Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

IEDUL ADHA SETENGAH HATI

Tuesday, December 18th, 2007

Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar

Aktivis pro syariah & pecinta astronomi

Iedul Adha tahun 2007 (1428H) saya hadapi dengan setengah hati.  Setengah karena taat kepada sebuah hukum syara’, dan setengah lagi karena tahu bahwa hukum itu telah diterapkan tanpa mengindahan sebuah keniscayaan ilmiah.

Mahkamah Agung Saudi telah menerima dan menetapkan keabsahan sebuah klaim rukyatul hilal (melihat bulan sabit baru) pada hari Minggu sore 9 Desember 2007.  Artinya Senin 10 Desember 2007 menjadi 1 Zulhijjah, dan seterusnya Selasa 18 Desember 2007 menjadi 9 Zulhijjah, hari di mana para jama’ah haji akan wukuf di Arafah (dan yang lainnya puasa Arafah), dan akhirnya Rabu 19 Desember 2007 menjadi 10 Zulhijjah, hari Iedul Adha, saat hewan-hewan qurban disembelih.

Syara’ telah menetapkan bahwa masalah penentuan hari wukuf menjadi wewenang penguasa Makkah, yang saat ini adalah penguasa Saudi Arabia.  Raja Saudi telah mendelegasikan kewenangan ini kepada Mahkamah Agungnya.

Syara’ juga mengatur bahwa penentuan 1 Zulhijjah cukup didasarkan kesaksian dua muslim yang terpercaya.  Riwayat dari Nabi menunjukkan bahwa ketika ada orang Badui mengaku melihat hilal, Nabi hanya memintanya bersyahadat saja.  Nabi tidak memeriksa hal yang lain.

 

Persoalan kesaksian ini yang membuat Iedul Adha ini menjadi setengah hati.

Karena kesaksian hilal ini terjadi pada saat yang mustahil.  Hilal hanya mungkin terjadi setelah ijtima’ (moon-conjunction).  Dan di Mekkah ijtima’ baru terjadi pada Minggu 9 Desember 2007 pukul 20:40, setelah matahari terbenam (Maghrib) yang terjadi pukul 17:42 waktu setempat

Sebagian orang mempertanyakan keabsahan data astronomis ini:  “Dari mana tahu bahwa prediksi ijtima’ ini tepat?”  atau membantah kemungkinan si perukyat yang salah: “Bagaimana memastikan bahwa si perukyat itu tidak dapat dipercaya?”.

Prediksi astronomis untuk peristiwa ijtima’ tidak didasarkan hanya dari kesaksian satu atau dua orang.  Tetapi adalah hasil riset ribuan orang selama berpuluh tahun yang dilakukan secara sistematis dan terdokumentasikan dengan baik.  Selama ini prediksi ijtima’ yang terkadang bertepatan dengan gerhana matahari, selalu akurat sampai ke detik terdekat.  Prediksi bulan untuk fase-fase lain saat bulan sudah tinggi, juga sangat akurat.  Di bulan terdapat reflektor yang dipasang oleh misi-misi angkasa Amerika Serikat dan Rusia yang dapat memantulkan sinar laser yang dikirim dari berbagai stasiun Lunar-Laser-Ranging (LLR) dari bumi.  Dan semuanya OK.  Kesalahan fatal data ijtima’ tertutup.  Data astronomis bisa saja dikoreksi, namun tentunya hanya oleh pengamatan ilmiah yang juga berakurasi tinggi.  Kalau memang hilal itu benar-benar ada pada hari Minggu 9 Desember 2007, dan ada foto atau pengukuran LLR yang memvalidasinya, pasti semua rumus astronomi akan dikoreksi.

Sementara itu bagaimana memastikan bahwa si perukyat tak dapat dipercaya?  Tidak ada caranya!  Kita tidak ingin membuktikan bahwa si perukyat berbohong.  Dia hanya keliru meneruskan fakta.  Seorang yang paling shalehpun bisa salah menjawab soal ujian.  Dia tidak berbohong, dia hanya keliru.  Ada sejumlah test yang bisa dilakukan, misalnya menunjukkan berbagai foto hilal dan foto placebo hilal (yang sebenarnya hilalnya tidak ada).  Test mata juga bisa dilakukan untuk melihat kesehatan mata yang bersangkutan.  Demikian juga informasi kondisi lingkungan saat pengamatan.  Tentu aneh mengaku melihat objek langit bila di tempat yang bersangkutan tertutup awan.

