Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Audit Komprehensif Era Khilafah

Saturday, January 28th, 2012

Dr. Fahmi Amhar

Pemerintah SBY jilid II ini konon meletakkan Reformasi Birokrasi sebagai prioritas pertama program-programnya.  Ini karena aparat birokrasi pemerintahan adalah ujung tombak jalan tidaknya semua kebijakan politik.  Mungkin orang sudah capai dengan janji-janji, apalagi terkait pemberantasan korupsi dan pengentasan kemiskinan.  Birokrasi yang tidak proaktif jemput bola melayani rakyat, tidak transparan cara kerjanya serta tidak terukur prestasinya, menjadi sandungan yang serius bagi suatu negara, siapapun pemimpinnya, apapun ideologinya.

Seorang pemimpin – apalagi pemimpin tertinggi sebuah negara – memiliki tugas mulia untuk memberi arah yang jelas bagi birokrasi di bawahnya, mengoptimasi segala sumberdayanya (dan negara adalah pemilik terbesar sumberdaya, baik itu SDM, organisasi, alat, asset maupun keuangan), menerapkan SOP sekaligus memberi teladan, hingga mengawasi bahwa semua berjalan “on the track”.  Tugas terakhir itu adalah tugas pengawasan (audit).  Yang diaudit tentu saja cukup komprehensif, yaitu mutu layanan, biaya layanan (agar tidak mahal atau boros) dan kecepatan layanan (agar rakyat tak hilang kepercayaan yang biasa terjadi bila layanan tidak memuaskan).

Ternyata tugas terakhir ini sangat penting, sebab ini mirip muara sebuah “sungai birokrasi”.  Dunia industri sepertinya bahkan sudah “mengenali” lebih awal dengan menerapkan standar ISO-9000 untuk manajemen mutu.  Banyak juga peneliti yang lalu usul agar reformasi birokrasi mengacu juga ke ISO-9000.

Apakah orang percaya, bahwa sebuah negara dapat bertahan berabad-abad tanpa pengawasan yang baik?  Tentu tidak.  Demikian juga dengan Daulah Khilafah yang pernah jaya berabad-abad.

Kalau kita meneliti fragmen-fragmen sejarah, ternyata audit sudah dikerjakan oleh Rasulullah sendiri.  Sebelum mengangkat para pejabatnya, Rasulullah pernah menguji sejauh mana hafalan Qur’an mereka.  Kandidat yang hafal surat Al-Baqarah dan Ali-Imran mendapat score lebih tinggi, mungkin karena kedua surat ini sarat berisi hukum, sehingga ada jaminan bahwa pejabat tersebut mengerti benar “SOP” yang akan diterapkannya.  Nabi juga pernah mengaudit kualitas tepung di pasar.  Ternyata tepung itu kering di atas, tetapi basah di bawah.  Dan itu menurut Nabi bisa jatuh ke delik penipuan konsumen.

Abu Bakar juga mengaudit sendiri pelaksanaan syariat zakat.  Dan ketika ada suatu kaum berkilah untuk menolak membayar zakat, Abu Bakar menindaknya dengan tegas.  Umar bin Khattab lebih ketat lagi dalam soal pengawasan.  Dia sering menyamar lalu berkeliling negeri melihat apakah masih ada warga yang belum terlayani aparat birokrasinya.  Umar juga kadang-kadang menguji integritas seseorang dengan pura-pura mengajak kolusi, seperti ketika beliau pura-pura ingin membeli domba dari seorang gembala.  Dan dia juga benar-benar menghitung harta seluruh pejabatnya di awal dan akhir periode jabatannya.  Setiap kelebihan yang tidak bisa dijelaskan secara syar’i, akan disita.  Umar bahkan memberi sanksi pada seorang gubernur Mesir, ketika anak si gubernur menzhalimi rakyat kecil.  Alasan Umar: si anak ini tidak berani zhalim bila ayahnya bukan pejabat, dan sayang ayahnya ini tidak mengawasi anaknya.

Khilafah juga menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat, sehingga rakyat yang cerdas akan selalu mengawasi penguasa.  Sejak masa Khulafaur Rasyidin, para sahabat tak pernah canggung dan takut mengkritik para Khalifah.  Umar yang terkenal kesederhanaan dan keadilannya pun tak luput dari sikap kritis sahabat yang tak mau mendengarnya sebelum menjelaskan, darimana bajunya yang tampak lebih panjang dari rata-rata.  Sampai Umar menjelaskan, bahwa bajunya disambung dengan milik anaknya, yang dikasihkan kepadanya.

