Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Kegagalan Kebangkitan ala Indonesia

Monday, May 21st, 2012

Definisi Kebangkitan

Kalau kita bicara tentang kebangkitan sebuah bangsa, maka kita harus menetapkan dulu apa definisi kebangkitan itu dan apa indikator sebuah bangsa dikatakan telah bangkit, maju, kuat dan mandiri, juga sebaliknya kapan bangsa itu itu disebut bangsa yang gagal, terbelakang, lemah dan pengekor.

Pertama-tama kita bisa menggunakan definisi yang relatif berlaku umum.

Bangkit berarti bangun dari suatu kondisi yang dianggap memiliki kemampuan lebih rendah, misalnya dari posisi berbaring ke duduk, dari duduk menjadi berdiri, dan dari berdiri menjadi berjalan atau berlari. Dalam konteks sosial-politik, bangkit adalah berubah dari posisi “mati” (statis) menjadi “hidup” (dinamis) secara sosial politik.

Dari sisi kualitas, bangkit menuju hidup ini ada tiga tingkatan (level), yaitu:
level-1: bergerak ke arah yang positif (self-build), tidak merusak diri sendiri (self-destroy);
level-2: melakukan sesuatu yang ada hasilnya (produktif) yang tidak habis sekali pakai;
level-3: memberikan sesuatu yang kontributif ke orang banyak atau di masa sesudahnya.

Untuk ukuran sebuah bangsa, bangsa yang statis adalah bangsa yang sepenuhnya tergantung kepada bangsa lain, baik dalam perkara mempertahankan hidupnya, menjaga martabatnya, maupun mewujudkan cita-citanya.  Kehidupan maupun keamanannya ada di tangan bangsa lain.  Mungkin bahkan untuk pangan, air dan energi harus disupply atau disubsidi bangsa lain.  Hukum yang berlaku dan siapa penguasa yang menjalankan hukum itu sepenuhnya juga ditentukan bangsa lain.  Dan tentu saja, apa saja yang dianggap baik yang perlu diperjuangkan sebagai cita-citanya juga diberikan oleh bangsa lain yang menguasainya tersebut.  Bangsa tersebut menjadi “bangsa robot”, meski mungkin memiliki kemajuan material yang tinggi seperti adanya konstruksi pencakar langit, pabrik-pabrik, perkebunan, pertambangan  besar, atau penggunaan teknologi transportasi atau informasi yang canggih.  Tetapi semua kemajuan material ini dirancang asing, dioperasikan di bawah supervisi asing dan keuntungannya juga paling banyak dinikmati oleh asing.

Sebuah bangsa dikatakan keluar dari kondisi statisnya ketika dia mulai merintis memiliki kemauan dan kemampuan sendiri untuk mempertahankan kehidupannya, menjaga martabatnya dan mewujudkan cita-citanya. Proses inilah yang sering disebut perjuangan kemerdekaan.  Persoalannya, sejauh mana kualitas “merdeka” setelah bangkit tersebut?

Sebuah bangsa dapat dikatakan telah bangkit level-1 ketika setelah merdeka dia benar-benar bergerak positif, kondisinya tidak sama atau makin buruk dengan sebelumnya.  Tetapi kalau setelah “merdeka” kemudian terjadi perang saudara, ekonomi memburuk, pendidikan tidak lagi berjalan, dan di jalanan berlaku hukum rimba, maka level-1 inipun tidak tercapai.  Baru setelah level-1 tercapai, bangsa itu dapat meraih level-2 atau -3.

Level-2 adalah ketika kebangkitannya itu memberinya kemampuan untuk produktif, menghasilkan sendiri SDM cerdas berkualitas, membuat sendiri fasilitas produksi yang mampu membuatnya mandiri, sekalipun belum lebih maju dari capaian material yang dimiliki negara lain.  Intinya bukan kualitas capaian materialnya, tetapi bahwa itu dirancang sendiri, dioperasikan sendiri dan keuntungannya lebih untuk mereka sendiri.

Pada level-3, mereka benar-benar dapat memberikan kontribusi ke luar, bahkan ke masa sesudahnya.  Kontribusi ini tergantung visi yang diembannya, bisa positif bisa negatif.  Mereka bisa membebaskan atau memajukan bangsa lain, bisa pula menjajah bangsa lain.

