Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Posisi Zakat dalam Pemberdayaan Sosial

Friday, November 2nd, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Ekonomi Islam – Pusat Studi & Khazanah Ilmu-ilmu Islam (PSKII)

Adalah kecenderungan yang wajar bila para penggiat zakat selalu ingin melihat bahwa “zakat adalah segalanya”, seperti halnya para penggiat sholat melihat “sholat adalah segalanya” – sehingga mereka menghabiskan waktunya untuk sholat baik yang wajib maupun yang sunnah.

Ketika orang ingin melihat bahwa zakat adalah kunci untuk semua problema kemiskinan, maka zakat akan digenjot habis-habisan, dipopulerkan dengan ilmu marketing, dioptimalkan dengan sistem informasi, diperluas dengan aneka zakat profesi, dan dikeluarkan dengan berragam teknik pemberdayaan sosial, baik di bidang pendidikan, kesehatan maupun sosial.

Karena itu agak mengejutkan ketika saat acara buka puasa di Bappenas, tokoh ekonomi Islam Dr. M. Syafi’i Antonio mengatakan bahwa dalam pemberdayaan sosial sebenarnya zakat hanya ada pada posisi ke-tiga.  Sambil berseloroh, beliau menambahkan, “Wah ini bid’ah apalagi?”

Namun beliau kemudian menjelaskan, bahwa pertama, pemberdayaan sosial sesungguhnya harus bersandar pada aktivitas ekonomi, tepatnya ekonomi syariah.  Tanpa aktivitas ekonomi, tidak akan ada akumulasi harta, dan berarti tidak akan ada yang bisa dizakatkan.  Ekonomi syariah adalah ekonomi dengan paradigma yang amat berbeda, mulai dari asal-usul kepemilikan yang sah, teori manfaat, teori harga, problema ekonomi dan sebagainya.  Pada tataran praktis: ekonomi syariah adalah ekonomi yang seluruh transaksinya syar’ie, mulai dari soal jual-beli, pinjam-meminjam, berserikat bisnis dan sebagainya.  Ekonomi syariah tidak sekedar ekonomi para penjual buku Islam, asessori Islam atau penyelenggara wisata ruhiyah, umroh dan haji, sebagaimana terlihat dalam SYARI’AH EXPO di Jakarta belum lama ini.  Ekonomi syariah juga tidak sekedar ekonomi tanpa riba dan judi, karena syariah mengatur lebih banyak lagi, misalnya bagaimana kepemilikan pada sumber daya alam yang besar seperti tambang, hutan atau laut; bagaimana mengatur fiskal dan moneter; bagaimana peran negara; dan seterusnya.

Ekonomi syariah harus menggantikan seluruh sistem ekonomi kapitalis yang terlanjur mendarahdaging di negeri-negeri Islam, baik level mikro maupun makro.  Ini tentu tantangan besar bagi para ahli ekonomi Islam untuk bersama-sama mensyariahkan ekonomi nasional.

Pilar yang kedua menurut Syafi’i adalah sistem nafkah.  Sistem nafkah adalah jejaring sosial yang ampuh untuk menjaga keberlangsungan masyarakat.  Pada sistem nafkah Islam, setiap lelaki akil baligh yang mampu bekerja terkena kewajiban mencari nafkah.  Sedang yang mereka yang tidak mampu, mereka akan dinafkahi oleh kerabat dekat yang juga ahli warisnya.  Sistem ini terbukti lebih efektif dari sistem asuransi sosial yang ada di Barat saat ini.  Pada sistem asuransi, hubungan kekerabatan tak perlu ada, sehingga timbul kecenderungan menurunnya peran keluarga dan bahkan trend yang mengarah ke tidak menikah atau orang tua tunggal (single parent).  Kondisi ini pada jangka panjang akan berakibat punahnya populasi.  Di sisi lain, sistem Islam memberi wewenang pada negara untuk intervensi ketika ada orang yang menelantarkan tanggungannya.  Negara bisa mengambil paksa hak nafkah tersebut atau mengambil alih tanggungjawab ketika seseorang sudah tidak memiliki siapapun.  Karena itu dalam sistem nafkah Islam, mestinya tidak perlu ada orang yang terjebak situasi sehingga mencari sesuap nasi sebagai pengemis, gelandangan atau pelacur.

