Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Infrastruktur Transportasi Negara Khilafah

Wednesday, July 20th, 2011

Dr. Fahmi Amhar

Seorang ahli teknik sipil bertanya, seperti apa konsep infrastruktur transportasi negara khilafah?  Tentu tidak dengan serta merta pertanyaan ini dapat dijawab.  Apalagi bagi banyak orang, persoalan transportasi seakan hanya persoalan teknis.  Dan di zaman dulu teknologinya masih sangat berbeda, dan jumlah penduduknya juga masih sedikit, sehingga problema kemacetan yang parah seperti saat ini mungkin tidak pernah ada.

Tetapi, bagi seorang muslim pejuang syariah, pertanyaan apapun justru melecutnya untuk lebih mendalami syariat Islam beserta realitas empiris yang ada.  Maka dalam persoalan infrastruktur transportasi, kita akan mendapati setidaknya tiga prinsip:

Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggungjawab negara, bukan cuma karena sifatnya yang menjadi tempat lalu lalang manusia, tetapi juga terlalu mahal dan rumit untuk diserahkan ke investor swasta.  Di Jakarta, karena inginnya diserahkan ke swasta, pembangunan monorel jadi tidak pernah terlaksana.

Kedua, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi.  Ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan di situ dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.  Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan.  Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.

Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki.  Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.

Navigasi mutlak diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat, dan bila ada masalah, dapat ditolong oleh patroli khilafah.  Untuk itulah kaum muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti.  Ratusan geografer menjelajah seluruh penjuru dunia dan membuat reportase negeri-negeri yang unik.  Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.

Telekomunikasi dalam ujud yang sederhana juga makin berkembang.  Pesan yang dikirim lewat merpati pos, atau sinyal cahaya atau asap dari pos-pos patroli semakin canggih.  Para matematikawan bekerja keras membuat kode yang makin efisien dan aman dari penyadapan.

Teknologi & manajemen fisik jalan juga tidak ketinggalan.  Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak.  Baru duaratus tahun kemudian, yakni 1185, baru Paris yang memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba.

Sedang untuk kendaraannya sendiri, sesuai teknologi saat itu, kaum muslimin telah memuliakan jenis kuda dan unta yang makin kuat menempuh perjalanan.  Untuk di laut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1000 ton dan kapal perang untuk 1500 orang.  Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.

Bahkan untuk transportasi udarapun ilmuwan muslim sudah memikirkan.  Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”

Yang menarik, hingga abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini.  Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji.  Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”.  Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah.  Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya.  Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf.  Kalau ini selesai, pergerakan pasukan khilafah untuk mempertahankan berbagai negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu.  Dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari!

Rel kereta ini mencapai Madinah pada 1 September 1908.  Pada 1913, stasiun “Hejaz Train” di Damaskus telah dibuka dengan perjalanan perdana ke Madinah sepanjang 1300 Km.  Namun penguasa Arab yang saat itu sudah memberontak terhadap Khilafah karena provokasi Inggris melihat keberadaan jalur kereta ini sebagai ancaman.  Maka jalur ini sering disabotase, dan pasukan Khilafah tidak benar-benar sanggup menjaga keamanannya.

Perang Dunia-I mengakhiri semuanya.  Tak cuma Khilafah yang bubar, jalur kereta itupun juga berakhir.  Kini KA itu tinggal beroperasi sampai perbatasan Jordania – Saudi.

Mencoba Meramu APBN Syariah

Monday, April 12th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Bagaimana wajah APBN Indonesia kalau dibuat dengan paradigma syariah?  Dari sisi penerimaan apakah pajak akan terus menjadi pilar APBN?  Lalu dari sisi pengeluaran apakah pembayaran pokok dan cicilan hutang masih akan mendominasi di samping pos subsidi?