Peta Kebangkitan Dunia

Kalau kita proyeksikan ke dunia saat ini, ada bangsa-bangsa yang statis misalnya sejumlah negeri jajahan Inggris, Perancis, Rusia atau Amerika.  Irlandia Utara adalah jajahan Inggris dan Puerto Rico adalah negeri di Caribia jajahan Amerika Serikat. Sekalipun di sana ada kemajuan material, tetapi faktanya bangsa itu adalah bangsa “robot”.  Mereka tergantung total oleh politik negara penjajahnya.

Sebagian negara jajahan pernah bergolak menuju kemerdekaan, misalnya Chechnya di Rusia, atau Irlandia Utara di Inggris.  Meski negeri tersebut sudah dimasukkan sebagai provinsi penuh dari negara penjajahnya, dan rakyatnya dianggap memiliki hak yang sama dengan rakyat di provinsi lain, tetapi mereka tetap merasa tidak puas karena merasa memiliki martabat dan cita-cita yang berbeda.  Hal yang mirip pernah terjadi di Nusantara saat menjadi sebuah koloni Negeri Belanda, dengan adanya seorang gubernur jenderal yang memerintah Hindia-Belanda.

Lalu ada bangsa-bangsa merdeka level-1 yang sudah berangsur-angsur bergerak ke arah positif, seperti Vietnam atau Malaysia.  Walau mungkin belum semaju Malaysia, Indonesia dapat dikatakan juga sedang menuju level-1, dengan indikator bahwa sejak merdeka secara umum hampir tak ada lagi perang saudara yang berkepanjangan, walaupun masih ada bentrokan kecil-kecilan atau separatis di daerah rawan konflik seperti di Papua.  Ekonomi Indonesia juga secara umum tidak lagi memburuk dengan cepat, pangan atau energi masih relatif mudah diperoleh, walaupun cenderung makin mahal, dan utang negara semakin besar.  Pendidikan bisa berjalan walaupun masih ada jutaan rakyat yang kesulitan mengaksesnya.  Dan di jalanan juga hukum sedikit banyak bisa berjalan, walaupun ada mafia peradilan.

Tetapi kebangkitan di Indonesia dapat dikatakan gagal mencapai level-2.  Level-2 dapat dikatakan telah diraih oleh negara-negara maju seperti Skandinavia, Switzerland atau juga negara berkembang seperti China atau India, bahkan oleh negara yang lebih kecil seperti Iran atau Venezuela.  China dan India dalam tiga dekade terakhir dapat dikatakan berhasil mentransformasi masyarakatnya menjadi cerdas dan mandiri.  Mereka berhasil merancang sendiri banyak hal terkait teknologi dan industri, mengoperasikannya sendiri, dan mereguk keuntungannya sendiri.  Meski produk mereka belum sekaliber negara-negara adidaya, tetapi mereka sudah tidak akan melemah oleh suatu embargo, bahkan mereka mulai disegani di kancah global.

Karena Indonesia gagal meraih kebangkitan level-2, maka tentu saja gagal meraih level-3.  Level-3 saat ini dimiliki oleh negara-negara adidaya atau mantan adidaya seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, mungkin ditambah Jepang atau Jerman.  Umat Islam hanya memiliki negara level-3 di masa lalu, yakni Daulah Khilafah.

Pada masa Orde Lama, Soekarno ingin dengan cepat mentransformasi Indonesia yang baru saja merdeka menuju kebangkitan level-3.  Secara politik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno berusaha tegak tidak mengekor politik negara adidaya saat itu.  Tetapi fakta di lapangan, jangankan level-3, level-1 pun saat itu belum tercapai.  Memang tentara penjajah tidak lagi bercokol di Indonesia, tetapi perang saudara saat itu masih berkecamuk di mana-mana.  Inflasi sangat tinggi, harga-harga meroket, dan rate-pendidikan sangat rendah.