Pilar yang ketiga barulah zakat.  Zakat adalah mekanisme non ekonomi (karena ia adalah ibadah) dan non nafkah (karena tidak diberikan pada orang yang menjadi tanggungan).  Jadi zakat adalah katup terakhir pemberdayaan sosial.  Karena itu wajar jika efektifitas zakat amat tergantung dari sejauh mana ekonomi syariah maupun sistem nafkah berfungsi.

Dalam hitungan kasar saja: jumlah orang miskin di Indonesia standar Bank Dunia ada 100 juta orang.  Kalau untuk memberdayakan mereka rata-rata diperlukan Rp. 1 juta / orang / tahun saja, itu berarti Rp 100 Trilyun.  Sementara PDB kita diperkirakan sekitar Rp. 3600 Trilyun.  Kalau semua ini dipukulrata dizakati 2,5% maka baru didapat Rp. 90 Trilyun!  Jelas masih kurang! Belum kalau melihat bahwa harta itu banyak yang ada di tangan non muslim yang tidak wajib zakat.  Realitanya saat ini zakat yang terkumpul melalui Laznas tak pernah mencapai Rp. 1 Trilyun!

Itulah karena saat ini ekonomi syariah baru berjalan atas kesadaran masing-masing.  Di lapangan, ekonomi syariah dipaksa bersaing dengan ekonomi ribawi.  Walhasil, setelah 16 tahun perbankan syariah di Indonesia, assetnya masih kurang dari 2% asset perbankan nasional.  Sementara itu  negara juga praktis tidak pernah intervensi bila ada rakyat yang tidak mendapatkan hak nafkahnya.

Maka dalam posisi inilah, peran zakat yang semula nomor tiga dipaksa naik menjadi nomor satu.  Itupun masih dalam basis kesadaran masing-masing.  Belum ada aturan apapun yang memberi sanksi pada penunggak zakat, sebagaimana tak ada sanksi atas pelaku ekonomi ribawi atau penunggak nafkah.

Dengan kondisi seperti ini, berharap zakat menjadi tulang punggung pemberdayaan sosial memang seperti mimpi.  Memang perjuangan apapun selalu bermula dari mimpi.  Namun kalau perjuangan ini diintegrasikan dengan perjuangan penerapan kembali syariat Islam termasuk dalam bidang-bidang ekonomi, maka tidak sulit menjadikan mimpi ini kenyataan.

 

(ditulis untuk Bulletin Yayasan Pembina Keluarga Remaja Islam Magelang, Nov. 2007)

Kekuatan Ekonomi Dunia Islam

Monday, February 5th, 2007
Berapa besar kekuatan umat Islam bila bersatu?  Sanggupkah dia dihadapkan pada adidaya Amerika Serikat?  Dapatkah dia bertahan bila diembargo?  Mampukah dia menang dalam perang?  Ini pertanyaan-pertanyaan yang kadang hinggap di benak kaum muslim bila melihat peta dunia saat ini. 

Kita memang memiliki beberapa keunggulan seperti keunggulan aqidah, syariah, posisi geografis, sumber daya alam, dan jumlah penduduk.  Namun secara empiris berapa sebenarnya kekuatan itu?

 Data Dunia Islam

Di antara lembaga yang mengumpulkan data seperti itu adalah Statistical, Economic, and Social Research & Training Center for Islamic Countries (SESRTC) di Turki.  Data yang dikumpulkan dapat diakses melalui alamat: www.sesrtcic.org/statistics/byindicators.php

Meski sudah menolong, namun database ini belum lengkap ataupun 100% akurat.  Ada peluang over- atau under-estimated.  Informasi di negeri-negeri Islam memang langka atau simpang siur.  Banyak pemerintah yang menutup-nutupi informasi dengan berbagai motif.  Oleh sebab itu, data di sini harus dipandang sebagai taksiran atau pendekatan awal.

Untuk menjembatani beberapa negara yang datanya tidak tersedia, dalam mengolah data ini terkadang dipakai angka maksimum atau rerata dari data beberapa tahun terakhir.

Dewasa ini ada 57 negara yang ada dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).  Negara-negara ini dijuluki ”dunia Islam”, karena penduduknya mayoritas atau 50% lebih muslim.  Jadi sekitar 148 juta muslim India (13,4% populasi) dan 26 juta muslim Cina (2% populasi) belum terhitung.

Menurut CIA the World Factbook dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Economy_of_the_OIC produk domestik bruto (GDP) dunia Islam adalah US$ 5,54 triliun US$ pertahun atau setara 9,14% GDP dunia.  Untuk perbandingan GDP Uni Eropa atau AS adalah sekitar 12 triliun US$.

