Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Mencari Teknologi Ramah Lingkungan

Wednesday, January 2nd, 2008

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Salah satu catatan dari Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali Desember 2007 lalu adalah keinginan negara-negara berkembang untuk mendapatkan transfer teknologi ramah lingkungan guna ikut mensukseskan pengurangan emisi demi mencegah pemanasan global.  Negara-negara maju enggan mengabulkan permintaan itu dengan alasan teknologi itu ada pada dunia bisnis yang investasi risetnya telah dilindungi dengan hak paten.  Karena itu, urusan transfer teknologi adalah urusan bisnis dengan korporasi yang memilikinya.

Pertanyaannya kini, apa saja yang termasuk teknologi ramah lingkungan, dan benarkah semua itu urusan bisnis?

Teknologi ramah lingkungan (eco-friendly-technology) dapat diringkas sebagai adalah segala jenis aplikasi teknologi yang dapat memberikan kepuasan penggunanya dengan sumber daya lingkungan yang lebih rendah.  Sebelum kesadaran ekologi muncul, orang hanya berpikir ekonomi.  Teknologi yang diterapkan adalah yang termurah dari sudut ekonomi, menggunakan sumberdaya alam maupun sumber daya manusia yang murah walaupun dari sudut ekologi bisa saja dinilai mahal.  Hal ini karena sistem ekonomi masih jarang menilai lingkungan dengan harga yang wajar.  Misalnya, berapa nilai oksigen yang kita hirup atau nilai lingkungan udara yang kita cemari dengan gas buang?  Sebuah mesin yang lebih banyak menyedot oksigen untuk hasil kerja yang sama, secara ekologis adalah lebih mahal, walaupun secara ekonomis mungkin lebih murah.  Hal ini karena oksigen itu menjadi berkurang untuk digunakan oleh mahluk hidup yang lain – termasuk manusia.

Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan maupun radiasi) dan rendah risko menimbulkan bencana. Kita akan melihat contoh-contoh teknologi ini pada fokus pengembangan iptek nasional:

 

Pangan

Pola konsumsi paling ramah lingkungan adalah vegetarian.  Dari bahan nabati yang sama, bila dikonsumsi langsung, manusia mendapatkan tujuh kali lipat nutrisi daripada jika bahan nabati itu digunakan untuk pakan ternak yang lalu dikonsumsi dagingnya.

Dapur modern yang rendah pemakaian energi (misalnya oven microwave) juga mestinya lebih ramah lingkungan.  Demikian juga lemari pendingin yang bebas CFC.  CFC adalah perusak lapisan ozon di atmosfir. 

Masalah pangan juga terkait erat dengan sampah.  Makanan kemasan memang praktis, tahan lama dan punya kelebihan dalam marketing.  Namun banyak kemasan yang sebenarnya berlebihan dan tidak ramah lingkungan.

Saat ini sampah terbesar memang dari sektor pangan.  Teknologi pengolah sampah, baik dari sisi pemisahan, daur ulang dan penghancuran jelas sangat diperlukan ketika volume sampah makin besar.  Namun tentu lebih baik jika sampah ini dapat dihindari dengan mengubah pola kemasan pangan ke wadah pakai ulang.  Dalam hal ini, teknologi bioproses untuk menghancurkan sampah dapat dipandang lebih ramah lingkungan daripada teknologi kimia.

Bioteknologi termasuk yang sangat diharapkan membantu menemukan bibit unggul tahan hama dan kekeringan yang pada lahan yang sama dapat menghasilkan pangan lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat.  Namun berbagai manipulasi transgenik membuat ketakutan tersendiri akan munculnya spesies baru yang justru dalam jangka panjang tidak ramah lingkungan. 

 

Energi

Energi matahari adalah energi yang terramah lingkungan.  Dibanding dengan mesin pengering, mengeringkan cucian di terik matahari itu ramah lingkungan, hanya perlu didesain saja jemuran yang praktis dan tidak membuat kesan kumuh.  Demikian juga memanaskan air untuk mandi dengan menjemur air.  Kalau dalam jumlah besar dan untuk disimpan memang perlu solar-collector lengkap dengan tankinya.  Teknologinya sebenarnya sederhana dan murah, namun bisa cukup menghemat listrik atau gas, terutama untuk dunia perhotelan.

