Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Belajar dari Negeri Para Mullah

Wednesday, January 2nd, 2013

Prof. Dr. Fahmi Amhar

“Pergi ke Iran mau ngapain?  Mau jadi syi’ah?”, tanya seseorang.  Pertanyaan tak serius ini tentu saja saya jawab dengan canda, “Lho saya kan sudah Ayatollah!”.

Ada juga canda yang lain, “Kalau belum menikah memang seharusnya ke Iran dulu, biar tidak menyesal …”.  Konon sejak revolusi Islam, wanita Iran tidak boleh ikut seleksi wanita cantik sejagad seperti Miss Universe.  Hal ini karena di Iran tidak ditemukan satupun wanita cantik.  Adanya wanita amat cantik dan wanita cantik sekali …

Pertengahan tahun 2011, saya ke Iran diundang presentasi oleh International Conference on Sensors & Models of Photogrammetry & Remote Sensing di College of Engineering University of Teheran.  Keputusan jadi berangkat diambil dua hari sebelumnya, setelah dipastikan kita bebas visa untuk seminggu.  Meski jarang turis “nyasar” ke Iran karena berbagai travel warning dan citra Iran yang dibuat buruk media Barat, namun menurut saya ada dua hal yang perlu dipelajari dari negeri para Mullah ini.  Pertama, tentang dunia sains di Iran yang tetap maju ditengah-tengah kesulitan akibat embargo yang dijatuhkan dunia. Kedua, realitas kehidupan sehari-hari di sebuah Republik Islam.

 

Tentang dunia sains di Iran:

Iran beruntung memiliki warisan kejayaan Islam masa lalu, bahkan juga dari masa pra Islam.  Ingat, Salman al Farisi RA adalah sudah insinyur ketika dia masuk Islam.  Nama-nama intelektual besar Islam seperti al-Khawarizmi, Ibnu Sina dan Umar Khayam, “hadir” dalam kehidupan sehari-hari.  Banyak jalan atau lapangan dinamai dengan tokoh-tokoh itu.  Iran bahkan memberi penghargaan tahunan “Al-Khawarizmi Award” bagi ilmuwan muslim dunia yang dianggap berprestasi dalam inovasi teknologi.  Setiap tahun mereka juga mengundang seluruh negeri Islam dalam sebuah pameran internasional sains dan teknologi.

Dalam conference ini, saya melihat bahwa kualitasnya masih di atas rata-rata conference sejenis yang diadakan di Indonesia.  Tidak cuma bahwa sebuah konferensi ilmiah internasional diawali dengan pembacaan al-Qur’an, tetapi presentasi para peneliti Iran, termasuk yang masih mahasiswa benar-benar mengambil thema yang tidak mudah, meski banyak batasan yang mereka alami.  Sebagai contoh, ada ilmuwan Iran yang membuat sebuah alat yang dicangkokkan pada sebuah alat yang lebih besar buatan perusahaan Austria, Vexcel, untuk dipasarkan ke seluruh dunia.  Tiba-tiba Vexcel dibeli Microsoft.  Maka kerjasama dengan Vexcel otomatis batal, karena bila diteruskan, Microsoft akan kena UU Embargo.  Dalam UU itu, semua perusahaan Amerika yang berhubungan dengan Iran akan dihukum.  Kini Iran mencoba bekerja sama dengan China untuk alat yang serupa.

Namun kesulitan itu makin membuat Iran tertantang.  Kata beberapa teknisi PTDI yang diperbantukan di industri pesawat Iran, mereka benar-benar “diperas ilmunya” selama di Iran.  Ini sikap yang sangat berbeda dengan kita di Indonesia terhadap expatriat.  Tak heran, nyaris tanpa pertolongan negara lain, tahun 2009 mereka sudah berhasil membuat roket yang dapat membawa satelit komunikasi ke orbit.  Kalau Iran berhasil membuat bom atom, maka dengan roket tersebut Iran pasti akan dapat menjatuhkan bom ke mana pun di seluruh dunia.  Oleh karena itulah, Amerika dan sekutunya makin kencang dalam membatasi gerak gerik Iran.  Hal yang sejenis barangkali akan terjadi ketika Khilafah, yang mungkin jauh lebih “berbahaya” bagi Barat daripada Iran, diproklamasikan di sebuah negeri Islam.

