Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Mencari Lokasi Musibah

Tuesday, January 2nd, 2007

oleh: Dr Fahmi Amhar

Rubrik Analisis Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 3 Januari 2007.

http://222.124.164.132/article.php?sid=108401

BAGI sebagian orang, tahun 2006 telah berakhir dengan suatu misteri, dan tahun 2007 telah berawal dengan misteri yang lain. Pada Kamis 28 Desember kapal motor Senopati Nusantara yang berlayar dari Kalimantan Tengah ke Semarang telah tenggelam di perairan Jepara. Belum ada separo korban ditemukan dan dievakuasi, pekerjaan Tim SAR ditambah dengan hilangnya pesawat Adam Air yang terbang menuju Manado, semula konon karena menabrak gunung, namun kemudian informasi ini dicabut. Misteri yang beruntun, baik bagi Tim-SAR, Komite Nasional Keselamatan Transportasi maupun bagi keluarga atau relasi para korban.

Kedua hal itu membuat kita bertanya-tanya, belum mampukah kita lebih cepat menemukan kapal atau pesawat (wahana) yang hilang? Tentu saja wahana darat seperti mobil atau motorpun juga bisa hilang dicuri orang. Lebih jauh lagi tentunya, bagaimana mencegah itu semua terjadi, atau setidaknya tidak berdampak begitu buruk.

Kita tidak perlu buru-buru bertanya kepada dukun atau paranormal, karena secara teknologi sebenarnya ada alat yang dapat digunakan. Teknologi itu adalah Sistem Penentuan Posisi Global (Global Positioning System / GPS). Sistem ini menerima sinyal-sinyal yang diterima dari 24 satelit-satelit GPS yang dipasang Amerika Serikat di orbit sekitar 22.000 kilometer. Dengan menerima sinyal dari minimal 4 satelit GPS, maka posisi XYZ setiap titik di muka bumi dapat ditentukan. Perlu dicatat, Rusia dan Uni Eropa juga membangun sistem sejenis untuk menjaga kemandirian mereka dari Amerika Serikat.

Koordinat posisi yang telah didapatkan kemudian dapat dikirim dengan radio ke pusat-pusat pemantau seperti pelabuhan, bandara atau juga kantor polisi (untuk kasus di darat), yang akan melihat titik-titik dengan identitas yang jelas di atas peta digital di layar komputer. Setiap identitas terhubung ke sebuah database yang memuat informasi lebih rinci atas wahana itu, semisal surat izin, kapasitasnya dan sebagainya. Setiap wahana itu bergerak, maka titik di layar komputer juga ikut pindah.

Bila wahana itu mengalami masalah serius dan kontak radio terputus, maka beberapa titik terakhir akan tersimpan dan terpampang dengan warna khusus di layar. Dengan demikian kita dapat melakukan simulasi ekstrapolasi ke mana posisi wahana tersebut berlanjut.

Posisi wahana dipengaruhi kelembaman terakhir (arah dan kecepatan) serta faktor eksternal (arah dan kecepatan angin, arus atau gelombang laut). Makin lama waktu terbuang, makin besar area kemungkinan yang harus diekstrapolasi, karena kita tak selalu tahu data faktor eksternal. Berita terakhir ada korban kapal yang sudah mencapai perairan Madura (beberapa ratus kilometer dari posisi terakhir kapal). Pencarian akan lebih cepat kalau areanya telah terbatasi. Mungkin masih ada korban yang bisa terselamatkan.

Maka tim pencari segera diberangkatkan. Tentu tak mudah mencari objek kecil di areal yang luas secara langsung (visual). Mungkinkah memakai citra penginderaan jauh?

Kita tahu bahwa di langit bersliweran satelit-satelit observasi bumi yang memindai negeri kita. Memang ada satelit yang memberi gambar beresolusi pixel 1 meter bahkan 60 cm, seperti Ikonos atau Quickbird, sehingga mampu mendeteksi wahana naas itu, asalkan cuaca bersahabat. Citra satelit itu bersensor pasif, sehingga bisa tertutup awan. Bagaimana dengan radar? Radar memang tembus awan, dan mudah mendeteksi logam. Namun saat ini resolusi satelit radar seperti Radarsat atau ERS masih kasar. Kalau satelit TerraSar-X yang resolusi pixelnya bakal 1 meter jadi diluncurkan Jerman-Perancis tahun ini, mungkin situasinya akan berubah.

Namun tetap saja nanti ada tugas yang tidak ringan: menemukan objek di citra yang diduga pesawat yang jatuh atau kapal yang celaka itu. Di sinilah peran teknologi pengenal pola (pattern recognition) diharapkan. Satu catatan lagi: kalau posisi kapal sudah jauh di dalam air, maka citra satelit apapun sulit menjangkaunya.

