Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Gelombang Pasang & Perlindungan Pantai

Sunday, June 10th, 2007

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Jum’at 18 Mei 2007 dan sebagian hingga Senin 21 Mei 2007, berbagai daerah di Indonesia dikejutkan oleh gelombang pasang.  Ombak setinggi 2-3 meter telah menyapu kawasan pantai, bahkan masuk ke daratan hingga 50-200 meter.  Berbeda dengan tsunami yang selalu didahului dengan gempa di dasar laut, gelombang pasang ini praktis tidak terdeteksi dari awal.  Akibatnya penduduk pantai hanya dapat pasrah menyaksikan rumah-rumah mereka tergerus gelombang, tambak mereka rusak, dan perahu-perahu mereka terseret ke tengah laut.

Banyak teori dilontarkan untuk menjelaskan fenomena alam tersebut.  Teori-teori ini dibangun dari analisis data yang ada, yang meliputi data pasang surut paras laut, kecepatan angin hingga temperatur permukaan laut.  Tidak semua analisis itu dianggap memuaskan oleh para ilmuwan.  Di antara teori tersebut yang paling kuat adalah bahwa gelombang pasang ini merupakan sinergi dari tiga fenomena yang terjadi serentak yakni: (1) Pasang tertinggi yang terjadi setiap 18,6 tahun sekali.  Pada 17 Mei terjadi bulan baru sehingga bumi segaris lurus dengan bulan dan matahari pada jarak terdekat (perigeum), sehingga kombinasi gravitasi keduanya mampu mengangkat air hingga mencapai pasang maksimal.  (2) Gelombang Kelvin – yakni gelombang di samudra atau atmosfir yang mengimbangi gaya Coriolis (gaya akibat rotasi bumi).  Gaya ini mengarah dari masing-masing kutub ke equator dengan tendensi ke timur dengan kecepatan tetap, hingga membentur pantai atau saling berbenturan dengan gelombang Kelvin dari arah yang berlawanan di equator. (3) Gelombang Swell, yaitu gelombang akibat tiupan angin dengan skala yang lebih besar daripada riak (ripples).  Angin terjadi karena perbedaan tekanan udara akibat perbedaan pemananasan.  Perbedaan pemanasan ini antara lain diakibatkan oleh perbedaan liputan awan yang berbeda.

Sinergi tiga kekuatan ini (pasang surut, rotasi bumi, dan angin) yang masing-masing pada kondisi maksimum, menghasilkan gelombang yang maksimum pula.  Ketika gelombang ini bertemu topografi dasar laut yang melandai di dekat pantai, puncak gelombang ini akan tampak membesar, sehingga ketika menghantam pantai menimbulkan bencana yang mengerikan.

 

Perlindungan Pantai

Lepas dari penyebab gelombang pasang dan mekanismenya yang barangkali masih menarik bagi para peneliti hingga beberapa saat ke depan, yang harus kita siapkan adalah sistem antisipasinya.  Perlindungan kawasan pantai memang sudah saatnya menjadi perhatian serius negeri ini, mengingat panjang garis pantainya lebih dari 81.000 kilometer.  Gelombang pasang, tsunami, dan abrasi mengancam di banyak lokasi.  Lebih dari itu perubahan ekosistem pantai karena pendangkalan (sedimentasi) maupun pencemaran masih terus terjadi.

Sistem pertahanan alam yang paling efektif sebenarnya adalah hutan bakau (mangrove).  Keberadaan mangrove di lepas pantai dapat meredam gelombang pasang bahkan tsunami hingga kekuatannya tinggal sepertiganya.  Keberadaan mangrove juga mampu menjaga lingkungan pantai dari abrasi.  Mangrove juga menjadi habitat dari banyak organisme pantai, sehingga kerusakan mangrove bisa berarti kepunahan keragaman hayati.

Namun derap kapitalisme telah membuat kerusakan mangrove kita sangat cepat.  Selain terjadi konversi besar-besaran area mangrove menjadi tambak atau pemukiman, kerusakan mangrove juga terjadi karena penjarahan untuk dijadikan kayu bakar akibat mahalnya bahan bakar minyak.  Di beberapa lokasi, pantai bahkan diurug (direklamasi) dengan mengorbankan lahan yang sebelumnya tumbuh mangrove.