Tentang realitas Republik Islam:

Di negeri ini internet disensor.  Semua link berbau pornografi akan otomatis dialihkan ke situs yang menyediakan informasi ajaran Islam.  Namun pasca keributan seputar pemilu 2009, situs seperti facebook, twitter, youtube dan banyak lainnya juga diblokir.

Di jalan-jalan tidak ada baliho iklan dengan gambar wanita.  Di televisi juga tidak ada film Hollywood ataupun konser dengan biduanita yang tidak menutup aurat.

Di jalanan, berlaku aturan berpakaian Islam.  Bahkan wanita peserta conference dari Russia pun begitu masuk imigrasi di bandara sudah harus berpakaian tertutup.  Minimal bercelana panjang, blazer dan kerudung menutup rambut dan leher.  Kadang sedikit rambut depan masih terlihat, namun ini tak masalah dalam fiqih syiah, karena dianggap bagian wajah yang biasa terlihat.  Namun ada juga yang menambah dengan chador, kerudung besar (setengah lingkaran dengan radius setinggi badan) warna hitam yang diselimutkan dari kepala dan menjuntai ke tanah.  Agar tak lepas, chador ini harus selalu dipegang.  Kalau wanita itu mencangklong tas, tas itu akan tertutup chadornya.  Konon, hanya di kota suci Qom yang nyaris seluruh wanitanya memakai chador.

Di bus tempat penumpang wanita di depan, laki-laki di belakang.  Untuk kereta ada gerbong khusus wanita.  Transportasi umum di Iran sangat murah.  Tiket bus 1000 Riyals (sekitarr Rp. 800) dan Metro hanya 2000 Riyals.  Bensin hampir sama dengan di Indonesia, 4500 Riyals, tetapi ada quota.  Setiap kendaraan dijatah sehari 2 liter, angkutan umum/usaha 10 liter.  Di SPBU ada card-reader.  Kalau jatah habis maka berlaku harga 7000 Riyals.  GDP perkapita US$ 10.800, lebih dari 3x Indonesia.

Di Teheran tak ada jaringan toko atau restoran cepat saji internasional.  Jadi jangan mencari KFC atau McDonald.  Pepsi atau CocaCola saja amat terbatas, apalagi khamr.  Mungkin ada satu dua di pasar gelap, tapi yang jelas tidak ada di toko resmi.  Demikian juga Hotel seperti Hilton.  Sejak embargo ekonomi pasca revolusi Islam, Iran bisa hidup tanpa simbol-simbol modernitas seperti itu.  Banyak pengusaha Barat hengkang karena mengkhawatirkan perang atau pertumbuhan negatif.  Apalagi, sejak revolusi Islam, terbit Undang-undang perbankan bebas riba.  Walhasil, kartu kredit seperti Visa atau Mastercard juga tidak bisa dipakai.  Namun pasar-pasar Iran tetap ramai.  Satu jalan panjang penuh dengan penjual spareparts kendaraan.  Di tempat lain penuh dengan penjual baju atau barang-barang hobby.  Banyak merek yang hanya ada di Iran.  Usaha Kecil dan Menengah booming.  Konon perdagangan dengan negara yang netral terhadap politik Iran amat deras, misalnya dengan Jepang, Perancis atau China.  Cash dibayar dengan devisa dari expor, terutama migas.  Iran mungkin negara tanpa utang luar negeri.

Jalan-jalan di Teheran juga relatif bersih, memberi tempat yang cukup untuk pejalan kaki, pokoknya lebih nyaman dari Jakarta, walaupun masih jauh dari Singapura.  Tetapi air PAM dapat langsung diminum.  Di dekat masjid Imam Khomeini bahkan ada zona pejalan kaki yang sangat luas dan nyaman karena dinaungi pohon-pohon rindang.