Untuk wahana darat, teknologi ini bisa lebih sederhana. Di Indonesia bahkan Polda Metro dan beberapa perusahaan taksi serta expedisi sudah memakainya untuk memantau armadanya. Ada juga perusahaan yang menjual piranti kecil GPS untuk dipasang secara rahasia di mobil sebagai alarm. Kalau mobil yang kita parkir digeser orang lebih dari nilai toleransi yang diberikan, maka alat itu otomatis akan mengirim SMS ke nomor yang ditentukan (bisa ponsel pemiliknya atau polisi). Koordinatnya kemudian juga dapat terus diikuti.

Penggunaan GPS ini selain dapat mengurangi dampak kecelakaan kapal dan pesawat juga dapat menjaga aset-aset rakyat, misalnya untuk memantau illegal logging atau fishing (pencurian ikan). Misalnya semua kapal nelayan dengan ukuran di atas tonase tertentu wajib memasang alat GPS. Maka polisi air atau Dinas Perikanan dapat memantau posisi setiap kapal nelayan besar, apakah mereka mengambil ikan di wilayah yang diizinkan atau tidak. Dan di lapangan, kalau secara visual ada kapal yang tak tampak di komputer (karena tidak memasang alat GPS ini), maka berarti kapal itu tidak berizin, izinnya kedaluarsa atau dia mengambil ikan di luar wilayahnya. Tentu saja diasumsikan alat itu kalau dipasang harus berfungsi dengan baik.  Hal serupa bisa diterapkan untuk kendaraan darat yang beroperasi di hutan. Kalau tidak muncul di komputer, berarti ilegal. Mau diapain kapal atau kendaraan seperti ini? Cabut izinnya atau disita untuk negara. Tentu saja kalau petugas kita berani – berani mati dan berani menolak suap. Karena para bandit juga sering punya senjata dan juga duit.

(Penulis adalah Peneliti Utama Bakosurtanal)-

Pemetaan Daerah Rawan

Tuesday, August 1st, 2006

Tulisan ini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 2 Agtustus 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal

Di Yogya erupsi Merapi disusul gempa. Setelah gempa terus tsunami. Di Kalimantan ada banjir, tetapi di Sumatra ada kekeringan dan kebakaran hutan. Di Sidoarjo lumpur panas belum selesai, disusul gas liar di Bojonegoro.

Ini yang besar-besar. Yang kecil-kecil tidak kurang. Ada longsoran gunung sampah di Cimahi, ada pohon-pohon raksasa yang patah terkena hujan angin di Bogor, ada perkampungan yang tiba-tiba miskin setelah pusat mata pencahariannya digusur. Di Jakarta yang konon uang lebih mudah didapat, kasus kejahatan juga lebih besar.

Lama-lama orang suka berpikir, “Adakah tempat yang benar-benar adem ayem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi?”. Kalau di Indonesia tidak ada, adakah di luar negeri? Kalau begitu apa tidak salah bila kita pindah saja ke sana …

Jawabannya ternyata membikin ngilu: tidak ada! Tidak ada tempat di dunia ini yang benar-benar tanpa masalah. Jepang, negara paling makmur di dunia, itu juga berhadapan dengan gempa, tsunami dan taifun. Canada, negara sangat luas dengan penduduk sedikit itu sering terancam oleh badai salju dengan suhu minus 40 derajat. New Zealand negara yang jumlah dombanya sepuluh kali lipat manusianya, terancam oleh lubang Ozon yang semakin besar dan berakibat meningkatnya penderita kanker. Di Swiss, negeri Alpen yang amat terkenal produk susunya, dan sudah ratusan tahun tidak terlibat perang, berhadapan dengan masalah ledakan penduduk lanjut usia.

Benar kata Qur’an: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh; Dan jika mendapat kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa bencana mereka mengatakan: “Ini gara-gara kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. (Qs. 4-an-Nisa:78)

Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. (Qs. 67-al-Mulk:1-2)

Jadi yang perlu dicemaskan bukan potensi bencana itu sendiri, tetapi apa yang kita perbuat atasnya.

Kalau dulu guru dan orang tua kita mendoktrin anak-anak bahwa “kita harus banyak bersyukur kepada Tuhan, karena tanah air kita adalah negeri yang kaya sumberdaya alam”, maka mestinya sekarang dibalik, “Nak, Tuhanmu akan selalu menguji kita siapa yang terbaik amalnya. Negerimu ini amat banyak masalahnya, banyak daerah rawan bencana, banyak kemiskinan dan kejahatan, maka kamu harus rajin beribadah, banyak belajar dan bekerja keras ya nak!”.