Pada masa Orde Baru, Soeharto belajar dari pengalaman Soekarno, mencoba membangun Indonesia secara terrencana dan berkelanjutan.  Soeharto bahkan membangun berbagai industri strategis seperti PT IPTN, PT PAL, PT PINDAD dsb.  Sayangnya, mayoritas ekonom dan teknokrat yang direkrut Soeharto kurang mandiri, sehingga mengikuti arahan nyaris total dari asing.  Ini tampak pada kebijakan utang luar negeri, pembuatan berbagai instrumen hukum yang lebih pro kapitalis (kurang pro UKM), serta kebijakan politik yang lebih represif.  Semua ini ditambah lagi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang justru ditunjukkan secara mencolok oleh keluarga presiden.  Akibatnya kebangkitan level-1 pun justru ditinggalkan lagi.  Di akhir kekuasaan Soeharto, ekonomi dengan cepat memburuk dimulai dari krisis moneter menjadi krisis ekonomi, dan krisis multi dimensi, termasuk perang saudara yang meluas di Aceh, Ambon, Poso dll,  Industri strategis yang telah disiapkan ditelantarkan kembali, dan ribuan SDM cerdas yang pernah dididik ramai-ramai hengkang ke luar negeri.

Orde Reformasi sempat memberikan harapan. Krisis ekonomi sementara dapat diatasi.  Perang Saudara dapat diredam.  Tetapi liberalisasi yang membonceng reformasi justru membuat kebangkitan level-1 saja semakin sulit didekati kembali.  Berbagai perundangan yang dibuat di era reformasi justru membuat negeri ini makin “ramah” (baca: “dikuasai“)  investor asing.  Akibatnya kesempatan kerja makin berkurang, semakin banyak rakyat yang kehilangan daya beli dan di sisi lain rakyat semakin tidak terurus oleh para petualang politik yang naik ke kekuasaan (legislatif dan eksekutif) melalui proses demokrasi yang sarat permainan uang.

Faktor Ideologi

Di dunia, ada bangsa dengan ideologi yang bermacam-macam berhasil bangkit hingga level-3.  Amerika bangkit dengan kapitalisme.  Soviet dulu bangkit dengan sosialisme.  Yang membedakan hanya pada level-3 ini kontribusi seperti apa yang dihasilkan oleh bangsa itu.

Faktanya, dua ideologi itu menebar kerusakan di luar negeri.  Penjajahan, exploitasi sumber daya alam, dan penggunaan tenaga kerja yang nyaris seperti budak menjadi menu sehari-hari.  Sosialisme bahkan dalam jangka panjang tidak berhasil mempertahankan keberlangsungan negara Soviet.  Dan sekarang kapitalisme sedang menjadikan Amerika diujung tanduk.

Indonesia mengklaim menjadikan Pancasila sebagai ideologi kebangkitannya.  Namun ada yang terlupa, bahwa Pancasila sebenarnya baru sekedar falsafah, belum berupa ideologi yang lengkap.  Karena itu, dalam prakteknya, Pancasila bisa ditarik-tarik ke arah sosialis seperti di masa Orde Lama, ke arah kapitalis seperti di masa Orde Baru, atau ke arah kapitalis-liberal seperti di era Reformasi.

Hanya ideologi intelektual yang sehat dan secara rinci menunjukkan tak cuma tentang cita-cita tetapi juga jalan yang terang untuk meraih cita-cita itu, yang akan mampu mengantar Indonesia kepada kebangkitannya, tak hanya level-1, tetapi hingga level-3.  Ideologi seperti itu ada dalam Islam. Dan  pengalaman empiris dari sejarah menunjukkan bahwa itu hanya akan terjadi bila kita meraih cita-cita itu melalui kendaraan berupa Daulah Khilafah yang akan menerapkan seluruh paket sistem syariah.

Dengan ideologi Islam, visi kebangkitan sangat jelas, yaitu sampai mampu mewujudkan umat terbaik yang mampu menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah (QS 3:110).  Tugas ini memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya takut kepada Allah saja dan taat kepada semua yang diperintahkan syari’ah.  Selanjutnya kebangkitan level-1, 2, 3 akan terwujud dengan sendirinya seiring dengan penerapan syariah yang kaffah dan istiqomah.

Untuk konteks Indonesia, faktor ideologi ini juga akan berpengaruh pada seberapa cepat kebangkitan akan diraih.  Karena 85% rakyat Indonesia adalah muslim dan berbagai survei menunjukkan mereka masih memiliki ikatan emosional dan spiritual Islam yang tinggi, maka sudah seharusnya ideologi yang dipakai untuk membangkitkan adalah ideologi Islam.

