Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Terbang tanpa karpet ajaib

Sunday, February 22nd, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Sebutkan salah satu contoh teknologi tinggi!  Kalau pertanyaan ini dilontarkan ke Prof. Dr.-Ing. BJ Habibie yang pernah memimpin PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), tentu jawabnya: aeronautik atau ilmu membuat pesawat terbang.  Di bidang aeronautik berkumpul sejumlah teknologi canggih, yakni teknologi material, elektronika, komputer, mesin, kimia, navigasi dan sebagainya.  Namun tentu semua sepakat, bahwa dasar dari aeronautika adalah ilmu bagaimana membuat sebuah benda yang lebih berat dari udara dapat terbang atau disebut dengan aviasi.

Dan apakah umat Islam punya kontribusi di bidang ini?  Cukupkah dengan mengatakan bahwa Rasulullah pernah terbang dengan sesuatu yang lebih hebat dari pesawat terbang, yakni dengan kendaraan Buraq selama Isra’ Mi’raj, yang sekali langkahnya menempuh jarak sejauh mata memandang?  Walaupun benar, jawaban ini tentu jauh dari memuaskan, karena Buraq hanyalah khusus untuk Nabi.  Tidak ada manusia lain sesudahnya pernah melihatnya, apalagi menaikinya.

Bagaimana dengan naik karpet ajaib sebagaimana para sultan dalam kisah 1001 malam?  Kisah 1001 malam memang dongeng yang sangat populer dari masa Khilafah Islam, sehingga bahkan ibu kota khilafah, yaitu Baghdad, digelari “Kota 1001 malam”.  Kisah tentang Ratu Syeherazade yang mendongeng kisah-kisah fantastis (Aladdin, Ali Baba, Sinbad dsb) untuk melunakkan hati suaminya, Raja Syahriar ini sesungguhnya digali dan dimodifikasi dari khazanah sastra kuno masa pra-Islam.  Semuanya tentu saja fiksi, baik yang berbau magis maupun bentuk awal dari science-fiction.  Apapun juga, terbang dengan karpet-ajaib atau dengan naik jin, tetaplah khayalan belaka.  Menyenangkan sebagai dongeng anak-anak menjelang tidur, namun tidak ada aplikasi praktisnya.

Alhamdulillah, ternyata ada orang Islam yang tidak puas dengan kisah Buraq maupun karpet ajaib.  Dialah Abbas Ibnu Firnas (810-887) dari Andalusia (sekarang Spanyol) yang melakukan serangkaian percobaan ilmiah untuk dapat terbang, seribu tahun lebih awal sebelum Oliver & Wilbur Wright melakukan percobaan untuk membuat pesawat terbang.

Sebagaimana banyak ilmuwan muslim di zamannya, Ibnu Firnas adalah seorang polymath, yaitu menekuni berbagai ilmu sekaligus: kimia, fisika, kedokteran, astronomi, dan dia juga sastra.  Dia menemukan berbagai teknologi seperti jam air (jam yang dikendalikan oleh aliran air yang stabil), gelas tak berwarna, lensa baca, alat pemotong batu kristal hingga peralatan simulasi cuaca yang konon juga mampu menghasilkan petir buatan, meski masih teka-teki bagaimana Ibnu Firnas menghasilkan listriknya.  Namun di antara semua penemuannya, yang paling spektakuler dan dianggap salah satu tonggak sejarah adalah alat terbang buatannya.

Alat terbang Ibnu Firnas adalah sejenis ornithopter, yakni alat terbang yang menggunakan prinsip kepakan sayap seperti pada burung, kelelawar atau serangga.  Dia mencoba alatnya ini dari pertama-tama dari sebuah menara masjid di Cordoba pada tahun 852.  Dia terbang dengan dua sayap.  Ibnu Firnas sempat terjatuh.  Untung dia melengkapi diri dengan baju khusus yang dapat menahan laju jatuhnya.  Baju khusus ini adalah cikal bakal parasut.

Tahun 875, pada usianya yang sudah 65 tahun dia melakukan percobaan terbangnya yang terakhir, menggunakan pesawat layang yang merupakan cikal bakal gantole.  Percobaan kali itu dilakukan dari menara di gunung Jabal al-‘Arus dekat Cordoba dan disaksikan banyak orang yang antusias dengan percobaan-percobaan Ibnu Firnas selama itu, meski sebagian menyangka Ibnu Firnas gila dan mengkhawatirkan keselamatannya.