Bila dibagi penduduknya yang pada 2005 ditaksir 1,24 miliar didapatkan GDP/capita sebesar US$ 4.454/tahun, atau dengan kurs sekarang Rp 3,3 juta/orang per bulan.  Namun distribusi harta ini amat tidak merata.  GDP/capita tertinggi diraih Uni-Emirat Arab (US$ 45.200/tahun atau Rp 34 juta/bulan) dan terrendah di Somalia (US$ 600/tahun (Rp 450.000/bulan).

Luas wilayah 57 negara OKI ini adalah 32 juta km2, lebih luas dari AS atau Uni Eropa.  Kepadatan penduduk rata-ratanya adalah 38 orang per kilometer persegi.  Kepadatan tertinggi ada di Bahrain yang hanya”negara kota”, yaitu 1055 jiwa per Km-persegi, diikuti Maladewa (933), Bangladesh (817) dan Palestina (626).  Mereka harus berdesakan di tempat yang sempit, padahal bumi Allah sangat luas.

Memang area luas ini baru bermakna bila produktif.  Di satu sisi banyak bumi Islam itu berupa gurun pasir yang belum dihidupkan.  Karena itu perlu ditinjau sejumlah indikator vital, seperti produksi minyak, bahan pangan, baja dan sebagainya. 

 IndikatorProduk Vital

Barangkali untuk analisis ekonomi yang komprehensif diperlukan seluruh parameter dalam statistik, namun mengingat tidak untuk setiap item tersedia data di seluruh negara serta belum adanya pembobotan yang disepakati, maka dipilih produksi minyak mentah sebagai sumber energi utama (meski di sejumlah negara tersedia sumber energi lain), lalu biji-bijian dan daging sebagai bahan pangan, dan baja untuk indikator industrialisasi. 

Produksi minyak mentah tahun 2004 total sekitar 9,2 Milyar Barrel per tahun.  Kalau ini dibagi populasi, akan didapat angka 3,2 liter per orang per hari.  Sekedar pembanding, di Indonesia saat ini yang penggunaan energinya belum efisien, konsumsi BBM masih sekitar 0,82 liter per orang per hari.

Sementara itu produksi biji-bijian makanan pokok adalah 240,3 juta ton.  Kalau dibagi populasi, didapat angka 0,529 kg per orang per hari.  Meski ini masih di bawah kebutuhan rata-rata (menurut FAO) yakni 750 gram per orang per hari, namun insya Allah ancaman kelaparan tidak terjadi.  Apalagi teknologi pertanian masih bisa ditingkatkan dan umat Islam biasa puasa.

Sementara itu untuk produksi daging ditaksir 19,5 juta ton.  Kalau ini dibagi dengan populasi, akan didapat angka 15,7 kg daging per orang per tahun, atau 42 gram per orang per hari.  Sebuah angka yang lumayan untuk komposisi gizi harian, mengingat sumber protein kita seharusnya bervariasi antara daging, ikan, unggas atau nabati. 

Setelah energi dan pangan, baja adalah produk vital yang jadi modal dasar industri dan konstruksi.  Produksi baja di dunia Islam ditaksir baru 60 juta ton per tahun.  Bila setengahnya dipakai untuk konstruksi (gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik &  telekomunikasi), mesin pabrik, kereta api, kapal dan persenjataan, lalu setengahnya untuk memproduksi mobil berbobot rata-rata 2 ton, maka ini baru menghasilkan 15 juta mobil.  Angka yang kecil untuk 1,2 milyar populasi, karena bila satu keluarga rata-rata terdiri dari 4 orang, akan ada 300 juta keluarga.  Jadi baru setelah 20 tahun setiap keluarga itu akan memiliki mobil baru.

Kalau cerdas, keterbatasan produksi itu malah mendorong inovasi agar efisien, misal dengan transportasi massal kereta super ringan, atau menggalakkan sepeda yang selain hemat juga baik untuk kesehatan.

Kenyataannya, saat ini sumber daya negeri-negeri Islam banyak diekspor, sering dengan nilai tukar amat rendah karena kandungan teknologinya rendah.  Contoh, tahun 1980, sebuah negeri muslim menukar 12910 karung kopi untuk satu lokomotif dari Swiss.  Tahun 1990, untuk lokomotif serupa mereka harus menukar 45800 karung!