Saat ini tidak mudah untuk mendapatkan data luas mangrove yang tersisa secara nasional, apalagi mendapatkan data perkembangannya dari tahun ke tahun.  Kerusakan memang kasat mata bila kita mendatangi lokasi-lokasi yang dulu diketahui memiliki mangrove, namun untuk menghitungnya secara nasional diperlukan data dari citra satelit. Karena ”sabuk” mangrove di pantai sebenarnya tidak terlalu lebar, maka perlu citra satelit resolusi tinggi untuk dapat merekamnya. 

Untuk dapat melakukan pencegahan atau mitigasi dari bencana yang mengancam kawasan pantai, pemerintah dapat melakukan pemetaan daerah rawan (zonasi).  Secara umum, kawasan-kawasan budidaya (permukiman, tambak, infrastruktur) di pantai yang landai, menghadap laut lepas tanpa pelindung seperti pulau atau karang, serta tidak memiliki mangrove, adalah zona-zona rawan.  Kawasan itu perlu mendapatkan persiapan khusus untuk menghadapi bencana dari arah laut. 

Selain mitigasi, sistem peringatan dini (early warning system) sebaiknya juga dibangun.  Pasca tsunami Aceh 2004, memang ada usaha dari pemerintah untuk membangun TEWS (tsunami early warning system).  Hanya saja sistem yang terdiri dari GPS, seismometer, sensor tekanan air di dasar laut, stasiun pasang surut dan super komputer ini memang belum tuntas terkoneksi satu dengan yang lain, apalagi siap dioperasikan di lapangan.  Namun andaikata sudah lengkappun, sistem ini hanya efektif untuk tsunami, belum untuk gelombang pasang.

Untuk gelombang pasang sepertinya perlu ada tambahan dan modifikasi di beberapa elemen TEWS.  Sistem ini misalnya harus memasukkan data pantauan temperatur laut hingga ribuan mil di seputar Indonesia, sehingga munculnya gelombang Swell dapat terdeteksi.  Pelampung (buoys) yang terhubung ke sensor tekanan dasar laut juga mestinya tidak hanya berfungsi sebagai pengirim data ke pusat pengolah data TEWS namun juga sensor gelombang itu sendiri.  Bahkan jumlah buoys ini harus ditambah cukup signifikan untuk ”memagari” pantai kita – tidak hanya menghadap ke arah patahan lempeng kontinen yang potensial terjadi gempa dan tsunami, tetapi juga ke segala arah potensial datangnya gelombang Kelvin dan gelombang Swell. 

Yang disesalkan, andaikata sistem ini telah terbangun, kita bisa jadi belum bisa merawatnya.  Tanpa edukasi ke masyarakat yang intensif, sistem ini barangkali dalam waktu singkat akan tidak operasional lagi.  Saat ini saja, banyak buoys milik Dirjen Perhubungan Laut yang hilang dicuri orang, padahal buoys itu hanya berfungsi sebagai rambu-rambu pelayaran dan tidak memiliki komponen elektronik yang mahal seperti untuk TEWS.

Dengan demikian, perlindungan pantai memang memerlukan tindakan yang komprehensif.  Teknologi bisa saja berguna untuk meredam dampak bencana.  Namun dalam jangka panjang perlu langkah-langkah rekondisi masyarakat agar mereka peduli bencana, termasuk hanya mengkonversi kawasan pantai dengan menyiapkan mitigasinya, tidak merusak atau menghilangkan alat-alat yang dipasang untuk sistem peringatan dini, juga tidak membuat politik ekonomi yang berakibat mangrove semakin cepat musnah.

Sementara itu hanya dengan penerapan syariat Islam yang mengatur masalah pantai sebagai kepemilikan umum (yang siapapun seharusnya memiliki akses dan menarik manfaatnya), sehingga tidak secara sembrono dikonversi menuruti keinginan para kapitalis, maka pantai kita akan lebih lestari, untuk dapat kita wariskan ke anak cucu kita.

 Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah Peneliti Utama dan Kepala Balai Penelitian Geomatika Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional.  Tulisan ini adalah pendapat pribadi.