Pada masa selanjutnya, audit seperti ini tidak lagi sekedar mengandalkan intuisi seorang pemimpin, tetapi sudah melibatkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, serta diterapkan di hampir semua bidang pelayanan publik.

Mungkin cabang ilmu yang paling cepat dipakai untuk audit adalah matematika.  Kitab al-Jabar wal Muqobalah dari al-Khawarizmi (780-850 M), bukanlah buku ilmiah yang berat, tetapi buku praktis bagi banyak orang.  Pedagang, petani, staf baitul maal, bahkan para hakim bisa dengan cepat menguji hitung-hitungannya menggunakan cara yang terjamin akurasinya.  Lahirlah cikal bakal akuntansi.  Maka pedagang bisa dengan cepat mengaudit para pegawainya yang bertransaksi di Syams atau Yaman.  Petani bisa mengaudit klaim penggunaan air atau pupuk.  Staf baitul maal lebih mudah menguji proposal pembagian zakat dari suatu kaum.  Dan para hakim bisa cepat menghitung waris secara adil.

Cabang ilmu kedua yang terpakai untuk audit adalah geografi.  Peta-peta yang mulai mendapatkan bentuk standar sejak masa Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934 M), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048 M), Muhammad al-Idrisi (1100–1165 M) dan seterusnya, memudahkan para kepala daerah untuk mengawasi perkembangan wilayah di daerahnya.  Posisi, distribusi dan kondisi wilayah yang dihuni lebih mudah dilihat, sehingga berapa jumlah aparat yang ditempatkan, hingga berapa jumlah zakat yang dapat ditarik, lebih mudah diperkirakan dengan akurat.

Cabang ketiga, mungkin ilmu kimia.  Sejak Jabir ibn Hayyan (715-815 M) memperkenalkan metode ilmiah dalam percobaan material, menjadi semakin mudah bagi para pandai besi untuk menguji kemurnian logam mulia, atau bagi insinyur sipil untuk menguji apakah semen yang dipakai untuk membangun jembatan memang pada kualitas kekuatan yang ditetapkan.  Metode analisis dalam ilmu kimia juga berguna untuk mengetahui apakah sebuah makanan memiliki resiko kesehatan, atau apakah sebuah lahan layak ditanami tanaman tertentu, atau cocok untuk dibangun hunian atau bahkan rumah sakit.

Tidak cuma prosesnya.  Sumber Daya Manusianyapun diuji untuk menjamin kualitas layanan.  Di bidang kesehatan, para tabib di masa khalifah Harun al-Rasyid secara teratur diuji kompetensinya.  Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya.  Mereka juga harus membuat rekam medis, sehingga setiap ada kejadian yang serius bisa dilacak bagaimana awal mulanya.

Bahkan pada saat peperangan, beberapa panglima muslim mengaudit sendiri kualitas persenjataan serta kesiapan pasukan.  Sebelum merebut Konstantinopel, Sultan Mehmet II yang kemudian bergelar al-Fatih bahkan menanyai langsung intensitas dan kualitas ibadah anggota pasukannya, karena Rasulullah telah mengatakan bahwa Allah hanya akan membuka kota itu bagi pasukan yang terbaik – tentu tidak hanya yang terbaik senjata fisiknya, tetapi juga kualitas spiritualnya.

Ilmuwan Kimia mengaudit mutu barang di lab

Khalifah Juga Manusia

Thursday, August 30th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Alumnus Vienna University
Peneliti Sejarah Islam.

Konferensi Khilafah Internasional (KKI) yang digagas oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus 2007 lalu mulai menuai bola salju.  Di harian Media Indonesia 24 Agustus 2007 lalu muncul dua tulisan yang mempersoalkan ide-ide HTI.

M. Hasibullah Satrawi (alumnus al-Azhar Kairo) mempertanyakan prosedur pemerintahan seperti apa yang hendak diciptakan?  Satrawi menganggap HTI mengalami kerancuan paradigma, yang di satu sisi ingin menegakkan pemerintahan khilafah (yang menurutnya pada masa awal Islam sarat dengan nilai-nilai demokrasi), tetapi di sisi lain HTI anti demokrasi.  Bahkan dia pertanyakan apakah HTI sama atau memang Khawarij baru – suatu hal yang juga dilontarkan oleh kelompok Salafi.

