Korea (64) dan Jepang (99).  Ini baru dari segi kuantitas.  Kualitasnya pun masih payah.

 Output

Selama ini program-program insentif riset masih belum menunjukkan output yang maksimal.  Output riset baru sebatas publikasi ilmiah saja – ini saja sering hanya publikasi lokal yang hanya diketahui kalangan terbatas.  Para peneliti hanya hidup di dunia mereka sendiri.  Jarang yang berusaha untuk juga membawa hasil-hasil temuannya agar dipakai masyarakat.  Atau mungkin mereka menganggap itu sudah tugas orang atau lembaga lain?  Repotnya bila orang atau lembaga yang dimaksud juga merasa tidak percaya diri untuk melakukan fungsi sosialisasi atau diseminasi produk hasil penelitian itu. Atau jangan-jangan hasil penelitian itu sendiri memang belum ”layak”?

Sebagai contoh Balai Besar Teknologi Tepat Guna milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan dari 60 penemuan TTG baru 5 yang dipakai luas di masyarakat (Kompas 19/6). Ada dugaan kuat bahwa ini semua karena ”mental inlander” yang masih menjamur di kalangan pengusaha ditambah hobby para penguasa yang hanya berburu rente (komisi proyek).

Di Indonesia ada ratusan Pusat, Balai Besar, Balai maupun Loka Penelitian berbagai ukuran dan tersebar di seluruh penjuru.  Namun gaung mereka kurang terdengar.  Meski pemerintah sudah membuat berbagai insentif riset, namun bila visi ilmiah ini tidak merata baik di pelaku penelitian, mahasiswa, pengusaha maupun para pejabat publik, maka sulit diharapkan teknologi kita akan berkembang.

Faktanya yang hidup di masyarakat justru budaya-budaya instan.  Orang lebih tergiur menjadi kaya mendadak dengan ikut ajang-ajang untuk menjadi selebriti.  Budaya mistik,  tahayul dan gaya hidup hedonis justru disebarkan media massa.  Dan para pejabat publik yang ”gaptek” tidak malu untuk bicara yang tidak didasari fakta ilmiah.

Walhasil meski ada insentif riset, banyak peneliti yang semi frustrasi, dan lalu lebih sering ”melacurkan diri” sebagai pengamat dan ”pengamen”, bukan sebagai pelaku riset yang menghasilkan karya-karya bermanfaat bagi ummat.