Inilah rahasia kenapa kebangkitan level-1 pun tidak sepenuhnya kita raih, karena kita lengah tidak menggunakan ideologi Islam sebagai ideologi kebangkitan.  Hanya dengan ideologi Islam, maka tak cuma kebangkitan level-1 yang akan kita raih, tetapi juga level-2 dan level-3.

Dalam konteks materialisme seperti pada bangsa Barat, kualitas suatu bangsa memang diukur dari produk peradaban (teknologi, industri, seni, arsitektur, dll).   Namun dalam konteks Islam, ukuran yang standard adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma’ruf nahi munkar kelas dunia.  Itulah kebangkitan yang kita dambakan.

Lima Paradigma Hubungan Islam & Sains

Monday, May 14th, 2012

oleh Fahmi Amhar

Science (from Latin scientia, meaning “knowledge”) is a systematic enterprise that builds and organizes knowledge in the form of testable explanations and predictions about the universe.

Sains didefinisikan sebagai sebuah usaha yang sistematis untuk membangun dan mengorganisasikan pengetahuan dalam sebuah bentuk penjelasan atau prediksi yang bisa diuji tentang alam semesta.

Sebagian sains sudah ada sejak sebelum Islam datang.  Sains tentang panjang sisi miring sebuah segi tiga siku-siku sudah ditemukan Phytagoras, matematikawan Yunani (wafat 495 SM). Sains tentang hidrolika sudah ditemukan Archimedes (wafat 212 SM).   Sains tentang Astronomi sudah ditulis oleh Ptolemeus (wafat 168 SM).  Sains tentang banyak hal dicoba dirumuskan oleh Aristoteles (wafat 322 SM).

Beberapa jenis sains ini masih dicampuri berbagai mitos, filsafat, kecenderungan spiritual tertentu, aksioma yang tidak berdasar, atau harapan-harapan palsu.  Astronomi masih dicampuri dengan ramalan nasib, dan ilmu kimia masih dicampuri dengan pembuatan ramuan sihir.

Ketika Islam datang, Islam memberikan sejumlah hal, yang kemudian generasi selanjutnya mereview hubungan antara iman-Islam dengan sains.  Dalam perkembangannya, teramati ada lima macam paradigma hubungan Islam & Sains.

1. SAINS – ISLAM

Adalah Rasulullah sendiri yang ditunjukkan dalam hadits tentang kasus penyerbukan kurma, yang menunjukkan bahwa urusan sains & teknologi adalah “urusan kalian”.  Nabi datang dengan membawa wahyu adalah untuk mengatur pandangan, sikap atau perilaku manusia yang tidak bisa ditemukannya sendiri dengan sains.  Qur’an bicara hal-hal ghaib tentang masa lalu yang sangat jauh saat penciptaan bumi & langit, saat penciptaan manusia, atau masa depan yang juga sangat jauh, saat bumi & langit digulung lalu semuanya dibangkitkan kembali untuk menghadapi pengadilan.  Ini adalah hal-hal yang tidak mungkin diuji dengan sains, tetapi hanya dapat diketahui dari kabar di dalam Qur’an.  “When the science end, begin the faith”.  Islam memberikan kepada manusia berberapa norma perilaku yang halal dan haram, bukan atas dasar pembuktian sains, tetapi atas dasar kepatuhan kepada Tuhan selaku pencipta manusia.  Bahwa di balik halal – haram itu bakal ada hikmah pada jangka panjang, bisa saja, tetapi itu bukan dasar diberlakukannya norma tersebut.  Seorang muslim mematuhi norma itu karena keimanannya, bahwa Allah yang Maha Tahu, pasti tidak akan memberikan perintah yang tidak memberikan manfaat pada jangka panjang, sekalipun kita belum tahu secara saintifik.