Namun memang bagi turis pemburu hiburan, di Iran nyaris tak ada hiburan.  Ini yang juga dikeluhkan generasi muda Iran yang lahir pasca revolusi tapi pernah keluar negeri.  Mereka menginginkan kebebasan.  Mereka belum pernah merasakan, bagaimana Iran sangat menderita di masa Syah Reza Pahlevi.  Raja zalim itu ingin membuat Iran negara paling sekuler dan liberal, namun pada saat yang sama dia sangat koruptif dan menjalankan politik negara intel.  Hingga awal 1979, jarang orang percaya bahwa Raja yang amat berkuasa itu dapat digulingkan oleh ulama sepuh yang telah diasingkan 15 tahun.

Tak ada setahun pasca jatuhnya Syah Iran, dilakukan referendum, dan 90% rakyat Iran setuju dengan sebuah konstitusi baru yang dibuat Ayatullah Khomeini.  Dalam konstitusi itu, pemimpin tertinggi Iran (Imam) dipilih dari dan oleh Dewan Ulama (Wilayatul Faqih).  Imam ini yang menjadi panglima tertinggi angkatan perang, mengangkat para hakim serta setengah anggota Dewan Penjaga Revolusi yang mirip Mahkamah Konstitusi.  Sementara itu Presiden dipilih rakyat untuk menjalankan pemerintahan. Parlemen membuat UU, namun dapat dicabut oleh Imam atas saran Dewan Penjaga Revolusi, bila dianggap bertentangan dengan Islam.  Bila Presiden hanya berkuasa 4 tahun dan boleh dipilih sekali lagi, maka Imam mengabdi seumur hidup.  Dalam ajaran syi’ah, masalah Imamat adalah bagian dari rukun iman.  Dalam ajaran sunni, masalah kepemimpinan atau Khilafah adalah “min ma’luman bid dharurah”, tetapi bukan bagian rukun iman.  Jadi kira-kira Imam adalah Khalifah, dan Presiden adalah Muawin Tafwidh, meski masih banyak bedanya.

Tetapi memang banyak kejutan dengan syi’ah ini.  Begitu mendengar adzan, ada beberapa sisipan yang tidak lazim kita dengar, misalnya “Asyhadu an Ali Waliyullah! Asyhadu an Ali Hujatullah” dan “Hayya alal khoiru amal”.  Di masjid jadi kikuk.  Pernah orang KBRI sholat di masjid, karena mungkin “aneh” bagi orang sana, dia sampai difoto oleh intel masjid.  Mungkin jaga-jaga, “ada penyusup sunni”.

Khutbah Jum’at juga lebih mirip orasi politik.  Kadang ada yel-yel yang diteriakkan, “Hancurkan Amerika!”.  Ini yang kadang ditakutkan oleh negeri-negeri Islam lainnya  Maka undangan beasiswa ke Iran sering ditanggapi dingin oleh pemerintah kita.  Namun demikian, dari Indonesia saja, kini ada 300 mahasiswa yang belajar agama di kota Qom.  Apakah mereka akan dicuci otak dan jadi agen syiah di Indonesia?  Atau mereka justru tertarik dengan wanita Iran yang menurut seorang mahasiswa yang terpental dari Qom (mungkin gagal dicuci otaknya): “memang cantik sekali, tapi kalau tidak matre , ya sangat syi’ah ” :-).

** ini re-published ** sepertinya pernah saya tulis di Notes, tapi koq tidak ketemu lagi ya ?

Kekuatan Ekonomi Dunia Islam

Monday, February 5th, 2007
Berapa besar kekuatan umat Islam bila bersatu?  Sanggupkah dia dihadapkan pada adidaya Amerika Serikat?  Dapatkah dia bertahan bila diembargo?  Mampukah dia menang dalam perang?  Ini pertanyaan-pertanyaan yang kadang hinggap di benak kaum muslim bila melihat peta dunia saat ini. 