Dengan sistem ventilasi yang benar, desain gedung-gedung kita bisa menghemat penerangan maupun pendingin udara.  Apalagi jika gaya pakaian kita menyesuaikan.  Di Indonesia ini gaya busana yang latah meniru penjajah: untuk acara resmi kita pakai jas dan dasi, lantas agar tidak kegerahan, kita setel AC yang “sedingin kutub”, seakan kita memelihara pinguin di sana.  Kita perlu berkaca dengan rekan-rekan kita sesama daerah tropis seperti Thailand atau Filipina, yang mengatur seragam dinas pegawai berupa T-shirt berkerah!

Di Jerman dan Jepang yang kesadaran lingkungan sudah tinggi banyak dikembangkan eco-house yang memadukan berbagai fungsi rumah secara maksimal.  Dinding luar berselimut tanaman rambat.  Atap berlapis solar panel.  Aliran air dan udara dipikir masak-masak, misalnya air pemanas ruangan dapat dipakai mandi dan limbahnya dipakai menggelontor tinja. Septic-tank menghasilkan gas methan yang dapat dipakai menambah energi untuk dapur.

 

Rumah sakit di Berlin Jerman yang berselimut tanaman.

 

Indikator solar cell pada sebuah kantor di Kobe, Jepang. Solar cell mengirim 0,59 KW/m2

 

 

Solar panel terbesar di dunia, proyek GAIA di Jepang

Dulu, energi nuklir pernah dipandang sebagai energi ramah lingkungan, karena tidak menghasilkan emisi.  Namun pendapat ini kini telah berubah.  PLTN mensisakan masalah transportasi bahan nuklir dan tempat pembuangan limbah akhir yang sangat berresiko tinggi bagi lingkungan.

Yang kini digalakkan adalah teknologi biofuel dengan primadona micro-algae yang berpotensi menghasilkan 58.000 liter minyak/hektar (10x sawit). Sayang teknologinya masih disimpan negara maju, padahal Indonesia yang tropis dan banyak laut sangat berpotensi mengembangkannya.

 

Transportasi

Alat transportasi paling ramah lingkungan tentu saja adalah sepeda!  Sudah banyak dikembangkan sepeda yang sangat efisien dari sisi energi, bahkan ada yang memiliki solar panel untuk menyerap energi matahari.  Sepeda semacam ini dapat digunakan menempuh jarak ribuan kilometer. 

Untuk beban yang sedikit berat di medan yang datar, becak dan pedati sebenarnya juga ramah lingkungan.  Namun untuk jarak jauh dan beban raksasa, tentu saja kereta listrik lebih ramah lingkungan.  Listriknya bisa dibangkitkan terpusat pada Pusat Listrik Tenaga Air, Panas Bumi atau sejenisnya.  Kendaraan umum seperti bus juga lebih ramah lingkungan dibanding mobil pribadi.  Lebih ramah lagi jika menggunakan baterei listrik.  Di Swiss sudah 20 tahun digunakan bus listrik dengan baterei berupa gandengan kecil, yang jika mendekati kosong gampang diganti dengan yang penuh, sambil menunggu yang kosong diisi ulang.

Untuk transportasi individual bermesin, mobil listrik lebih ramah lingkungan dibanding mobil biasa.  Masalahnya, kapasitas baterei dalam menyimpan energi saat ini masih belum sebanyak bensin pada berat yang sama. Nilai optimal baterei ini baru akan tercapai kalau menggunakan sel bahan bakar (fuel-cell), di mana energi disimpan dalam air yang dipisahkan (elektrolisa) ke hidrogen dan oksigen.  Reaksi hidrogen-oksigen akan menghasilkan energi sangat besar dengan limbah kembali berupa air.  Namun teknologi fuel cell saat ini masih sangat mahal (belum layak pasar).

Saat ini, mobil listrik baru dipakai secara terbatas di bandara atau rumah sakit.  Namun beberapa industri mobil sudah meluncurkan mobil hybrid (misalnya Toyota Prios), yang berpenggerak listrik dan bensin.  Saat macet, mesin listrik yang bekerja.  Saat kecepatan optimal, mesin bensin akan mengambil alih. Jika diperlambat, energi mesin bensin dipakai untuk mengisi baterei.

Pada level sederhana, banyak inovasi juga dapat digunakan pada kendaraan biasa.  Misalnya alat tambahan yang dapat dipasang untuk mengoptimalkan pembakaran. Pabrik mobil juga berlomba mengembangkan “3-liter-cars” – mobil yang dengan 3 liter bensin dapat menempuh jarak 100 Km. 