Karena itu, para ilmuwan generasi salaf, menjadikan Islam sebagai motivator mereka mencari ilmu – bahkan sampai ke Cina, atau inspirator dalam menggali objek-objek yang hanya disinggung selintas di dalam Qur’an.  Mereka mendalami astronomi berawal dari buku Almagest karya Ptolemeus, lalu dikembangkannya sendiri dengan membangun banyak observatorium, karena dorongan ayat surat Al-Ghasiyah “Apakah mereka tidak memperhatikan, bagaimana langit ditinggikan?”.  Mereka menjadikan syariat Islam sebagai pagar tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh selama mencari ilmu itu.  Maka mereka yakin bahwa ilmu sihir tidak boleh dipelajari, meski ada rasa ingin tahu yang besar, karena ilmu itu menuntut dipelajari dengan praktikum yang melanggar syariat dan penuh kesyirikan.  Dan mereka juga menjadikan Islam sebagai arah bagaimana ilmu itu diamalkan.  Para ilmuwan muslim selalu berusaha keras agar setiap rumus hukum alam yang mereka temukan, atau setiap senyawa kimia yang berhasil direkayasa, dapat menjadi berkah dan investasi pahala yang mengalir terus meski ditinggal mati.  Sains dan teknologi tidak dikembangkan untuk menjajah manusia, tetapi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.  Inilah hubungan model SAINS – ISLAM ala Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu al-Haitsam, Muhammad al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun, dan sebagainya.

2. ISLAMISASI SAINS

Pola islamisasi sains sebenarnya baru muncul abad 20, ketika dunia Islam sudah tidak lagi memiliki ilmuwan-ilmuwan atau saintis-saintis handal kelas dunia.  Islamisasi Sains berusaha menjadikan penemuan-penemuan sains besar abad-20 yang mayoritas terjadi di Barat, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keimanan umat Islam.  Misalnya, penemuan ultrasonografi yang dapat melihat proses terbentuknya janin di dalam perut, atau penemuan kecepatan cahaya, diklaim sebagai telah disebutkan di dalam Qur’an, sehingga diharapkan makin mempertebal iman seorang muslim bahwa Qur’an telah mendahului sains, karena diturunkan oleh Allah Yang Maha Tahu.  Inilah hubungan yang dikembangkan banyak muslim saat ini, dan yang menonjol adalah Harun Yahya.  Hubungan ini mendapat banyak kritik, bahwa hubungan ini hanya sekedar menghubung-hubungkan hal-hal yang semula tidak berhubungan (othak-athik-gathuk), karena para ilmuwan muslim masa lalu pun tidak berpikir ke sana, dan hubungan ini belum berhasil mendorong kreatifitas muslim dalam meneliti atau mendapatkan fakta sains baru.  Hubungan ini juga bisa berdampak negatif, ketika fakta sains yang dimaksud ternyata di masa depan harus dikoreksi secara signifikan, karena ada data atau model analisis yang baru.

Di luar paradigma ini ada usaha-usaha untuk “menggantikan” asumsi-asumsi dasar yang ada pada “sains-sekuler” saat ini dengan Islam.  Misalnya mengganti “teori-kekekalan-massa-energi” di fisika, dengan alasan yang kekal hanya Allah.  Tetapi sebenarnya penggantian asumsi ini tidak relevan dengan sains itu sendiri, karena yang dimaksud “kekekalan massa-energi” dalam fisika adalah “kekekalan pada skala laboratorium”.  Fisika tidak membahas dunia di saat penciptaan ataupun di saat kiamat nanti, karena tidak bisa diuji.  Kita memang mengasumsikan bahwa hukum-hukum fisika yang kita kenal itu berlaku di seluruh jagad raya dan kapanpun.  Mengapa?  Karena kita tidak bisa mendapatkan hukum-hukum fisika lain di sesuatu yang tidak bisa kita hadirkan untuk diuji.  Jadi asumsi dasar apakah dunia diciptakan Allah (sebagaimana keimanan seorang muslim) atau muncul dengan sendirinya (seperti keyakinan seorang atheis), tidak akan berpengeraruh pada rumusan hubungan antar fenomena alam semesta di dalam sains itu sendiri.

3. SAINTIFIKASI ISLAM

Saintifikasi Islam juga baru muncul abad-20.  Idenya adalah bagaimana agar perintah-perintah Islam dapat dipahami secara ilmiah.  Misalnya bahwa tata cara sholat memang akan menghasilkan dampak positif secara fisiologis/psikologis, atau bahwa penerapan mata uang tunggal berupa dinar-emas/dirham-perak akan menghasilkan kondisi ekonomi yang terbaik.  Contoh ilmuwan yang beberapa kali menggunakan paradigma hubungan ini adalah Prof. Dadang Hawari.  Beliau melakukan riset yang mendalam dengan alat-alat pencatat denyut jantung (EKG) atau sinyal otak (EEG), juga mengambil sampel darah dan menganalisisnya, pada orang-orang yang rajin melakukan sholat (khususnya tahajud) dan puasa.  Secara umum sebagai upaya memuaskan rasa ingin tahu, hal ini sah-sah saja, dan juga diakui sebagai aktivitas saintifik.  Hanya saja, hasil riset seperti ini tidak akan menambah atau mengurangi norma perintah/larangan yang diberikan oleh Islam.  Aktivitas saintiifikasi Islam juga tidak produktif pada aspek-aspek yang didiamkan (tidak diatur secara tegas) oleh agama.