Neraca perdagangan dunia Islam sebenarnya positif (1042,9 Milyar US$ ekspor – 733,7 Milyar US$ impor).  Namun dari jumlah ini, yang merupakan ekspor ke sesama dunia Islam hanya 113 Milyar US$ dan impor 118 Milyar US$.  Jadi ketergantungan ke luar dunia Islam sangat besar.  Bila ini dibiarkan akan jadi kendala saat Kesatuan Islam di bawah Daulah Khilafah diserukan dan lalu diembargo dari luar.

 

Sumber Daya Non-tangible

Selain sumber daya yang terukur dalam bentuk materi, terdapat sumber daya non-tangible yang tak dapat langsung terukur, misalnya SDM terdidik, organisasi (jejaring) dan informasi (pengalaman) yang terkumpul.  Sumber daya ini terukur dengan melihat data penduduk melek huruf, rasio yang masuk perguruan tinggi, bagian pemerintah pada penciptaan GDP dan distribusi penghasilan.

Angka melek huruf pada orang dewasa di dunia Islam baru 69%!  Inipun masih dengan bahasa nasional masing-masing (Arab, Persi, Urdu, Turki, Perancis, Russia, Melayu, dll.). 

Sedang rasio yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi baru 15% dari lulusan SLTA.  Inipun masih di luar soal mutu asal-asalan dari pendidikan sekuler yang kapitalistik.

Bagian pemerintah dalam penciptaan GDP menggambarkan tingkat partisipasi rakyat pada aktivitas ekonomi.  Makin tinggi sharing pemerintah, makin rentan ekonomi negeri itu pada gejolak.  Idealnya pemerintah bertindak mengatur urusan umat dengan syariat, bukan sebagai pelaku bisnis yang bertindak dengan pertimbangan ekonomi.  Di dunia Islam, pemerintah rata-rata masih berperan hingga 35% dalam aktivitas ekonomi.  Ekonomi Sudan atau Guyana yang dilanda perang bahkan praktis 100% mengandalkan pemerintah.  Pemerintah Brunei memegang 84% GDP karena produk utamanya minyak – semua milik raja yang memerintah. 

Dalam hal ekonomi terkait SDA yang besar seperti minyak, angka-angka statistik boleh jadi akan rancu antara pemerintahan feodalistik, sosialistik dan Islami, di mana minyak masuk kepemilikan umum yang harus dikelola pemerintah – namun bukan terus dibisniskan.

Partisipasi rakyat juga terlihat pada distribusi penghasilan.  Kalau menggunakan batas miskin tiap negara, maka angka kemiskinan rata-rata adalah 38,65%.  Namun bila menggunakan standar Bank Dunia yaitu US$ 2 per orang per hari, maka 50% jatuh di bawah garis (UNDP Human Development Report 2006).  Yang terparah Nigeria (92,4%), yang terbaik Iran (7,3%)

 Menyatukan Ekonomi Dunia Islam

Dengan berbagai cara, ekonomi dunia Islam ini telah berkali-kali dicoba disatukan.  OKI telah gagal.  Pakta selatan-selatan – yang melibatkan negara-negara Amerika Latinpun gagal.  Percobaan terakhir adalah dengan kelompok D-8 (Development-Eight), yang terdiri dari Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Mesir, Nigeria, Pakistan dan Turki.  Realitasnya, pengaruh D-8 ini bahkan lebih kecil dari kelompok semacam ASEAN, apalagi terhadap G-8, yakni negara-negara industri maju (AS, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Itali, Jepang dan Russia) yang merupakan 65% dari ekonomi dunia.

Penyebabnya kegagalannya terlalu banyak, mulai dari ego-nasionalisme tiap negara, para pemimpinnya yang tidak benar-benar kapabel maupun independen (menjadi boneka negara besar), hingga produk antar negara yang terlalu mirip sehingga tidak saling melengkapi. 

Tanpa suatu perubahan yang fundamental dalam cara berpikir di dunia Islam, yaitu cara berpikir tentang visi dan missi negeri mereka di dunia, rasanya sulit akan ada sinergi dari penyatuan ekonomi dunia Islam.

Dengan perubahan paradigma itu akan ada upaya-upaya di masyarakat tiap negeri untuk tak sekedar jadi ”lahan” negara-negara maju, tetapi jadi agen perubahan ke dunia yang diridhai Allah.  Perlahan namun pasti mereka mereformasi cara berpikir, bersikap serta ikatan-ikatan yang selama ini menjadikan mereka berbangsa dan bernegara. 