Sedang Zuhairi Misrawi (Direktur Moderate Muslim Society) menggunakan pendekatan hermeneutik.  Istilah khalifah dan khilafah dikatakan mengalami perkembangan dan partikularisasi, dari “mandat Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia apapun agamanya” menjadi “justifikasi dan legitimasi suatu klan politik”.  Kedaulatan Tuhan atau sistem khilafah menurutnya adalah kalimat mulia tapi maknanya bisa menjadi batil.

Lepas dari soal setuju atau tidak dengan isinya, keberadaan dua tulisan itu dapat bernilai positif, dan justru diharapkan oleh HTI untuk membuka perdebatan ilmiah yang mengandalkan kekuatan logika.  Sepanjang pergumulan saya dengan gerakan HT selama lebih kurang 17 tahun, saya melihat bahwa gerakan ini sangat concern dengan adu argumentasi ilmiah, dan bukan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengandalkan logika kekuatan.  Justru logika kekuatan ini yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh penguasa negeri ini, yang mencekal dan mendeportasi dua pembicara KKI dari Luar Negeri, serta melarang dan menekan beberapa tokoh Dalam Negeri agar tidak berorasi di forum KKI.

Sebenarnya apa yang dipersoalkan oleh dua penulis di atas, sudah terjawab oleh buku-buku HT sendiri.  Dalam buku Ajjihzah daulatih khilafah (Struktur Negara Khilafah) yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir (Internasional) tahun 2005, ditegaskan bahwa sistem khilafah adalah sistem manusia dan bersifat duniawi.  Khalifah juga manusia, dan negara Khilafah bukan negara teokrasi.

Meskipun istilah Khalifah dipakai secara umum di dalam Qur’an Surat al-Baqarah ayat 30 (Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”), namun Rasul telah dengan jelas membatasi istilah itu untuk pemerintahan pasca Nabi.  Nabi bersabda dalam hadits riwayat Muslim: “Dulu Bani Israel diurus dan dipelihara oleh para nabi. Setiap seorang nabi meninggal, nabi yang menggantikannya.  Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah, dan mereka banyak”.  Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang kau perintahkan kepada kami?”  Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka.  Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus”.

Di hadits yang lain Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara, sehingga melarang munculnya kepala negara tandingan.  Dalam hadits riwayat Muslim tersebut Nabi secara eksplisit menggunakan istilah khalifah untuk kepala negara kaum muslimin: Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya”.

Tentang mekanisme pemilihan khalifah, apa yang terjadi pada masa khulafaur Rasyidin, dan diamnya mereka melihat mekanisme pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa keempatnya adalah sah sebagai model.  Hal ini karena ada sabda Nabi: “Ummatku tidak akan sepakat dalam kemungkaran”.  HT menyimpulkan bahwa kesepakatan (ijma’) para sahabat (dan hanya berlaku untuk para sahabat Nabi) adalah sebuah sumber hukum.

Karena itu bagi HT mekanisme itu sangat jelas.  Khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar; atau dengan nominasi khalifah sebelumnya seperti Umar; atau dengan suatu komite pemilihan seperti Utsman atau dengan suatu pengambil alihan di saat terjadi vacuum of power seperti Ali.  Keempat model ini semuanya absah pada saat yang tepat.  Jadi keliru untuk mengatakan bahwa Islam atau sistem khilafah tidak memiliki model suksesi.

Sedang apa yang terjadi di masa dinasti Umayah, Abbasiyah atau Utsmaniyah adalah penyalahgunaan sistem nominasi.  Namun bukan metode nominasinya sendiri yang salah.  Dalam sistem demokrasi juga ada nominasi.  Hampir semua penerus Perdana Menteri pada sistem demokrasi parlementer adalah dinominasikan oleh PM sebelumnya.  Toh nominasi ini hanya akan berjalan dengan baik kalau diterima oleh Parlemen dan diperkuat lagi oleh pemilu berikutnya.

Dalam sistem khilafah, nominasi ini baru akan sah ketika ada baiat.  Baiat adalah semacam kontrak antara umat (yang terwakili oleh tokoh-tokoh kunci kekuatan umat, yaitu di politik atau militer) yang siap taat dan membela seseorang agar menerapkan syariat Islam.  Orang yang menerima baiat itulah yang kemudian menjadi khalifah, atau amirul mukminin, atau sultan atau sebutan lain yang sah.

Sebaiknya kalau kita meneropong suatu sistem pemerintahan, kita jangan hanya terpaku pada sistem suksesinya.  Konstitusi negara manapun tidak hanya mengatur suksesi.  Di UUD 45 hasil amandemen, soal suksesi hanya ada pada 3 pasal dari 37 pasal. Maka, ketika kita menilai kualitas sebuah negara, jangan pula hanya dilihat suksesinya.  Kalau kita mau jujur, Indonesia ini meski sukses melakukan suksesi secara demokratis, tetapi kualitas kehidupan masyarakatnya justru semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita proklamasi.