4. SAINS TA’WILI

Sains Ta’wili juga baru mengalami “kebangkitan” di abad-20.  Bentuknya adalah menggali ayat-ayat Qur’an atau hadits Nabi, lalu mencoba membuat postulat yang dianggap ilmiah, dengan mengabaikan uji teori secara empiris atau eksperimen.  Contohnya adalah, ketika ada ayat tentang “Matahari beredar …” lalu “Bulan dan Bintang beredar …”, sedang tidak ada ayat yang berbunyi bahwa “Bumi beredar …”, maka mereka berkesimpulan bahwa pastilah Bumi ini pusat alam semesta.  Kesimpulan ini jelas bertentangan dengan fakta-fakta keras yang menjadi dasar teknologi ruang angkasa saat ini.  Tetapi para penganut sains ta’wili bersikukuh bahwa “Qur’an lah yang benar”.  Mereka mengabaikan kenyataan bahwa pendapat mereka itu hanyalah ta’wil, bukan Qur’an itu sendiri.  Banyak hal yang tidak disebutkan di dalam Qur’an, dan itu tidak berarti tidak ada atau tidak akan pernah ada.  Existensi es di kutub-kutub bumi tidak disebutkan di dalam Qur’an, tetapi faktanya kan ada.  Demikian juga bahwa suatu ketika mahluk hidup bisa dikembangbiakkan dengan teknik “cloning”, itu tidak berarti melawan ayat suci, karena sebenarnya Qur’an tidak pernah membicarakan hal itu.  Sementara itu, di sisi sains juga banyak juga teori yang sebenarnya juga hanya ta’wil, bukan sains itu sendiri.  Charles Darwin sebenarnya hanya mendapatkan fosil-fosil yang berbeda-beda dengan usia berbeda-beda, sehingga dia menyimpulkan adanya evolusi.  Tetapi bahwa evolusi itu akan mengantarkan monyet menjadi manusia, tentu itu adalah ta’wil, karena tidak mungkin ada uji experimen untuk evolusi manusia.  Waktu yang dibutuhkan akan sangat lama (ratusan ribu tahun).  Di dunia Kristen, sains ta’wili atas Bibel mengantarkan mereka untuk menghukum para ilmuwan seperti Galileo atau Copernicus karena dianggap melawan ajaran gereja.  Di dunia Islam, hal yang sama terulang sejak abad-20, ketika beberapa tokoh ulama di Saudi menggunakan sains ta’wili untuk menganggap kafir ilmuwan yang tidak percaya pada “teori Geosentris ala Islam”.

Contoh lain sains ta’wili banyak ditemui di dunia kesehatan.  Ketika ada hadits shahih “Habatussaudah itu obat segala penyakit selain maut”, maka pendukung sains ta’wili dengan serta merta yakin bahwa habatussaudah itu dapat mengobati penyakit yang sekarang belum ketemu obatnya, seperti HIV/AIDS, dan ketika penderita tersebut akhirnya mati juga (karena tidak sembuh), mereka berkilah, “ya itu karena maut memang tidak bisa diobati”.  Kalau seperti ini halnya, tentunya penyakit apapun bisa diklaim begitu saja.  Yang jelas, perjalanan sejarah ilmuwan kedokteran salaf justru tidak seperti itu.  Ibnu Sina, Abu Qasim az-Zahrawi atau Ibnu an-Nafs tidak berhenti dengan obat segala penyakit seperti habatussaudah.  Mereka mengembangkan banyak hal, sampai ke pembedahan dsb, untuk menemukan metode pengobatan yang paling efektif, dan tidak membiarkan maut menjemput pasien, kecuali seluruh ikhtiar yang ilmiah sudah dikerjakan.