Di laut juga dikembangkan kapal modern yang lebih ramah lingkungan, yakni yang menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis!  Layar ini dapat dikembangkan otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan.  Penggunaan energi angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%.

Teknologi energi dan transportasi yang ramah lingkungan termasuk yang saat ini paling dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal.

kapal modern dengan layar mekanis

 

Informasi dan Komunikasi

Komunikasi elektronik adalah sangat ramah lingkungan jika diterapkan dengan tepat.  Telekomunikasi akan mengurangi kebutuhan transportasi, berarti hemat energi.  Informasi juga dapat disebarkan tanpa kertas (paperless) sehingga mengurangi jumlah pohon yang harus ditebang.

Teknologi kertas daur ulang juga termasuk bagian upaya ramah lingkungan di sektor informasi.  Dalam hal ini, tinggal menunggu kesadaran para penerbit.  Jika di Indonesia, para penerbit justru berlomba menggunakan kertas yang putih agar terkesan lux, di luar negeri getol dikembangkan kertas daur ulang.  Konon untuk mencetak novel Harry Potter 7, sampai dikembangkan 32 jenis baru kertas daur ulang.  Penerbit di Kanada menggunakan kertas daur ulang 100%, sementara di Amerika baru 30%.  Upaya ini sudah membuat edisi bahasa Inggris novel ini menghemat penebangan hampir 200 ribu pohon dan 8 juta kg gas rumah kaca.

 

Kesimpulan

Dengan demikian, bila ada kemauan kuat, sebenarnya banyak yang sudah dapat dilakukan oleh negara ataupun masyarakat negara berkembang untuk menjadikan negeri mereka lebih ramah lingkungan, tanpa harus menunggu belas kasihan atau hutang transfer teknologi dari negara-negara maju, yang umumnya dikaitkan beberapa syarat politis, syarat-syarat yang bernuansa penjajahan.

Teknologi yang dipatenkan oleh industri di negara maju pun, setelah 20 tahun akan habis patennya, dan dapat ditiru dan dikembangkan lebih lanjut oleh siapapun.  Para ilmuwan, peneliti dan insinyur negara-negara berkembang harus lebih proaktif, kreatif dan tidak pasrah pada situasi, atau justru malah bangga sekedar menjadi karyawan atau buruh murah bagi industri dari negara-negara maju.

Jadi tak benar bila semuanya urusan bisnis.  Masalah transfer teknologi adalah soal kegigihan negara berkembang untuk merebut teknologi serta niat baik negara maju untuk berbagi.

Mencegah Pemanasan Global

Saturday, December 1st, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Tanggal 3 hingga 14 Desember 2007 akan berlangsung konvensi / Pertemuan antar pihak (Conference of Parties / Meeting of Parties) tingkat tinggi di Bali yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).  Pertemuan ini diharapkan dapat mengevaluasi Protokol Kyoto yang dibuat tahun 1997, yang ditandatangani untuk mengurangi kadar CO2 guna mencegah pemanasan global.  Fenomena ini tidak bisa dilihat sesaat atau semusim saja, tetapi harus dalam jangka yang lama, berpuluh tahun atau bahkan berabad-abad. 

Cuaca adalah fenomena yang dapat bervariasi dari hari ke hari.  Sedang tren jangka panjang disebut iklim.  Ketika tren ini berubah maka kita bicara tentang perubahan iklim.  Pada skala global, ini disebut Global Climate Change.  Sejak era industri, orang mencatat perubahan iklim ini.  Efek ini diduga akibat meningkatnya karbon dioksida (CO2) di atmosfir sebagai dampak pembakaran hidrokarbon baik bahan bakar fossil, hutan maupun sampah, sehingga sinar inframerah dari matahari lebih banyak terperangkap di atmosfir.  Karena efek semacam ini mirip yang dirasakan di rumah-rumah kaca, maka disebut Efek Rumah Kaca (Greenhouse effect) dan CO2 disebut juga ”gas rumah kaca” (Greenhouse-Gas/GHG).  Dan karena efeknya memanaskan secara global, maka disebut ”global warming”.

Karena memerlukan riset jangka panjang seperti ini, maka sebagian orang masih berbeda pendapat tentang dimensi efek global warming.  Ada yang menganggap efek ini akan dinetralisir oleh peningkatan reaktivitas lautan secara alami.    