Itu tugas setiap insan negeri ini secara individual. Kalau tugas pemerintah tentu tidak cuma itu. Mereka punya kekuasaan lebih. Mereka juga digaji besar – bahkan suka”tanduk” sendiri – jadi ya tentunya kontribusinya harus lebih.

Salah satu yang dapat dikerjakan pemerintah di semua level adalah melakukan pemetaan daerah rawan, agar masyarakat lebih “aware”. Dulu, sebelum banyak tsunami, yang sering dibuat adalah peta rawan longsor. Mungkin karena paling mudah, cukup melakukan analisis tumpang susun atas data lereng, tanah, vegetasi dan curah hujan.

Peta rawan tsunami pernah juga dibuat. Bahkan suatu proyek di BPPT pernah sampai menghitung, kalau tsunami menghantam suatu kota, berapa kerugian materiilnya. Sayang belum disimulasikan ke seluruh kota sepanjang patahan lempeng.

Peta semacam ini jelas perlu data topografi yang rinci. Ini tidak selalu tersedia. Peta dari UNOSAT (lembaga PBB untuk pemanfaatan citra satelit bagi kemanusiaan) tentang daerah rawan erupsi Merapi menggambarkan bahwa lahar akan mencapai kota Yogya dan Solo. Mungkin mereka tidak sengaja ngawur, hanya data yang dimiliki terlalu kasar.

Beberapa tahun lalu, kantor Seswapres pernah membuat Peta Kemiskinan. Saya usul agar peta itu ditingkatkan menjadi Peta Rawan Kemiskinan. Artinya, ada daerah-daerah yang sekarang ini tidak miskin. Namun cadangan kapital di sana begitu minim, sehingga begitu ada bencana, atau ada kebijakan publik yang tidak populer (kenaikan BBM, impor beras), maka tiba-tiba penduduk di daerah itu jatuh miskin.

Di sepanjang jalan utama kota-kota kita juga bisa rawan. Kalau rawan kecelakaan lalu lintas atau rawan kecopetan, ini perlu analisis dari data sosial. Namun ada juga yang lebih sederhana: rawan kejatuhan pohon yang patah! Banyak jalur utama yang ditanami pepohonan yang gampang tumbuh, daunnya rimbun dan tidak berbuah (supaya tidak dipanjat orang). Namun pohon semacam ini setelah sekian tahun mulai getas, kena hujan angin bisa patah. Kalau patah dan menimpa orang, ya bisa saja orangnya mati. Di Kebun Raya Bogor hal ini pernah terjadi. Karena itu, mestinya di level pemerintah daerah juga ada pemetaan pohon-pohon rawan patah …

Kalau yang kecil-kecil seperti ini sudah dikerjakan, maka untuk yang besar-besar tentunya akan lebih mudah, karena sudah belajar. Tetapi nanti yang besar-besar harus diprioritaskan. Kata Qur’an:

Jika kamu menjauhi kesalahan-kesalahan besar di antara yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kecilmu dan Kamu masukkan kamu ke tempat yang mulia. (Qs. 4-an-Nisa’:31)

Tidak ada yang lebih kecil dan tidak yang lebih besar daripada itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Qs. 10-Yunus:61)

Tsunami Belum Berlalu!

Tuesday, July 18th, 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal

Tsunami terjadi lagi.  Senin sore 17 Juli 2006 gempa tektonik berkekuatan di atas 6 Skala Richter di lepas pantai Ciamis mengakibatkan tsunami melanda pantai Pangandaran dan sekitarnya.  Sementara gempa ini tidak begitu dirasakan di daerah lainnya (yang barangkali di atas sub-lempeng yang berbeda), tsunami telah menghancurkan daerah wisata itu.  Puluhan jiwa dipastikan tewas dan lainnya dinyatakan hilang.  Orang masih bisa mengatakan, “Untung tsunami tidak terjadi saat puncak liburan sekolah kemarin”.  Perisitiwa ini mengingatkan kita pada tsunami di Maumere beberapa tahun yang silam.  Artinya, penyebab utama kehancurannya adalah tsunami, bukan gempanya itu sendiri.

Antara tsunami dan gempa hanya tersisa waktu beberapa menit.  Setelah gempa di dasar laut, pergerakan vertikal lempeng akan memicu gelombang air sangat pesat, yang dapat mencapai pantai dengan kecepatan ratusan kilometer per jam sesuai dengan topografi dasar laut.

Sayang proyek Tsunami Early Warning System (TEWS) yang didanai Jerman dan dikerjakan bersama oleh BPPT, BMG, Bakosurtanal dan lain-lain baru saja mulai.  Namun tsunami sudah datang lebih awal, tanpa menunggu sistem ini terbangun.  Walhasil, harap maklum bila masyarakat panik.