5. SAINS SEKULER

Sains sekuler adalah sains yang mendominasi dunia saat ini, ketika sains sama sekali menolak untuk menerima keberadaan Tuhan.  Akibatnya, Tuhan tidak boleh dibawa-bawa ketika menggeluti sains, dalam bentuk apapun, baik itu sekedar sebagai inspirator, pagar yang mengatur metode ilmiahnya, hingga aplikasi penemuannya.  Ilmuwan yang masih melibatkan Tuhan dalam kajian ilmiahnya dianggap sebagai saintis yang tidak serius.  Tuhan biarlah berada di tempat terhomat, yang tidak diganggu oleh rumus dan falsifikasi.  Tuhan biarlah tetap di ujung lorong sana di tempat-tempat yang tidak bisa dikunjungi sains.  Yang menyedihkan, sains sekuler ini diajarkan pada anak-anak kita di semua mata pelajaran, termasuk di pelajaran agama, dan termasuk di sekolah-sekolah Islam.

Sebagian orang mengalami kesulitan membedakan paradigma-1 (SAINS ISLAM) dengan paradigma-5 (SAINS SEKULER). Sebagian penganut paradigma-4 (SAINS TA’WILI) bahkan menuduh praktisi paradigma-1 telah terjebak dalam sekulerisme, karena dianggap menolak dalil wahyu yang pasti benar, padahal yang disangka dalil itu masih mutasyabihat.  SAINS ISLAM sangat berbeda dengan SAINS SEKULER di tiga hal, yaitu (1) inspirasi/motivasi mengembangkan sains, (2) metode mengembangkan sains, (3) pembatasan dalam aplikasi sains, yaitu teknologi/inovasi.  Hasilnya: SAINS ISLAM akan jauh lebih berkah, karena didorong oleh semangat mensyukuri kebesaran Allah dan semangat menjadikan umat Islam umat terbaik bagi manusia, bukan semangat exploitasi manusia atas manusia lain; dikembangkan dengan mematuhi hukum syara’, bukan mengabaikannya; dan diterapkan untuk merahmati seluruh alam, bukan untuk menjajah.

(tentang hal ini lihat http://www.hidayatullah.com/read/21275/21/02/2012/antara-ilmuwan-islam-dan-sekuler.html)

 

Lantas kita akan memilih paradigma yang mana?

Kisah Adik Haram Sang Pelacur

Thursday, May 10th, 2012

KISAH ADIK HARAM SANG PELACUR

oleh Fahmi Amhar

Ada pecundang bernama Atheisme.

Prinsip hidupnya: agama adalah candu!

Dia juga anak haram sejarah, yang marah ketika ajaran agama dijadikan alat penindas oleh kekuasaan negara, sementara para pemimpin agama menjadikan agama hanya obat penenang bagi kaum dhuafa.

(* andaikata negara/umara membangkitkan rakyat dengan solusi kaffah dari ahli agama/ulama, tentu gak begini jadinya *).

Atheisme merasa kesal dengan solusi dari kakak haramnya, pelacur dunia bernama Sekulerisme (http://www.facebook.com/messages/100000837346075#!/notes/fahmi-amhar/lima-anak-haram-sang-pelacur/10150760314486921?comment_id=21939289&notif_t=like), yang dalam prakteknya terlalu didominasi oleh anaknya yang ke-empat yaitu Kapitalisme.

Karena itu tak heran Atheisme kemudian bertekad juga memiliki lima anak yang semua dididiknya agar bersaing dengan anak-anak Sekulerisme.

Anak pertama bernama Sosialisme.

Nama aslinya Marxisme.  Prinsip hidupnya adalah: segala sesuatu hanya materi, yang berkembang sesuai dengan evolusi.  Dia sangat percaya dengan teori evolusi Darwin, bahkan dikembangkannya lagi untuk memahami fenomena masyarakat.  Tetapi kemudian dia lebih sering dipanggil Sosialisme, karena belakangan prinsip hidupnya: “apapun harus menjadi milik bersama, termasuk kebahagiaan dan kekuasaan”, karena kebersamaan adalah proses akhir dari evolusi material.  Sosialisme adalah keniscayaan sejarah setelah Kapitalisme.

Anak ini sangat dominan dalam keluarga, karena dialah penyemangat dan penopang utama saudara-saudaranya. Baginya merampok milik pribadi orang-orang kaya, lalu membagi-baginya ke kalangan bawah adalah sebuah perbuatan mulia.