Saksi mata menyebutkan bahwa dia berhasil terbang, melakukan manuver, dan menempuh jarak terbang yang cukup signifikan.  Namun sayang dia gagal mendarat ke tempatnya dengan mulus sehingga mengalami cedera parah di punggungnya.  Ibnu Firnas meninggal 12 tahun kemudian yakni pada tahun 887.

Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”

Sebagai penghormatan pada Ibnu Firnas, sebuah lapangan terbang di Baghdad Utara dinamai Ibnu Firnas Airport.  Spanyol memberi nama sebuah jembatan besar di Sevilla Abbas ibnu Firnas Bridge.  Dan NASA menamai sebuah kawah di bulan dengan nama Ibnu Firnas Crater.

Namun usaha Ibnu Firnas bukanlah usaha ilmuwan muslim yang terakhir.  Pada tahun 1630-1632, Hezarfen Ahmad Celebi di Turki berhasil menyeberangi selat Bosporus di Istanbul.  Ahmad melompat dari menara Galata yang tingginya 55 meter dan berhasil terbang dengan pesawat layangnya sejauh kira-kira 3 kilometer serta mendarat dengan selamat.

Usaha meraih teknologi aeronautika ini sejalan dengan tantangan Allah di surat Ar-Rahman, “Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup melintasi penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”. (Qs. 55:33)

Dan surat al-Anfaal, ”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya”. (Qs. 8:60)

Teknologi penerbangan beserta seluruh turunannya seperti teknologi roket untuk membawa manusia hingga ke ruang angkasa wajib dikembangkan karena ini dapat merupakan faktor penentu dalam jihad fi sabilillah.

Dengan motivasi ideologis yang kuat, teknologi aeronautika pasti dapat dengan cepat dikuasai kembali oleh kaum muslimin.  Motif ideologis harus menjadi motif utama, baru setelahnya motif ekonomis dan sains.  Tanpa motif ideologis, teknologi bahkan industri pesawat terbang yang telah dimiliki dapat dengan mudah digadaikan atau dijual ke asing demi membayar Utang Luar Negeri yang tidak seberapa.  Dan karena ketiadaan negara Islam yang ideologis, kini ribuan ahli-ahli aeronautika muslim terpaksa berkarier di negara-negara kafir penjajah, dan secara tak langsung ikut menciptakan mesin-mesin terbang yang membunuhi anak-anak kaum muslimin di Palestina, Iraq atau Afghanistan.

Ketika Kimiawan tak lagi Tukang Sihir

Monday, February 16th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

 

Sekarangpun, seni sulap yang mengubah bunga yang dilempar ke dalam topi menjadi kelinci, atau air di dalam kelapa menjadi berasa jeruk tetaplah sesuatu yang menakjubkan.  Pada masa lalu, ada orang-orang yang melakukan hal-hal seperti itu sebagai profesi sehari-hari.  Merekalah para tukang sihir pembuat ramuan.

Mereka biasanya digambarkan sehari-harinya bergelut dengan kuali berisi air di atas api, yang ke dalamnya dimasukkan segala benda yang dianggap memiliki kekuatan magis.  Benda berkekuatan magis ini mulai dari cula badak, telur ular kobra, sampai batu meteor.  Hasilnya adalah ramuan atau benda-benda yang juga dianggap berkhasiat.  Ramuan paling diminati orang tentunya berbagai jenis obat-obatan.  Namun ada juga “ramuan cinta” yang dipercaya dapat menarik lawan jenis, “ramuan keberuntungan” untuk memenangkan pertandingan, hingga benda-benda sakti seperti cincin yang dapat membuat pemiliknya kebal atau keris pusaka yang dapat mengantar pemiliknya berkuasa.  Berabad-abad para tukang sihir dari segala penjuru juga mencari “batu bertuah” yang konon berkhasiat dari untuk membuat ramuan yang dapat memperpanjang umur sampai untuk mengubah (men-transmutasi) bongkahan besi atau belerang menjadi emas.  Andaikata para alkimiawan (demikian julukan ahli kimia berbau sihir pada masa itu) berhasil, niscaya dinar emas tidak berharga lagi, karena mudah dibuat dari benda-benda lain.

Namun pada masyarakat Islam, profesi tukang sihir semacam itu lambat laun tersingkir.  Muncullah para kimiawan yang bekerja dengan cara-cara ilmiah dan dapat dirunut segala langkahnya dalam menciptakan material yang baru.