Untuk dapat menjawab persoalan ini ada tiga pendekatan yang harus dilakukan:

Pertama, yang dihitung dahulu adalah pengeluaran berdasarkan asumsi-asumsi kebutuhan dari yang menurut syariah paling vital dan urgen ke yang hanya bersifat pelengkap. Untuk menghitung pos pengeluaran digunakan rasio-rasio ideal berdasarkan data wilayah dan kependudukan, proyeksi siklus jangka panjang dan menengah, serta harga pasar rata-rata saat ini.  Dalam kitab Nizhamul Iqtishady fil Islam dari Imam Taqiyyudin an-Nabhani, dinyatakan bahwa pengeluaran Kas Negara (Baitul Maal) ditetapkan berdasarkan enam kaidah:

(1)   Harta yang menjadi kas tersendiri Baitul Maal, yaitu harta zakat.  Harta ini hanya dibelanjakan ke delapan ashnaf kalau memang kasnya terisi.  Bila di Baitul Maal harta zakat sudah habis, maka tidak ada seorangpun dari delapan ashnaf itu yang berhak mendapatkannya lagi, dan tidak akan dicarikan pinjaman untuk itu.

(2)   Pembelanjaan yang sifatnya wajib, yaitu manakala terjadi kekurangan (fakir miskin atau ibnu sabil) atau untuk melaksanakan jihad.  Ini bersifat pasti, bila tidak ada dan dikhawatirkan akan terjadi kerusakan maka negara dapat meminjam harta dan setelah itu dilunasi dan bila perlu dapat menarik pajak.

(3)   Pembelanjaan yang sifatnya kompensasi yakni bagi orang-orang yang telah memberikan jasa, misalnya gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, guru dan sebagainya.  Ini juga bersifat pasti.

(4)   Pembelanjaan karena unsur keterpaksaan, semisal ada bencana alam atau serangan musuh.  Ini juga bersifat pasti.

(5)   Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, bukan untuk kompensasi, namun sifatnya vital, karena bila tidak ada, umat akan mengalami kesulitan, seperti pembangunan infrastruktur.  Ini juga bersifat pasti.

(6)   Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan hanya saja bila tidak ada umat tidak sampai menderita, misalnya pembangunan fasilitas hiburan, atau adanya fasilitas umum sekunder ketika fasilitas yang lama masih memadai.

Adapun data dasar wilayah dan kependudukan yang digunakan antara lain:

Jumlah penduduk 230.000.000
Luas wilayah darat (Km2)    1.900.000
Luas wilayah laut (Km2)    5.800.000
Panjang garis batas (Km)         15.000
Jumlah satuan administrasi level Provinsi               33
Jumlah satuan administrasi level Kabupaten             480
Jumlah satuan administrasi level Kecamatan          6.000
Jumlah satuan administrasi level Desa/Kelurahan         70.000

 

Sedang untuk rasio-rasio kebutuhan digunakan asumsi-asumsi yang cukup ideal sebagai berikut:

Pos Santunan Fakir Miskin

asumsi prosentase penduduk miskin (fakir miskin) 50%
asumsi kebutuhan nutrisi per orang per hari (gram) 600
asumi harga pangan per-kg Rp 10.000

 

Pos Pendidikan

Jumlah siswa sekolah (usia 5-19 th) 60.000.000
rasio guru:siswa = 1: 20
rasio sekolah:siswa= 1: 300
asumsi rata-rata gaji guru per bulan Rp. 5.000.000
asumsi biaya operasional sekolah per bulan (ke-TU-an, cleaning, buku, dll) Rp 25.000.000
rasio lulusan SMA ke Pendidikan Tinggi = 1: 10
rasio dosen:mahasiswa = 1: 10
rasio perguruan tinggi : mahasiswa = 1: 1.000
asumsi biaya operasional perguruan tinggi per bulan (ke-TU-an, cleaning, buku, lab dll) Rp 250.000.000

 

Pos Kesehatan

Rasio dokter:penduduk = 1: 1.000
Rasio rumah sakit:penduduk = 1: 10.000
Rasio rumah sakit: desa = 1: 3,0
Asumsi gaji dokter per bulan Rp 7.500.000
Asumsi operasional tiap rumah sakit per bulan Rp 225.000.000