Namun mau tak mau kita tetap harus mempersiapkan diri.  Masalahnya, salah iklim tidak dapat diatasi dalam waktu singkat.  Kalau kemarau panjang terjadi, sedang lahan pertanian terlanjur ditanami dengan padi yang sangat butuh air, maka akan terjadi krisis pangan.  Karena itu memang pemerintah perlu mengarahkan agar dunia pertanian mengantisipasi hal itu.  Ribuan kilometer sistem irigasi harus segera direvitalisasi.  Bibit padi yang disiapkan harus juga yang lebih tahan kekeringan.

Namun di sisi lain, sistem pemantauan cuaca kita juga harus terus dibangun. Jaringannya perlu diperpadat, komputernya dimodernisir dan SDM-nya ditingkatkan profesionalitas dan kesejahteraannya.  Sistem ini juga harus diintegrasikan ke jaringan pemantau cuaca global, termasuk yang berbasis satelit.  Akurasinya harus ditingkatkan, agar ramalan iklim ini memang prediksi yang ilmiah, bukan sekedar isu murahan yang dimanfaatkan segelintir pengusaha untuk mendapatkan proyek pengadaan beras impor atau justifikasi kebakaran hutan – yang sebenarnya telah disengaja.

Sejak masa pencatatan temperatur secara ilmiah dan teratur selama 100 tahun terakhir, tercatat suhu bumi naik 0,75° C.  Yang mencolok, setelah 1950, tren kenaikan suhu terlihat cukup konsisten dengan sekitar 0,25° C per dekade untuk daratan dan 0,13° C per dekade untuk lautan.

 

Dampak Pemanasan Global

Pemanasan global diduga keras akan berpengaruh dalam bentuk sebagai berikut:

(1)    Es di kutub dan gunung-gunung tinggi mencair.  Menurut perhitungan, hal ini menaikkan paras laut setinggi hingga 5 – 7 meter!  Tentu saja kenaikan paras laut rata-rata ini harus diukur dari stasiun pasang surut yang stabil, tidak terjadi gempa atau penurunan muka tanah (land-subsidence).

(2)    Kalau air laut naik, maka dataran rendah akan tergenang.  Daerah pantai atau dataran rendah yang produktif di bawah level tertentu akan hilang.  Pulau-pulau kecil yang rendah juga akan dihapus dari peta.  Dataran rendah ini hilang karena muka air laut naik, bukan hanya karena digerus abrasi atau diambil pasirnya.

(3)    Bila daratan yang hilang ini merupakan acuan dari ”pagar batas” suatu negeri, maka batas negeri itu bisa kembali menjadi persengketaan mengingat batas alamnya hilang.  Untuk negara kepulauan seperti Indonesia dengan batas laut yang kritis dengan beberapa negara, hilangnya sebuah pulau terluar bisa berakibat ribuan kilometer persegi wilayah kedaulatan laut baik itu laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif atau Landas Kontinen dapat tiba-tiba hilang.

(4)    Perubahan sirkulasi plankton dan otomatis perubahan sebaran ikan yang pada akhirnya pada persediaan sumber pangan dari laut.  Nasib jutaan nelayan atau petani tambak ada di ujung tanduk.

(5)    Perubahan vegetasi.  Daerah yang kini beriklim sedang akan menjadi lebih hangat sehingga dapat menanam tanaman tropis.  Sementara itu daerah yang sekarang sudah hangat seperti di Indonesia, dapat berubah menjadi gurun!

(6)    Perubahan pola penyakit, akibat beberapa virus atau bakteria yang dulu hanya ada di daerah tropis (seperti malaria, DBD dan sejenisnya) akan melanda daerah beriklim sedang.  Bila para pekerja kesehatan di sana tidak akrab dengan penyakit tropis seperti itu, maka akan timbul pandemi yang sangat ganas.

 

Sumber Gas Rumah Kaca

Hingga saat ini dua negara besar yaitu China dan Amerika Serikat menolak meratifikasi protokol Kyoto, walau dengan alasan yang berbeda.  China berposisi bahwa aktivitas ekonominya masih jauh di bawah negara-negara industri maju.  Pengurangan CO2 berarti menutup kesempatan rakyat China untuk menikmati standar hidup yang lebih baik.  Sedang AS memang kurang berminat menurunkan tingkat penggunaan energi fossilnya, terutama di bidang transportasi.  Namun isu yang saat ini beredar justru bahwa sumber gas rumah kaca ini dunia Islam akibat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali karena penolakan terhadap program Keluarga Berencana (KB).    

Faktanya, selama ini AS adalah “juara” penghasil CO2, yaitu 39% dunia.  Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia.  Artinya, jumlah CO2 dari seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%.