Sementara, se-despot apapun para khalifah Islam di masa lalu, mereka masih melindungi rakyatnya, mencerdaskannya, menjadikannya sejahtera, dan menorehkan sejarah peradaban emas Islam.  Umar bin Abdul Azis dari bani Umayyah berhasil mensejahterakan rakyatnya dalam 2,5 tahun, padahal waktu itu kekuasaanya membentang dari Spanyol hingga Iraq.  Khalifah al Rasyid dan al Makmun dari bani Abbasiyah mensponsori aktivitas keilmuan yang luar biasa di masanya.  Al Mu’tashim Billah dengan tegas menindak suatu negara boneka Romawi yang serdadunya melakukan pelecehan seksual atas wanita muslimah di negeri itu.  Bayangkan dengan apa yang diperbuat Republik Indonesia yang sangat demokratis pemilunya ini pada ribuan perempuan buruh migran yang tidak cuma dilecehkan namun juga disiksa di luar negeri?   Al Qanuni dari bani Utsmaniyah berhasil menahan – untuk beberapa abad kemudian – laju imperialisme kekaisaran-kekaisaran Eropa saat itu (Habsburg Austria, Tsar Russia, dll).  Andaikata khilafah Utsmani ini tidak pernah ada, barangkali Islam belum berkembang di Indonesia seperti saat ini.

Menganggap sistem khilafah awal sarat dengan nilai-nilai demokrasi justru menunjukkan kebutaan kita terhadap demokrasi.  Demokrasi direduksi hanya dalam proses pemilu (demokrasi prosedural).  Orang-orang Islam liberal pun sangat paham akan hal ini, sehingga merekapun menentang kalau orang hanya menggunakan demokrasi sebatas prosedural.  Padahal dalam demokrasi itu juga ada asas sekulerisme (penetralan kehidupan publik dari acuan agama apapun), asas liberalisme (kebebasan berpikir, berpendapat dan berperilaku sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain) serta asas kapitalisme (pasar bebas dengan modal sebagai panglima).  Demokrasi boleh mempersoalkan apa saja (termasuk Islam), namun tidak boleh mempersoalkan ketiga asas pendampingnya.  Sementara itu ide khilafah yang diusung HT sebenarnya tidak pernah mempersoalkan demokrasi sebagai prosedur, namun menentang keras tiga asas pendampingnya.  Adakah demokrasi tanpa sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme?  Negara mana contohnya?  Kalau anda yakin jawabannya ada, mungkin anda masih bermimpi!

PUISI PENGELANA: Istanbul (1)

Tuesday, May 23rd, 2006
Aku berdiri di jembatan antara dua benua
Tempat persilangan sejarah peradaban dunia
Persia, Romania, Helenia, Usmania dan Eropa

Di Aya Sofia, museum yang dulunya masjid dan gereja
Surat-surat Khalifah membuka mata dunia

Tahukah kita
Ketika perlindungan diminta Raja Swedia
saat abad 17 negerinya diserbu Russia?
Ketika para pengungsi Yahudi diberinya tanah dan harta
saat reconquista Spanyol mengusir mereka dari Andalusia?
Ketika korban-korban revolusi Bolschewik di Russia
tahun 1920 masih menganggapnya tempat aman sentosa?
Ketika Amerika yang kelaparan pasca perang saudara
dengan semangat rahmatan lil alamin dibantunya

Kebesaran Khilafah Usmania kini hampir tak bersisa
Selain masjid-masjid tua di segala penjuru kota
Gaya hidup Eropa telah menggila
Tapi di dunia, negeri ini bukan lagi apa-apa

Sekulerisme, atau apapun namanya
Telah menjadi agama barunya
Dan sejarah telah ditelikungnya
Kehebatan toleransi Islam, itu khas Turki katanya

Mustafa Kemal Ataturk telah membuatnya
Lembaga Bahasa yang bertugas menghapus kata-kata
yang dipinjam Turki dari bahasa Arab berabad-abad lamanya
Agar ummat sekarang semakin lupa
Bahwa Turki besar ketika Islam menjadi panglimanya
Dan dunia maju ketika syari’at menjadi aturannya.

Relakah kita terus menerus ditipunya?

(Istanbul, Juli 2004)