 

Pos Pertahanan & Keamanan

Rasio tentara dengan garis perbatasan 1 km = 25
Rasio polisi dengan jumlah penduduk = 1: 1.000
Rasio kapal penjaga perbatasan 1 kapal =  [km] 25
Rasio pesawat militer untuk menjaga area
1 pesawat = [km2]
40.000
Asumsi gaji tentara/polisi / bulan Rp 7.500.000
Asumsi operasional markas tentara / bulan
(hanya ada satu di tiap provinsi)
Rp 1.500.000.000
Asumsi operasional markas polisi / bulan
(ada di tiap kecamatan)
Rp 105.000.000

 

Pos Pemerintahan & Keadilan

Rasio aparat administrasi pemerintahan : penduduk yang dibutuhkan = 1: 1.000
Rasio aparat peradilan : penduduk = 1: 1.000
Asumsi rata-rata gaji aparat pemerintahan & peradilan Rp 7.500.000
Asumsi rata-rata operasional kantor pemerintahan & peradilan / bulan Rp 33.000.000

 

Pos Infrastruktur & Fasilitas Umum Vital

Siklus perbaikan menyeluruh transportasi setiap 10 tahun
Siklus perbaikan menyeluruh fasum lainnya 20 tahun
Infrastruktur data meliputi aktivitas riset, sensus, pemetaan, pembangunan jejaring ICT 20 tahun
Infrastruktur energi meliputi pembangunan instalasi migas, pipa, PLTGU, PLTN, dan jaringan listrik 20 tahun
Infrastuktur pangan meliputi pembangunan pabrik pupuk, irigasi, dan pengolahan pasca panen 20 tahun
Infrastruktur pertahanan meliputi kendaraan tempur angkatan darat, laut dan udara berikut alutsista 20 tahun

 

Pos Cadangan Bencana terhadap APBN                 5%

Pos Cadangan Maslahat non Vital                         2%

Dari semua pos ini kemudian dihitung besaran-besaran makro dan menghasilkan angka dalam Tabel APBN.

Kedua, pos penerimaan disusun berdasarkan pos-pos yang ditetapkan syariah.  Dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah  Abdul Qadim Zallum menyatakan bahwa pos pendapatan negara terdiri dari tiga bagian:

(1)   Bagian Fai dan Kharaj.  Penerimaan ini meliputi:

  1. Ghanimah, mencakup anfal, fa’i dan khumus, yakni pampasan perang.
  2. Kharaj, yakni pajak bumi yang dahulu dibebaskan kaum muslimin dengan jihad.  Besaran kharaj ini ditetapkan khalifah berdasarkan potensi hasil bumi tersebut.
  3. Sewa tanah-tanah milik negara.
  4. Jizyah, yakni pajak dari warga non muslim yang dewasa dan berada, karena mereka tak terkena kewajiban zakat, jihad maupun pajak bila ada.
  5. Fai, yakni pemasukan dari barang temuan, waris yang tak ada pewarisnya, harta sitaan dsb.
  6. Pajak yang hanya ditarik insidental dari warga muslim yang berada.

Seperti dapat dilihat bahwa pos penerimaan pada bagian ini sifatnya tidak menentu, dan idealnya tidak perlu ada.  Bila dakwah dapat berhasil dengan damai, maka tidak perlu perang sehingga tak ada ghanimah, dan tujuan perang itu sendiri memang tidak untuk mendapatkan ghanimah. Kemudian karena Indonesia secara umum masuk Islam tanpa penaklukan, maka penerimaan negara dari kharaj ini di Indonesia juga kurang relevan.  Tanah milik negara bila perlu dapat dibagikan ke warga yang kekurangan, tanpa sewa.  Jizyah akan hilang ketika warga non muslim masuk Islam, dan itu tidak boleh dihalang-halangi.  Barang temuan atau waris justru harus dicarikan siapa yang berhak.  Dan pajak hanya ditarik insidental kalau kas baitul maal terancam kosong padahal ada kebutuhan yang bersifat pasti

(2)   Bagian Kepemilikan Umum yaitu pengelolaan sumber daya alam yang hakekatnya milik umum:

  1. Seksi minyak dan gas
  2. Seksi listrik
  3. Seksi pertambangan
  4. Seksi laut, sungai, perairan dan mata air
  5. Seksi hutan dan padang rumput
  6. Seksi asset produktif yang dikuasai negara, misalnya yang berasal dari wakaf.