Tentu saja semua ini tidak dilakukan di masa Nabi.  Namun tidak semua hal yang tidak dilakukan di masa Nabi itu haram dilakukan di masa sekarang.  Ketika itu dapat menjaga agama, menjaga (kesatuan) negara, menjaga hidup, menjaga akal dan sebagainya, apakah lantas tidak boleh dilakukan.  Atau seharusnya berlaku kaidah “Maa la yatimul waajib illa bihi fahuwa waajib”  (Apa yang tanpa dengannya suatu kewajiban tak dapat disempurnakan, hukumnyapun menjadi wajib juga).

Di masa Nabi belum ada kompas untuk mengetahui arah kiblat, karena itu pasti Nabi tidak pernah menggunakan kompas untuk mengetahui arah kiblat.  Apakah lantas dengan alasan sholat itu ibadah “tauqifi” terus kita harus menentukan arah kiblat persis seperti di zaman Nabi, tidak boleh pakai kompas?

Tentu saja, siapapun yang ada di Mekkah mau tidak mau harus tunduk pada keputusan wukuf Saudi.  Mustahillah wukuf sendirian menuruti keyakinannya sendiri.

Menjadi rumit tatkala itu dibawa ke negeri yang jauh seperti Indonesia.  Memang, sebelum ditemukan alat telekomunikasi, tidak ada riwayat yang menceritakan bahwa otoritas Mekkah mengirimkan berita ke seluruh dunia Islam tentang penentuan 1 Zulhijjah.  Secara teknis, pengiriman berita ke negeri yang jauh seperti Indonesia saat itu juga mustahil.  Karena itu perbedaan hari Iedul Adha saat itu mungkin juga dimaklumi – karena juga mungkin tidak disadari.

Berbeda dengan sekarang.  Globalisasi membuat kita menjadi setengah hati.  Akhirnya ada juga yang ambil jalan minimal.  Rabu dia tidak puasa dan juga tidak sholat Ied.  Toh puasa dan sholat Ied hukumnya sunnah.  Tapi kalau puasa di hari Iedul Adha kan haram.  Dan sholat Ied di hari yang salah, tulalit juga …  Kita ingin persatuan.  Namun otoritas Saudi yang saat ini menentukan hari wukuf bukanlah penguasa kita.

Andaikata ia adalah khalifah kita, demi persatuan dan demi menghindari kekeliruan, tentu sangat bijaksana jika di masa depan otoritas ini mengadopsi ilmu & teknologi ketika menerima kesaksian hilal.  Agar Iedul Adha dan haji kita tidak setengah hati lagi.  Allahu Akbar.

Sekali Lagi Tentang Ru’yat & Hisab

Friday, September 21st, 2007

Makalah untuk Roundtable Discussion tentang Konsep Hilal
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Yogyakarta 23-24 September 2007

oleh

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional

Secara konseptual, baik ru’yatul hilal (praktis) mapun hisab (teoretis) adalah dua sisi mata uang yang sama – keduanya tidak akan bertentangan bila sama-sama dilakukan dengan benar.  Oleh karena itu saya melihat perdebatan hisab vs ru’yat itu tidak perlu.

Konsep ru’yatul hilal memiliki sandaran syar’i yang kokoh.  Perintahnya adalah ”telah terlihat hilal”, bukan ”telah masuk waktunya”.  Inilah perbedaan pokok perintah yang terkait dengan puasa, dan perintah yang terkait dengan sholat.

Namun perbedaan yang terjadi selama ini sebenarnya bukan hanya hisab vs ru’yat, tetapi juga hisab vs hisab (buktinya untuk 1 Syawal nanti Muhammadiyah berbeda dengan Persis), ru’yat vs ru’yat (buktinya di Kab. Kuningan ada yang memulai puasa hari Rabu 12 September 2007, konon karena ru’yat mereka berhasil melihat hilal), dan bahkan ru’yat matla terbatas vs ru’yat global (Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab lainnya).

Pada tulisan ini saya tidak ingin fokus ke soal fiqihnya an sich, meskipun bahan-bahan pada saya cukup banyak.  Saya akan membahas sisi fakta saja.  Biasanya para fuqoha dalam memutus perkara fikih harus paham betul faktanya dulu, baru mencarikan dalil syar’i yang tepat untuk fakta itu.