Kita memang memiliki beberapa keunggulan seperti keunggulan aqidah, syariah, posisi geografis, sumber daya alam, dan jumlah penduduk.  Namun secara empiris berapa sebenarnya kekuatan itu?

 Data Dunia Islam

Di antara lembaga yang mengumpulkan data seperti itu adalah Statistical, Economic, and Social Research & Training Center for Islamic Countries (SESRTC) di Turki.  Data yang dikumpulkan dapat diakses melalui alamat: www.sesrtcic.org/statistics/byindicators.php

Meski sudah menolong, namun database ini belum lengkap ataupun 100% akurat.  Ada peluang over- atau under-estimated.  Informasi di negeri-negeri Islam memang langka atau simpang siur.  Banyak pemerintah yang menutup-nutupi informasi dengan berbagai motif.  Oleh sebab itu, data di sini harus dipandang sebagai taksiran atau pendekatan awal.

Untuk menjembatani beberapa negara yang datanya tidak tersedia, dalam mengolah data ini terkadang dipakai angka maksimum atau rerata dari data beberapa tahun terakhir.

Dewasa ini ada 57 negara yang ada dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).  Negara-negara ini dijuluki ”dunia Islam”, karena penduduknya mayoritas atau 50% lebih muslim.  Jadi sekitar 148 juta muslim India (13,4% populasi) dan 26 juta muslim Cina (2% populasi) belum terhitung.

Menurut CIA the World Factbook dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Economy_of_the_OIC produk domestik bruto (GDP) dunia Islam adalah US$ 5,54 triliun US$ pertahun atau setara 9,14% GDP dunia.  Untuk perbandingan GDP Uni Eropa atau AS adalah sekitar 12 triliun US$.

Bila dibagi penduduknya yang pada 2005 ditaksir 1,24 miliar didapatkan GDP/capita sebesar US$ 4.454/tahun, atau dengan kurs sekarang Rp 3,3 juta/orang per bulan.  Namun distribusi harta ini amat tidak merata.  GDP/capita tertinggi diraih Uni-Emirat Arab (US$ 45.200/tahun atau Rp 34 juta/bulan) dan terrendah di Somalia (US$ 600/tahun (Rp 450.000/bulan).

Luas wilayah 57 negara OKI ini adalah 32 juta km2, lebih luas dari AS atau Uni Eropa.  Kepadatan penduduk rata-ratanya adalah 38 orang per kilometer persegi.  Kepadatan tertinggi ada di Bahrain yang hanya”negara kota”, yaitu 1055 jiwa per Km-persegi, diikuti Maladewa (933), Bangladesh (817) dan Palestina (626).  Mereka harus berdesakan di tempat yang sempit, padahal bumi Allah sangat luas.

Memang area luas ini baru bermakna bila produktif.  Di satu sisi banyak bumi Islam itu berupa gurun pasir yang belum dihidupkan.  Karena itu perlu ditinjau sejumlah indikator vital, seperti produksi minyak, bahan pangan, baja dan sebagainya. 

 IndikatorProduk Vital

Barangkali untuk analisis ekonomi yang komprehensif diperlukan seluruh parameter dalam statistik, namun mengingat tidak untuk setiap item tersedia data di seluruh negara serta belum adanya pembobotan yang disepakati, maka dipilih produksi minyak mentah sebagai sumber energi utama (meski di sejumlah negara tersedia sumber energi lain), lalu biji-bijian dan daging sebagai bahan pangan, dan baja untuk indikator industrialisasi. 

Produksi minyak mentah tahun 2004 total sekitar 9,2 Milyar Barrel per tahun.  Kalau ini dibagi populasi, akan didapat angka 3,2 liter per orang per hari.  Sekedar pembanding, di Indonesia saat ini yang penggunaan energinya belum efisien, konsumsi BBM masih sekitar 0,82 liter per orang per hari.