Kepemilikan umum harus dikembalikan kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung maupun berupa pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya baik di dalam negeri maupun ekspor.

(3)   Bagian Shadaqah, yang terdiri dari shadaqah wajib yaitu:

  1. Zakat harta dan perdagangan yang berupa uang (atau emas/perak)
  2. Zakat pertanian dan buah-buahan
  3. Zakat ternak

Bagian Shadaqah adalah bagian yang unik.  pertama karena volumenya penerimaannya menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat, sehingga kalau ekonomi lesu maka shadaqah juga berkurang; dan kedua, pengeluarannya hanya ke delapan ashnaf.

Untuk Indonesia, dari ketiga bagian ini, harta yang paling dapat diandalkan untuk APBN adalah kepemilikan umum, sehingga pada pos inilah dilakukan beberapa perhitungan dengan sejumlah asumsi, yang antara lain tergantung pada harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang dunia.

Data yang ada saat ini:

Produksi minyak di Indonesia adalah sekitar 950.000 barrel per hari (bpd).  Bila asumsi harga minyak adalah US$ 65/barrel dan nilai tukar rupiah Rp. 9000/US$ maka nilai minyak ini hanya sekitar Rp. 202 Triliun.  Bila biaya produksi dan distribusi minyak ditaksir hanya berkisar 10% dari nilai tersebut, maka nett profitnya masih di atas Rp 182 Triliun.  Namun keuntungan ini hanya tercapai bila seluruh hasil minyak dijual dengan harga pasar (tanpa subsidi, yakni US$ 72/barrel) dan baru hasilnya yang dikembalikan ke umum melalui Baitul Maal.  Indonesia bahkan harus menjadi net-importer minyak, karena kebutuhan minyak per hari 1,2 juta barrel, akibat politik energi selama ini yang terlalu tertumpu pada minyak, termasuk lambatnya pembangunan jaringan kereta api berikut elektrifikasinya.

Produksi gas (LNG) adalah setara sekitar 5,6 juta barrel minyak per hari, namun harganya di pasar dunia hanya 25% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 297 Triliun atau nett profitnya sekitar Rp 268 Triliun.

Produksi batubara adalah setara 2 juta barrel minyak per hari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp. 212 Triliun, atau nett profitnya sekitar Rp 191 Triliun.

Produksi listrik tidak signifikan kecuali bila dilakukan pembangkitan listrik dari energi terbarukan (air, angin, dan geothermal) atau nuklir.  Energi listrik seperti ini biasanya impas dikonsumsi sendiri.  Di Indonesia, karena tidak ada integrasi antara Pertamina, PGN, PT Batubara BukitAsam dan PLN, maka PLN rugi puluhan Triliun.

Produksi pertambangan terutama emas seperti Freeport atau Newmont hanya dapat ditaksir dari setoran pajak yang jumlahnya memang aduhai.  Bila kita percaya kebenaran nilai pajak Freeport yang Rp 6 Triliun setahun, dan ini baru 20% dari nettprofit, itu artinya nettprofitnya adalah Rp. 30 Triliun per tahun.  Ini masuk akal karena dari sumber lain didapat informasi bahwa produksi emas di Freeport adalah sekitar 200 Kg emas murni per hari. Secara kasar, bersama perusahan tambang mineral logam lainnya, yakni emas/Newmont juga timah, bauxit, besin juga kapur, pasir, dan lain-lain nett profit sektor pertambangan adalah minimal Rp. 50 Triliun per tahun.