Faktor Kunci Keberhasilan Ru’yatul Hilal

Ru’yatul Hilal, agar sukses, harus memenuhi tiga kriteria – saya menyebutnya kriteria ABC:

A – Astronomi, yakni bulan telah (1) ijtima’; (2) wujud / di atas ufuk; dan (3) tingginya telah mencapai minimal yang terbukti seara ilmiah.   Syarat A ini semua bisa dihitung oleh hisab falakiyah (astronomi).  Dalam kritera bulan telah ijtima’ (A-1) dan wujud (A-2), hitungan para astronom pada umumnya tidak berbeda.  Namun untuk tinggi minimal (A-3), yang ada selama ini (misal 2 derajat) adalah angka hisab pada saat ada kesaksian yang diterima, atau kadang-kadang hanya taksiran kasar, bukan diukur dengan teodolit.  Kesaksian ini secara hukum (syar’i) sah, tetapi secara ilmiah belum memenuhi obyektivitas.  Fakta hilal yang terrekam foto setahu saya belum pernah terjadi pada ketinggian 2 derajat apalagi kurang atau umur bulan kurang dari 20 jam (www.icoproject.org).  Kalau syarat A-3 ini dipenuhi, kemungkinan perbedaan hisab (teoretis) dengan ru’yat (praktis) akan sangat minimum.

B – Baiknya pengamat dan lingkungan pengamatan.  Pengamat harus sehat, tidak memiliki gangguan penglihatan, serta terlatih melihat hilal; sedang lingkungan pengamatan (ke ufuk Barat)) tidak boleh terganggu oleh pepohonan, gedung-gedung, gunung ataupun sumber cahaya lain.  Syarat B ini tidak dapat dihitung tetapi dapat dipersiapkan.  Termasuk persiapan yang bagus adalah pengamatan pada pos observasi bulan yang didesain khusus seperti di Pelabuhan Ratu (di atas bukit dan menghadap ke laut lepas)  dan penggunaan alat-alat optis-elektronis, misalnya teropong yang dilengkapi kamera digital berresolusi tinggi.  Foto digital yang didapat bisa diolah dengan pengolah citra untuk memisahkan cahaya bulan dari cahaya latar yang pada umumnya jauh lebih cerah dan panas (dari matahari).  Namun saya kira ada juga orang yang menolak penggunaan alat seperti ini dengan alasan ru’yatul hilal adalah ibadah yang tauqifi (harus dilaksanakan persis seperti di zaman Nabi).  Orang seperti ini juga mungkin akan menolak penggunaan loud speaker pada saat khutbah Jum’at.

C – Cuaca.  Seberapapun tinggi dan umur hilal, kalau cuaca mendung, maka hilal tidak terlihat.  Cuaca ini tidak dapat diperhitungkan maupun dipersiapkan.  Kalau ini terjadi ya sesuai hadits nabi: ”Genapkan 30 hari!” – kecuali kalau kemudian ternyata di daerah lain hilal berhasil diru’yat.

Adanya syarat ABC ini membuat kapan 1 Ramadhan / 1 Syawal / 9 Zulhijjah tidak bisa dipastikan jauh-jauh hari seperti halnya hari peribadatan agama lain.  Namun kita harus yakini bahwa tentu ada wisdom di balik itu dari Allah swt.

Kalender Hisab bisa berbeda-beda

Sementara itu Hisab memang diperlukan untuk, bahkan oleh mereka yang memegang pendapat bahwa Ru’yat wajib dan tak tergantikan oleh Hisab.  Kenapa?  Ru’yat hanya akan dilakukan pada tanggal 29 bulan sebelumnya!

Ru’yat Ramadhan hanya akan dilakukan tanggal 29 Sya’ban.  Kita tak perlu berkilah bahwa seharusnya awal Sya’bannyapun harus diru’yat …. Nanti tidak akan ada habisnya …  Yang jelas, kapan tanggal 29 ini, sudah tertera di kalender.  Dan ini hasil hisab!

Namun rupanya, kalender hasil hisab ini bisa berbeda-beda oleh 3 faktor:

  1. Faktor rumus perhitungan.  Rumus-rumus hisab pada kitab-kitab tua dibuat sederhana (karena juga pada masa itu belum ada komputer), sehingga untuk menghitung gerhana saja bisa meleset hampir 2 jam!  Tetapi pada umumnya sekarang orang menggunakan rumus astronomi modern yang mengacu kepada The Astronomical Almanach, the Royal Navy Nautical Almanach, atau bahkan rumus-rumus yang dipakai oleh dua buku itu sudah dimasukkan kedalam software.  Minimal hasilnya untuk menghitung ijtima’ akan sama, mungkin beda satu menit karena faktor pembulatan.
  2. Faktor titik sentral perhitungan (markazul falakiyah).  Hisab untuk menghitung wujudul hilal mau tidak mau akan menghitung waktu terbenam bulan dan matahari, dan ini sangat tergantung dilihat dari posisi mana?  Oleh karena itu, perbedaan titik sentral akan mempengaruhi hasilnya.  Penggunaan titik sentral di Indonesia Barat akan berbeda dengan titik sentral di Indonesia Timur, apalagi dengan di luar negeri.  Untuk penggunaan kalender hijri yang berlaku internasional, sebaiknya titik sentralnya adalah Makkah, agar klop dengan ritme ibadah haji.
  3. Faktor kriteria masuk tanggal.  Katakanlah rumus dan titik sentral sama, tetapi kalau kriteria masuk tanggal beda, maka hasilnya pada kondisi kritis bisa beda.  Contohnya: Muhammadiyah & Persis.  Mereka menggunakan rumus dan titik sentral yang sama, namun Muhammadiyah memakai 0 derajat, Persis 2 derajat.  Ketika tinggi hilal saat matahari terbenam katakanlah 1 derajat, bagi Muhammadiyah besok sudah tanggal 1, bagi Persis besok tanggal 30 (istikmal).

Usulan untuk mempersatukan

Oleh karena itu menurut saya, untuk mempersatukan masalah perbedaan awal dan akhir Ramadhan, yang harus dilakukan adalah

  1. Menyamakan persepsi kriteria hisab kalender.  Faktor kriteria masuk tanggal sebaiknya mengacu kepada imkanur ru’yat yang sudah terbukti secara ilmiah.  Bukan ijtima’ (baik qobla ghurub maupun qabla fajr) ataupun wujudul hilal!  Kalau wujudul hilal, maka bila tinggi bulan masih sangat rendah, pasti akan berbeda terus dengan metoder ru’yat praktis.  Sedang bila kriterianya imkanur ru’yat, maka perbedaan dengan ru’yat praktis hanya tinggal masalah cuaca.
  2. Menyamakan persepsi tentang kriteria ru’yat praktis yang boleh diterima.  Ini adalah masalah kesaksian.  Selain syarat administratif yaitu bahwa saksi harus seorang muslim yang adil, syarat ABC juga harus dimasukkan untuk menghindari kesalahan kesaksian.  Artinya, syarat A: laporan harus diberikan pada daerah yang memang sudah memungkinkan, dan pada jam yang memungkinkan (bukan pada jam yang masih / sudah mustahil bulan dirukyat); syarat B: laporan harus diberikan oleh seseorang yang terbukti sehat dan tidak terganggu penglihatannya, juga dari tempatnya melihat ke arah ufuk barat tidak ada penghalang yang serius; syarat C: terbukti di daerah tersebut tidak ada mendung atau hujan yang menghalangi ru’yat praktis.
  3. Menyamakan persepsi tentang berita ru’yat dari cakupan yang lebih luas dari wilayah Indonesia.  Indonesia sebaiknya menjalin kerjasama dengan negeri-negeri Islam lainnya untuk menyamakan kedua persepsi di atas, sehingga baik kalender maupun laporan ru’yat dari sesama negeri Islam bisa memiliki kualitas yang sama.  Dengan demikian bisa dihindari kejadian bahwa di Indonesia sebenarnya antar ormas dan pemerintah sudah sama, tetapi ada sekelompok orang yang mengikuti berita ru’yat dari Timur Tengah. Ini sekaligus untuk mengantisipasi kejadian di mana di seluruh Indonesia hilal tidak terlihat karena faktor cuaca (misalnya saat musim penghujan), tetapi di Malaysia, Pakistan atau Saudi hilal terlihat.  Maka mestinya kita bisa menggunakan hasil ru’yat negeri lain tersebut.  Tentu saja kalau kriteria B di sana sendiri tidak benar (seperti yang selama ini sering terjadi, ada laporan ru’yat padahal di sana juga hilal masih belum wujud), maka kita di Indonesia tidak wajib mengikutinya.

Demikianlah, semoga sumbang saran ini dapat membawa ke arah persatuan dan kesatuan ummat, sehingga ummat dapat menikmati indahnya kebersamaan memulai dan mengakhiri Ramadhan.

Penulis menyelesaikan studi geodesi dan remote sensing pada Vienna University of Technology Austria (PhD tahun 1997).  Menekuni masalah hilal sejak 1989, ikut berkontribusi dalam pembuatan software kalkulasi bulan MAWAAQIT (bersama Dr. Khafid).