Jabir ibn Hayyan (Geber, 715-815) diakui oleh banyak orang sebagai “Bapak Ilmu Kimia”, karena jasanya memperkenalkan metode ilmiah eksperimental dan juga lebih dari 20 macam peralatan laboratorium seperti alat destilasi, kristalisasi, purifikasi, oksidasi, evaporasi, filtrasi dan kristalografi, seperti dalam bukunya Kitab al-Istitmam.

Jabir adalah juga orang pertama yang menemukan berbagai jenis asam, ketika sebelumnya orang hanya mengenal cuka.  Jabir menemukan asam nitrat, asam sulfat, asam klorida, asam asetat, asam citrat dan sebagainya.  Beberapa unsur juga ditemukan oleh Jabir, seperti Arsen, Antimon dan Bismuth.  Dialah orang pertama yang menggolongkan belerang dan air raksa sebagai unsur kimia.

Dalam Buku tentang Mutiara yang tersembunyi, Jabir menuliskan 46 resep untuk membuat gelas berwarna, juga 12 resep tentang produksi mutiara buatan dan penghilangan warna dari batu mulia.

Pada 864-925 Muhammab bin Zakariya ar-Razi (Rhazes) menulis berbagai alat yang ditemukan olehnya dan pendahulunya (Calid, Geber, al-Kindi) seperti pembakar, tabung reaksi, pelebur substansi dan sebagainya.  Dialah yang pertama kali menuliskan rincian berbagai proses kimia seperti kalsinasi (al-tasywiya). Pelarutan atau solusi (al-tahlil), sublimasi (al-tas’id), amalgamasi (al-talghim), cerasi (al-tasymi), dan metode untuk mengubah substansi menjadi pasta atau padatan lunak.

Ar-Razi menggolongkan bahan kimia dalam: empat-spirits (air raksa, sal-amoniak, arsenik dan belerang), empat logam (emas, perak, tembaga, besi, timah, timbal dan air raksa), tiga belas batuan, tujuh borates dan tiga belas garam-garaman.  Dia juga menulis berbagai substansi buatan seperti timbal-oksida, tembaga-asetat, tembaga-oksida, besi-asetat (bahan baja), sodium-hydroksida, dan sebagainya.  Dalam bukunya Kitab sirr al-asrar (Buku tentang rahasia dari rahasia) Ar-Razi juga menulis tentang nafta atau minyak bumi dan cara menyulingnya menjadi minyak bakar atau minyak lampu.

Ar Razi juga seorang dokter.  Ketika memilih tempat untuk membangun rumah sakit di Baghdad, dia meletakkan beberapa potong daging di berbagai lokasi.  Lokasi di mana daging itu paling lambat membusuk adalah lokasi ideal untuk dipilih sebagai tempat rumah sakit.  Dalam bukunya itu ia juga menulis tentang teknik membuat antiseptik dan sabun.

Pada tahun 1000-1037 dunia kimia diwarnai oleh Ibnu Sina (Avicenna) yang menemukan proses kimia untuk mengekstrak esensi dari zat wangi (fragrances) atau dari minyak.  Teknik ini digunakan di pabrik parfum dan minuman.  Dia juga menemukan termometer udara yang dipakai dalam laboratoriumnya.

Sementara itu teori transmutasi logam (yang berabad-abad dipercaya para penyihir sehingga mereka mencari batu bertuah untuk mengubah besi menjadi emas), ditolak oleh Al-Kindi, juga Al-Biruni, Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun.  Teori transmutasi itu memang tidak ilmiah.

Pada abad-13, Nasiruddin al-Tusi memaparkan versi awal dari hukum konservasi massa (sering salah disebut hukum kekekalan massa), dengan menuliskan bahwa materi mungkin berubah wujud, tetapi tidak akan musnah.

Will Durant menulis dalam The Story of Civilization IV: The Age of Faith: “Chemistry as a science was almost created by the Moslems; for in this field, where the Greeks (so far as we know) were confined to industrial experience and vague hypothesis, the Saracens introduced precise observation, controlled experiment, and careful records. They invented and named the alembic (al-anbiq), chemically analyzed innumerable substances, composed lapidaries, distinguished alkalis and acids, investigated their affinities, studied and manufactured hundreds of drugs. Alchemy, which the Moslems inherited from Egypt, contributed to chemistry by a thousand incidental discoveries, and by its method, which was the most scientific of all medieval operations.”