Dengan demikian dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam didapat penerimaan sekitar Rp. 691 Triliun.  Pada saat ini, dengan pola konsesi dan transfer pricing (terutama untuk gas, batubara dan emas) maka penerimaan yang dilaporkan BUMN maupun swasta ke negara jauh lebih rendah dari ini.  Yang harus diingat adalah bahwa sektor pertambangan adalah tidak dapat diperbarui, meski teknologi dapat memperpanjang usianya, tapi suatu hari pasti akan habis juga.

Untuk produksi laut karena sifatnya terutama dilakukan secara bebas oleh nelayan swasta baik kecil maupun besar, tentu agak sulit untuk memasukkannya sebagai penerimaan negara.  Menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 Milyar atau Rp. 738 Triliun.  Bila ada BUMN kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10%, maka ini sudah sekitar Rp. 73 Triliun.

Yang paling menarik adalah produksi hutan.  Luas hutan kita adalah 100 juta hektar, dan untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5% tanamannya yang diambil.  Bila dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400 pohon, itu berarti setiap tahun hanya 20 pohon per hektar yang ditebang.  Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp. 2 juta dan nett profitnya Rp. 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan kita adalah 100 juta hektar x 20 pohon per hektar x Rp 1 juta per pohon = Rp 2000 Triliun.  Fantastis.  Namun tentu saja ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separo hutan kita telah rusak oleh illegal logging.  Harga kayu yang legalpun juga telah dimainkan dengan transfer pricing untuk menghemat pajak.  Tapi Rp. 1000 Triliun juga masih sangat besar.  Dan kalau kita kelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk obat-obatan.

 

Ketiga, standar dari Dinar – namun juga natura.

Pada saat simulasi perhitungan APBN ini, angka yang dipakai adalah Rupiah.  Ini sekedar untuk memudahkan mendapatkan gambaran berapa nilai tersebut, juga untuk membandingkan dengan APBN Republik Indonesia saat ini.  Namun ke depan, kita harus mulai menggunakan standar emas yaitu Dinar, karena dengan itu APBN ini akan tak lekang oleh zaman, sementara APBN dalam Rupiah akan senantiasa terkoreksi oleh inflasi.  Pada bulan April 2010, kurs Dinar yang merupakan emas 22 karat seberat 4,25 gram adalah sekitar Rp. 1.500.000 per Dinar.

Selain itu, sebenarnya di APBN Syariah ada pendapatan dan harta milik negara yang diakuntasikan dengan natura, karena memang tak semua penerimaan atau pengeluaran harus berupa uang.  Misalnya, zakat juga tidak harus berupa uang, tetapi dapat juga tanaman atau ternak.  Demikian juga jizyah, bahkan dapat pula dibayarkan dengan pakaian.  Oleh sebab itu, angka-angka yang digambarkan di sini hanya untuk standardisasi nilai saja, yang memang sangat tepat bila menggunakan Dinar.

APBN Syariah juga tidak harus selalu dihabiskan pada tahun anggaran berjalan.  Karena itu kolom penerimaan tidak harus balance dengan kolom pengeluaran.  Boleh saja di suatu masa surplus dan di mana yang lain minus karena ada bencana, paceklik atau perang, sehingga negara perlu menunda sebagian pengeluaran atau meminjam atau menarik pajak.

Yang jelas, dengan anggaran 666 juta Dinar atau sekitar Rp. 999 Triliun (pada pos pengeluaran) sebenarnya sudah dapat tercukupi dengan hasil hutan yang lestari itu saja.  Bagian-bagian seperti fai & kharaj (termasuk di dalamnya kemungkinan pajak), juga shadaqah (yang terkait zakat) bahkan belum perlu diperhitungkan.