Selama ini sektor yang paling banyak menghasilkan CO2 adalah energi (baik untuk industri maupun transportasi).  AS menghembuskan hampir 6500 Mega Ton CO2-equivalen, di mana 95% dari sektor energi.  Sebagai pembanding, Indonesia hanya menghembuskan kurang dari 400 Mega Ton CO2-equivalen, meski jumlah penduduk Indonesia sudah mendekati penduduk AS.  Namun karena di Indonesia sering terjadi kebakaran hutan, baik disengaja atau tidak, Indonesia “menyumbang” CO2 sebanyak 3000 Mega Ton CO2-equivalen.

Negara-negara maju anggota UNFCCC pada awalnya punya komitmen untuk membantu secara finansial negara-negara berkembang dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim ini.  Untuk itu negara-negara berkembang diwajibkan untuk melakukan sejumlah hal seperti menjaga hutan-hutannya serta menyerahkan data Greenhouse gas-inventory.

Namun setelah sepuluh tahun Kyoto Protokol, negara-negara berkembang semakin sadar bahwa ada faktor-faktor institusional yang sangat sulit diatasi, yaitu: (1) negara-negara industri terdepan di dunia (dikenal dengan G-8) sudah berada pada “zona nyaman”, sehingga malas untuk berubah; (2) di dunia saat ini tidak ada skema ekonomi alternatif yang berskala global; dan (3) PBB ternyata tidak punya kapasitas politik yang cukup.  Faktanya, politik PBB dan ekonomi dunia saat ini sangat ditentukan oleh politik dan aktivitas korporasi Amerika Serikat – yang menolak meratifikasi protokol Kyoto tadi.

Maka semakin jelas bahwa untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran ekologis, perlu paradigma dan sistem politik dan ekonomi global yang baru.  Sistem politik dan ekonomi kapitalistis-sekuler terbukti gagal.  Perlu ada sistem alternatif yang bersandar kepada Sang Pencipta Yang Maha Tahu.  Allah berfirman:

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30: 41)

Sistem alternatif bagi dunia yang sekaligus adalah sistem satu-satunya bagi kaum muslimin itu adalah sistem pemerintahan Islam global (khilafah).  Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh khilafah akan mengatasi masalah CO2 ini sejak dari akarnya.  CO2 akan dikurangi dari sisi demand maupun supply. 

Dari sisi demand: CO2 dihasilkan dari penggunaan energi konvensional (minya, gas, batubara).  Semakin materialis gaya hidup seseorang, makin banyak energi dihabiskannya dan semakin banyak pula CO2 akan dibuangnya.  Dengan digantinya paradigma kebahagiaan dengan paradigma Islam, maka sekaligus dua masalah teratasi: kebutuhan energi dan CO2.  Bentuk mengurangi demand ini bisa berupa penataan ruang baik makro maupun mikro yang lebih baik, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk transportasi, penerangan atau penyejuk udara.  Secara teknologi, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) juga dapat menekan kebutuhan transportasi cukup signifikan, karena akan banyak hal dapat dilakukan secara jarak jauh (misalnya tele-conference, tele-working, dsb).

Sedang dari sisi supply, penggunaan energi terbarukan seperti energi surya dalam berbagai bentuknya (solar-cell, solar-farm, solar-tank), energi angin (wind-farm), energi air (dari mikrohidro sampai PLTA), energi ombak, energi suhu laut (Ocean-Thermal-Energi-Conversion, OTEC), pasang surut, panas bumi (geothermal) hingga energi nuklir dapat membantu menurunkan penggunaan energi konvensional, dan pada akhirnya mengantisipasi pemanasan global. 

Di sisi lain, gerakan pelestarian hutan dan penanaman pohon harus digalakkan, baik secara individual, korporasi maupun negara.  Dalam 12 tahun (1991-2003), Indonesia sudah kehilangan 68 juta hektar hutan, atau sekitar 10 hektar per menit!  Bayangkan, hutan seluas 15x lapangan bola lenyap setiap menit!  Di level bawah, para aktivis dakwah perlu mengingatkan ummat pada hadits Nabi yang berbunyi kira-kira, “Andaikan kiamat terjadi sore hari, di pagi hari seorang muslim tetap akan menanam sebuah pohon”, dan di hadits lain, “Andaikata buah pohon itu dinikmati oleh ulat atau burung, maka itu tetap terhitung sedekah dari yang menanamnya”.