Sebenarnyalah, hampir seluruh pantai Samudra Hindia dari Aceh hingga NTT rawan tsunami.  Pantai itu persis di front terdepan perbatasan lempeng Indo-Australia dan Eurasia.  Maka sudah seharusnya bila di sepanjang garis rawan ini dipasangi jaring sistem peringatan dini tsunami, selain terus melatih penduduk secara teratur sampai tercipta suatu kebiasaan, suatu local wisdom terhadap tsunami, sebagaimana sudah terbentuk di kepulauan Simeulue.

Secara sederhana, TEWS itu akan bekerja seperti ini: sejumlah sensor akan bekerja sekaligus untuk memantau (1) pusat gempa (seismograf dipasang pada stasiun geofisika); (2) muka laut (dipasang pada stasiun pasang surut); dan (3) tekanan air di dasar laut (dipasang di dasar laut lepas pantai dan terhubung dengan buoy di permukaan laut).  Seluruh sensor akan memasok data ke suatu superkomputer melalui telekomunikasi satelit.

Ketika gempa terjadi, pertama-tama minimal tiga seismograf akan mengukur pusat gempa.  Dalam hitungan detik, bila akan terjadi tsunami, secara mendadak sensor muka laut akan mencatat perubahan tinggi muka laut, dan sensor dasar laut akan merasakan perubahan tekanan air.  Seluruh data ini akan diolah di superkomputer, dan dalam beberapa menit saja sudah akan disimpulkan apakah gempa itu akan menimbulkan tsunami.  Kalau ya, sampai batas mana tsunami itu akan menimbulkan kerusakan.

Keputusan itu dalam beberapa detik saja akan mengaktifkan sirene di daerah pantai yang terancam tsunami serta mengirim pesan pendek (sms) ke seluruh telepon seluler, terutama yang sedang berada di kawasan rawan.

TEWS tidak akan mencegah tsunami.  Namun TEWS akan memberi waktu sekitar 15 hingga 30 menit kepada penduduk di daerah bahaya untuk segera menyelamatkan diri.  Bila tata ruang di kawasan itu sudah diantisipasi sedemikian rupa, maka orang cukup mengungsi ke escapes area, yang dapat berupa perbukitan terdekat atau bangunan kokoh yang tingginya signifikan di atas tinggi gelombang tsunami.  Jadi peringatan dini ini tidak dalam hitungan hari atau minggu, tetapi menit!  Artinya tanpa adanya escapes area dan latihan sebelumnya, orang tidak akan siap untuk mengevakuasi diri secara cepat, dan TEWS yang berharga ratusan milyar itu tidak akan efektif.

Adanya potensi tsunami di daerah pantai selatan pasti telah membuat penghuninya kurang tenang.  Isu tsunami yang bakal melanda kota Padang telah memicu sejumlah penghuni pantai untuk menjual murah rumah dan tanahnya.  Sebenarnya, jauh sebelum kejadian tsunami di Aceh, banyak pakar telah memperkirakan suatu “efek domino” bila terjadi gempa di batas dua lempeng raksasa ini.  Tentu saja prediksi semacam ini sering dianggap paranoia ilmuwan.  Konsekuensinya memang luas.  Memang tidak mudah menata ulang kota-kota yang menghadap pantai selatan, dari Padang hingga Denpasar.  Namun apa mesti menunggu tsunami menghantam habis mereka?

Energi yang tersimpan dalam gerakan lempeng benua ini masih sangat banyak, masih cukup untuk membuat ribuan gempa dan ribuan tsunami.  Kita tidak akan mampu memaksa alam mengikuti keinginan kita.  Kitalah yang harus menyesuaikan diri hidup bersama mereka.  Mereka tidak pernah menunggu kesiapan kita.  Kitalah yang harus selalu menyiapkan diri, agar ketika mereka datang, bencana ini tidak menghabiskan modal kita.

Sebenarnya (bencana) itu akan datang kepada mereka dengan sekonyong-konyong lalu membuat mereka menjadi panik, maka mereka tidak sanggup menolaknya dan tidak (pula) mereka diberi tangguh. (Qs. 21-al-Anbiya’:40)

Bagi orang yang beriman, kepastian akan adanya maut yang tiba-tiba itu akan memotivasi mereka untuk selalu memaksimalkan amal sholehnya di dunia.  Ketika modal sirna, amal sholehlah yang tersisa.  Maka mereka tak menunggu modal hidup mereka hilang sia-sia tersapu bencana.  Mereka selalu menyiapkan diri, dengan memaksimalkan amal, agar ketika Yang Maha Kuasa menarik “pinjaman-Nya”, mereka dalam keadaan prima.

Dan jika (amalan itu) hanya seberat debupun pasti kami mendatangkan balasannya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan. (Qs. 21:47)