Distribusi dalam pengeluaran juga cukup bagus.  Pos yang terbesar adalah sektor pendidikan (termasuk dakwah), pengentasan kemiskinan dan infrastruktur.  Di dalam sektor infrastruktur ini sudah tertanam anggaran riset sains dan teknologi yang cukup besar yakni hampir 3.5% APBN.  Ini semua akan sangat cukup untuk menggerakkan ekonomi, sehingga bahkan setelah beberapa tahun, angka kemiskinan sudah sangat rendah sehingga pos pengentasan kemiskinan bisa tidak berarti.  Asumsi yang digunakan dengan angka ini adalah setiap orang miskin mendapat asupan 600 gram nutrisi perhari senilai Rp. 10.000/kg.  Ini artinya setiap orang miskin mendapat Rp. 180.000,- perbulan!  Bandingkan dengan BLT selama ini yang hanya Rp. 100.000 per KK per bulan.

APBN

Pos Penerimaan (dalam juta Dinar)

  Bagian Fai & Kharaj (tidak diperhitungkan)

0

  Bagian Kepemilikan Umum
–       Minyak

121,5

–       Gas

178,9

–       Batubara

127,5

–       Emas & Mineral Logam lainnya

33,5

–       BUMN Kelautan

48,9

–       Hasil hutan

666,0

  Bagian Shadaqah (tidak diperhitungkan)

0

JUMLAH PENERIMAAN

1176,3

 

Pos Pengeluaran (juta Dinar)

  Pengentasan Kemiskinan 50% penduduk

167,9

  Kompensasi
–       Layanan Hankam & Jihad

41,7

–       Layanan Pemerintahan dan Peradilan

30,8

–       Layanan Pendidikan dan Dakwah

180,0

–       Layanan Kesehatan

55,8

  Maslahat Vital (Infrastruktur & Fasum)

143,1

  Cadangan Kebencanaan & Perang

33,3

  Maslahat Lain-lain

13,2

JUMLAH PENGELUARAN

666

 

Analisis

Desain APBN ini memang sangat berbeda dengan APBN Indonesia saat ini.  APBN Indonesia saat ini memakai pendekatan sektoral dan institusional.  Dokumen rinci APBN hingga level satuan kerja adalah sebuah monster yang sangat tebal meliputi ratusan ribu halaman.  Walhasil, rasio-rasio anggaran terhadap target-target (output, outcome) pelayanan masyarakat kurang dapat diketahui dengan cepat, sementara peluang markup atau penganggaran ganda sangat besar.  Di sisi lain, prinsip Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan adalah, mereka yang tidak dapat menyerap anggarannya, akan dihukum dengan menurunkan anggaran tahun berikutnya.  Tidak dilakukan pembedaan antara yang anggarannya kurang terserap karena efisiensi, atau salah perencanaan, atau faktor external (gangguan alam, masalah sosial, kondisi ekonomi global, kendala aturan yang berlaku, dsb).

Pada hitungan APBN syariah ini, surplus di jumlah penerimaan dapat digunakan untuk melunasi seluruh hutang Indonesia secepatnya, untuk kemudian kita melesat menuju kesejahteraan dengan syariah.

Tentu saja, bila khilafah berdiri di negeri muslim yang berbeda kondisinya dengan Indonesia, maka APBN-nya bisa tampak sangat berbeda.  Kalau khilafah berdiri di Irak yang memiliki cadangan migas sangat besar dan merupakan tanah kharajiyah, maka bagian tersebut mesti diisi, sementara hasil hutan atau laut nyaris nol.  Sebaliknya bila khilafah berdiri di Bangladesh yang nyaris tidak punya sumberdaya alam baik migas ataupun hutan, maka bagian fai dan kharaj (terlebih pajak) dan bagian shadaqah mesti dielaborasi dengan intensif.

Wallahu a’lam bis shawab.

Tata Negara yang tidak membosankan

Monday, May 25th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Indonesia konon adalah negara yang “bukan-bukan”.  Negara ini bukan negara sekuler, bukan pula negara Islam.  Jadi bukan-bukan.  Jaman Orde Baru dulu negara kita bukan demokrasi liberal, bukan pula diktator.  Jadi bukan-bukan.  Sistem republik kita juga bukan presidensil murni, bukan pula parlementer.  Jadi bukan-bukan.