Kemudian suatu negara yang masyarakat serta kekuatan politik-militernya paling siap, akan memimpin mendeklarasikan berdirinya negara baru, Daulah Khilafah.  Negara di saat awal akan menunjukkan kinerjanya, sebagai negara yang adil dan benar-benar merdeka, sambil mengajak negeri-negeri muslim lain untuk bergabung.  Ketika rakyat negeri lain melihat bahwa dengan bergabung itu terbuka peluang luas untuk berkehidupan yang lebih baik, maju dan kuat sehingga mampu memimpin dunia, mereka akan mendesak pemerintah masing-masing untuk bergabung ke Daulah Khilafah. 

Satu demi satu negeri Islam akan masuk ke dalam Khilafah, seperti dulu bergabungnya daerah-daerah Hindia Belanda ke Republik Indonesia, atau kini bergabungnya negara-negara Eropa ke Uni Eropa.  Kekuatan dunia Islam yang bersatu di bawah Daulah Khilafah akan jadi realita, bahkan lebih besar lagi, jika sistem Islam telah mengoptimasi pengaturan seluruh potensi alam maupun manusia di dalamnya, serta muslim-muslim terbaik yang selama ini ada di negara-negara maju ramai-ramai pulang untuk membaktikan dirinya demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin.


 Penulis: Dr. Fahmi Amhar, dosen pascasarjana Universitas Paramadina.

KomEk – Alih Fungsi Sawah 100 ha/hari!

Monday, January 8th, 2007

Republika, Senin, 08 Januari 2007 23:36:00
Pemerintah Siap Cetak Sawah Baru 20 Ribu Hektar

Jakarta-RoL–Pemerintah pada 2007 siap membuka sawah baru se-luas 20 ribu hektar (ha) untuk mengganti konversi lahan pertanian. Menteri Pertanian Anton Apriyantono di Jakarta, Senin menyatakan, saat ini alih fungsi lahan di tanah air mencapai 30.000-40.000 ha per tahun.

Komentar LM:

1. Bagaimana alih fungsi tidak terjadi, kalau kapitalisasi tanah dan air terus dibiarkan? Tata Ruang dipermainkan. Yang dulu diplot daerah pertanian, tiba-tiba jadi real estate. Dan para bupati menyebutnya “pembangunan”. Tanah kini jadi objek spekulasi dan investasi. Para petani pusing jadi petani, karena sudah capek, nggak gengsi, eh pupuk mahal, apalagi dengan UU SDA sekarang air bisa dikelola swasta dan dijual untuk yang mau membeli lebih mahal. Repotnya, nanti kalau panen harga gabah anjlog – belum kalah sama beras impor – akhirnya petani memilih menjual sawahnya ke calo tanah. Lumayan, hasilnya bisa buat naik haji, walaupun pulang haji tidak punya asset, apalagi warisan untuk anak cucu. Jadilah mereka buruh urban.

2. Kalau sudah tahu begitu, jalan keluarnya cuma: terapkan system syariah di bidang tata ruang, pertanahan, tata guna air, pertanian dan perdagangan. Tata Ruang harus strik pada fungsi-fungsi masyarakat. Kalau tanah untuk satu fungsi dialihkan, maka harus digantikan di tempat lain. Tanah pertanian tidak boleh jadi objek investasi / spekulasi. Kalau tiga tahun ditelantarkan tidak produktif, harus disita oleh negara dan diberikan ke yang mau mengelola untuk pertanian. Air untuk pertanian juga diatur oleh negara dan dibagikan ke seluruh petani secara adil, tidak komersil. Negara juga wajib melindungi keadilan di tingkat petani maupun konsumen. Kalau negara mampu, subsidi petani dengan pupuk. Teknologi pupuk biologis harus digalakkan. Negara bisa mensupport riset agar petani menggunakan teknologi terkini seperti bioteknologi, precission agriculture, in-time-farming dsb. Negara dapat juga membantu dan merangsang pembukaan lahan-lahan pertanian baru untuk menaikkan produksi sekaligus membuka lapangan kerja. Orang yang mampu menghidupkan lahan kritis (tanah mati) menjadi lahan pertanian yang subur, akan diberikan hak menguasai tanah itu serta memetik hasilnya. Negara membangun infrastruktur pertanian, termasuk saluran irigasi, jalan ke pasar, gudang dan pengolahan pasca panen, agar harga di tingkat petani tidak ditekan oleh para tengkulak. Hasil akhirnya harus petani makin sejahtera, namun beras di tingkat konsumen juga terjangkau.

LM 2007-01-09

FA.-