(Kimia adalah ilmu yang hampir seluruhnya diciptakan oleh kaum muslim; ketika untuk bidang ini orang-orang Yunani tidak memiliki pengalaman industri dan hanya memberikan hipotesis yang meragukan, sementara itu para ilmuwan muslim mengantar pada pengamatan teliti, eksperimen terkontrol, dan catatan yang hati-hati.  Mereka menemukan dan memberi nama alembic (al-anbiq), menganalisis substansi yang tak terhitung banyaknya, membedakan alkali dan asam, menyelidiki kemiripannya, mempelajari dan memproduksi ratusan jenis obat.  Alkimia yang diwarisi kaum Muslim dari Mesir, menyumbangkan untuk kimia ribuan penemuan insidental, dari metodenya, yang paling ilmiah dari seluruh kegiatan di zaman pertengahan).

Fisikawan Islam Mendahului Zaman

Monday, February 16th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Kaum muslim meyakini bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah, dan Qur’an adalah kalamullah.  Maka sebagai sumber pengetahuan, Qur’an pastilah benar.  Apakah juga termasuk pengetahuan tentang zat, energi, ruang-waktu dan interaksi benda-benda di alam ini, yang sering disebut dengan “fisika”?

Sebagian muslim dengan mantap mengatakan ya.  Maka muncullah istilah “fisika Islam”.  Ini adalah sejumlah teori atau lebih tepatnya “hipotesa” dari suatu hukum fisika yang diklaim mereka “temukan” di dalam Qur’an.  Sekedar untuk ilustrasi, ada tiga contoh di sini: (1). Teori bahwa bumilah yang pusat tata surya (geosentris), bahkan alam semesta, karena di Qur’an tidak pernah ada ayat yang menyatakan bumi beredar, tetapi matahari, bulan dan bintanglah yang beredar (QS 13:2, 14:33).  Teori ini bahkan didukung seorang Syeikh terkemuka dari Saudi Arabia, yang memfatwakan bahwa percaya kepada teori heliosentris bisa menjerumuskan pada kemusyrikan.  (2) Teori bahwa besi magnet dapat digunakan sebagai pembangkit energi yang tak ada habisnya, dengan dalil QS 57:25 yang menyatakan bahwa Allah menciptakan besi yang di dalamnya terdapat kekuatan yang hebat, yang ia tafsirkan sebagai energi.  (3) Teori tujuh lapis atmosfir, karena dikatakan hujan turun dari langit (35:27) sedang Allah menciptakan tujuh langit (41:12), sehingga hujan itu terjadi pada lapis langit pertama.

Melihat teori dan klaim tersebut, sepertinya mereka mengulang apa yang pernah dilakukan kaum mutakalimin (pecinta filsafat) di masa lalu, yang mencari-cari suatu kesimpulan hanya berdasarkan asumsi, sekalipun asumsi itu berasal dari suatu ayat Qur’an yang ditafsirkan secara subjektif.  Tentu saja, cara berpikir mutakalimin seperti ini tidak pernah menghasilkan terobosan ilmiah yang hakiki, apalagi dapat dipakai untuk keperluan praktis.

Para fisikawan muslim di masa keemasan Islam adalah orang-orang yang dididik dari awal dengan aqidah Islam.  Rata-rata mereka hafal Qur’an sebelum berusia baligh.  Dan mereka sangat memahami bahwa alam memiliki hukum-hukumnya yang objektif, yang dapat terungkap sendiri pada mereka yang sabar melakukan pengamatan dan penelitian dengan cermat.

Ibn al Haytsam (al-Hazen) adalah pioner optika modern ketika menerbitkan bukunya pada tahun 1021.  Dia menemukan bahwa proses melihat adalah jatuhnya cahaya ke mata, bukan karena sorot mata sebagaimana diyakini orang sejak zaman Aristoteles.  Dalam kitabnya al-Haytsam menunjukkan berbagai cara untuk membuat teropong dan juga kamera sederhana (camera obscura).

Menarik untuk mengetahui bahwa al-Haytsam melakukan eksperimen optiknya ini pada saat ia mengalami tahanan rumah, setelah ia gagal memenuhi tugas Amir Mesir untuk mewujudkan proyek bendungan sungai Nil.  Dia baru dilepas setelah penemuan-penemuan optiknya dinilai impas untuk investasi yang telah dikeluarkan sang Amir.