Kebingungan ini barangkali berhubungan dengan pola pendidikan tentang ketatanegaraan yang membosankan.  Pada masa Orde Baru, ihwal tata negara dimasukkan dalam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila atau Penataran P4.  Kesan yang muncul: siapapun yang masih kurang sreg dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku akan di-stigma “tidak bermoral Pancasila”.  Padahal siapakah moralis Pancasila sejati?  Pada akhirnya sejarah melihat, Soeharto Sang Penggagas P4 tumbang setelah KKN-nya makin memuakkan rakyat.

Reformasi kemudian mengaduk-aduk tata negara.  UUD 45 yang semula dianggap “suci” diamandemen beberapa kali.  Hak-hak asasi manusia dipertegas.  Otonomi daerah diperluas.  Presiden dan Kepala Daerah dipilih langsung. Masa jabatan presiden dibatasi dua kali.  DPR diperkuat.  Komisi-komisi dibentuk.  Dan Mahkamah Konstitusi dijadikan pemutus perbedaan tafsir konstitusional.

Meski demikian, proses ini sepertinya masih lama belum akan berakhir.  Hak-hak asasi manusia membuat arus liberalisme menjadi-jadi.  Hanya sedikit daerah yang terbukti sanggup memanfaatkan otonomi untuk menaikkan taraf hidup rakyatnya.  Pemilu yang terlalu sering juga malah membuat rakyat jenuh, sehingga angka golput meningkat.  DPR yang kuat justru membuat pemerintah gerah, karena tanpa dukungan DPR (misalnya dalam hal anggaran), agenda pemerintah akan macet.  Dan Mahkamah Konstitusi dianggap tirani baru, karena 5 dari 9 hakim MK sudah cukup untuk membatalkan suatu Undang-undang yang disepakati 550 anggota DPR.

Jadi, dalam dua puluh tahun terakhir ini kita menyaksikan tata negara yang “membosankan” ala Orde Baru dan lalu “membingungkan” ala Reformasi.  Mungkin persoalannya akan berbeda kalau kita gali ilmu ini seperti nenek moyang kaum muslimin melakukannya.

Tata negara sebagai amalan praktis – tak sekedar sebagai teori filsafat – sudah dipraktekkan sejak zaman sahabat.  Mereka ditugaskan dalam berbagai pos, seperti sebagai gubernur, panglima, qadhi, bendahara baitul maal, penarik zakat, dan sebagainya.  Para imam mujtahid juga pasti memasukkan bab siyasah dalam kitab-kitab fiqihnya.

Namun tata negara sebagai sebuah ilmu yang utuh dan sistematik adalah hasil tangan dingin Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi (972-1058 M).  Beliau dikenal sebagai ahli tafsir dan fiqh madzhab Syafi’i; serta mendalami sastra, naskah kuno dan etika. Dia pernah bekerja sebagai qadhi di berbagai daerah di Iraq, juga sebagai utusan Khalifah ke berbagai penjuru negeri Islam.

Karya al-Mawardi yang paling monumental dan sudah menjadi klasik adalah kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyya w’al-Wilayat al-Diniyya (Kitab tentang sistem pemerintahan, wilayah dan agama).  Selain itu ada juga menulis Qanun al-Wazarah (Hukum tentang para Menteri), Kitab Nasihat al-Mulk (Buku tentang Nasehat untuk Para Penguasa), dan Kitab Aadab al-Dunya w’al-Din (Buku tentang Etika Dunia dan Agama).