Sosialisme memiliki anak haram: Nasional-Sozialisme (Nazi) dan Baathisme.

 Anak kedua bernama Komunisme.

Nama aslinya adalah Otokrasi.

Prinsip hidupnya: “Suara partai adalah suara rakyat”. Kedaulatan hukum itu ada pada partai, karena partai adalah pemimpin rakyat, penyambung lidah rakyat, pembela hak-hak rakyat, dan pejuang kepentingan rakyat sehingga penguasa wajib menjalankan keputusan partai. Kekuasaan ditentukan dengan pemilihan di antara kader partai, sehingga pers harus dikontrol partai. Kalau partai memandang pelarangan tempat ibadah atau penghapusan asset pribadi sebagai hal yang lebih bermanfaat, maka akan keluar pula hukum yang mendasarinya. Satu-satunya yang dianggap benar adalah keinginan partai, hari ini, di negeri ini. Karena partai juga terdiri dari manusia-manusia yang terbatas wawasannya, maka Otokrasi bisa saja menelurkan keputusan yang kontradiktif, yang secara langsung atau tak langsung bisa menghancurkan masa depannya sendiri, atau rakyat / lingkungan negeri lain.

Karena pengaruh kakaknya (Sosialisme) begitu kuat, belakangan dia merubah namanya menjadi Komunisme.

Kemudian dia punya beberapa anak haram, ada yang beraksen Rusia, Cina, Afrika maupun Indonesia.

Anak ketiga bernama Despotisme.

Prinsip hidupnya: “karena kami yang berkeringat, maka harus kami yang berkuasa”.  Ruang publik harus didominasi dan diperintah oleh satu kelompok yang sepaham saja.  Bahkan di dalam kelompok ini tidak boleh ada faksi-faksi ataupun pendapat yang berbeda.  Pembangunan akan efektif kalau satu bangsa satu tujuan, satu metode, satu partai dan satu pemimpin. Karena itu, Despotisme memandang, tidak dikehendaki ada partai-partai oposisi di dalam masyarakat.  Sebenarnya Despotisme ini tidak terlalu peduli ajaran kakaknya Sosialisme ataupun ibunya Atheisme.  Jadi dia bisa juga berkawan dengan Ayah Haramnya dari Agamawan maupun dari Sepupu Haramnya Kapitalisme.

Belakangan Despotisme melahirkan anak-anak haram: yaitu Authoritarianisme dan Totaliterisme.

Anak keempat bernama Fasisme.

Prinsip hidupnya: “jangan biarkan mereka bebas, karena masyarakat perlu dipimpin (oleh Sosialisme)”. Karena itu, Fasisme mencabut berbagai kebebasan, baik itu kebebasan berbicara, beribadah, berserikat maupun berusaha.  Semua harus dipimpin oleh seorang pemimpin besar yang “tercerahkan” dan “dicintai rakyat”.

Fasisme melahirkan anak-anak haram seperti Stalinisme dan Maoisme.

Anak kelima bernama Internasionalisme.

Nama lengkapnya: Proletarian-Internasionalisme.

Prinsip hidupnya: Dunia ini akan paling aman, paling adil dan paling makmur kalau diberintah oleh kaum proletar dengan ajaran Sosialisme. Karena prinsipnya ini, maka Internasionalisme mengekspor revolusi dan ide kakak-kakaknya ke seluruh dunia. Penyebaran ini tentu saja dilakukan secara militer, tetapi sayangnya, anak kelima ini justru mati paling awal di medan sejarah.

Belakangan kakak-kakaknya juga kehilangan arah, dan akhirnya berselingkuh dengan anak-anak Sekulerisme.

Di Cina, Komunisme akhirnya berselingkuh dengan Kapitalisme.  Dunia politik tetap Komunisme, tetapi ekonomi Kapitalisme.

Sedang di Eropa, Demokrasi mau incest dengan adiknya yaitu Kapitalisme sekaligus berselingkuh dengan Sosialisme, menjadi “Kapitalisme berwawasan Demokrasi dan Sosial”.

Sedang di beberapa negara berkembang, Kapitalisme berselingkuh dengan Despotisme.  Jadinya sumber daya ekonomi benar-benar diserahkan pasar, tetapi pemerintahan sangat otoriter, meskipun dilegalkan dengan pemilu.