Ibn al-Haytsam juga memulai suatu tradisi metode ilmiah untuk menguji sebuah hipotesis, 600 tahun mendahului Rene Descartes yang dianggap Bapak Metode Ilmiah Eropa di zaman Rennaisance.  Metode ilmiah ibn al-Haytsam dimulai dari pengamatan empiris, perumusan masalah, formulasi hipotesis, uji hipotesis dengan eksperimen, analisis hasil eksperimen, interpretasi data dan formulasi kesimpulan, dan diakhiri dengan publikasi.  Publikasi ini kemudian dinilai oleh peer-review yang memungkinkan setiap orang melacak dan bila perlu mengulangi apa yang dikerjakan seorang peneliti.  Proses peer review telah menjadi tradisi dalam dunia medis sejak Ishaq bin Ali al Rahwi (854-931).

Ibnu Sina alias Avicenna (980-1037) setuju bahwa kecepatan cahaya pasti terbatas.  Abu Rayhan al-Biruni (973-1048) juga menemukan bahwa cahaya jauh lebih cepat dari suara.  Qutubuddin al-Syirazi (1236-1311) dan Kamaluddin al-Fārisī (1260-1320) memberi penjelasan pertama yang benar pada fenomena pelangi.

Di dunia mekanika, Ja’far Muhammad ibn Mūsā ibn Syākir (800-873) dari Banū Mūsā berhipotesis bahwa benda-benda langit dan “lapisan langit” adalah subjek yang mengalami hukum-hukum fisika yang sama dengan bumi.

Al-Biruni dan belakangan al-Khazini mengembangkan metode eksperimental dalam statika dan dinamika, kemudian juga hidrostatika dan hidrodinamika, yang sangat penting dalam pembuatan jembatan, bendungan ataupun kapal.

Pada tahun 1121, al-Khazini dalam “Kitab tentang Keseimbangan Kebijaksanaan” mengusulkan bahwa gravitasi dan energi potensialnya berubah tergantung jaraknya dari pusat bumi.  Dia juga secara tegas membedakan antara gaya, massa dan berat.  Penemuan ini berguna untuk membuat kincir bertenaga air.

Ibnu Bajah (Avempace) yang wafat 1138 berargumentasi bahwa selalu ada reaksi pada setiap aksi.  Teorinya ini sangat berpengaruh pada fisikawan setelahnya, termasuk Galileo dan Newton, dan sangat berguna untuk menghitung kekuatan manjaniq, yakni ketapel raksasa yang berfungsi seperti meriam.

Hibatullah Abu’l-Barakat al-Baghdadi (1080-1165) membantah Aristoteles yang mengatakan bahwa gaya yang konstan akan menghasilkan gerak yang seragam, ketika dalam kitabnya al-Mu’tabar dia menulis bahwa gaya konstan akan menghasilkan percepatan (akselerasi).  Menurutnya akselerasi adalah rerata dari perubahan kecepatan.

Ibnu Rusyd alias Averroes (1126-1198) adalah mujtahid dalam fiqih yang juga fisikawan, terbukti dalam salah satu kitabnya dia mendefinisikan gaya sebagai tingkat kerja yang harus dilakukan untuk mengubah kondisi kinetik dari sebuah benda yang lembam.  Apa yang ditulis Ibnu Rusyd ini 500 tahun lebih awal dari mekanika klasik Newton.

Semua ilustrasi ini menunjukkan bahwa Fisika Islam – kalaupun ada – adalah fisika yang telah melalui rangkaian metode ilmiah, yang kemudian terbukti dapat digunakan untuk keperluan praktis.  Fisika sebagai ilmu pengetahuan empiris dapat diraih oleh peneliti manapun yang sabar, tanpa memandang apa keyakinan aqidahnya.  Kebenaran fakta fisika tidak perlu didukung dan tidak akan mengusik ayat Qur’an manapun, karena keduanya memiliki ruang lingkup yang berbeda.  Memaksa-maksa agar suatu fakta fisika cocok dengan sebuah ayat atau sebaliknya, justru menunjukkan kelemahan pemahaman kita sendiri, baik terhadap si fakta fisika itu, maupun terhadap isi Qur’an sendiri.  Dan ini semua tidak pernah dialami oleh para fisikawan di masa keemasan Islam.