Sementara itu produksi biji-bijian makanan pokok adalah 240,3 juta ton.  Kalau dibagi populasi, didapat angka 0,529 kg per orang per hari.  Meski ini masih di bawah kebutuhan rata-rata (menurut FAO) yakni 750 gram per orang per hari, namun insya Allah ancaman kelaparan tidak terjadi.  Apalagi teknologi pertanian masih bisa ditingkatkan dan umat Islam biasa puasa.

Sementara itu untuk produksi daging ditaksir 19,5 juta ton.  Kalau ini dibagi dengan populasi, akan didapat angka 15,7 kg daging per orang per tahun, atau 42 gram per orang per hari.  Sebuah angka yang lumayan untuk komposisi gizi harian, mengingat sumber protein kita seharusnya bervariasi antara daging, ikan, unggas atau nabati. 

Setelah energi dan pangan, baja adalah produk vital yang jadi modal dasar industri dan konstruksi.  Produksi baja di dunia Islam ditaksir baru 60 juta ton per tahun.  Bila setengahnya dipakai untuk konstruksi (gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik &  telekomunikasi), mesin pabrik, kereta api, kapal dan persenjataan, lalu setengahnya untuk memproduksi mobil berbobot rata-rata 2 ton, maka ini baru menghasilkan 15 juta mobil.  Angka yang kecil untuk 1,2 milyar populasi, karena bila satu keluarga rata-rata terdiri dari 4 orang, akan ada 300 juta keluarga.  Jadi baru setelah 20 tahun setiap keluarga itu akan memiliki mobil baru.

Kalau cerdas, keterbatasan produksi itu malah mendorong inovasi agar efisien, misal dengan transportasi massal kereta super ringan, atau menggalakkan sepeda yang selain hemat juga baik untuk kesehatan.

Kenyataannya, saat ini sumber daya negeri-negeri Islam banyak diekspor, sering dengan nilai tukar amat rendah karena kandungan teknologinya rendah.  Contoh, tahun 1980, sebuah negeri muslim menukar 12910 karung kopi untuk satu lokomotif dari Swiss.  Tahun 1990, untuk lokomotif serupa mereka harus menukar 45800 karung!

Neraca perdagangan dunia Islam sebenarnya positif (1042,9 Milyar US$ ekspor – 733,7 Milyar US$ impor).  Namun dari jumlah ini, yang merupakan ekspor ke sesama dunia Islam hanya 113 Milyar US$ dan impor 118 Milyar US$.  Jadi ketergantungan ke luar dunia Islam sangat besar.  Bila ini dibiarkan akan jadi kendala saat Kesatuan Islam di bawah Daulah Khilafah diserukan dan lalu diembargo dari luar.

 

Sumber Daya Non-tangible

Selain sumber daya yang terukur dalam bentuk materi, terdapat sumber daya non-tangible yang tak dapat langsung terukur, misalnya SDM terdidik, organisasi (jejaring) dan informasi (pengalaman) yang terkumpul.  Sumber daya ini terukur dengan melihat data penduduk melek huruf, rasio yang masuk perguruan tinggi, bagian pemerintah pada penciptaan GDP dan distribusi penghasilan.

Angka melek huruf pada orang dewasa di dunia Islam baru 69%!  Inipun masih dengan bahasa nasional masing-masing (Arab, Persi, Urdu, Turki, Perancis, Russia, Melayu, dll.). 

Sedang rasio yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi baru 15% dari lulusan SLTA.  Inipun masih di luar soal mutu asal-asalan dari pendidikan sekuler yang kapitalistik.

Bagian pemerintah dalam penciptaan GDP menggambarkan tingkat partisipasi rakyat pada aktivitas ekonomi.  Makin tinggi sharing pemerintah, makin rentan ekonomi negeri itu pada gejolak.  Idealnya pemerintah bertindak mengatur urusan umat dengan syariat, bukan sebagai pelaku bisnis yang bertindak dengan pertimbangan ekonomi.  Di dunia Islam, pemerintah rata-rata masih berperan hingga 35% dalam aktivitas ekonomi.  Ekonomi Sudan atau Guyana yang dilanda perang bahkan praktis 100% mengandalkan pemerintah.  Pemerintah Brunei memegang 84% GDP karena produk utamanya minyak – semua milik raja yang memerintah. 