Al-Mawardi menulis bukunya berdasarkan realitas empiris pengalaman praktik pemerintahan yang beliau hadapi sebagai qadhi dan utusan khalifah, yang lalu dianalisis dan dikaitkannya sesuai persepsinya sebagai ahli fiqh.  Dia termotivasi untuk menulis buku-bukunya itu agar para penguasa muslim di wilayah yang semakin luas itu, juga generasi sesudahnya, dapat semakin efektif menjalankan roda pemerintahan berdasarkan syariat Islam.  Dalam banyak aspek al-Mawardi melakukan ijtihad sendiri atas persoalan yang memang di masa Nabi atau generasi sahabat belum ditemui, dan di sisi lain, dia juga melakukan adopsi atas hal-hal yang sifatnya teknis administratif pemerintahan – yang sejak masa Khalifah Umar bin Khattab – banyak ditiru dari Persia atau Romawi.

Dibandingkan misalnya pendapat Plato (360 SM) tentang “Republik” dalam bukunya Πολιτεία (Politea), pendapat-pendapat al-Mawardi terasa sangat revolusioner.

Al-Mawardi membahas rinci tata cara pengangkatan para pejabat dari khalifah hingga panglima, hakim dan petugas zakat; juga tentang jihad, pembagian harta negara (termasuk ghanimah dan fai); tentang status daerah, pertanahan, dokumen, pidana hingga hisbah.  Banyak sekali apa yang ditulis al-Mawardi tetap dijadikan prinsip umum administrasi negara hingga zaman modern.

Sezaman dengan al-Mawardi adalah Abu Ya’la Muhammad bin al-Hasan bin Muhammad bin Khalaf bin al-Farra’ yang menariknya juga menulis buku dengan judul yang sama.  Hanya saja, al-Mawardi ternyata lebih tua dari Abu Ya’la, dan bukunya terbit lebih dulu.  Selain itu buku al-Mawardi juga menggunakan metode muqaranah (komparatif) antar pendapat fiqh berbagai mazhab yang dikenalnya, dan tidak hanya mengacu kepada satu mazhab tertentu, sementara Abu Ya’la hanya mengacu ke mazhab Hanbali.

Setelah al-Mawardi, ilmuwan besar yang menekuni tata negara adalah Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakr al-Ansari al-Qurtubi (1214 – 1273 M), seorang imam mazhab Maliki dengan karyanya yang terkenal Tafsir al-Qurtubi Al-Jami’ li Ahkam il-Qur’an, sebuah tafsir 10 jilid tebal dengan fokus tentang masalah hukum, termasuk hukum-hukum tata negara.

Kemudian kajian tata negara ini diteruskan Taqī ad-Dīn Abu ‘l Abbās Ahmad ibn ‘Abd al-Halīm ibn ‘Abd as-Salām Ibn Taymiyah al-Harrānī  (1263 – 1328 M), yang antara lain menulis kitab al-Siyasa al-shar’iyya.

Seabad kemudian Jalaluddin as-Suyuti (1445-1505 M) menulis hampir 500 kitab, dan yang paling terkenal adalah Tarikh al-Khulafa yang mempelajari tata negara secara historis serta Al-Khulafah Ar-Rashidun tentang praktek kenegaraan ala empat khalifah pertama.

Selama mengacu kepada Islam, tata negara berdasarkan syara’, tidak akan membosankan.  Negara khilafah baru redup ketika fiqh tata negara makin jarang dibicarakan, dan rakyat awam yang tahu makin sedikit.  Ini berdampak makin memburuknya penerapan sejumlah hukum Islam.  Zakat, kharaj atau jizyah memang terus dipungut, tetapi negara tidak lagi serius mendistribusikan pungutan itu kepada mereka yang berhak.  Negara makin mengabaikan tanggung jawabnya terhadap rakyat.  Akibatnya rakyat yang terdhalimi jadi mudah terprovokasi untuk disintegrasi.  Mereka akhirnya jatuh ke pelukan penjajah.

Sekarang ketika khilafah sudah tiada, saatnyalah fiqh tata negara digali lagi dan diaktualisasi, untuk modal kebangkitan hakiki, agar kita tidak jalan di tempat, bingung menjadi bangsa dengan negara bukan-bukan.