Dalam hal ekonomi terkait SDA yang besar seperti minyak, angka-angka statistik boleh jadi akan rancu antara pemerintahan feodalistik, sosialistik dan Islami, di mana minyak masuk kepemilikan umum yang harus dikelola pemerintah – namun bukan terus dibisniskan.

Partisipasi rakyat juga terlihat pada distribusi penghasilan.  Kalau menggunakan batas miskin tiap negara, maka angka kemiskinan rata-rata adalah 38,65%.  Namun bila menggunakan standar Bank Dunia yaitu US$ 2 per orang per hari, maka 50% jatuh di bawah garis (UNDP Human Development Report 2006).  Yang terparah Nigeria (92,4%), yang terbaik Iran (7,3%)

 Menyatukan Ekonomi Dunia Islam

Dengan berbagai cara, ekonomi dunia Islam ini telah berkali-kali dicoba disatukan.  OKI telah gagal.  Pakta selatan-selatan – yang melibatkan negara-negara Amerika Latinpun gagal.  Percobaan terakhir adalah dengan kelompok D-8 (Development-Eight), yang terdiri dari Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Mesir, Nigeria, Pakistan dan Turki.  Realitasnya, pengaruh D-8 ini bahkan lebih kecil dari kelompok semacam ASEAN, apalagi terhadap G-8, yakni negara-negara industri maju (AS, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Itali, Jepang dan Russia) yang merupakan 65% dari ekonomi dunia.

Penyebabnya kegagalannya terlalu banyak, mulai dari ego-nasionalisme tiap negara, para pemimpinnya yang tidak benar-benar kapabel maupun independen (menjadi boneka negara besar), hingga produk antar negara yang terlalu mirip sehingga tidak saling melengkapi. 

Tanpa suatu perubahan yang fundamental dalam cara berpikir di dunia Islam, yaitu cara berpikir tentang visi dan missi negeri mereka di dunia, rasanya sulit akan ada sinergi dari penyatuan ekonomi dunia Islam.

Dengan perubahan paradigma itu akan ada upaya-upaya di masyarakat tiap negeri untuk tak sekedar jadi ”lahan” negara-negara maju, tetapi jadi agen perubahan ke dunia yang diridhai Allah.  Perlahan namun pasti mereka mereformasi cara berpikir, bersikap serta ikatan-ikatan yang selama ini menjadikan mereka berbangsa dan bernegara. 

Kemudian suatu negara yang masyarakat serta kekuatan politik-militernya paling siap, akan memimpin mendeklarasikan berdirinya negara baru, Daulah Khilafah.  Negara di saat awal akan menunjukkan kinerjanya, sebagai negara yang adil dan benar-benar merdeka, sambil mengajak negeri-negeri muslim lain untuk bergabung.  Ketika rakyat negeri lain melihat bahwa dengan bergabung itu terbuka peluang luas untuk berkehidupan yang lebih baik, maju dan kuat sehingga mampu memimpin dunia, mereka akan mendesak pemerintah masing-masing untuk bergabung ke Daulah Khilafah. 

Satu demi satu negeri Islam akan masuk ke dalam Khilafah, seperti dulu bergabungnya daerah-daerah Hindia Belanda ke Republik Indonesia, atau kini bergabungnya negara-negara Eropa ke Uni Eropa.  Kekuatan dunia Islam yang bersatu di bawah Daulah Khilafah akan jadi realita, bahkan lebih besar lagi, jika sistem Islam telah mengoptimasi pengaturan seluruh potensi alam maupun manusia di dalamnya, serta muslim-muslim terbaik yang selama ini ada di negara-negara maju ramai-ramai pulang untuk membaktikan dirinya demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin.


 Penulis: Dr. Fahmi Amhar, dosen pascasarjana Universitas Paramadina.